Type Here to Get Search Results !

 


MENGAPA KYAI "ASWAJA" NU BEGITU TAKUT DENGAN "WAHABI"?

.

Dinamika dakwah Islam di tanah air dalam tiga dekade terakhir diwarnai dengan fenomena pesatnya perkembangan dakwah salafiyah yang bertujuan mengembalikan  pemahaman umat Islam kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan manhaj salafus saleh. Fakta demikian ternyata mengundang pobia luar biasa dari kalangan tradisionalis atau yang menyebut diri sebagai aswaja, di mana praktek-praktek keislaman mereka yang sarat pencampuradukan dengan budaya lokal mendapatkan koreksi dari kalangan salafi.

Perlu ditegaskan, makna aswaja dalam term kaum tradisionalis bukanlah satu pengamalan beragama yang meneladani Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam akidah maupun ibadah sebagaimana definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebenarnya, melainkan satu model baru keislaman sinkretisme, yang memadukan berbagai unsur semisal mazhab ilmu kalam (filsafat) Asya’irah, tasawuf, dan ritual-ritual amaliah yang berasal dari warisan kultur Hindu-Budha. Maka tak heran, berkembangnya dakwah salafi dari Aceh hingga Papua mendatangkan kegelisahan dari kalangan tokoh aswaja NU yang selama ini terlanjur menikmati kedudukan begitu tinggi di tengah-tengah masyarakat ‘santri’.

Sikap pobia akut kalangan NU terhadap salafi-wahabi sejatinya sudah tergambar jelas dalam lembaran sejarah seputar berdirinya ormas tersebut. Sebagaimana diketahui, NU bermula dari satu tim panitia “Komite merembuk Hijaz” yang didirikan guna merespon peperangan Wahabi di Saudi Arabia yang berakhir dengan terusirnya Syarif Husein dari Makkah pada 1924. Kemenangan Abdul Aziz Al-Saud yang disebut berhaluan Wahabi atas Syarif Husein yang berpaham sufi merupakan pukulan telak bagi kalangan tradisionalis di manapun termasuk di wilayah Hindia-Belanda. Sebab, dengan jatuhnya Makkah ke tangan Wahabi, sama artinya dengan hilangnya kemerdekaan bagi kaum sufi-tradisionalis untuk menjalankan praktek amalan-amalan khas quburiyun di tanah suci. Pada saat bersamaan, di seantero Nusantara juga tengah berkembang dakwah pembaharuan yang dimotori oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis dengan inti dakwahnya memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC) serta memerangi sikap taklid buta terhadap kyai. Fakta semakin gencarnya dakwah pembaharuan Islam di tanah air, dan kembali berkuasanya kaum Wahabi di tanah suci itulah yang mendorong inisiatif para tokoh Islam tradisionalis untuk mendirikan satu wadah bersama guna melestarikan corak keberagamaan mereka. Tak cukup dengan berserikat, para pendiri ormas NU juga merasa perlu untuk merumuskan “bagaimana Islam yang benar versi mereka” hingga lahirlah istilah Aswaja untuk membungkus hakikat keberagamaan warga Nahdliyin yang sarat akulturasi dengan budaya pra-Islam. Dan buat melegitimasi sikap pengultusan terhadap kyai yang memang sudah umum berlaku di kalangan nahdliyin, mereka dengan bangga mengemukakan dalil “Ulama adalah ahli waris para Nabi”. Tentu saja tafsir ulama versi aswaja NU adalah kyai yang sejalan dengan model beragama mereka, seperti demen tahlilan, yasinan, mauludan atau tawashulan dengan perantara arwah para wali. Adapun ulama di luar golongan mereka, kendati selevel ahli hadis abad moderen Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pun ditolaknya karena fatwa-fatwanya yang justru menelanjangi kesesatan beragama mereka.

Baca juga: Dimanakah Allah?

Jika kaitannya dengan perpolitikan nasional, sikap NU memang berubah-ubah. Dalam Pemilu 1955, NU yang menjelma sebagai sebuah partai politik turut serta memperjuangkan dasar negara Islam bagi republik ini. Selanjutnya, NU justru duduk mesra bersama-sama kaum nasionalis dan komunis dalam mengusung paham Nasakom. Pada Pemilu 1977, NU menyatakan berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sepuluh tahun berselang, NU malah berperan sebagai penggembos PPP dengan keputusannya lewat muktamar Situbondo 1984 yang menyatakan kembali ke khittah 1926, tidak berpolitik. Realitanya, kembali ke khittah 1926 ternyata bukannya tidak berpolitik, tetapi justru berpolitik dengan menggembosi PPP. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, kembali ke khittah 1926 yang mereka dengung-dengungkan pun dibuang lagi. PBNU memfasilitasi lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejumlah tokoh NU yang tidak sejalan dengan platform PKB, turut pula membidani lahirnya beberapa partai seperti Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Terkait lahirnya sejumlah parpol yang saling mengklaim sebagai partainya warga NU di awal reformasi, Gus Dur pernah berkomentar, “NU itu ibarat ayam, dari pantatnya keluar telur dan tai ayam. Yang telur itu PKB, yang partai lain itu tai ayam.”

