Type Here to Get Search Results !

 


SUAMI SEJATI #2

 

"Akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Terhadap Istri-Istri Beliau”

Setelah kita mengetahui silsilah sejarah pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marilah kita menelusuri bagaimanakah akhlak dan perhatian beliau kepada istri-istri beliau.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui seluruh istri beliau setiap hari

Mungkin saja engkau heran jika ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui istri-istrinya setiap hari???, Dengarkanlah tuturan Aisyah sebagaimana berikut ini:

عن عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا ، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا (امْرَأةً امْرَأةَ) فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا

Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendahulukan sebagaian kami di atas sebagian yang lain dalam hal jatah menginap di antara kami (istri-istri beliau), dan beliau selalu mengelilingi kami seluruhnya (satu persatu) kecuali sangat jarang sekali beliau tidak melakukan demikian. Maka beliau pun mendekati (mencium dan mencumbui)[1] setiap wanita tanpa menjimaknya hingga sampai pada wanita yang merupakan jatah menginapnya, lalu beliau menginap di tempat wanita tersebut” (HR Abu Dawud no 2135, Al-Hakim di Al-Mustadrok no 2760, Ahmad VI/107. Dan tambahan yang terdapat dalam kurung merupakan tambahan dari riwayat Ahmad . Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Ash-Shahihah no 1479))

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا انْصَرَفَ مِنَ الْعَصْرِ  دَخَلَ عَلَى نِسَائِهِ فَيَدْنُوْ مِنْ إِحْدَاهُنَّ فَدَخَلَ عَلَى حَفْصَةَ رضي الله عنها فَاحْتَبَسَ أَكْثَرَ مَا كَانَ يَحْتَبِسُ فَغِرْتُ فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ فَقِيْلَ لِي أَهْدَتْ لَهَا امْرَأَةٌ مِنْ قَوْمِهَا عُكَّةَ مِنْ عَسَلٍ فَسَقَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مِنْهُ شَرْبَةً فَقُلْتُ أَمَا وَاللهِ لَنَحْتَالَنَّ لَهُ !!! …

Dari Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai sholat ashar maka beliau masuk menemui istri-istrinya lalu mencium dan mencumbui salah seorang di antara mereka. Maka (pada suatu hari) beliau masuk menemui Hafshoh putri Umar (bin Al-Khotthob) lalu beliau berlama-lamaan di tempat tinggal Hafshoh, maka akupun cemburu. Lalu aku menanyakan sebab hal itu maka dikatakan kepadaku bahwasanya seorang wanita dari kaum Hafshoh menghadiahkan kepadanya sebelanga madu, maka ia (Hafshoh)pun meminumkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari madu tersebut. Aku (Aisyah)pun berkata, “Demi Allah aku akan membuat hilah (semacam sandiwara) dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…!!!” (HR Al-Bukhari no V/2000 no 4918, V/2017 no 4968, VI/2556 no 6571, Muslim no 1474)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala hendak sholat mencium istri beliau

عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ قَالَ قُلْتُ مَنْ هِيَ إِلاَّ أَنْتِ قَالَ فَضَحِكَتْ

Dari Urwah[2] dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium salah seorang istrinya kemudian keluar untuk sholat dan beliau tidak berwudhu. Maka akupun berkata, ‘Siapa lagi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tercebut kalau bukan engkau” maka Aisyahpun tertawa. (HR Abu Dawud no 179, At-Thirmidzi no 86 Ibnu Majah no 502, Ahmad VI/210 no 25807)

Faedah: Hadits ini diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu.

