"Pandanglah Wanita dengan Adil; Dusta yang Seperti Apa yang dibolehkan?"
Jangan memandang keburukan-keburukan wanita saja, namun lihatlah juga kelebihan-kelebihan yang dimilikinya
Hendaknya sang suami mengingat kebaikan-kebaikan istrinya, mengingat kelebihan-kelebihan yang dimiliki istrinya terutama tatkala sang suami sedang marah…sesungguhnya hal ini membantunya untuk meredakan kemarahannya dan melatihnya berbuat adil tatkala menghukumi sikap istrinya.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Hendaknya seseorang tidak marah karena segala perkara karena pasti akan timbul kekurangan (kesalahan). Bahkan ia sendiri mesti berbuat kesalahan, dan tidaklah benar bahwasanya ia sempurna dalam segala hal. Jika demikian maka istrinya lebih utama untuk melakukan kesalahan. Dan juga wajib bagi seseorang untuk menimbang keburukan-keburukan dengan kebaikan-kebaikan. Sebagian istri jika suaminya sakit maka ia tidak akan tidur semalam suntuk untuk menjaga suaminya, ia juga taat kepada suaminya dalam banyak perkara. Kemudian jika sang suami menceraikannya maka kapan ia akan nikah lagi?, jika ia nikahpun bisa jadi ia akan mendapati istri yang lebih buruk dari istri yang sebelumnya” [Asy-Syarhul Mumti’ XII/385]
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya maka ia akan ridho dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain” [HR Muslim II/1091 no 1469 dan الفَرْكُ maknanya adalah (البُغْضُ) benci (Lihat Al-Minhaj X/58)]
Berkata An-Nawawi, “Yang benar adalah Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang, yaitu hendaknya dia tidak membencinya karena jika mendapati sikap (akhlak) yang dibencinya pada istrinya maka ia akan mendapati sikapnya yang lain yang ia ridhai. Misalnya wataknya keras namun ia wanita yang taat beribadah, atau cantik, atau menjaga diri, atau lembut kepadanya, atau (kelebihan-kelebihan) yang lainnya”[1]
Suami yang paling sedikit mendapat taufiq dari Allah dan yang paling jauh dari kebaikan adalah seorang suami yang melupakan seluruh kebaikan-kebaikan istrinya, atau pura-pura melupakan kebaikan-kebaikan istrinya dan menjadikan kesalahan-kesalahan istrinya selalu di depan matanya. Bahkan terkadang kesalahan istrinya yang sepele dibesar-besarkan, apalagi dibumbui dengan prasangka-prasangka buruk yang akhirnya menjadikannya berkesimpulan bahwa istrinya sama sekali tidak memiliki kebaikan
Tatkala seorang suami marah kepada istrinya maka syaitan akan datang dan menghembuskan kedalam hatinya dan membesar-besarkan kesalahan istrinya tersebut. Syaitan berkata, “Sudahlah ceraikan saja dia, masih banyak wanita yang sholehah, cantik lagi…, ayolah jangan ragu-ragu…”. Syaitan juga berkata, “Cobalah renungkan jika engkau hidup dengan wanita seperti ini…., bisa jadi di kemudian hari ia akan lebih membangkang kepadamu..”. Atau syaitan berkata, “Tidaklah istrimu itu bersalah kepadamu kecuali karena ia tidak menghormatimu…atau kurang sayang kepadamu, karena jika ia sayang kepadamu maka ia tidak akan berbuat demikian…”. Dan demikanlah bisikan demi bisikan dilancarkan syaitan kepada para suami. Yang bisikan-bisikan seperti ini bisa menjadikan suami melupakan kebaikan-kebaikan istrinya yang banyak yang telah diterimanya. Jika sang suami telah melupakan kebaikan-kebaikan yang lain yang dimiliki isrinya maka sesungguhnya ia telah menyamai sifat para wanita yang suka melupakan kebaikan-kebaikan suaminya !!!.