Nah, bila untuk soal politik NU bersikap pagi kedele sore tempe alias mencla-mencle, lain halnya dengan sikap mereka terhadap dakwah tauhid dan sunnah atau dakwah bermanhaj Salaf. Semenjak awal berdirinya hingga hari ini, NU selalu berada di garda terdepan dalam menentang setiap gerakan pemurnian Islam. Stigma Wahabi seakan menjadi jurus pamungkas membangun opini publik buat membangkitkan kesan horor dan radikal terhadap dakwah tauhid dan sunnah. Hari ini NU mengklaim sebagai ormas Islam yang paling toleran, sampai-sampai rela mengerahkan ribuan anak mudanya yang tergabung dalam banser untuk mengamankan perayaan malam Natal. Demi mendapatkan sebutan pluralis, tokoh-tokoh NU pun lantang mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang intinya membela eksistensi sekte-sekte menyimpang di tanah air. Demi mendapatkan predikat nasionalis dan pancasilais, sejumlah kyai NU rela blusukan keluar masuk kelenteng atau gereja. Namun semangat ‘toleran, pluralis, nasionalis, dan pancasilais’ yang selalu mereka bangga-banggakan, tiba-tiba berubah 180 derajat kala mereka berhadapan dengan kalangan salafi-wahabi.

Simak video-video: Prinsip dasar Al-Islam

Beragam cara mereka gunakan untuk membendung dan mendiskreditkan dakwah wahabi. Akan tetapi, semakin dibendung, dakwah wahabi justru makin tak terbendung. Semakin difitnah, justru semakin banyak yang tercerahkan dengan dakwah wahabi. Pada tahun 2009 misalnya, rumah sejumlah penganut salafi di Gerung, Lombok Barat diserang warga yang masih jahil dengan Sunnah. Kejadian ini bukan kali pertama terjadi di provinsi NTB. Namun dengan peristiwa tersebut, yang kemudian diliput luas oleh sejumlah media nasional justru menyebabkan masyarakat semakin familiar dengan istilah “salafi-wahabi” dan ujung-ujungnya mereka penasaran mencari tahu, apa sih sebetulnya salafi-wahabi itu. Munculnya radio Rodja dan Rodja TV sebagai salah satu media dakwah salafi yang memantik reaksi para tokoh sufi-tradisionalis untuk memperingatkan jamaahnya agar tidak mendengarkan dan menonton siaran tersebut, rupanya malah menjadi iklan gratis yang menyebabkan radio Rodja dan Rodja TV kian dikenal luas. 

Upaya-upaya sejumlah kyai NU yang berusaha menyebarkan opini di tengah masyarakat soal sesatnya ajaran salafi-wahabi justru berujung pada turun tangannya MUI meneliti gerakan tersebut, dan hasilnya MUI Jakarta Utara dengan tegas menyatakan “Salafi bukan aliran menyimpang”. Begitu pula opini public (baca penyesatan public) yang coba dibangun kang Said Agil Siraj ketum PBNU yang alumni Saudi, bahwa ideology wahabi merupakan akar dari terorisme di tanah air pun mentah di tengah jalan. Nyatanya, dalam beberapa tahun terakhir dakwah salafiyah justru semakin berkembang di kalangan aparat pemerintahan. Bahkan tak jarang para da’i salafi memberikan tausiyah di masjid Mabes Polri, masjid Polda Metro Jaya, atau masjid PTIK. Teranyar, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) malah mendatangkan ulama salafi murid Syaikh Albani, yakni Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi untuk berdakwah kepada para napi terpidana teroris agar kembali kepada pemahaman Islam yang haq. 



Mungkin masih lekat pula dalam benak kita, tatkala di penghujung 2009 taklim Ustadz Zainal Abidin, da’i salafi mantan santri tambak beras di Masjid Amar Ma’ruf Bekasi yang membedah buku Jihad Melawan Teror diserang sejumlah orang yang ditengerai sebagai simpatisan Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT). Dengan demikian, jelas sudah beda antara Salafi dan Takfiri. Kaum salafi menyeru kepada tauhid, sunnah, dan pemahaman sahabat Nabi yang di dalamnya termasuk ketaatan terhadap pemerintah kaum Muslimin. Sedangkan jamaah takfiri meyeru kepada pengkafiran terhadap pemerintah RI serta hasutan untuk membenci atau bahkan memberontak terhadap pemerintah.