Yang sungguh disayangkan sebagian suami terkadang bukan hanya tidak mencumbui istrinya bahkan yang lebih parah dari itu ia tidak menjimaki istrinya dan membiarkannya memendam kerinduan hingga waktu yang lama, bahkan sebagian suami meninggalkan istrinya hingga lebih dari sebulan tanpa alasan…atau bahkan lebih daripada itu. Terlebih lagi jika sang suami memiliki istri lebih dari satu kemudian ia terbuai dan terlena dengan salah satu istrinya dan meninggalkan istrinya yang lain tersiksa menantinya dengan penuh kerinduan dan tersiksa dengan penuh kecemburuan…!!!, lebih baik baginya untuk tidak diberi makan sebulan dari pada memendam kerinduan selama sebulan, kebutuhannya kepada sentuhan suaminya lebih dari kebutuhannya terhadap makanan dan minuman..!!!

Ibnu Taimiyyah ditanya tentang seorang lelaki yang tidak menjimaki istrinya hingga sebulan atau dua bulan maka apakah ia mendapat dosa atau tidak?, dan apakah seorang suami dituntut untuk menjimaki istrinya?

Beliau menjawab, “Wajib bagi seorang suami untuk menjimaki istrinya dengan yang sepatutnya. Bahkan ini termasuk hak istri yang paling ditekankan yang harus ditunaikan oleh suami, lebih daripada memberi makan kepadanya. Dan jimak yang wajib (dilakukan oleh suami) dikatakan bahwasanya wajibnya sekali setiap empat bulan, dan dikatakan juga sesuai dengan kebutuhan sebagaimana sang suami memberi makan kepada istri sesuai kadar kebutuhannya dan kemampuannya. Dan inilah pendapat yang paling benar diantara dua pendapat tersebut.” (Majmu’ Fatawa XXXII/271)

Baca juga: Hukum nikah

Bukankah menjimaki istri merupakan ibadah…???.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا

“Dan seseorang diantara kalian menjimaki istrinya maka hal itu merupakan sedekah”. Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang diantara kita melepaskan syahwatnya lantas ia mendapatkan pahala?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagaimana menurut kalian jika ia melepaskan syahwatnya pada tempat yang haram (zina) bukankah ia berdosa?, maka demikianlah jika ia melepaskan syahwatnya di tempat yang halal maka ia mendapatkan pahala” (HR Muslim no 1006)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa menjimak istri merupakan ibadah yang pelakunya diberi ganjaran pahala. Barangsiapa yang kurang dalam melakukan ibadah ini (jimak) maka ia telah kurang dalam menunaikan kewajibannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Sesungguhnya istrimu memiliki hak yang harus kau tunaikan. ( HR Al-Bukhari II/696 no 1873)

Hal ini menunjukan bahwa jimak merupakan hak istri yang harus ditunaikan oleh seorang suami. Sikap kurang memperhatikan hak ini bisa menimbulkan banyak cek-cok dalam kehidupan keluarga, bahkan terkadang merupakan sebab terbesar timbulnya perceraian.

Pertemuan keluarga setiap malam

عن أنس رضي الله عنه قال : كَانَ لِلنَّبِيَِّ صلى الله عليه وسلم تِسْعُ نِسْوَةٍ ، فَكَانَ إِذَا قَسَمَ بَيْنَهُنَّ لاَ يَنْتَهِي إِلَى الْمَرْأَةِ الأُوْلَى إِلاَّ فِي تِسْعٍ ، فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيْهَا ، فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ فَجَاءَتْ زَيْنَبُ رضي الله عنها فَمَدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا ، فَقَالَتْ ــ أي عائشة ــ : هَذِهِ زَيْنَبُ ، فَكَفَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَدَهُ ، فَتَقَاوَلَتَا حَتَّى اسْتَخْبَتَا وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ رضي الله عنه عَلىَ ذَلِكَ فَسَمِعَ أَصْوَاتِهِمَا ، فَقَالَ  اخْرُجْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِلَى الصَّلاَةِ وَأَحُثُّ فِي أَفْوَاهِهِنَّ التُّرَابِ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ عَائِشَةُ الآنَ يَقْضِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَتَهُ فَيَجِيءُ أَبُو بَكْرٍ فَيَفْعَلُ بِي وَيَفْعَلُ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَتَهُ أَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهَا قَوْلاً شَدِيْدًا

