Jadilah Suami Sejati
Muqoddimah
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ{
}يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً{
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً{
أَمَّا بَعْدُ،
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ ﷺ وَإِنَّ شَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Kehidupan rumah tangga yang penuh kemesraan dan kebahagiaan tentunya merupakan dambaan semua orang. Kehidupan yang dipenuhi ketentraman jasmani dan rohani, penuh dengan keimanan dan kemesraan. Namun kenyataan yang terjadi… betapa banyak orang yang kehilangan kebahagiaan ini…???, bahkan yang lebih parah…betapa banyak kehidupan rumah tangga yang harus berakhir dengan perpisahan dengan penuh kebencian…???. Kebahagiaan yang tadinya sangat diharapkan akhirnya berakhir dengan permusuhan diantara dua sejoli…???
Sebagian rumah tangga bisa berjalan tanpa perpisahan, namun….tidak ada aroma kemesraan…, tidak ada kasih sayang…., tidak ada canda…., tidak ada tawa….???. Kehidupan yang terasa kaku…..!!!
Bukankah rumah tangga adalah sarana yang sangat memungkinkan untuk meraih kebahagiaan diantara dua sejoli…???
Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم : 21 )
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. 30:21)
Namun yang menjadi pertanyaan kenapa sering didapati rumah tangga yang kosong dari kemesraan… yang ada hanyalah kekakuan…???
Yang lebih aneh lagi ternyata terkadang didapati kondisi seperti ini pada dua pasang sejoli yang dikenal berpegang dengan sunnah-sunnah Nabi ﷺ…???
Tentunya sebab-sebab timbulnya hal ini banyak, namun sebab utama yang biasanya terjadi adalah kedua pasang sejoli atau salah satunya tidak menunaikan tugas-tugas rumah tangganya dengan baik sesuai dengan syari’at Islam. Jika sang istri benar-benar menjadi istri yang shalihah yang menjalankan tugas rumah tangganya dengan baik, demikian juga sang suami benar-benar merupakan suami yang sejati yang menunaikan tugasnya dengan baik maka tidak diragukan lagi janji Allah bahwasanya kebahagiaan dan kemesraan akan diperoleh dalam pernikahan akan tercapai.
Adapun tulisan yang ada dihadapan para pembaca yang budiman terfokus pada bagaimana usaha untuk bisa menjadi suami yang sejati…???. Suami yang didambakan setiap wanita…, suami yang dimimpikan oleh setiap istri..???
Tentunya keberadaan suami yang sejati yang menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang suami merupakan sebab utama kelanggengan romantisnya kehidupan rumah tangga. Apalagi permasalahan perceraian berada di tangan seorang suami…!!
Namun yang sangat menyedihkan, kita dapati sebagian suami memiliki sikap ingin menang sendiri…, dia ingin istrinya menjadi istri yang sholehah yang mentaati semua perkataannya…yang tidak pernah protes…yang memahami dan mengamalkan sabda Nabi ﷺ
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”[1]
Baca juga: Pernikahan yang dilarang
Sang suami ingin agar istrinya selalu berpenampilan menarik dihadapannya… dan masih banyak keinginan yang lainnya…
Namun di lain sisi dia sendiri tidak memperhatikan penampilannya tatkala berhadapan dengan istrinya…sama sekali tidak mau mengalah di hadapan istrinya….sekakan-akan jika ia telah memberi nafkah kepada istrinya berarti telah selesai tugasnya…!!!!, apakah demikian sosok Rasulullah ﷺ sebagai seorang suami teladan…???. Apakah Rasulullah ﷺ yang sangat disibukan dengan urusan dakwah dan urusan negara melalaikan istri-istrinya..???.
Wahai para suami renungkanlah sabda dan nasehat Nabi kalian Muhammad ﷺ, suami teladan umat ini…
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik diantara kalian terhadap istriku”[2]
Beliau ﷺ juga bersabda
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya diantara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”[3].
Hadits yang sangat agung ini banyak dilalaikan oleh para suami…padahal hadits ini dengan sangat jelas menunjukan bahwa menjadi seorang suami yang terbaik bagi istrinya merupakan tanda baiknya seseorang???, tidak cuma sampai di sini, bahkan merupakan tanda sempurnanya keimanan..???
Oleh karena itu Imam Malik berkata, “Wajib bagi seorang suami berusaha untuk menjadikan dirinya dicintai oleh istri-istrinya hingga ialah yang menjadi orang yang paling mereka cintai”[4]
Baca juga: Rukun dan syarat nikah
Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni:
((Hadits ini adalah hadits yang sangat agung, banyak orang lalai akan agungnya kandungan hadits ini. Tatkala wanita adalah sosok yang lemah maka seorang lelaki diuji dengan wanita, karena barangsiapa yang akhlaknya sombong dan keras maka akan nampak akhlaknya tersebut tatkala ia menguasai orang lain. Dan seburuk-buruk penguasaan adalah terhadap sosok yang lemah yang berada dibawah kekuasaannya. Orang yang akhlaknya buruk dan rendah serta kurang kasih sayangnya akan terungkap akhlaknya tatkala ia bermu’amalah dengan orang-orang yang lemah. Bahkan sikap menguasai (semena-mena) terhadap orang-orang yang lemah adalah (pada hakikatnya) merupakan sikap sosok yang lemah (kepribadiannya). Kalau mereka memang kuat (kepribadiannya) dalam akhlak mereka maka hati mereka tidak akan keras terhadap orang-orang yang membutuhkan kasih sayang. Barangsiapa yang bisa menguasai dirinya tatkala berhadapan (bermu’amalah) dengan mereka (orang–orang yang lemah) maka akan nampaklah kemuliaannya. Oleh karena itu Al-Mubarokfuri berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV/273) tatkala menjelaskan lafal hadits yang kedua (di atas), “Karena mereka (para wanita) merupakan tempat untuk meletakkan kasih sayang disebabkan lemahnya mereka”…))[5]
Sebagian orang bingung kenapa seorang yang baik terhadap istirinya maka ia merupakan orang yang terbaik???
Berkata As-Sindi, “Dan bisa jadi orang yang disifati dengan sifat ini (baik terhadap istri) akan mendapatkan taufiq (dari Allah) pada seluruh amalan sholeh hingga jadilah ia terbaik secara mutlaq”[6]
Baca juga: Adab-adab dalam akad nikah
Berkata Asy-Syaukani, “Sabda Nabi ﷺ ((Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istri-istri mereka)) dan juga pada hadits yang lain ((Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya)), pada kedua hadits ini ada peringatan bahwasanya orang yang tingkat kebaikannya tertinggi dan yang paling berhak untuk disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya. Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat dan penolakan kemudhorotan. Jika seorang lelaki bersikap demikian maka dia adalah orang yang terbaik, namun jika keadaannya adalah sebaliknya maka dia telah berada di sisi yang lain yaitu sisi keburukan.