Lantas, apa yang menyebabkan kyai aswaja NU begitu membenci salafi dan ketakutan dengan pesatnya perkembangan dakwah salaf? Apabila kita mencermati sejarah dakwah para Rasul, niscaya akan dijumpai bahwa kelompok yang paling keras menentang dakwah tauhid para Rasul tersebut adalah mereka yang selalu menamakan dirinya sebagai “pembela ajaran nenek moyang”. Begitu pula kita dapati hari ini, yang paling keras menentang dakwah bermanhaj salaf yang mengajak umat Islam untuk memurnikan peribadatan hanya kepada Allah Ta'ala semata, adalah kelompok yang menamakan dirinya sebagai “pemelihara tradisi nenek moyang.” Selanjutnya, berkembangnya dakwah salafiyah di tengah masyarakat sama artinya dengan terbongkarnya klaim dusta Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang selama ini mereka gembar-gemborkan. Nyatanya, yang mereka praktekkan bukanlah akidah dan amaliah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, melainkan amalan-amalan Ahli bid’ah wal firqah, entah itu firqah Asy’ariyah, shufiyah, quburiyah, batiniyah, filsafat, hingga kejawen yang saling bercampur aduk. Dan terakhir, tentu saja dengan tersebarnya pemahaman salafiyah di tengah masyarakat akan menyebabkan jatuhnya status social kyai tradisionalis yang selama ini menikmati sikap pengultusan luar biasa dari kaum santri maupun masyarakat awamnya, dan ujung-ujungnya turut pula mematikan income sebagian kyai yang juga rangkap profesi sebagai ‘dukun berjubah’.

Sekiranya para kyai aswaja NU mau menanggalkan hawa nafsu dan sikap fanatisme yang membabi buta terhadap tradisi leluhur mereka, niscaya mereka bakal mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para dai salafi yang telah meluruskan makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang selama ini mereka pahami secara keliru. 

(www.kompasiana.com/)


TITIK TEMU DAN POTENSI KONFLIK ANTAR KELOMPOK: SUATU TINJAUAN SEJARAH

Oleh. Dr. Tiar Anwar Bachtiar

Persoalan klaim siapa yang berhak disebut Ahlus-Sunnah wal Jamaah di Indonesia telah menjadi masalah bukan hanya ranah pemikiran, melainkan sudah meluas ke masalah-masalah sosial, politik, dan bahkan budaya. Satu kelomok merasa merekalah yang berhak menyandang label “Ahlus-Sunnah wal Jamaah” (Aswaja) sementara kelompok lain yang juga sama mengklaim sebagai Aswaja malah dianggap ahlul-bid’ah dan sesat. Klaim-klaim semacam inilah yang menjadi akar terjadinya perselisihan yang meluas bukan hanya perselisihan pemikiran, tetapi juga menjadi konflik sosial yang melebar hingga ke mana-mana.

Secara garis besar saling klaim ini terjadi antara kelompok pendukung pemikiran akidah Asy’ariah-Maturidiyah dengan pendukung pemikiran akidah Ibnu Taimiyyah-Ibnu Abdul Wahhab (salafi).[1] Salah satu contoh, pendukung Asy’ariah M. Idrus Ramli dalam bukunya Pengantar Sejarah Ahlussunnah wal-Jama’ah (2011: 56) menulis sebagai berikut.

…maksud al-jama’ah dalam istilah Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a’dzam)….Sedangkan kelompok yang keluar dari mainstream al-sawad al-a’dzam, berarti dianggap kelompok yang syadz (mengucilkan diri) yang akan mudah tersesat. Oleh karena itu, semua golongan ahli bid’ah seperti Syi’ah, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Wahhabi, dan lain-lain, tidak termasuk golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah karena mereka keluar dari mainstream (Ini sesungguhnya hanyalah klaim semata tanpa hujjah yang benar, sebab As-Sawadul A'dzam adalah istilah yang dikenakan kepada Nabi dan para Shahabatnya Radhiyallahu'anhum, golongan terbanyak pada saat itu bukan zaman belakangan. Di sini yang dijadikan patokan adalah siapa yang mengikuti jejak Nabi dan para Shahabatnya dengan baik, yang Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah Ta'ala, meskipun seorang diri dialah Ahlus-Sunnah sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih)

Dalam kutipan di atas dengan tegas M. Idrus Ramli tidak mengakui “Wahhabi” sebagai Aswaja dan menggolongkannya sebagai ahli bid’ah sama seperti Syiah, Mu’tazial, Khowarij, dan Murji’ah. Kesimpulan yang sama sebetulnya dapat ditemukan juga pada tulisan-tulisan lama Asya’irah seperti dapat ditemukan dalam buku Sirajuddin Abbas I'tiqad Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (2006: 296-305)[2]. Hanya saja, Abbas lebih menyoroti akar dan sumber dari pemikiran yang oleh Ramli disebur Wahhabi, yaitu pemikiran Ibnu Taimiyyah. Lebih lama lagi dari tulisan Abbas, ada pula tulisan K.H. M. Faqih Maskumambang  yang juga sama-sama menolak Wahabi sebagai bagian dari Aswaja dalam bukunya Menolak Wahabi (2015). 

Baca juga: Studi kritis buku i'tiqad Aswaja karya KH. Siradjudin Abbas || Benarkah Syaikhul Islam suka mengkafirkan umat Islam?