Anas bin Malik berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sembilan orang istri[3]. Beliau jika membagi (giliran jatah menginap) diantara mereka bersembilan maka tidaklah beliau kembali kepada wanita yang pertama kecuali setelah sembilan hari. Mereka selalu berkumpul di rumah istri yang gilirannya mendapat jatah nginap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka suatu saat mereka berkumpul di rumah Aisyah lalu datanglah Zainab dan beliau mengulurkan tangannya kepada Zainab. Aisyahpun berkata, “Ini adalah Zainab”[4], maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menarik tangannya kembali. Lalu mereka berdua (Aisyah dan Zainab) saling berbicara hingga mereka berdua berbicara dengan suara yang hiruk. Dan ditegakkan sholat, lalu Abu Bakar melewati mereka dan mendengar suara mereka berdua, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun berkata, “Keluarlah wahai Nabi Allah untuk sholat, dan aku akan menabur tanah pada mulut mereka berdua”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar untuk sholat, Aisyahpun berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai sholat  akan datang Abu Bakar dan akan mengatakan kepadaku ini dan itu”. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai sholat maka Abu Bakarpun mendatangi Aisyah dan berkata kepadanya dengan perkataan yang tegas” (HR Muslim II/1084 no 1462)

Ibnu Katsir berkata, “…Dan istri-istri beliau berkumpul setiap malam di rumah istri yang mendapat giliran jatah nginapnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun terkadang makan malam bersama mereka kemudian masing-masing kembali ke tempat tinggalnya” (Tafsir Ibn Katsir I/467)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan penampilannya jika bertemu dengan istri-istrinya

Memperhatikan penampilan tubuh dan penampilan pakaian memiliki dampak positif yang cukup besar dalam menjaga kelestarian kehidupan rumah tangga. Sang istri berusaha berpenampilan menarik dengan pakaian yang menawan dan wewangian yang menggoda, demikian juga sang suami berusaha berpenampilan menawan di hadapan sang istri… maka sungguh indah kehidupan ini. Bayangkan lagi jika setiap hari demikian pemandangan kehidupan rumah tangga….apalagi jika kedua sejoli berusaha dalam kondisi seperti ini tatkala setiap kali bersua…sungguh romantis…!!!???.

Namun kenyataan yang terjadi di zaman ini, para wanita banyak yang berpenampilan untuk orang lain, bahkan terkadang sebagian suami yang bejat merasa bangga jika istrinya berpenampilan ayu dihadapan orang lain agar ia mengiklankan bahwa ia mempunyai istri yang ayu…demikian juga sebaliknya dengan sang suami yang hanya berpenampilan dan berwewangian jika bersua dengan sahabat-sahabatnya…rekan bisnisnya… Adapun jika bertemu dengan istrinya maka ia tidak peduli dengan pakaiannya yang kusut, aroma tubuhnya yang bau…dan….dan… maka bagaimankah kehidupan rumah tangga langgeng dengan penuh keromantisan jika kondisinya seperti ini..???!!!.


Sebagian para suami yang lalai, mereka menyangka bahwa istri-istri mereka saja yang wajib untuk menghias diri dan beraroma sedap dihadapan mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Adapun mereka, maka tidak perlu untuk menghias diri dan merapikan tubuh…!!!!

Apakah mereka lupa bahwa istri-istri mereka juga butuh dengan ketampanan mereka…??, butuh untuk memandang pemandangan yang indah…???, butuh untuk menghirup aroma yang segar dan wangi…???.