- Suami dibolehkan berdusta kepada istrinya jika ada kemaslahatannya selama tidak menjatuhkan hak sang istri
Syari’at sangat memperhatikan keutuhan rumah tangga, sangat memperhatikan terjalinnya kasih sayang diantara dua sejoli, sampai-sampai syari’at membolehkan seorang suami berdusta kepada istrinya atau sebaliknya –selama masih dalam batasan-batasan yang dibolehkan- demi untuk menjaga ikatan kasih sayang diantara mereka berdua.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda
لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِي ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidaklah halal dusta kecuali pada tiga perkara, seorang suami berbohong kepada istrinya untuk membuat istrinya ridho, berdusta tatkala perang, dan berdusta untuk mendamaikan (memperbaiki hubungan) diantara manusia” [HR At-Thirmidzi IV/331 no 1939 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani kecuali lafal (Untuk membuat istrinya ridho)]
Berkata Ibnu Syihab, “Dan aku tidak pernah mendengar dibolehkan berdusta dari perkataan manusia kecuali pada tiga perkara, perang, mendamaikan diantara orang-orang (yang bertikai), dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya dan perkataan seorang wanita kepada suaminya” [Atsar riwayat Muslim di shahihnya IV/2011 no 2605]
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dusta yang dibolehkan. Ada yang berpendapat bahwa dusta tersebut adalah dusta yang hakiki, karena dusta yang diharamkan adalah yang memberi mudhorot bagi kaum muslimin adapun dusta yang dibolehkan adalah yang ada maslahatnya bagi kaum muslimin, dan penyebutan tiga perkara di atas adalah hanya sebagai permisalan saja.[ Al-Fath V/300.]
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta yang diperbolehkan adalah tauriyah/ta’riidh (mengucapkan kalimat yang benar dan bukan dusta namun dengan tujuan agar sang pendengar memahami makna yang lain) dan bukanlah dusta yang hakiki. [Al-Minhaaj XVI/158, Umdatul Qori XIII/269]
Imam An-Nawawi berkata, “Yang dzohir adalah bolehnya dusta secara hakiki pada tiga perkara tersebut, akan tetapi at-ta’riidh lebih utama”[2], dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar dan beliau membantah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta di sini adalah ta’riid (tauriyah). [Al-Fath VI/159-160]
- Akan tetapi bolehnya dusta antara suami dan istri ada batasannya yaitu dengan syarat tidak boleh sampai tingkat menjatuhkan hak salah seorang dari keduanya.
Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh, “Adapun penipuan (kedustaan) untuk menghalangi hak suami atau hak istri atau agar suami mengambil apa yang bukan haknya atau sang istri mengambil apa yang bukan haknya maka hal ini adalah haram berdasarkan ijmak (kesepakatan para ulama)” [Umdathul Qoori XIII/270, demikian juga Ibnu Hajar menyampaikan kesepakatan ini (Al-Fath V/300)].
- Namun dibolehkannya dusta antara suami istri maksudnya adalah demi menjaga kasih sayang diantara mereka.
Berkata An-Nawawi, “Adapun seorang suami berdusta kepada istrinya dan demikian juga seorang istri berdusta kepada suaminya, maksudnya adalah dalam rangka menampakan rasa kasih sayang atau untuk menjanjikan sesuatu yang tidak lazim untuk ditunaikan dan yang semisalnya” [Al-Minhaj XVI/158]
Misalnya seorang suami tatkala memakan masakan istrinya kemudian dia mendapati masakannya kurang lezat, dan biasanya seorang istri jika melihat suaminya makannya kurang selera maka ia akan bertanya, “Makanannya kurang enak?”, maka dalam kondisi seperti ini maka dibolehkan bagi sang suami untuk berdusta agar tidak menjadikan sang istri bersedih dan marah sehingga rengganglah cinta kasih diantara keduanya. Hendaknya sang suami berkata, “Maasya Allah masakannya lezaaat…”[3].
Akan tetapi yang perlu diingat janganlah sampai suami menjadikan dusta kepada istrinya merupakan pekerjaannya sehari-hari, akan tetapi hendaknya ia berdusta tatkala benar-benar dibutuhkan dan jelas kemaslahatannya. Karena jika sang istri sampai mengetahui bahwa ia telah dibohongi oleh suaminya apalagi sampai berulang-ulang maka ia akan tidak percaya pada perkataan-perkataan suaminya dikemudian hari, dan bisa jadi ia akan jadi penuh terliputi dengan sikap buruk sangka kepada suaminya.