Setali tiga uang dengan sikap kalangan Asy’ariah terhadap Wahabi, sikap sebaliknya pun ditunjukkan para pendukung akidah Wahabi. Mereka menyerang penganut Asy’ariah sebagai ahli bid’ah dan tidak layak disebut sebagai Aswaja. Dalam buku Yazid Jawwas berjudul Syarah Aqidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah (2006) yang sebagian besar isinya disebarluaskan melalui https://almanhaj.or.id dengan terang-terangan menulis kalimat seperti kutipan berikut ini.

Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

Ilmu Kalam

Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu. Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.[3]

Dengan sangat tegas penulis ini menyebut “Asya’irah” sebagai bukan Aswaja dan dianggap sekte sesat sebanding dengan Mu’tazilah, padahal pemikiran-pemikiran Muktazilah menjadi objek kritik dari Imam Abu Hasan Al-Asy’ari sendiri dari bukunya Maqâlât Al-Islâmiyyîn (yang muncul pada fase ketiga pemikirannya, pasca taubatnya dari aqidah Asy'ariyyah yang dia cetuskan sendiri, adm). Tidak ada keraguan atau pertimbangan lain dari Jawwas untuk menyebut Asya’irah bukan bagian dari Aswaja, dan mengategorikannya sebagai sekte sesat atau bid’ah.

Melihat sepintas klaim-klaim tentang siapa yang layak disebut Aswaja dan siapa yang bukan kelihatannya sudah sampai taraf yang sama sekali tidak sehat. Belum lagi generalisasi yang berlebihan untuk menyebut kelompok lawannya sebagai kelompok ahli bid’ah karena hanya berlabel Wahabi atau Asy’ari tanpa menelisik lebih dalam atas pemikiran masing-masing, akhirnya menyebabkan jurang konflik yang tidak jarang berujung perseteruan semakin dalam. Padahal, dari klaim masing-masing sebagai Aswaja sesungguhnya secara tersirat menyimpan pertanda bahwa bisa jadi sebetulnya kedua-duanya memang Aswaja. Hanya saja, karena ada perbedaan pada perkara-perkara yang furû’ di antara keduanya, lalu perbedaan itu bercampur dengan kepentingan sosial dan politik hingga akhirnya yang semula sifatnya furû’ diangkat menjadi seolah-olah merupakan perkara ushûl. Tulisan ini mencoba menelusuri perbandingan pemahaman di antara para penulis Indonesia mengenai apa yang mereka maksud sebagai “ahlus-sunnah wal-jama’ah” dan pada level mana perbedaan terjadi di antara kedua kecenderungan ini.

Makna Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah menurut Salafi dan Khalafi

Istilah ahlus sunnah wal jama’ah memang bukan istilah yang sudah ada sejak zaman Nabi Saw., sekalipun akar-akar pemikiran dasar dari istilah ini diambil dari masa Nabi Saw. sebagaimana nanti akan dijelaskan. Istilah ini muncul karena munculnya tantangan-tantangan baru dalam bidang akidah di tengah-tengah umat Islam, terutama munculnya pemikiran Khawarij, Syiah, Mu’tazilah Syiah, Murji’ah,. Qadariyah, Jabbariyah, dan sebagainya. Nama ini muncul untuk memberikan identitas bagi ajaran Islam yang murni berasal dari Nabi Saw. yang tidak terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang pada setiap zaman.

Tidak jelas kapan istilah ini muncul. Pada masa Nabi istilah ini belum dikenal karena memang saat itu pemikiran kaum Muslim masih sama hingga akhirnya terjadi perselisihan di kalangan umat Islam. Ada yang menyebut istilah ini muncul seiring dengan semakin menguatnya pemikiran Mu’tazilah, yaitu ketika muncul pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari pada abad ke-3 H.[4] Akan tetapi, sebagian lain menolak kemunculan istilah ini terkait langsung dengan Al-Asy’ari. Istilah ini bahkan telah dikenal pada masa akhir periode sahabat.[5]

Kalau melihat karya-karya beberapa ulama yang menulis mengenai masalah-masalah pemikiran akidah dalam Islam, istilah Ahlus-Sunnah wal Jamaah ini populer pada sekitar abad ke-10 dan ke-11 masehi (abad ke-3 atau ke-4 Hijriyah). Istilah ini mulai jelas didefiniskan dalam tulisan-tulisan Abu Qohir Al-Baghdadi (w. 1037 M) Al-Farq Bainal-Firaq yang juga sezaman atau dalam tulisan Ibn Hazm Al-Andulusi (w. 1065 M) yang menulis Al-Fashl Bainal Milal wal Ahwa; disusul kemudian dalam buku Syahrustani (w. 1151 M) Al-Milal wa Al-Nihal. Tulisan-tulisan ini tentu lebih belakangan dibandingkan kemunculan tulisan tokoh yang sering dianggap sebagai “bapak” Ahlus-Sunnal wal Jamaah, yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 949 M/330 H). Tulisan Al-Asy’ari Al-Maqâlâl Al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf Al-Mushallîn (yang muncul pada fase ketiga pemikirannya, pasca taubatnya dari aqidah Asy'ariyyah yang dia dirikan sendiri, adm) banyak yang menganggapnya sebagai awal kebangkitan paham Allus-Sunnah wal Jamaah. Selain Al-Asy’ari, ada ulama sezamannya yang juga disebut-sebut sebagai peletak dasar akidah Ahlus-Sunnah wal-Jamaah, yaitu Abu Ja’far Al-Warraq Al-Thahawi (w. 940 M/321 H).