Ibnu Katsir berkata tatkala menafsirkan firman Allah

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (النساء : 19

Dan bergaullah dengan mereka dengan baik (QS. 4:19)

“….Indahkanlah penampilan kalian semampu kalian. Sebagaimana engkau menyenangi ia (istrimu) berhias diri maka hendaknya engkau juga berbuat demikian dihadapannya. Allah berfirman

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (البقرة : 228

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya. (QS. 2:228). (Tafsir Ibnu Katsir I/467)

Ibnu Abbas berkata,

إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَتَزَيَّنَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَتَزَيَّنَ لِي لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Sesungghnya aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku suka ia berhias untukku karena Allah berfirman “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya” (Atsar riwayat At-Thobari di tafsirnya II/453, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro VII/295 no 14505,  dan Ibnu Abi Syaibah di Mushonnafnya IV/196 no 19263)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan penampilannya jika bertemu dengan istri-istrinya.

عن عائشة رضي الله عنها قالت : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ

Dari Aisyah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika masuk ke rumahnya maka yang pertama kali beliau lakukan adalah bersiwak” (HR Muslim I/220 no 253)

عن عائشة رضي الله عنها قالت : … كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَشْتَدُّ عَلَيْهِ أَنْ تُوْجَدَ مِنْهُ الرِّيْحُ …  فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِسَوْدَةَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْكَ فَإِنَّهُ سَيَدْنُوْ مِنْكَ فَقُوْلِي لَـهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكَلْتَ مَغَافِيْرَ ؟ فَإِنَّهُ سَيَقُوْلُ لاَ ، فَقُوْلِي لَـهُ مَا هَذِهِ الرِّيْحُ ؟ … فَلَمَّا دَخَلَ عَلَى حَفْصَةَ قَالَتْ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ أَسْقِيْكَ مِنْهُ ؟ قَالَ لاَ حَاجَةَ لِي بِهِ ، قَالَتْ تَقُوْلُ سَوْدَةُ سُبْحَانَ اللهِ لَقَدْ حَرَمْنَاهُ قَالَتْ قُلْتُ لَهَا اُسْكُتِي

Dari Aisyah berkata, (yaitu dalam kisah pengharaman madu) “…Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat merasa berat jika ditemukan darinya bau (yang tidak enak)…”, maka Aisyah berkata kepada Saudah, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuimu maka ia akan mendekatimu (mencumbuimu) maka katakanlah kepadanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah engkau makan magofir (yaitu tumbuhan yang memiliki bau yang tidak enak)?, maka ia akan berkata, “Tidak”, lalu katakanlah, “Kalau begitu ini bau apaan?”….tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Hafshoh maka Hafshohpun berkata keapadanya, “Aku tuangkan madu buatmu?”, Rasulullah berkata, “Aku tidak pingin madu tersebut”. Saudah berkata, “Mahasuci Allah, kita telah menjadikannya mengharamkan madu”. Aisyah berkata kepada Saudah, “Diamlah!!!” (HR Al-Bukhari VI/2556 no 6571)

Bahkan tidaklah mengapa jika seorang suami sengaja untuk memiliki pakaian yang agak mahal sedikit demi menjaga penampilannya di hadapan istrinya selama tidak sampai derajat pemborosan.
Anas bin Malik berkata

كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَلْبَسَهَا الْحِبَرَةَ

Pakaian yang paling senang dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Hibaroh. (HR Al-Bukhari no 5476 dan Muslim no 2079)

Berkata Ibnu Baththol, “Hibaroh adalah pakaian dari negeri Yaman yang terbuat dari kain Quthn. Dan ia merupakan pakaian termulia di sisi mereka” (Fathul Bari X/277)

Berkata Al-Qurthubi, “Dinamakan Hibaroh karena pakaian tersebut تُحَبِّرُ yaitu menghias dan mengindahkan (pemakainya)” (Fathul Bari X/277)

Bahkan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat beliau tidak meninggalkan kain yang indah ini. Aisyah berkata

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِيْنَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرَدِ حِبَرَةٍ

Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala wafat beliau ditutupi dengan kain hibaroh. (HR Al-Bukhari no 5477)