”Kesalahan-Kesalahan yang Sering Dilakukan Para Suami”
- Lupa terhadap orang tua
Sebagian orang tatkala menikah maka iapun sibuk dan terlena dengan istrinya hingga melupakan kedua orang tuanya. Orang tuanya yang telah melahirkannya, yang telah mendidikanya hingga dewasa hingga akhirnya menikah…??, orang tuanya yang telah sibuk menyiapkan pernikahannya karena ingin melihat anaknya bahagia..??, kemudian setelah itu yang mereka dapatkan hanyalah anak mereka melupakan mereka, melalaikan mereka, bahkan terkadang sang anak lebih taat kepada istrinya dari pada kedua orang tuanya. Bahkan terkadang sang anak rela untuk meremehkan dan menghina kedua orang tuanya untuk menyenangkan istrinya..bahkan sampai-sampai ada yang mengusir kedua orang tuanya demi menyenangkan istrinya, bahkan orang yang telah terbalik fitrohnya terkadang sampai memukul orang tuanya. Ini jelas merupakan bentuk durhaka kepada orang tua, namun betapa banyak orang yang melakukannya tidak merasakannya.
Banyak orang tua yang memiliki harga diri yang tinggi sehingga tidak mau minta kepada anak mereka atau menampakan kebutuhannya kepadanya, akhirnya sang anak memang benar-benar lupa terhadap orang tuanya. Namun kondisi seperti ini bukanlah alasan bagi sang anak, alasan seperti ini tidak bisa diterima karena merupakan kewajiban anak untuk memperhatikan kedua orang tuanya, memperhatikan kondisi mereka, bukan malah berpaling dan tidak ambil peduli terhadap mereka.
Sebagian orang tua berangan-angan -setelah anak mereka menikah- untuk tidak melihat sang anak sehingga tidak terganggu dengan mulut anaknya yang seakan-akan selalu merasa bahwa keberadaan orang tua hanyalah menjadi beban hidupnya.
Sebagian orang..kondisi ekonominya mencukupkan, bahkan ia menghambur-hamburkan uangnya demi menyenangkan istirinya atau menyenangkan anak-anaknya, namun tatkala orangtuanya membutuhkan bantuannya maka ia berusaha untuk mengeluarkan sesedikit-dikitnya. Jika sang ayah meminta uang darinya untuk memenuhi kebutuhannya maka dengan lantangnya sang anak langsung berkata, “Saya masih punya hutang banyak… saya beli mobil dengan kredit…, saya beli rumah dengan kredit…, saya harus menabung untuk kebutuhan anak-anak di masa depan..”, dan seterusnya. Namun anehnya jika tiba waktu liburan maka dengan mudahnya ia menghambur-hamburkan uang sebanyak-sebanyaknya untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya. Padahal orang tuanya tidak meminta banyak darinya… bahkan tidak sampai seperseluluh dari yang ia hambur-hamburkan untuk menyenangkan istri dan anak-anaknya..???!!!
Bukankah Allah berfirman
يَسْأَلونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. 2:215)
Berkata Syaikh As-Sa’di, “((Apa saja harta yang kamu nafkahkan berupa kebaikan)) yaitu harta yang sedikit maupun banyak maka orang yang paling utama dan yang paling berhak untuk didahulukan yaitu orang yang paling besar haknya atas engkau, mereka itu adalah kedua orangtua yang wajib bagi engkau untuk berbakti kepada mereka dan haram atas engkau mendurhakai mereka. Dan diantara bentuk berbakti kepada mereka yang paling agung adalah engkau memberi nafkah kepada mereka, dan termasuk bentuk durhaka yang paling besar adalah engkau tidak memberi nafkah kepada mereka, oleh karena itu memberi nafkah kepada kedua orangtua hukumnya adalah wajib atas seorang anak yang lapang (tidak miskin)” [Tafsir As-Sa’di 1/96]
Apalagi jika kondisi ekonomi sang anak hanyalah pas-pasan maka semakin banyak celaan dan kalimat-kalimat yang pedis yang terlontar dari sang anak kepada kedua orang tua. Maka durhaka mana lagi yang lebih besar daripada ini.
- Sebagian orang yang telah lama menikah jika terjadi cekcok antara ia dan istrinya maka ia langsung melaporkan hal ini kepada kedua orang tuanya
Hal ini jelas semakin menjadikan kedua orang tua terbebani dengan banyaknya permasalahan. Orang tua yang semestinya di masa tuanya diusahakan agar tenang sehingga bisa lebih banyak beribadah kepada Allah akhirnya menjadi pusing karena mendengar keluhan-keluhan anaknya. Dan kebanyakan orang tua perasa, jika anaknya tersakiti maka merekapun otomatis akan merasa tersakiti. Bahkan terkadang akhirnya hal ini menjadikan orang tua menjadi sakit karena memikirkan beban anaknya.
Sesungguhnya orang tua tatkala menikahkan anaknya yang ia tunggu adalah agar sang anak membahagiakannya dan menyenangkannya –bukan malah ia yang sibuk menyenangkan anaknya-, menunggu agar sang anak memperhatikannya dan merawatnya –bukan malah sebaliknya-…!!!.