Oleh sebab tidak ditemukan semenjak masa Nabi Saw. maupun para sahabat, maka istilah Ahlus-Sunnah wal Jamaah ini definisinya merujuk pada tulisan-tulisan para ulama pada masa-masa ini. Pemaknaan, karakter, dan pengejawantahan dalam sejarah atas istilah ini juga banyak merujuk ke sana (tentu saja pernyataan ini sangat tidak ilmiah). Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila pada masa-masa berikutnya akan ditemukan kesamaan pandangan dan pendefinisian mengenai istilah Ahlus-Sunnah wal Jamaah ini di kalangan para pendukung gagasan ini. Dalam konteks kasus yang akan kita bicarakan dalam tulisan ini, kesamaan dan kesepahaman pendefinisian ini juga ditemukan di kalangan Wahabi maupun Asy’ariyah.

Hampir semua buku yang ditulis oleh pihak-pihak yang saat ini sering bersebarangan paham mendefinisikan dan menyimpulkan apa yang dimaksud Ahlus-Sunnah wal Jamaah secara maknawi hampir sama. Kita ambil contoh kutipan-kutipan berikut ini.

“Adapun yang dimaksud dengan kata “sunnah” adalah merujuk kepada perilaku Rasulullah Saw., sementara yang dimaksud kata “wal Jamaah” adalah perilaku para sahabat Nabi Saw….

Demikian pula, yang juga mesti diketahui adalah bahwa masing-masing dari kedua Imam ini (Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi, pen.) tidak menyusun pendapat (keagamaan) menurut pemahaman mereka sendiri. Akan tetapi, mereka berdua semata-mata hanya menuturkan paham keyakinan yang utuh dan benar dari para sahabat Nabi (ini kedustaan atau kejahilan yang nyata), lalu mereka berdua berjuang keras membela keyakinan itu. (Maskumambang, 2015: 52-55).

“Arti Ahlussunnah ialah Penganut Sunnah Nabi. Arti wal Jamaah ialah penganut i’tiqad sebagai i’tiqad jamaah sahabat-sahabat Nabi. 

Kaum Ahlussunnah wal Jamaah ialah kaum yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad Nabi dan Sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam, al-Quran dan Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan cermat dan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin besar, yaitu Syekh Abu Hasan Ali Al-Asy’ari….

Hasil galian dari Quran dan Hadits oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dinamai “Madzhab Asy’ari” atau “faham Asyari,” walaupun pada hakikatnya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari hanya menggali, merumuskan, memfatwakan, menyiarkan, mempertahankan apa yang sudah ada dalam Al-Quran dan Hadits juga apa yang sudah dii’tiqodkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabat beliau.” (Abbas, 2006: 2-4). (Pernyataan ini sungguh tidak ilmiah)

“Istilah Ahlussunnah Wal-Jamaah ini bukan istilah yang datang dari nabi Saw. sebagai nama bagi kelompok tertentu. Tidak pernah ada, hadits shahih yang menjelaskan bahwa istilah Ahlussunnah Wal-Jamaah datang dari Nabi Saw. Istilah tersebut datangnya dari kalangan ulama salaf yang saleh, sebagai nama bagi kaum Muslimin yang mengikuti ajaran Islam yang murni dan asli.” (Ramli, 2012; 53). (Entah ini kedustaan atau kejahilan)

Baca juga: Sesatnya Asy'ariyah menurut ulama besar dari berbagai madzhab

Tiga kutipan di atas berasal dari penulis generasi tua dan baru dari kalangan pendukung mazhab Asy’ari. Definisi yang mereka ungkapkan di atas, ternyata tidak terlalu jauh berbeda dengan definisi yang dirumuskan oleh tokoh pembela Wahabi yang sangat gigih di Indonesia berikut ini.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum….