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain (selain istrinya) maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufiq (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.”[7]
Berkata Syaikh Abdul Malik, ((Betapa banyak kita dapati seseorang tatkala bertemu dengan sahabatnya di tempat kerja maka ia akan bersifat mulia dan lembut, namun jika ia kembali ke rumahnya maka jadilah orang yang pelit, keras, dan menakutkan !!!, padahal orang yang paling berhak untuk ia lembuti dan ia baiki adalah istrinya…hakikat seseorang lebih terungkap di rumahnya daripada tatkala ia di luar rumah. Ini merupakan kaidah yang baku. Rahasia kaidah ini adalah karena seseorang bisa menampak-nampakkan akhlak yang baik tatkala ia di luar rumah dan ia bisa bersabar dalam menampakan akhlak yang baik tersebut karena waktu pertemuannya dengan orang-orang di luar rumahnya hanyalah sebentar. Ia bertemu dengan seseorang setengah jam, dengan orang yang kedua selama satu jam, dan dengan orang yang ketiga lebih cepat atau lebih lama, sehingga ia mampu sabar berhadapan dengan mereka dengan menampak-nampakan akhlak yang baik dan sosok palsunya yang bukan sosok aslinya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pegawai…akan tetapi ia tidak mampu bertahan di atas kepribadian yang bukan asli di rumahnya sepanjang hidupnya…
Akhlak asli seseorang bisa diperiksa tatkala ia di rumahnya, di situlah akan tampak sikap kerasnya dari sikap kelembutannya, terungkap sikap pelitnya dari sikap kedermawanannya, terungkap sikapnya yang terburu-buru dari sikap kesabarannya, bagaimanakah ia bermu’amalah dengan ibunya dan ayahnya?? Betapa banyak sikap durhaka di zaman ini..!!! …Maka kenalilah (hakikat) dirimu di rumahmu !!, bagaimanakah kesabaranmu tatkala engkau menghadapi anak-anakmu??, tatkala menghadapi istrimu??, bagaimana kesabaranmu menjalankan tanggung jawab rumah tangga??. (Dan camkanlah bahwa) orang yang tidak bisa mengatur rumah tangganya bagaimana ia bisa memimpin umat??, inilah rahasia sabda Nabi ﷺ “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya”…))[8]
Sabda Nabi ﷺ diatas bukanlah perkara yang aneh, karena seorang muslim –siapapun juga orangnya- tidak akan bisa memperoleh sifat yang mulia di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin kecuali jika setelah mampu untuk bermu’amalah dengan baik di keluarganya. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan bagian terkecil dalam masyarakat, jika ia mampu untuk bermu’amalah dengan baik di keluarganya maka seakan-akan hal ini merupakan persaksian baginya bahwa ia telah siap (ahli) untuk menjadi bagian yang bermanfaat bagi masyarakat.[9]
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Sikap engkau terhadap istrimu hendaknya sebagaimana harapan engkau akan sikap suami putrimu sendiri. Maka sikap bagaimanakah yang kau harapkan dari lelaki tersebut untuk menyikapi putrimu??, apakah engkau ridho jika ia menyikapi putrimu dengan kasar dan kaku?. Jawabannya tentulah tidak. Jika demikian maka janganlah engkau menyikapi putri orang lain dengan sikap yang engkau tidak ridho jika diarahkan kepada putrimu sendiri. Ini merupakah kaidah yang hendaknya diketahui setiap orang….”[10]
Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengingatkan diri penulis pribadi dan juga kepada kaum muslimin untuk berusaha menjadi orang yang terbaik bagi istri-istri mereka.
"Surat dari Suami Buat Para Suami”
Kehidupan rumah tangga yang penuh kemesraan dan kebahagiaan tentunya merupakan dambaan semua orang. Kehidupan yang dipenuhi ketenteraman jasmani dan rohani, penuh dengan keimanan dan kemesraan. Namun kenyataan yang terjadi… betapa banyak orang yang kehilangan kebahagiaan ini…???, bahkan yang lebih parah…betapa banyak kehidupan rumah tangga yang harus berakhir dengan perpisahan dengan penuh kebencian…???. Kebahagiaan yang tadinya sangat diharapkan akhirnya berakhir dengan permusuhan di antara dua sejoli…???
Sebagian rumah tangga bisa berjalan tanpa perpisahan, namun….tidak ada aroma kemesraan…, tidak ada kasih sayang…., tidak ada canda…., tidak ada tawa….???. Kehidupan yang terasa kaku…..!!!
Bukankah rumah tangga adalah sarana yang sangat memungkinkan untuk meraih kebahagiaan di antara dua sejoli…???
Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم : 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. 30:21)
Namun yang menjadi pertanyaan kenapa sering didapati rumah tangga yang kosong dari kemesraan… yang ada hanyalah kekakuan…???
Yang lebih aneh lagi ternyata terkadang didapati kondisi seperti ini pada dua pasang sejoli yang dikenal berpegang dengan sunnah-sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam …???
Tentunya sebab-sebab timbulnya hal ini banyak, namun sebab utama yang biasanya terjadi adalah kedua pasang sejoli atau salah satunya tidak menunaikan tugas-tugas rumah tangganya dengan baik sesuai dengan syari’at Islam. Jika sang istri benar-benar menjadi istri yang shalihah yang menjalankan tugas rumah tangganya dengan baik, demikian juga sang suami benar-benar merupakan suami yang sejati yang menunaikan tugasnya dengan baik maka tidak diragukan lagi janji Allah bahwasanya kebahagiaan dan kemesraan akan diperoleh dalam pernikahan.
Adapun tulisan yang ada dihadapan para pembaca yang budiman terfokus pada bagaimana usaha untuk bisa menjadi suami yang sejati…???. Suami yang didambakan setiap wanita…, suami yang dimimpikan oleh setiap istri..???
Tentunya keberadaan suami yang sejati yang menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang suami merupakan sebab utama kelanggengan romantisnya kehidupan rumah tangga. Apalagi permasalahan perceraian berada di tangan seorang suami…!!
Namun yang sangat menyedihkan, kita dapati sebagian suami memiliki sikap ingin menang sendiri…, dia ingin istrinya menjadi istri yang sholehah yang mentaati semua perkataannya…yang tidak pernah protes…yang memahami dan mengamalkan sabda Nabi r
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”. HR AT-Thirmidzi no 1159, Ibnu Majah no 1853 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat As-Shahihah no 3366)
Sang suami ingin agar istrinya selalu berpenampilan menarik dihadapannya… dan masih banyak keinginan yang lainnya…
Namun di lain sisi dia sendiri tidak memperhatikan penampilannya tatkala berhadapan dengan istrinya…sama sekali tidak mau mengalah di hadapan istrinya….sekakan-akan jika ia telah memberi nafkah kepada istrinya berarti telah selesai tugasnya…!!!!, apakah demikian sosok Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang suami teladan…???. Apakah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat disibukkan dengan urusan dakwah dan urusan negara melalaikan istri-istrinya..???.