Oleh karena jika seseorang menghadapi cekcok keluarga maka hendaknya ia berusaha mengatasinya sendiri, hendaknya ia bertanya kepada orang yang berilmu, dan tidak mengapa terkadang ia meminta pendapat kedua orang tuanya. Namun bukan setiap kali ada permasalahan langsung ia kabarkan kepada kedua orang tuanya.
Terutama seorang ibu, jika mendengar cekcok yang terjadi antara sang anak dengan suaminya, maka ia akan merasa sangat sedih..bahkan hal ini sangat mungkin menjadikan sang ibu benci kepada sang istri akhirnya menganjurkan sang anak untuk bercerai..!!!. Sesungguhnya ibulah yang biasanya merasa sangat kehilangan anaknya setelah anaknya menikah. Dan terkadang sang ibu cemburu dengan istri anaknya. Terkadang kecemburuan ini mengantarkan sang ibu untuk mengatakan yang tidak-tidak tentang sang istri. Apalagi jika sang ibu mendengar kejelekan-kejelekan istri anaknya…maka ia akan semakin semangat untuk memerintahkan anaknya untuk bercerai. Meskipun demikian namun sang anak harus tetap menyikapi sang ibu dengan baik. Oleh karena itu hal ini harus dipahami dengan baik oleh sang anak.
Terkadang orang tua memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangganya yang tidak sesuai dengan pandangan sang anak… maka apakah yang harus dilakukan???. Jika perintah orangtuanya bertentangan dengan syari’at maka hendaknya ia tidak mentaati orang tuanya, adapun jika tidak demikian maka hendaknya sang anak menimbang antara kemaslahatan dan kemudhorotan. Jika kemaslahatannya banyak maka hendaknya ia mentaati orang tuanya, namun jika kemudhorotannya lebih banyak maka tidak mengapa ia menyelisihi orang tuanya namun dengan tetap beradab dan menghormati orang tuanya.
- Menerima perkataan orang lain tentang kejelekan istrinya tanpa mengecek kebenaranya terlebih dahulu
Sebagian suami hanya karena mendengar sebuah perkataan dari ibunya tentang kejelekan istrinya maka langsung menceraikan istrinya. Apakah ia tidak tahu bahwa seorang ibu bisa cemburu kepada istrinya…??, bukankah ada kemungkinan bahwa perkataan ibunya tersebut tidak benar, atau banyak yang ditambah-tambah??. Maka hendaknya sang suami tidak menceraikan istrinya dengan terburu-terburu seperti ini, namun hendaknya ia mengecek segala laporan yang masuk ke telinganya.
Sebagian orang dikabarkan oleh sebagian sahabatnya tentang kejelekan istrinya maka iapun langsung menceraikan istrinya, dengan alasan bahwa sahabatnya tersebut adalah orang yang jujur dan terpercaya…!!!. Kenapa ia tidak mengecek dahulu, darimanakah sahabatnya tersebut mendapat berita tentang istrinya…, apakah ia melihat langsung..??, ataukah kabar tersebut datang dari istri sahabatnya..???. Jika perkaranya demikian, bukankah diantara para wanita timbul hasad dan saling dengki..???, bukankah ada kemungkinan istri sahabatnya tersebut dengki kepada istrinya lantas menyampaikan perkara-perkara yang tidak benar tentang istrinya..???
- Meremehkan istri dan tidak memperhatikan perasaan istrinya
Sebagian suami merandahkan istrinya, menganggap istrinya telat mikir, merasa bahwasanya ia yang selalu benar dan istrinya yang selalu salah. Ia tidak memperhatikan perasaan istrinya jika berbicara dengannya karena meremehkannya… meremehkan pendapatnya… maka akhirnya ia sering menyakiti hati istrinya.
Yang lebih aneh sebagian suami merasa sikap seperti ini menunjukan kejantanannya karena bisa menundukan istrinya..karena bisa menakutkan istrinya..bahkan membanggkan hal ini di hadapan sahabat-sahabatnya.
Sebagian suami jika diajak bicara oleh istrinya maka ia bersikap cuek, sambil membaca koran, atau sambil menonton tayangan televisi, atau sibuk menjawab telepon atau menulis sms…ia sama sekali meremehkan istrinya. Jika istrinya mulai berbicara menyampaikan pendapatnya maka sang suami langsung memotong perkataannya.