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berhias dan berpenampilan rapi dan bersih. Tatkala beliau melihat seseorang memakai pakaian yang usang maka beliau berkata kepadanya, “Apakah engkau memiliki harta?”, orang itu berkata, “Iya Rasulullah, aku memiliki seluruh jenis harta (yaitu yang dikenal saat itu) (Hasyiah As-Sindi VIII/181)”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya

فَإِذَا آتَاكَ اللهُ مَالاً فَلْيُرَ أَثَرُهُ عَلَيْكَ

Jika Allah memberikan harta kepadamu maka hendaknya terlihat tanda harta tersebut pada dirimu. (HR An-Nasai no 5223 dan dshahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Baca juga: Al-Muharramat

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, “Yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya yaitu baju yang indah dan bersih agar orang-orang yang membutuhkan tahu keadaannya untuk meminta kepadanya. Dengan tetap memperhatikan niat (yang baik dan tidak untuk bersombong ria-pen) serta tidak sampai pada derajat pemborosan” (Fathul Bari X/260)

Cumbuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada istrinya

Berkata Ibnu Katsir, “…Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur bersama salah seorang istri-istrinya di dalam satu baju, beliau melepaskan rida (selendang) dari kedua pundaknya dan beliau tidur dengan sarungnya” (Tafsir Ibnu Katsir I/467)

عن ميمونة رضي الله عنها قالت : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُبَاشِرُ نِسَاءَهُ فَوْقَ الْإِزَارِ وَهُنَّ حُيَّضٌ

Dari Maimunah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui istri-istrinya di atas (tempat diikatnya) sarung[1] dan mereka dalam keadaan haid”  (HR Muslim I/243 no 294)

وعن أم سلمة رضي الله عنها قالت : بَيْنَمَا أَنَا مُضْطَجِعَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْخَمِيْلَةِ إِذْ حُضْتُ   فَانْسَلَلْتُ  فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَيْضَتِي فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَفِسْتِ ؟ قُُُُُُُُُُلْتُ نَعَمْ ، فَدَعَانِي فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيْلَةِ

Dari Ummu Salamah berata, “Tatkala aku sedang berbaring bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah kain (berselimutan sebuah kain), tiba-tiba aku haid. Maka akupun diam-diam keluar dan mengambil baju haidku, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Apakah engkau haid?”, aku berkata, “Iya”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku dan akupun berbaring bersama beliau dalam sebuah kain”.

Ummu Salamah berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya dan ia sedang puasa, ia juga mengabarkan bahwasanya ia dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi janabah bersama di sebuah tempayan. (HR Al-Bukhari I/122 no 316, II/681 no 1828, Muslim I/243 no 296)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi bareng bersama istri-istrinya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi bersama istri-istri beliau. Beliau mandi bersama Ummu Salamah (sebagaimana telah lalu penyebutannya) (HR Al-Bukhari I/122 no 316, II/681 no 1828, Muslim I/243 no 296, I/256 no 324). Beliau juga mandi bersama Aisyah sebagaimana tuturan Aisyah, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi bersama dari satu tempayan”. (HR Al-Bukhari I/100 no 247)

Aisyah juga berkata,

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بَيْنِي وَبَيْنَهُ فَيُبَادِرُنِي حَتَّى أَقُوْلُ دَعْ لِيْ دَعْ لِيْ قَالَتْ وَهُمَا جُنُبَانِ

“Aku mandi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu tempayan (yang diletakan) antara kami berdua, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahuluiku (dalam mengambil air dari tempayan) hingga aku berkata, “Sisakan air buatku, sisakan air buatku”. Dan mereka berdua dalam keadaan junub. (HR Muslim I/257 no 321)

Beliau juga mandi bareng bersama Maimunah. ( HR Al-Bukkhari I/101 no 250, Muslim I/256 no 322)

Sunnah mandi bareng sering dilupakan oleh para suami, padahal penerapan sunnah ini sangat membantu dalam menambah kasih sayang diantara suami istri sehingga semakin menghidupkan rumah tangga yang romantis.