Baca juga: Perselisihan dalam rumah tangga
Wahai para suami renungkanlah sabda dan nasihat Nabi kalian Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam, suami teladan umat ini…
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku” (HR At-Thirmidzi no 3895 dari hadits Aisyah dan Ibnu Majah no 1977 dari hadits Ibnu Abbas dan dishahihakan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 285))
Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”. (HR At-Thirmidzi no 1162 dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Majah no 1987 dari hadits Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 284))
Hadits yang sangat agung ini banyak dilalaikan oleh para suami…padahal hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa menjadi seorang suami yang terbaik bagi istrinya merupakan tanda baiknya seseorang???, tidak cuma sampai di sini, bahkan merupakan tanda sempurnanya keimanan..???
Oleh karena itu Imam Malik berkata, “Wajib bagi seorang suami berusaha untuk menjadikan dirinya dicintai oleh istri-istrinya hingga ialah yang menjadi orang yang paling mereka cintai” (Faidhul Qodiir III/496, Al-Munawi berkata, “Di kitab Tadzkiroh Ibnu ‘Irooq, dari Imam Malik ia berkata….)
Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni:
((Hadits ini adalah hadits yang sangat agung, banyak orang lalai akan agungnya kandungan hadits ini. Tatkala wanita adalah sosok yang lemah maka seorang lelaki diuji dengan wanita, karena barangsiapa yang akhlaknya sombong dan keras maka akan nampak akhlaknya tersebut tatkala ia menguasai orang lain. Dan seburuk-buruk penguasaan adalah terhadap sosok yang lemah yang berada dibawah kekuasaannya. Orang yang akhlaknya buruk dan rendah serta kurang kasih sayangnya akan terungkap akhlaknya tatkala ia bermu’amalah dengan orang-orang yang lemah. Bahkan sikap menguasai (semena-mena) terhadap orang-orang yang lemah adalah (pada hakikatnya) merupakan sikap sosok yang lemah (kepribadiannya). Kalau mereka memang kuat (kepribadiannya) dalam akhlak mereka maka hati mereka tidak akan keras terhadap orang-orang yang membutuhkan kasih sayang. Barangsiapa yang bisa menguasai dirinya tatkala berhadapan (bermu’amalah) dengan mereka (orang–orang yang lemah) maka akan nampaklah kemuliaannya. Oleh karena itu Al-Mubarokfuri berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV/273) tatkala menjelaskan lafal hadits yang kedua (di atas), “Karena mereka (para wanita) merupakan tempat untuk meletakkan kasih sayang disebabkan lemahnya mereka”…)) (Al-Mau’idzoh Al-Hasanah hal 75)
Sebagian orang bingung kenapa seorang yang baik terhadap istirinya maka ia merupakan orang yang terbaik???
Berkata As-Sindi, “Dan bisa jadi orang yang disifati dengan sifat ini (baik terhadap istri) akan mendapatkan taufiq (dari Allah) pada seluruh amalan sholeh hingga jadilah ia terbaik secara mutlaq” (Sebagaimana dinukil oleh Syaikh Abdul Malik Romadhoni dalam Al-Mau’idzoh Al-Hasanah hal 75)
Berkata Asy-Syaukani, “Sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ((Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istri-istri mereka)) dan juga pada hadits yang lain ((Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya)), pada kedua hadits ini ada peringatan bahwasanya orang yang tingkat kebaikannya tertinggi dan yang paling berhak untuk disifati dengan kebaikan adalah orang yang terbaik bagi istrinya. Karena istri adalah orang yang berhak untuk mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian manfaat dan penolakan kemudhorotan. Jika seorang lelaki bersikap demikian maka dia adalah orang yang terbaik, namun jika keadaannya adalah sebaliknya maka dia telah berada di sisi yang lain yaitu sisi keburukan.
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu dengan orang lain (selain istrinya) maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi barangsiapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufiq (petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon keselamatan kepada Allah.” (Nailul Author VI/360)
Berkata Syaikh Abdul Malik, ((Betapa banyak kita dapati seseorang tatkala bertemu dengan sahabatnya di tempat kerja maka ia akan bersifat mulia dan lembut, namun jika ia kembali ke rumahnya maka jadilah orang yang pelit, keras, dan menakutkan !!!, padahal orang yang paling berhak untuk ia lembuti dan ia baiki adalah istrinya…hakikat seseorang lebih terungkap di rumahnya daripada tatkala ia di luar rumah. Ini merupakan kaidah yang baku. Rahasia kaidah ini adalah karena seseorang bisa menampak-nampakkan akhlak yang baik tatkala ia di luar rumah dan ia bisa bersabar dalam menampakan akhlak yang baik tersebut karena waktu pertemuannya dengan orang-orang di luar rumahnya hanyalah sebentar. Ia bertemu dengan seseorang setengah jam, dengan orang yang kedua selama satu jam, dan dengan orang yang ketiga lebih cepat atau lebih lama, sehingga ia mampu sabar berhadapan dengan mereka dengan menampak-nampakan akhlak yang baik dan sosok palsunya yang bukan sosok aslinya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pegawai…akan tetapi ia tidak mampu bertahan di atas kepribadian yang bukan asli di rumahnya sepanjang hidupnya…
Akhlak asli seseorang bisa diperiksa tatkala ia di rumahnya, di situlah akan tampak sikap kerasnya dari sikap kelembutannya, terungkap sikap pelitnya dari sikap kedermawanannya, terungkap sikapnya yang terburu-buru dari sikap kesabarannya, bagaimanakah ia bermu’amalah dengan ibunya dan ayahnya?? Betapa banyak sikap durhaka di zaman ini..!!! …Maka kenalilah (hakikat) dirimu di rumahmu !!, bagaimanakah kesabaranmu tatkala engkau menghadapi anak-anakmu??, tatkala menghadapi istrimu??, bagaimana kesabaranmu menjalankan tanggung jawab rumah tangga??. (Dan camkanlah bahwa) orang yang tidak bisa mengatur rumah tangganya bagaimana ia bisa memimpin umat??, inilah rahasia sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya”…)) (Al-Mau’idzoh Al-Hasanah hal 77-79)
Sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di atas bukanlah perkara yang aneh, karena seorang muslim –siapapun juga orangnya- tidak akan bisa memperoleh sifat yang mulia di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin kecuali jika setelah mampu untuk bermu’amalah dengan baik di keluarganya. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan bagian terkecil dalam masyarakat, jika ia mampu untuk bermu’amalah dengan baik di keluarganya maka seakan-akan hal ini merupakan persaksian baginya bahwa ia telah siap (ahli) untuk menjadi bagian yang bermanfaat bagi masyarakat. (Al-Asaaliib An-Nabawiyah fi mu’aalajah al-musykilah az-zaujiyah hal 17)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Sikap engkau terhadap istrimu hendaknya sebagaimana harapan engkau akan sikap suami putrimu sendiri. Maka sikap bagaimanakah yang kau harapkan dari lelaki tersebut untuk menyikapi putrimu??, apakah engkau ridho jika ia menyikapi putrimu dengan kasar dan kaku?. Jawabannya tentulah tidak. Jika demikian maka janganlah engkau menyikapi putri orang lain dengan sikap yang engkau tidak ridho jika diarahkan kepada putrimu sendiri. Ini merupakah kaidah yang hendaknya diketahui setiap orang….” (Asy-Syarhul Mumti’ XII/381)
Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengingatkan diri penulis pribadi dan juga kepada kaum muslimin untuk berusaha menjadi orang yang terbaik bagi istri-istri mereka.