Sebagian suami berkata bahwasanya wanita itu pendek akalnya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَ دِيْنٍ
“Kurang akal dan agamanya”.[1]
Memang benar bahwasanya wanita pada umumnya perasa dan lebih mendahulukan perasaannya dari pada akalnya. Namun hal ini bukan berarti kemudian merendahkan wanita dan menyepelekannya, apalagi sampai menghinakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam juga meminta pendapat istrinya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam meminta pendapat Ummu Salamah tatkala para sahabat enggan melaksanakan perintahnya sebagaimana kisah berikut.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya dicegah oleh orang-orang kafir Quraisy di Hudaibiyah sehingga tidak bisa melaksanakan umroh kemudian Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengadakan perjanjian Hudaibiyah dengan mereka yang isi perjanjian tersebut secara dzohirnya menguntungkan mereka dan merugikan kaum muslimin hal ini membuat para sahabat marah. Karena mereka tidak bisa berumroh maka mereka harus bertahallul di Hudaibiyah, maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memerintah para sahabatnya untuk menyembelih sesembelihan mereka dan mencukur rambut mereka. Namun tidak seorangpun dari mereka yang berdiri melaksanakan perintah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, bahkan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengulang perintah tersebut tiga kali namun tidak seorangpun yang melaksanakannya karena saking marahnya para sahabat terhadap orang-orang musyrik. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menemui Ummu Salamah dan menyebutkan hal tersebut. Maka Ummu Salamah berkata, “Keluarlah engkau (dari tendamu) dan janganlah engkau berbicara dengan salah seorangpun dari mereka kemudian sembelihlah untamu dan panggillah tukang cukurmu untuk mencukur rambutmu”. Lalu keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan ia tidak berbicara dengan seorang sahabatpun kemudian ia memanggil tukang cukurnya dan mencukur rambutnya. Tatkala para sahabat melihat sikap Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tersebut maka merekapun segera berdiri dan memotong sembelihan-sembelihan mereka dan saling mencukur diantara mereka. [HR Al-Bukhari II/978 no 2581]
Lihatlah bagaimana cerdasnya Ummu Salamah dan idenya yang sangat baik…!!!
Dan para sahabat juga terbiasa memusyawarahkan urusan mereka dengan istri-istri mereka sebagaimana ditunjukan oleh kisah berikut.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam pada suatu hari berkata kepada seorang sahabat dari kaum Anshor, “Wahai fulan nikahkanlah putrimu kepadaku!”. Maka sahabat tersebut berkata, “Tentu ya Rasulullah dan semoga Allah menyedapkan pandangan matamu”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Akan tetapi aku menginginkan putrimu bukan buat diriku”. Ia berkata, “Buat siapa ya Rasulullah?”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Buat Julaibib”. Ia berkata, يَا رَسُوْلَ اللهِ حَتَّى أَسْتَأْمِرَ أُمَّهَا “Ya Rasulullah, (tunggu dulu) hingga aku bermusyawarah dengan ibunya”. Lalu iapun mendatangi istrinya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengkhitbah putrimu”, istrinya berkata, “Tentu, dan semoga Allah menyedapkan pandanganmu”. Ia berkata, “Akan tetapi bukan untuk dirinya”. Istrinya berkata, “Kalau begitu buat siapa?”. Ia berkata, “Buat Julaibib”. Istrinya berkata, حَلَقِيُ أَلِجُلَيْبِيْب؟ “Celaka putriku[2], buat si Julaibib??, tidak, aku tidak akan menikahkannya dengan si Julaibib!”. Tatkala ia berdiri hendak menemui Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam (untuk memberi tahu hasil musyawarahnya dengan istrinya-pen) maka putrinya berkata dari balik kamarnya kepada ibunya, “Apakah kalian menolak perintah Rasulullah !!, bawalah aku kepada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam sesungguhnya beliau shallallahu ‘alihi wa sallam tidak akan menyia-nyiakan aku!!”. Maka sahabat Anshor tersebut membawa putrinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan berkata, “Aku serahkan urusannya kepadamu”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam pun menikahkannya dengan Julaibib. [HR Ahmad IV/422 no 19799, IV/425 no 19823 Ibnu Hibban (Al-Ihsan IX/343)]
Dan barang siapa yang melihat kenyataan maka ia akan dapati memang ada sebagian wanita yang lebih baik pendapatnya dari pada pendapat sebagian lelaki, lebih cerdas, dan lebih taat beragama, dan lebih mampu untuk mengatur keuangan rumah tangga.