Faedah:

Berkata Ibnu Hajar, “Dawudi berdalil dengan hadits ini (yaitu tentang mandinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Aisyah) bahwasanya boleh bagi seorang pria melihat aurat istrinya dan juga sebaliknya. Dan hal ini dikuatkan lagi dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang seorang pria yang melihat kemaluan istrinya maka ia berkata, “Aku telah menanyakan hal ini kepada Ato’ dan ia berkata, “Aku telah bertanya kepada Aisyah (tentang hal ini) lalu Aisyah menyebutkan hadits ini”. Dan hadits ini merupakan nas (dalil yang tegas) akan bolehnya hal ini”. (Fathul Bari I/364)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercengkrama bersama istrinya sebelum tidur

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu

بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُوْنَةَ فَتَحَدَّثَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ

“Aku menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan istrinya (Maimunah) beberapa lama kemudian beliau tidur”. ( HR Al-Bukhari IV/1665 no 4293, VI/2712 no 7014 dan Muslim I/530 no 763)

Hukum asal berbincang-bincang setelah sholat isya’ adalah dibenci, Sebagaimana dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami dimana beliau berkata,

وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya’ dan berbincang-bincang setelahnya” (HR Al-Bukhari I/201 no 522, I/208 no 543 dan Muslim I/447 no 647)

namun jika karena ada kepentingan yang berkaitan dengan agama seperti membahas kepentingan yang berkaitan dengan kaum muslimin maka dibolehkan atau untuk menuntut ilmu maka dibolehkan. Dan diantara perbincangan yang boleh dilakukan setelah isya’ adalah perbincangan antara suami dan istri sebelum tidur sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istrinya.

Sunnah ini telah dilalaikan oleh banyak pasangan suami istri, terutama jika keduanya telah sibuk di siang hari maka waktu di malam hari digunakan langsung untuk istirahat tanpa ada perbincangan antara mereka berdua. Terkadang karena saking sibuknya tidak ada waktu bagi sang suami untuk berbincang-bincang dengan istrinya yang terkadang telah lama menanti kedatangan suaminya yang sibuk bekerja di siang hari, ia ingin menikmati suara suaminya..ingin menikmati gurauan dan canda suaminya sebelum tidur…, atau ia ingin menyampaikan unek-uneknya…??!!!

Bukankah istri merupakan orang yang terdekat dengannya…??, bukankah istri merupakan pakaian yang dipakainya…???

Allah berfirman

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ (البقرة : 187 )

Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (QS. 2:187)

Sesungguhnya sunnah yang kelihatannya sepele ini namun jika diterapkan maka akan semakin tumbuh benih kasih sayang antara dua sejoli.

Faedah :

Hadits ini dibawakan oleh Imam Al-Bukhari dengan sebagian lafal yang lain dari jalan yang lain[2] dalam باب السَّمْرُ فِي الْعِلْمِ (bab berbincang-bincang di malam hari untuk menuntut ilmu) padahal hadits ini sama sekali tidak menyebutkan tentang perbincangan di malam hari dalam rangka untuk menuntut ilmu. Ibnu Hajar berkata menjelaskan maksud Imam Al-Bukhari, “Hanyalah maksud Imam Al-Bukhari pada hadits ini adalah lafal yang tercantum dalam hadits ini dari jalan yang lain yang menunjukan secara jelas tentang hakikat samr (perbincangan di malam hari) setelah isya’…jika dikatakan bahwasanya hadits ini hanyalah menunjukan perbincangan di malam hari bersama istri bukan perbincangan tentang ilmu agama maka jawabannya adalah (hukum) perbincangan dengan istri diikutkan dengan (hukum) perbincangan di malam hari tentang ilmu, karena keduanya sama-sama untuk memperoleh faedah. Atau dengan dalil fahwal khithob (mafhum mukholafah), karena jika dibolehkan berbincang-bincang di malam hari pada perkataan yang mubah (berbicara dengan istri) maka berbincang-bincang karena perkara mustahab (tentang ilmu agama) lebih utama”. (Fathul Bari I/213)