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama. Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa’ (orang asing). (Jawwas, 2006; https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html)


Kalau dari kalangan yang saling membid’ahkan satu sama lain saja definisi mengenai Ahlussunnah wal Jamaah ternyata sama secara mendasar, maka yang berusaha untuk menempuh jalan tengah pasti lebih berusaha untuk menunjukkan titik-titik kesamaan saja yang bisa mewadahi semua kalangan yang mengklaim Ahlussunnah wal Jamaah. Misalnya dalam kasus Indonesia, Persatuan Islam (Persis) salah satu ormas yang dipengaruhi gagasan “persatuan umat” oleh Jamaludin Al-Afhgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho mendefinisikan Ahlussunnah wal Jamaah lebih longgar dan dapat menampung semua yang mengklaim Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam keputusan Sidang Dewan Hisbah (lembaga fatwa Persis) pada tahun1995 dinyatakan bahwa yang dimaksud Ahlussunnah wal Jamaah adalah “orang atau kelompok orang yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan As Sunnah serta menjauhkan diri dari syirik dan bid’ah.” Mafhum Ahlussunnah wal Jamaah ialah berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Saw. dan mereka ialah para sahabat, tabi’in, para imam dan orang yang menempuh jalan mereka, baik dalam masalah akidah (keyakinan), perkataan, dan pebuatan hingga hari kiamat. (Dewan Hisbah Persis, 2008: 19 dan 25)

Titik Temu dan Potensi Konflik antar-Kelompok

Bila memperhatikan buku-buku yang terbit dari semua hampir semua kelompok yang mengklaim diri sebagai Ahlussunnah wal Jamaah, maka dapat ditemukan titik-titik kesamaan dasar yang potensial dapat mengikat persatuan di antara mereka. Akan tetapi, karena perbedaan pemikiran turunan, juga ditemukan potensi-potensi konflik yang bila tidak ditenggang dan tidak berusaha untuk saling memahami dapat dimanfaatkan oleh siapa saja untuk memperlebar perseteruan di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah sendiri. Hal-hal yang mendasar yang merupakan titik kesamaan antara lain sebagai berikut.

Pertama, penerimaan terhadap “Sunnah Nabi Saw.”. Semua kalangan tidak ada yang menolak keberadaan Sunnah atau “karir” hidup Nabi Saw. yang sepeninggalnya diwariskan dua perkara, yaitu Al-Quran dan Sunnah (hadis) Nabi Saw. Al-Quran dan Sunnah dijadikan sandaran pokok di dalam menjalankan agama. Agama yang tidak dilandaskan pada kedua sumber utama ini merupakan tindakan “bid’ah” yang sesat. Pemahaman terhadap kedua sumber ini yang sering disebut “ijtihad’ dengan segala perangkat dan turunan ilmunya, tentu tidak termasuk ke dalam kategori bid’ah. Sunnah Nabi Saw. ini lebih didahulukan daripada akal manusia; tidak seperti Mu’tazilah yang mendahulukan akal daripada Sunnah. Tidak ada Sunnah lain yang diterima sebagai sumber agama selain Sunnah Nabi Saw.; bertolak belakang dengan Syiah yang menerima Sunnah lain, yaitu Sunnah para Imam yang mereka yakini kemaksumannya.

Kedua, penerimaan atas posisi penting para sahabat. Semua kalangan yang mengaku Ahlus-Sunnah tidak ada yang menolak posisi penting para sahabat, baik dalam transmisi ajaran Nabi Saw. maupun dalam implementasinya di lapangan; apalagi sampai mengkafirkan para sahabat. Poin ini berbeda sepenuhnya dengan Mu’tazilah yang tidak menjadikan otoritas Sahabat Nabi Saw. sebagai instrument penting dalam merumuskan ajaran agama; terlebih beda lagi dengan Syiah yang menganggap semua sahabat kafir hingga keyakinan Syiah pasti menafikan ilmu dari para sahabat ini. Poin kedua ini adalah poin paling pokok untuk membedakan Ahlussunnah dengan yang lain, terutama dengan Syiah dan Mu’tazilah.

Kedua titik persamaan di atas kelihatannya bukan karena kesepahaman pemikiran belaka, melainkan karena ada penegasan dari Nabi Saw. mengenai golongan yang akan selamat di akhirat kelak (firqah al-nâjiyah) dari 73 golongan yang berpecah dari kalangan umat Islam. Dalam salah satu keterangan hadis disebutkan bahwa yang dimaksud al-jamâ’ah yang merupakan satu golongan selamat dari 73 golongan itu adalah orang-orang yang menapaki “jalan Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya.”[6] Hadis ini menjadi landasan semua kalangan yang mengaku Ahlussunnah wal Jamaah mengenai karakter dasar kelompok ini. Berdasar hadis ini semua sepakat bahwa kelompok Ahlussunnah wal Jamaah bukanlah nama sebuah kelompok gerakan melainkan sifat “mengikuti ajaran Rasulullah Saw. dan para sahabatnya” di dalam mengamalkan agama.

Masalah kemudian timbul ketika berbicara mengenai “kelompok mana” yang memiliki sifat seperti di atas. Dalam hal ini masing-masing kelompok merasa paling berhak atas nama “Ahlussunnah wal Jamaah” sambil menafikan kelompok yang lain yang sebetulnya memiliki prinsip yang sama. Dalam hal ini yang saling menolak adalah kelompok pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari (Asya’irah) dan pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahhab (Wahabiyah). Saling menafikan di antara dua kelompok ini bukan karena dua hal prinsip di atas, melainkan disebabkan masalah perbedaan pendekatan metodologis dalam memahami sebagian teks ayat Al-Quran dan hadis, terutama dalam memahami sifat-sifat Allah Swt. yang berbeda.