- Selalu berburuk sangka kepada istri
Sebagian suami selalu berburuk sangka dan meragukan istrinya baik karena sebab maupun tanpa ada sebab. Terkadang ia ragu dengan amanah istrinya, menuduh istrinya mencuri, menggelapkan uangnya tanpa idzinnya…berburuk sangka akan agama istrinya… jika istrinya memandang ke luar maka ia menuduh istrinya memandang para lelaki tanpa ada sebab dan indikasi.
Memang dibolehkan bagi seorang suami untuk mengecek dan mencurigai istrinya jika memang ada tanda-tanda dan indikasi yang menunjukan demikian..atau ia memang mengetahui sifat-sifat istrinya yang menunjukan demikian. Namun jika tidak ada indikasi yang mengharuskan untuk berburuk sangka maka tidak boleh bagi seorang suami untuk berburuk sangka kepada istrinya.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda
إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya agar wanita yang di tinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” [HR Muslim III/1527 no 715]
عَنْ جَابِرُ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
Dari Jabir bin Abdillah berkata, “Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya[3] atau untuk mencari-cari kesalahannya” [HR Muslim III/1528 no 715]
Hadits ini menunjukan bahwa berburuk sangka mencari-cari kesalahan istri adalah terlarang.
Berkata Ibnu Hajar, “Dan diambil hukum dari hadits ini adalah dibencinya seorang suami menemui istrinya dalam keadaaan sang istri tidak rapi agar sang suami tidak mendapati sesuatu pada istrinya yang bisa menjadi sebab ia menjauhi istrinya, atau ia akan mendapatinya dalam keadaan yang tidak diridhoi padahal syari’at menganjurkan untuk menutup aib. Dan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam telah mengisyaratkan hal itu dengan sabdanya, “untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau mencari-cari kesalahannya” [Fathul Bari IX/340]
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Tulisan ini Berseri:
1.Suami Sejati || 2.Suami Sejati || 3. Suami Sejati || 4. Suami Sejati || 5. Suami Sejati || 6. Suami Sejati #6 ||
____
Catatan Kaki:
[1] Al-Minhaj syarh shahih Muslim X/58. An-Nawawi menjelaskan bahwa yang benar dalam hadits ini adalah larangan karena dua sebab, yang pertama bahwasanya riwyayat yang ma’ruf adalah لاَ يفْرَكْ dengan mensukunkan huruf kaaf (majzum, yang menunjukan bahwa huruf لاَ adalah لاَ nahi/larangan) bukan dengan merofa’ (mendommah) huruf kaaf. Dan meskipun dangan dengan riwayat marfu’ (yang berarti khobar) maka makasudnya adalah larangan dalam bentuk khobar.
Sebab yang kedua adalah kenyataan yang terjadi terkadang ada seorang suami yang sangat membenci istrinya yang menunjukan bahwasanya makna hadits bukanlah sekedar khobar ((Tidaklah seorang suami membenci….)) namun yang benar adalah mengandung makna larangan ((Janganlah seorang suami membenci…))
[2] Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath VI/159 bab الكذب في الحرب
[3] Yang jadi masalah jika kemudian sang istri berkata, “Kalau begitu aku akan memasakkan bagimu setiap hari masakan ini ???!!!!”. Oleh karena itu suami harus pandai mengungkapkan kata-kata seperti misalnya ia berkata, “Masakannya lezat sekali tapi kalau bisa tambahkan ini dan itu…, atau ia berkata namun variasi makanan lebih baik agar tidak bosan…”
____
Catatan Kaki:
[1] HR Al-Bukhari no 304 (Kitabul Haidh, Bab tarkul Haa’idhi Ash-shaum)
[2] Lafal حَلَقِيُ “Celaka putriku” maknanya adalah dia telah mencukur rambut sang wanita dan rambutnya adalah perhiasannya. Atau maknanya yaitu sang wanita ditimpa dengan penyakit di tenggorokannya atau mencelakakannya. Berkata Al-Qurthubi, “Lafal ini diucapkan oleh kaum yahudi kepada wanita yang haid…, kemudian orang Arab menggunakannya namun mereka tidak menghendaki hakekat maknanya sebagaiamana perkataan mereka قَاتَلَهُ اللهُ “Semoga Allah memeranginya”, تَرِبَتْ يَدَاهُ “kedua tangannya akan menempel di tanah”, dan yang semisalnya” (Fathul Bari III/589)
[3] Lihat maknanya di Al-Minhaj XIII/71
Penulis: Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Bersambung ke: Suami Sejati #5
Sumber: https://firanda.com/