Tawadhu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapan istri-istri beliau

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tawadhu’ (rendah diri) dihadapan istri-istrinya, sampai-sampai beliau membantu istri-istrinya dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga –meskipun ditengah kesibukan beliau menunaikan kewajiban beliau untuk menyampaikan risalah Allah atau kesibukan mengatur kaum muslimin-.

Aisyah berkata, كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi sholat”. (HR Al-Bukhari V/2245 no 5692)

Imam Al-Bukhari membawakan perkataan Aisyah ini dalam dua bab yaitu “Bab tentang bagaimanakah seorang (suami) di keluarganya (istrinya)?” dan “Bab seseorang membantu istrinya”

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember”. (HR Ibnu Hibban (Al-Ihsan XII/490 no 5676, XIV/351 no 6440),)

Dalam buku Syama’il karya At-Thirmidzi, “Dan memerah susu kambingnya…” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di As-Shahihah 671)

Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menganjurkan untuk bersikap rendah diri dan meninggalkan kesombongan serta seorang suami yang membantu istrinya”. (Fathul Bari II/163)

Hal ini tidak sebagaimana yang kita lihat pada sebagian suami yang merasa terhina jika melakukan hal-hal seperti ini, merasa rendah jika membantu istrinya mencuci, meneyelesaikan beberapa urusan rumah tangga…, apalagi jika mereka adalah para suami berjas (alias kantoran). Maka seakan-akan pekerjaan seperti ini tidak pantas mereka kerjakan. Atau mereka merasa ini hanyalah tugas ibu-ibu dan para suami tidak pantas dan tidak layak untuk melakukannya.

Berikut ini beberapa kisah yang menunjukan tawadu’nya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapan istri-istrinya

وعن أنس رضي الله عنه قال : كَانَ  النَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ ، فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ  بِصَحْفَةِ فِيها طَعَامٌ  فَضَرَبَتْ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَلَقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيْهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُوْلُ: غَارَتْ أُمُّكُمْ ..

Dari Anas bin Malik berkata, “Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tempat salah seorang istrinya maka salah seorang istri beliau (yang lain) mengirim sepiring makanan. Maka istri beliau yang beliau sedang dirumahnyapun memukul tangan pembantu sehingga jatuhlah piring dan pecah (sehingga makanan berhamburan). Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring tersebut dan mengumpulkan makanan yang tadinya di piring, beliau berkata, “Ibu kalian cemburu….” (HR Al-Bukhari V/2003 no 4927)

Lihatlah…Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak marah akibat perbuatan istrinya yang menyebabkan pecahnya piring…beliau tidak berkata, “Lihatlah..makanan berhamburan…!!!, ayo kumpulkan makanan yang berhamburan ini…!!!, ini adalah perbuatan mubadzir…!!!”.

Akan tetapi beliau mendiamkan hal tersebut….bahkan beliaulah –dengan tawadhu’nya- yang langsung mengumpulkan pecahan piring dan mengumpulkan makanan yang berhamburan…padahal di samping beliau ada pembantu…!!!

Tidak cukup sampai di situ saja..bahkan  beliau memberi udzur (alasan) untuk membela sikap istri beliau tersebut agar tidak dicela, beliau berkata, “Ibu kalian cemburu…”…!!!