Kalangan Asya’irah membenarkan ta’wil terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis tentang sifat Allah Swt., sementara kalangan Wahabiyah tidak memperkenankannya. Wahabiyah lebih memilih melakukan pendekatan tafwîdh alias membiarkan teks berbicara apa adanya. Pendekatan ini boleh juga dikatakan pendekatan tekstualis. Karena perbedaan domain pendekatan ini satu sama lain saling menuduh keluar dari kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Asya’irah menuduh Wahabi telah melakukan tajsîm atau tasybîh (menyerupakan Allah Swt. dengan makhluk-Nya), sedangkan Wahabi menuduh Asya’irah telah melakukan bid’ah karena dianggap melakukan ta‘thîl (menolak sebagian sifat Allah Swt. yang jelas-jelas disebutkan dalam Al-Quran oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya).

Perbedaan metodologi ini juga pada gilirannya mengembangkan tradisi intelektual yang berbeda-beda. Masing-masing memiliki pendukungnya sendiri-sendiri di kalangan para ulama. Tradisi Asy’ariyah melahirkan tradisi Ilmu Kalam yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filosofis yang kadang-kadang harus meminjam teori-teori dari tradisi lain di luar Islam. Sebagian ada yang berlebihan (tatharruf) sampai ditolak oleh Mutakallimun (ahli Ilmu Kalam) yang lain. Walaupun tidak sebanyak pengikut Asy’ariyah, pendekatan tekstualis yang diformulasikan oleh Imam Ath-Thohawi pada gilirannya juga ada yang mengembangkannya. Di antara tokoh pengembangnya yang sangat terkenal adalah Ibnu Taimiyyah dan Muhammad Ibn Abdul Wahhab.Walaupun pendekatan tekstual diawali oleh Imam Ath-Thahawi, anehnya laqob yang disematkan pada kelompok ini lebih populer dengan sebutan Wahabi sebagai penisbatan pada Muhammad ibn Abdul Wahab. Tentu saja, ini harus menjadi bahan pembicaraan dan analisis tersendiri.

Menurut Abdul Azis As-Sairawân dalam Al-Îmân Syarh Al-Jawahir Al-Kalamiyah (1991: 17-18) sesungguhnya kedua-duanya sama-sama melakukan ta’wîl dan tafwîdh secara bersamaan, walaupun dalam kadar yang berbeda- beda. Sebab, baik Wahabiyah maupun Asy’ariyah pada prinsipnya sangat tegas menolak menyerupakan Allah Swt. dengan makhluknya (tasybîh) dan meniadakan sebagian sifat-sifat Allah (ta‘thîl). Menolak tasybîh mengharuskan dalam beberapa hal dilakukan ta’wil, walaupun sifatnya terbatas. Menolak ta‘thîl artinya harus menerima teks secara mendasar, tidak meniadakannya sama sekali, sekalipun dalam memahamainya harus dilakukan dengan cara ta’wîl. Oleh sebab itu, saling tuduh di antara kedua kelompok itu juga sama-sama tidak benar. 

Secara analisis keilmuan, titik pisah di antara kedua kelompok tersebut beredar sekitar hal di atas. Akan tetapi, sekecil apapun perbedaan sangat mungkin dikapitalisasi bila disusupi kepentingan-kepentingan tertentu. Hal yang paling membahayakan adalah apabila sudah disusupi kepentingan berebut pengaruh. Akan dengan sangat mudah satu sama lain saling men-tahdzîr agar tidak diikuti oleh masyarakat. Padahal, mungkin masyarakat awam tidak telalu paham apa sesungguhnya yang tengah diperdebatkan. Akan semakin parah lagi saat rebutan pengaruh ini disusupi oleh kepentingan politik musuh-musuh Islam yang hendak mengadu domba umat Islam dari dalam. Perbedaan furû’ semacam ini akan menjadi perbedaan yang sangat mungkin dapat menjadi alasan untuk satu sama lain saling menumpahkan darah dan saling mengkafirkan. Wallâhu A’lam.

____

Catatan kaki

[1] Istilah salafi untuk pemikiran Wahabiyah merupakan istilah yang diambil sendiri oleh para pengikut pemikiran ini. Sebab, diklaim bahwa pemikiran Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Abdul Wahhab hanya sekedar menghidupkan kembali pemikiran para ulama tiga generasi awal Islam: Rasulullah, Sahabat, da Tabi’in. Selain merujuk kepada Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Abdul Wahhab, kalangan Wahabiyah ini juga sering menyandarkan pemikiran mereka kepada Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi yang sezaman dengan Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi. Ath-Thahawi memang dikenal dengan pendekatannya yang tekstual berbeda Al-Asy’ari yang lebih menyenangi pendekatan ta’wil dalam masalah-masalah akidah. Pendekatan tekstual model Ath-Thahawi ini dianggap mewakili pandangan para ulama generasi salaf dan sejalan dengan pendekatan Ibnu Taimiyyah juga Muhammad ibn Abudl Wahhab. Oleh sebab itu, mereka menamai diri mereka dengan kelompok “salafi.” 