Kehidupan rasulullah bersama istri-istri beliau
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam …beliau adalah seorang kepala negara, seorang hakim, beliau adalah tempat para sahabat menyampaikan permasalahan mereka…, tempat menyampaikan keluh kesah mereka…. Kehidupan beliau penuh dengan ibadah…, waktu beliau dihabiskan untuk memikirkan umat ini…, menebarkan dakwah Islam ke penjuru alam.., berjihad menegakkan kalimat Allah…, memikirkan seluk beluk urusan negara…, namun kendati demikian beliau sama sekali tidak melalaikan hak-hak istri-istri beliau, beliau tetap meluangkan waktu untuk menyenangkan hati istri-istri beliau.
Sungguh benar firman Allah
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم : 4 )
“Sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas budi pekerti yang luhur” (Q.S. Al Qolam : 4)
Beliaulah orang yang paling tinggi dan luhur budi pekertinya tatkala bermu’amalah dengan manusia…, demikian juga beliaulah orang yang paling luhur budi pekertinya tatkala bermu’amalah dengan istri-istri beliau.
Beliau berkata, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي “Dan aku adalah orang yang paling terbaik di antara kalian terhadap istriku” (HR AT-Thirmidzi no 1159, Ibnu Majah no 1853 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat As-Shahihah no 3366))
Marilah kita telusuri sebagian kehidupan rumah tangga Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam untuk berusaha mencontohi beliau agar kebahagiaan dan keindaahan kehidupan rumah tangga bisa kita rasakan dan bisa kita nikmati[1].
Silsilah sejarah pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam
Sebelum kita menelusuri sebagian kehidupan rumah tangga Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersama istri-istrinya maka sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu siapakah para ummahatul mukminin tersebut??, bagaimanakah silsilah sejarah pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan mereka??, sehingga kita memiliki sedikit gambaran tentang kehidupan rumah tangga Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
1) Khadijah binti Khuwailid
Istri pertama Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad. Dan umur beliau shallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menikahi Khadijah adalah dua puluh lima tahun[2], sedangkan Khadijah berumur dua puluh delapan tahun[3] . Khadijah adalah istri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang paling dekat nasabnya dengan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam [4]. Semua anak-anak Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam merupakan anak Khadijah kecuali Ibrohim. Khadijah adalah seorang wanita yang kaya dan cantik serta memilki kedudukan yang tinggi di masyarakat sehingga banyak orang Quraisy yang ingin menikahinya akan tetapi hatinya terpikat pada sosok seorang pemuda yang tidak memiliki harta namun memiliki budi pekerti yang luhur dan tinggi, dialah Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam. Khodijahlah yang telah berkorban harta dan jiwanya untuk membela kenabian Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, menenangkan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam gelisah, meyakinkan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berada di atas kebenaran. Beliaulah yang telah berkata kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan yang indah yang terabadikan di buku-buku hadits tatkala Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِي “Aku mengkhawatirkan diriku”[5], maka Khadijah berkata,
كَلاَّ أَبْشِرْ فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّح
“Sekali-kali tidak, bergembiralah !!!. Demi Allah sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah”[6]
Demikianlah sikap Khadijah yang mulia untuk menenangkan dan meyakinkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai Khadijah, beliau terang-terangan menyatakan cintanya dan mengakui keutamaan dan kemuliaan Khadijah, sampai-sampai Aisyah berkata,
مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتَهَا وَلَكِنْ كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يَقْطَعُهَا أَعْضَاءَ ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيْجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ فَيَقُوْلُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Aku tidak pernah cemburu pada seorangpun dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kecemburuanku pada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebut namanya. Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih seekor kambing kemudian beliau memotong-motongnya lalu mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Terkadang aku berkata kepadanya, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita yang lain kecuali Khadijah”, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia itu wanita yang demikian dan demikian[7] dan aku dahulu memiliki seorang putra darinya….” (HR Al-Bukhari III/1389 no 3907)
Aisyah cemburu kepada Khadijah padahal Khadijah telah meninggal dunia…!!!
Khadijah wafat tiga tahun sebelum hijroh[8]. Dan tatkala Khadijah wafat maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sedih sekali hingga tahun wafatnya Khadijah disebut dengan “Tahun kesedihan” –dan telah meninggal pada waktu itu juga paman beliau Abu Tholib-”
Selanjutnya marilah kita cermati perkataan Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- (Lihat Zaadul Ma’ad I/105-113) yang menceritakan silsilah sejarah pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata,
2) Kemudian beberapa hari setelah itu beliau menikahi Saudah binti Zam’ah Al-Qurosyiah, dialah yang telah menghadiahkan hari gilirannya (giliran nginap Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di rumah istri-istrinya) bagi Aisyah.
3) Kemudian beliau menikah dengan Ummu Abdillah ‘Aisyah As-Siddiqoh binti As-Shiddiq yang telah dinyatakan kesuciannya oleh Allah dari atas langit yang tujuh. Kekasih Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, putri Abu Bakar As-Shiddiq, malaikat telah menampakkan Aisyah kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sebelum Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya dalam mimpi beliau dimana Aisyah tertutup wajahnya dengan selembar kain dari kain sutra lalu malaikat itu berkata, “Inilah istrimu (bukalah kain penutup wajahnya)” ( HR Al-Bukhari III/1415 no 3682 dan Muslim IV/1889 no 2438).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya pada bulan Syawwal dan umurnya adalah enam tahun. Dan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menggaulinya pada Syawwal pada tahun pertama Hijroh ketika umurnya sembilan tahun. Dan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikahi seorang perawanpun selain Aisyah, dan tidaklah turun wahyu kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersama istrinya dalam satu selimut selain selimut Aisyah. Beliau adalah wanita yang paling dicintai Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Turun wahyu dari langit menjelaskan terbebasnya beliau dari tuduhan zina, dan umat sepakat akan kafirnya orang yang menuduhnya berzina. Dia adalah istri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang paling paham agama dan yang paling pandai, bahkan terpandai di antara para wanita umat ini secara mutlak. Para pembesar sahabat kembali kepada pendapatnya dan meminta fatwa kepadanya. Dikatakan bahwa beliau keguguran namun khabar ini tidak benar.
4) Kemudian Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Hafshoh binti Umar bin Al-Khotthob. Abu Dawud menyebutkan bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menceraikannya kemudian ruju’ (kembali) lagi kepadanya.
5) Kemudian Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Khuzaimah bin Al-Harits Al-Qoisiyah dari bani Hilal bin ‘Amir. Dan beliau wafat di sisi Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam setelah tinggal bersamanya selama dua bulan.
6) Kemudian beliau menikah dengan Ummu Salamah Hind binti Abi Umayyah Al-Qurosyiah Al-Makhzumiah, nama Abu Umayyah adalah Hudzaifah bin Al-Mughiroh. Ia adalah istri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang paling terakhir wafatnya[9]. Dan dikatakan bahwa yang paling terakhir wafat adalah Shofiah…
7) Kemudian beliau menikahi Zainab binti Jahsy dari bani Asad bin Khuzaimah dan dia adalah anak Umayyah bibi Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dialah yang tentangnya turun firman Allah
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (QS. 33:37)
Dan dengan kisah inilah maka ia berbangga di hadapan para istri-istri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, ia berkata, “Kalian dinikahkan oleh keluarga kalian, adapun aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang ke tujuh”. Oleh karena itu di antara keistimewaannya adalah Allahlah yang telah menikahkannya dengan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Ia wafat di awal kekhalifahan Umar bin Al-Khotthob[10]. Dahulunya ia adalah istri Zaid bin Haritsah dan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya. Tatkala Zaid menceraikannya maka Allahpun menikahkannya dengan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam agar umat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bisa mencontohi Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi istri-istri anak-anak angkat mereka.
8) Kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Juwairiyah binti Al-Harits bin Abi Dhiror Al-Mushtholiqiah dan ia merupakan tawanan bani Mushtholiq (Kabilah Yahudi) lalu iapun datang menemui Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam meminta agar Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam membantu penebusannya. Maka Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menebusnya dan menikahinya.
9) Kemudian Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habibah dan namanya adalah Romlah binti Abi Sufyan Sokhr bin Harb Al-Qurosyiah Al-Umawiah. Dan dikatakan namanya adalah Hind. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya dan Ummu Habibah sedang berada di negeri Habasyah karena berhijroh dari Mekah ke negeri Habasyah. Najasyi memberikan mahar atas nama Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Habibah sebanyak empat ratus dinar. Lalu ia dibawa dari Habasyah kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam (di Madinah). Ummu Habibah meninggal di masa pemerintahan saudaranya Mu’awiyah…
10) Kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Sofiyah binti Huyai bin Akhthub pemimpin bani Nadhir dari keturunan Harun bin Imron ‘alaihissalam saudara Musa ‘alaihissalam. Ia adalah putri (keturunan) nabi (Harun ‘alaihissalam) dan istri Nabi ‘alaihissalam. Ia termasuk wanita tercantik di dunia. Dahulunya ia adalah tawanan seorang (budak) Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam kemudian Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dan menjadikan pembebasannya sebagai maharnya…[11]
11) Kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah binti Al-Haritsah Al-Hilaiah dan ia adalah wanita terakhir yang dinikahi oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya di Mekah pada waktu Umroh Al-Qodho’ setelah beliau tahallul –menurut pendapat yang benar-…, beliau wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah..
12) Dan dikatakan bahwa termasuk istri-istri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam adalah Roihanah binti Zaid An-Nasroniah dan dikatakan juga Al-Qurozhiah, ia ditawan pada waktu perang bani Quroizhoh maka tatkala itu ia adalah tawanan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dan menikahinya, kemudian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menceraikannya sekali kemudian ruju’ (kembali) kepadanya. Dan sekelompok (ulama) yang lain menyatakan bahwa Roihanah adalah budak Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam yang digauli oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Dan terus menjadi budaknya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka dia terhitung termasuk budak-budak Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan termasuk istri-istri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Dan pendapat yang pertama adalah pilihan Al-Waqidi dan disetujui oleh Syarofuddin Ad-Dimyathi dan dia mengatakan bahwa pendapat inilah yang lebih kuat menurut para ahli ilmu. Namun perkataannya itu perlu dicek kembali karena yang dikenal bahwasanya Roihanah termasuk budak-budak Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam[12].
Perhatian [13]
Sesungguhnya seluruh pernikahan yang dilakukan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah untuk memuaskan syahwat beliau akan tetapi memiliki tujuan yang mulia dan menghasilkan kemaslahatan yang banyak.( Lihat penjelasan Syaikh Utsaimin tentang hikmah poligaminya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/11). Jika memang Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ingin memuaskan syahwatnya maka tentu beliau akan menikahi para gadis sebagaimana inilah yang beliau anjurkan kepada para sahabat beliau untuk menikahi para gadis perawan. Namun ternyata di antara istri-istri beliau hanya Aisyah saja yang masih gadis tatkala dinikahi. (Asy-Syarhul Mumti’ XII/11)
Diantara kemaslahatan-kemaslahatan yang diperoleh dari poligaminya Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
1. Kemaslahatan yang berkaitan dengan nilai kemanusiaan
Lima istri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam umur mereka berkisar antara 40 sampai 60 tahun tatkala dinikahi oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.[14] Beliau menikahi mereka dan mereka dalam keadaan sulit, tidak ada yang memperhatikan dan membantu urusan perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi mereka dan memelihara anak-anak mereka, terlebih lagi mereka adalah termasuk para wanita yang pertama kali masuk Islam dan suami-suami mereka telah wafat tatkala berjihad fi sabilillah. Ini merupakan sifat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang menikahi para wanita yang suami mereka telah wafat di medan pertempuran.
– Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Khuzaimah dan umurnya mendekati 60 tahun setelah suaminya Ubaidah bin Al-Harits mati syahid di perang Badar, maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam pun mengayominya setelah Zainab bersabar tatkala kehilangan suaminya. Dan selang beberapa bulan kemudian Zainabpun wafat.
– Sebagaimana Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah) setelah suaminya mati syahid di perang Uhud. Ia meninggalkan lima orang anak dan tidak ada orang yang mengayomi mereka dan Ummu Salamah telah mencapai masa tua. Sampai-sampai tatkala Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ingin melamarnya maka Ummu Salamah menyampaikan kekurangan-kekurangannya kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, namun Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersikeras menikahinya untuk mengayominya.