[2] Buku ini terbit pertama kali tahun 1969 dan berulang-ulang dicetak hingga sekarang. Sirajuddin Abbas adalah penulis yang tergabung dalam Persatuan Tarbiyah Islamamiyah (PERTI) Sumatera Barat yang dikenal sebagai kalangan “tradisionalis”-nya Sumbar. Secara ajaran PERTI menganut paham akidah dan fikih sama dengan Nahdhatul Ulama (NU) sehingga buku SIrajuddin Abbas inipun sering dijadikan rujukan oleh kalangan NU.

[3] Sumber: https://almanhaj.or.id/3429-pengertian-aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html

[4] Contoh yang meyakini ini dapat dilihat dalam buku Sirodjuddin Abbas (2006: 2-3), antara lain ia simpulkan sebagai berikut.

“Kaum Ahlussunnah wal Jamaah ialah kaum yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad Nabi dan Sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam, al-Quran dan Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan cermat dan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin besar, yaitu Syekh Abu Hasan Ali Al-Asy’ari (lahir di Bashrah th 260 H – wafat di Bashrah juga tahun 324 H pada usia 64 tahun). Karena itu, ada yang menamai kaum Ahlussunnah wal Jamaah dengan kaum Asyâ’irah, jamak dari Asy’ari dikaitkan dengan Abu Hasan Al-Asy’ari.”

Selain dalam buku di atas, dalam buku Menolak Wahabi (2015: 52) yang disebut-sebut tulisan K.H. Muhammad Faqih Maskumambang (1857-1937) terdapat pandangan yang sama seperti pandangan Abbas di atas: “Apabila dikatakan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, maka yang dikehendaki oleh kalimat tersebut adalah “mereka yang menganut paham Imam Al-Asy’ari (Asya’irah) dan Imam al-Maturidi (Maturidiyah).”

[5] Menarik bahwa tulisan lama dari kalangan Asy’ariyah seperti tulisan Siradjuddin Abbas dan Faqih Maskumambang di atas, terdapat persetujuan bahwa istilah Aswaja paling tepat bila dikaitkan kemunculannya dengan Abu Hasan Al-Asy’ari; akan tetapi generasi yang lebih baru seperti M. Idrus Ramli dalam Pengantar Sejarah Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah (2012: 68-71) menolak pandangan tersebut. Ia lebih setuju bahwa istilah ini sudah ada sejak zaman Sahabat, walaupun ia menolak bila Wahabi yang ada sejak abad ke-18 M termasuk di dalamnya. Data paling tua di antaranya ditemukan riwayat dari Ibnu Abbas (w. 68 H) saat menafsirkan QS Ali ‘Imran ayat 106 sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sebagai berikut:

قال ابن عباس في قوله تعالى: يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ (سورة ال عمران:106) فَأَمَّا الَّذِينَ اَبْيَضَّت وُجُوههم فأهل السنة والجماعة وأولوا العلم،و أما الذين اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ فأهل البدع و الضلالة

Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla: “Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram (qs Ali imran: 105). “Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’ân Al-‘Azhîm Jil. II, 2008 [cet. Tawfikia Mesir]: 57).  

Para ulama generasi sesudahnya sebelum kelahiran Abu Hasan Al-Asy’ari banyak juga yang menggunakan istilah Ahlus-Sunnah wal Jamaah ini untuk menyebut aliran yang benar, bukan aliran-aliran sesat dan bid’ah. Di antaranya istilah ini sudah digunakan oleh Umar ibn Abdul Aziz (w. 720 M/101 H), Hasan Al-Bashri (w. 729 M/110 H), Muhammad ibn Sirin (w. 729 M/110 H.), Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H/778 M), Imam Malik ibn Anas (w. 179 H/795 M), dan lainnya.

Kesimpulan ini sama dengan kesimpulan Yazid Jawwas dalam bukunya Syarah Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah (2006) sebagai bertikut.


Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya. Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah. (dapat juga dilihat salinannya di https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html).

[6] Hadis mengenai hal ini selengkapnya adalah sebagai berikut.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " تَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا فِرْقَةً وَاحِدَةً " ، قَالُوا : وَمَا تِلْكَ الْفِرْقَةُ ؟ قَالَ : " مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي " . 

Dari Anas ibn Malik, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja.” Para sahabat bertanya, “Golongan manakah itu?” Rasul menjawab, “Golongan yang aku berada di sana hari ini dan juga sahabat-sahabatku.” (HR Imam Tirmidzi no. 2565 dengan status hasan gharib).

Penggunaan hadis ini dapat dirujuk pada buku-buku yang membahas mengenai siapa yang disebut Ahlussunnah wal Jamaah dari penulis-penulis Ahlussunnah, baik pendukung Asy’ariyah maupun Wahabi.

Sumber: https://www.persis.or.id/

Tags