Ummu Salamah bercerita tentang dirinya :
Abu Salamah mendatangiku pada suatu hari dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku telah mendengar dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam sebuah perkataan yang menggembirakanku. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
لاَ تُصِيْبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مُصِيْبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيْبَتِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ اَللَّهُمَّ آجِرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ فَعَلَ ذَلكِ َبِهِ
"Tidaklah seorang muslimpun yang ditimpa musibah kemudian ia beristirjaa’ (yaitu mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun) lalu mengucapkan (berdoa), “Ya Allah berilah aku pahala pada musibah yang menimpaku ini dan gantikanlah bagiku yang lebih baik darinya” kecuali Allah akan mengabulkannya”[15].
Maka aku (Ummu Salamah) pun menghapalkan doa itu dari Abu Salamah. Tatkala Abu Salamah wafat akupun beristrijaa’ dan aku berkata “Ya Allah berilah aku pahala pada musibah yang menimpaku ini dan gantikanlah bagiku yang lebih baik dari Abu Salamah”. Kemudian aku kembali merenungkan diriku, aku berkata, “Dari mana aku bisa memperoleh yang lebih baik dari Abu Salamah”. Tatkala selesai masa iddahku Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin kepadaku (untuk menemuiku) dan aku sedang menyamak kulit. Lalu aku mencuci tanganku dari daun Qorzh (yaitu daun khusus yang digunakan untuk menyamak kulit) dan aku mengizinkannya. Aku meletakkan sebuah bantal yang di dalamnya terdapat kulit yang digulung maka Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk di atasnya lalu melamarku. Tatkala beliau selesai dari ucapannya maka aku berkata kepadanya,
يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا بِي أَنْ لاَ تَكُوْنَ بِكَ الرَّغْبَةُ فِي وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ فِي غَيْرَةٍ شَدِيْدَةٍ فَأَخَافُ أَنْ تَرَى مِنِّى شَيْئًا يُعَذِّبُنِىَ اللهُ بِهِ وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دَخَلْتُ فِي السِّنِّ وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ
“Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak ingin denganmu, akan tetapi aku adalah seorang wanita yang sangat pencemburu maka aku khawatir engkau akan melihat dariku sesuatu (sikap) yang menyebabkan Allah mengadzabku, dan aku adalah seorang wanita yang telah masuk masa tua, serta aku memiliki banyak anak”.
(Dalam riwayat yang lain ia berkata, مِثْلِي لاَ يُنْكَحُ أَمَّا أَنَا فَلاَ وَلَدَ فِيَّ “Wanita yang seperti aku tidaklah dinikahi. Adapun aku maka aku tidak melahirkan..”[16])
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغِيْرَةِ فَسَوْفَ يُذْهِبُهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْكِ وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّنِّ فَقَدْ أَصَابَنِي مِثْلُ الَّذِي أَصَابَكِ وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي
“Adapun rasa cemburu yang amat sangat yang telah engkau sebutkan maka Allah akan menghilangkannya darimu. Adapun umur yang tua maka akupun telah tua seperti kamu. Dan adapun anak-anakmu yang banyak maka mereka adalah tanggunganku”. Ummu Salamah berkata, “Akupun menyerahkan diriku pada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam”, lalu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya dan berkata Ummu Salamah,
فَقَدْ أَبْدَلَنِيَ اللهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلمِ
“Allah telah menggantikan untukku yang lebih dari Abu Salamah yaitu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam”
Renungkanlah para pembaca yang budiman…apakah orang yang senangnya hanya menikah untuk memenuhi hawa nafsunya menikahi wanita seperti Ummu Salamah yang telah tua, telah mencapai masa monepous, pencemburu, dan memiliki banyak anak??. Apakah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu untuk menikahi para gadis perawan yang cantik jelita jika dia menghendaki demikian??. Akan tetapi Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang lebih utama untuk menikahi Ummu Salamah karena Ummu Salamah adalah janda dari saudara sepersusuan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus anak bibi Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Barroh binti Abdul Muttholib) yang telah mati syahid di jalan Allah yaitu Abdullah bin Abdu Asad Al-Makhzumi.
– Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam juga menikahi Saudah binti Zam’ah yang tatkala itu telah berumur 55 tahun setelah meninggalnya suaminya Sukron bin ‘Amr. Dan Saudah merasa takut fitnah yang akan menimpa agamanya jika ia kembali ke keluarganya sepeninggal suaminya. Bahkan bisa jadi keluarganya akan membunuhnya karena ia telah keluar dari agama nenek moyang mereka dan masuk Islam. Tatkala Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memahami kondisinya yang dia adalah wanita mukminah yang telah berhijrah bersama suaminya ke negeri Habasyah yang sabar dengan segala ujian yang dihadapinya demi menempuh jalan Allah, maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bertekad untuk menikahinya demi menjaga kemuliaannya dan melindunginya dari gangguan orang-orang musyrik serta mentarbiahnya.
– Pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah Romlah binti Abi Sufyan. Ia termasuk para wanita yang pertama kali masuk Islam. Ayahnya Abu Sufyan dan juga Ibunya termasuk gembong-gembong kekafiran tatkala itu dan yang paling keras terhadap Islam. Maka iapun meninggalkan mereka berdua berhijroh bersama suaminya (Abdullah bin Jahsy) ke negeri Habasyah. Namun di negeri Habasyah suaminya Abdullah bin Jahsy murtad dan masuk dalam agama Nasrani. Meskipun demikian ia tetap tegar menghadapi ujian ini meskipun ia tahu bahwa ia akan kehilangan seluruh keluarganya, ayahnya, ibunya, bahkan suaminya, tinggallah ia sendiri jauh di tempat yang asing. Jika ia kembali ke orang tuanya di Mekah maka mereka pasti akan memaksanya kembali ke kesyirikan, jika ia pergi ke Madinah maka kemanakah ia harus pergi…?? Ia tidak memiliki keluarga di sana..??!!. Tatkala Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam (yang tatkala itu di Madinah) mengetahui kondisinya dan musibah yang menimpanya dan tegarnya ia menghadapi segala ujian maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam pun ingin menikahinya. Beliau mengirim utusan kepada Najasyi (raja negeri Habasyah) agar menjadi wakilnya untuk menikahkan Ummu Habibah dengannya. Maka Ummu Habibahpun sangat gembira dan dia mengetahui bahwa Allah telah mengganti musibahnya dengan yang lebih baik, serta jadilah ia termasuk salah satu dari Ummahaatul Mukminin. Maka hikmah dari pernikahan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah adalah untuk memuliakan Ummu Habibah, menyelamatkannya dari fitnah, untuk tetap menegarkan agamanya, serta untuk mengambil hati bani Abdu Syams. Hingga tatkala pernikahan ini diketahui oleh ayahnya –yaitu Abu Sufyan dan masih kafir- ia berkata, “Rasulullah adalah memang pantas buat putrinya”
2. Kemaslahatan yang berkaitan dengan syari’at.
Pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Aisyah dan Zainab binti Jahsy mengandung kemaslahatan syari’at.
– Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah dengan wahyu dari Allah[17] untuk menghapuskan adat mengikat tali persaudaraan yang berlaku di antara bangsa Arab sebelum Islam, di mana jika telah terjalin persaudaraan antara dua orang jadilah mereka sama dalam nasab. Oleh karena itu haram bagi salah satunya untuk menikahi putri sahabatnya yang telah mengikrarkan tali persaudaraan dengannya. Antara Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar telah terjalin tali persaudaraan namun Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi putri Abu Bakar untuk menjelaskan kepada umat bahwa adat yang berlaku di kalangan bangsa Arab adalah adat yang batil dan bertentangan dengan syari’at Islam.
Selain itu pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Aisyah yang berumur muda dan cerdas mendatangkan maslahat yang sangat penting yaitu Aisyah meriwayatkan banyak hadits dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam serta meriwayatkan hadits-hadits yang berkaitan dengan kegiatan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah yang sulit untuk diketahui oleh para sahabat pada umumnya. Dan ini merupakan salah satu bentuk penjagaan keutuhan syari’at Islam (sunnah-sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam)
– Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy, inipun untuk menghapus adat yang berlaku dikalangan bangsa Arab sebelum datanganya Islam, dimana jika seseorang mengangkat seorang anak maka anak angkat tersebut mengambil hukum seperti anak keturunannya asli sehingga sang anak angkat dinasabkan kepadanya.
Allah melarang hal ini dengan firmanNya
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ (الأحزاب : 5 )
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (QS. 33:5)
Termasuk akibat dari disamakannya hukum anak angkat dengan anak keturunan adalah penerapan hukum yang berkaitan dengan pernikahan dan hal warisan. Maka seseorang tidak boleh menikah dengan bekas istri anak angkatnya sebagaimana ia tidak boleh menikah dengan bekas istri anak keturunannya. Pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab adalah dengan perintah Allah untuk menghilangkan adat ini, karena di antara tujuan diturunkannya syari’at adalah untuk meluruskan kesalahan-kesalahan yang berlaku di adat kaum muslimin. Oleh karena itu tatkala Zaid bin Haritsah (yang ia merupakan anak angkat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam) menceraikan istrinya Zainab binti Jahsy maka Allah memerintah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab.
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَراً زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَراً وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. 33:37)
3. Kemaslahatan politik
Tidak diragukan lagi bahwa diantara sarana dakwah adalah mengambil hati orang yang didakwahi dan hal ini bisa ditempuh dengan jalur pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
– Pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Jauriyah binti Al-Harits
Jauriyah adalah seorang wanita Yahudi dari kabilah bani Mushtholiq. Ayahnya adalah pemimpin kaumnya. Oleh karena itu di antara kemaslahatan pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Juariyah adalah untuk menarik hati ayahnya dan juga kaumnya. Siasat seperti bukanlah perkara yang aneh, di antaranya telah terbukti tatkala sahabat At-Thufail bin ‘Amr Ad-Dausi masuk Islam –dan dia adalah pemimpin kabilah Daus- maka tujuh puluh orang dari kabilah Dauspun ikut masuk Islam bersamanya. Demikian juga yang terjadi pada pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Juairiyah dimana ayahnya, saudara laki-lakinya, dan banyak orang dari kaumnya akhirnya masuk dalam Islam dan kemudian mereka menjadi para pembela Islam, padahal dahulunya mereka adalah musuh yang paling keras dalam menentang Islam.
– Pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Maimunah binti Al-Harits
Pernikahan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Maimunah memperkuat hubungan silaturahmi antara beliau shallahu ‘alaihi wa sallam dengan paman beliau Abbas karena Maimunah adalah saudara seibu Asma’ binti ‘Umais, juga menarik Kholid bin Al-Walid untuk masuk Islam karena Maimunah adalah saudara seibu Kholid bin Al-Walid. Pernikahan ini juga menjalin hubungan kekeluargaan dengan kabilahnya Maimunah yaitu kabilah bani Hilal yang termasuk kabilah-kabilah Arab yang tinggi.
Penulis: Dr. Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja, Lc. M. A
Tulisan ini Berseri:
1.Suami Sejati || 2.Suami Sejati || 3. Suami Sejati || 4. Suami Sejati || 5. Suami Sejati || 6. Suami Sejati #6 ||
____
Footnote
[1] HR AT-Thirmidzi no 1159, Ibnu Majah no 1853 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat As-Shahihah no 3366)
[2] HR At-Thirmidzi no 3895 dari hadits Aisyah dan Ibnu Majah no 1977 dari hadits Ibnu Abbas dan dishahihakan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 285)
[3] HR At-Thirmidzi no 1162 dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Majah no 1987 dari hadits Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 284)
[4] Faidhul Qodiir III/496, Al-Munawi berkata, “Di kitab Tadzkiroh Ibnu ‘Irooq, dari Imam Malik ia berkata….
[5] Al-Mau’idzoh Al-Hasanah hal 75
[6] Sebagaimana dinukil oleh Syaikh Abdul Malik Romadhoni dalam Al-Mau’idzoh Al-Hasanah hal 75
[7] Nailul Author VI/360
[8] Al-Mau’idzoh Al-Hasanah hal 77-79
[9] Al-Asaaliib An-Nabawiyah fi mu’aalajah al-musykilah az-zaujiyah hal 17
[10] Asy-Syarhul Mumti’ XII/381
____
Catatan Kaki:
[1] Barangsiapa yang hendak memperoleh kebahagiaan haqiqi dalam kehidupan berumah tangga…bukan hanya di dunia akan tetapi terus berlanjut hingga di akhirat…, maka hendaknya dia meneladani Nabinya shallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Bukankah Allah telah berfirman
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. (QS. 24:54)
Namun yang sangat menyedihkan, banyak kaum muslimin yang berusaha mencari kebahagiaan dengan melalui jalan-jalan selain jalan nabi mereka. Banyak diantara mereka yang menonton acara-acara telenovela yang menceritakan kehidupan rumah tangga dan bagaimana cara memperoleh kebahagiaan…, bagaimana membahagiakan istri…, bagaimana menghadapi permasalahan keluarga…, dan seterusnya…
Lalu mereka berusaha menerapkan apa yang mereka nonton tersebut dalam kehidupan mereka…. !!!??
Bukankah mereka tahu (ataukah mungkin mereka lupa??) bahwa acara yang mereka tonton adalah menceritakan kehidupan orang-orang kafir…yang jiwa mereka sendiri kosong dari kebahagiaan…??!!
Allah berfirman
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (QS. 20:124)
Bagaimana mungkin Allah menjadikan hati mereka tenang jika mereka berpaling dari Allah…kalaupun nampaknya mereka berbahagia maka itu hanyalah kebahagiaan semu…, tidakkah kita beriman dengan ayat Allah ini…???
Kemudian acara-acara telenovela itu bukankah hanya merupakan sandiwara belaka… bukan praktek nyata…??!!!
Tidak ada jalan lain jika kita ingin bahagia…ingin mengetahui cara membahagiakan istri kecuali yang harus kita contohi adalah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, suami teladan umat ini.
[2] Berkata Ibnu Hajar, “Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama” (Fathul Bari VII/134)
[3] Ini merupakan riwayat Ibnu Ishaq, adapun riwayat Al-Waqidi menunjukan bahwa Khadijah tatkala itu berumur 40 tahun. Berkata Doktor Akrom Dhiya’ Al-‘Umari, “Khodijah telah melahirkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dua orang putra dan empat orang putri, yang hal ini menguatkan riwayat Ibnu Ishaq (bahwasanya umur Khadijah tatkala menikah dengan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam adalah 28 tahun) karena pada umumnya wanita telah mencapai masa monepous sebelum mencapai lima puluh tahun). (Lihat As-Shiroh An-Nabawiyah As-Shahihah I/113) , selain itu menurut para ahli hadits Ibnu Ishaq lebih tsiqoh dalam periwayatan daripada Al-Waqidi.
[4] Karena Khadijah adalah binti Khuwailid bin Asad bin Abi Uzza bin Qushoi, dan nasabnya bertemu dengan nasab Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di Qushoi. Dan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menikah dari keturunan Qushoi selain Khodijah kecuali Ummu Habibah (Fathul Bari VII/134)
[5] Yaitu tatkala Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh Malaikat Jibril maka Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pun ketakutan dan beliau takut kalau beliau tersihir atau kemasukan jin
[6] HR Al-Bukhari I/4 no 3 dan Muslim I/139 no 160
Para pembaca yang budiman…lihatlah sifat-sifat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan oleh Khadijah semuanya kembali pada memberi manfaat kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka serta menghilangkan kesulitan mereka.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat kepada manusia (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 426)
Rasulullah r juga bersabda
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ سُرُوْرٌ يدُخْلِهُ ُعَلَى مُسْلِمٍ أَوْ يَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً أَوْ يَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا أَوْ يَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ( يعني مسجد المدينة ) شَهْرًا وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ _ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ _ مَلَأَ اللهُ قَلْبَهُ رَجَاءَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيْهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى تَتَهَيَّأَ لَهُ أَثْبَتَ اللهُ قَدَمَهُ يَوْمَ تَزُوْلُ الأَقْدَامُ وَإِنَّ سُوْءَ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ
Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah memasukan rasa gembira pada hati seorang muslim, atau mengangkat kesulitan yang dihadapinya, atau membayarkan hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku untuk menunaikan kebutuhannya lebih aku sukai daripada aku i’tikaf selama sebulan penuh di mesjid ini (mesjid Nabawi). Barangsiapa yang menahan rasa marahnya maka Allah akan menutup auratnya (keburukan-keburukannya) pada hari kiamat. Barangsiapa siapa yang menahan amarahnya –yang jika dia kehendaki maka bisa dia luapkan kemarahannya tersebut- maka Allah akan memenuhi hatinya dengan (selalu) mengharapkan hari kiamat. Barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya dalam suatu keperluan hingga ia siap untuk menunaikan kebutuhannya maka Allah akan mengkokohkan kakinya di hari dimana kaki-kaki akan tergelincir. Sesungguhnya akhlak yang buruk merusak amal sebagaimana cuka merusak madu. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 906)
Oleh karena itu barang siapa yang hendak menjadi pemegang panji pembela kebenaran, dalam mendakwahkan risalah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam maka ia harus berusaha merealisasikan sifat-sifat ini pada dirinya baik dalam perkataan maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagai bentuk teladan kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
Atau dengan ibarat lain yang lebih jelas bahwasanya barangsiapa yang memutuskan tali silaturahmi atau tidak memberi faedah kepada masyaratkat padahal ia memiliki kedudukan atau posisi penting, atau sikapnya keras terhadap fakir miskin dan orang-orang yang lemah, hatinya tidak tergugah dengan rintihan mereka, matanya tidak meneteskan air mata karena kasihan kepadanya, maka hendaknya janganlah ia berangan-angan menjadi pemegang panji utama pembela kebenaran, hendaknya ia menyerahkan panji tersebut kepada orang lain karena sesungguhnya ia belum layak menjadi penerus Muhammad dalam memimpin umatnya, Allahul Musta’aan…!!!!
[7] Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kebaikan-kebaikan Khadijah
[8] Zaadul Ma’ad I/105
[9] Yaitu pada tahun 62 H pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah (Zaadul Ma’aad I/114)
[10] Dan Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam yang pertama menyusul Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, beliau wafat pada tahun 20 H (Zaadul Ma’aad I/114)
[11] Langgengnya pernikahan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan Sofiyah menunjukan mulianya akhlak Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana tidak..??, ayah shofiyah, pamannya, dan suaminya tewas di medan pertempuran melawan kaum muslimin yang dipimpin oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau bukan akhlak Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna tentunya Shofiyah sebagaimana manusia biasa sewajarnya akan marah dan dendam kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam serta lebih condong untuk membela ayah, paman, dan suaminya. Sungguh benar firman Allah
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم : 4 )
“Sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas budi pekerti yang luhur”
[12] Budak-budak wanita Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ada empat diantaranya Maariyah (dialah yang melahirkan Ibrahim putra Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam), Roihaanah, seorang budak wanita yang cantik yang ditemukan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam diantara para tawanan, dan seorang budak wanita yang dihadiahkan oleh Zainab binti Jahsy kepada beliau shallahu ‘alaihi wa sallam (Zaadul Ma’aad I/114)
[13] Pembahasan tentang hikmah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berpoligami di bawah ini merupakan ringkasan dari tulisan ‘ilmiah yang berjudul “Al-Asaaliib Al-Mustambathoh min ta’aamul Rasulillah shallahu ‘alaihi wa sallam ma’a Zaujaatihi wa Atsaaruha At-Tarbawiyah” dari halaman 40-50”, disertai tambahan dari penulis
[14] Hal ini jika kita mengambil pendapat Al-Waqidi bahwa Khadijah berumur 40 tahun tatkala dinikahi oleh Nabi r
[15] HR Ahmad IV/27 no 16388
[16] HR Ahmad VI/307 no 26661 dan Ibnu Hibban ( Al-Ihsaan IX/372 no 4065)
[17] Sebagaimana telah lalu bahwasanya Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam melihat wajah Aisyah dalam mimpinya dan dikatakan bahwa Aisyah adalah istrinya.
Bersambung ke: Suami Sejati #2
Sumber: https://firanda.com/