Beliau menghadapi persamalahan rumah tangganya dengan tenang dan bijak, bagaimanapun beratnya permasalahan tersebut. Beliau bisa menenangkan istri-istri beliau jika timbul kecemburuan diantara mereka, padahal istri-istri beliau sembilan. Sebagian suami yang tidak bisa mengatasi permasalahan istri-istrinya dengan tenang, padahal istrinya hanya dua, apalagi empat???. Bahkan sebagian suami tidak mampu mengatasi permasalahan rumah tangganya dengan tenang dan bijaksana padahal istrinya hanya satu…???!!.

Berkata Ibnu Hajar, “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ibu kalian cemburu” adalah udzur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (buat istrinya yang menyebabkan pecahnya piring) agar sikap istrinya tersebut tidak dicela, akan tetapi sikap tersebut biasa terjadi diantara seorang istri dengan madunya karena cemburu. Rasa cemburu itu memang merupakan tabiat yang terdapat dalam diri (wanita) yang tidak mungkin untuk ditolak”. (Fathul Bari V/126)

Ibnu Hajar juga berkata, “Mereka (para pensyarah hadits ini) berkata bahwasanya pada hadits ini ada isyarat untuk tidak menghukum wanita yang cemburu karena sikap kekeliruan yang timbul darinya. Karena ia tatkala cemburu akalnya tertutup karena marah yang sangat yang dikobarkan oleh rasa cemburu. Abu Ya’la telah mengeluarkan hadits dengan sanad yang tidak mengapa (hasan) dari Aisyah secara marfu’ أَنَّ الْغَيْرَاءَ لاَ تُبْصِرُ أَسْفَلَ الْوَادِي مِنْ أَعْلاَهُ “Wanita yang cemburu tidak bisa membedakan antara bagian bawah lembah dan bagian atasnya”… dan dari Ibnu Mas’ud –dia menyandarkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- 

اللهُ كَتَبَ الْغَيْرَةَ عَلَى النِّسَاءِ فَمَنْ صَبَرَ مِنْهُنَّ كَانَ لَهُ أَجْرُ شَهِيْدٍ 

“Allah menetapkan rasa cemburu pada para wanita, maka barangsiapa yang sabar terhadap mereka maka baginya pahala orang mati syahid”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Al-Bazzar mengisyaratkan akan sahihnya hadits ini. Para perawinya tsiqoh (terpercaya) hanya saja para ulama memperselisihkan (kredibilitas) perawi ‘Ubaid bin As-Sobbah”. (Fathul Bari IX/325)

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم خَيْبَرَ فَلَمَّا فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ الْحِصْنَ ذُكِرَ لَـُه جَمَالُ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَي بْنِ أَخْطَبَ وَقَدْ قُتِلَ زَوْجُهَا وَكَانَتْ عَرُوْسًا فَاصْطَفَاهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِنَفْسِهِ ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الْمَدِيْنَةِ…

قال فَرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَحْوِي لَهَا وَرَاءَهُ بِعِبَاءَةٍ ثُمَّ يَجْلِسُ عِنْدَ بَعِيْرِهِ فَيَضَعُ رُكْبَتَهُ فَتَضَعُ صَفِيَّةُ رِجْلَهَا عَلَى رُكْبَتِهِ حَتَّى تَرْكَبَ

Dari Anas bin Malik berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Khoibar, tatkala Allah memenangkan beliau untuk membuka benteng (menguasai) Khoibar disebutkan kepada beliau tentang cantiknya Sofiah bin Huyai bin Akhthob dan suami Shofiah telah tewas dan tatkala itu Sofiyah masih pengantin baru. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memilihnya untuk menjadi istrinya. Lalu keluarlah kami menuju kota Madinah… Anas berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan kelambu di atas onta untuk Sofiyah lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di dekat onta lalu meletakan lutut beliau, lalu Sofiyah menginjakkan kakinya di atas lutut beliau untuk naik di atas onta…”. (HR Al-Bukhari II/778 no 2120, III/1059 no 2736)

Lihatlah…Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian (tawadhu’ pada istri beliau) dihadapan banyak orang (para sahabat)…!!!, kenapa…???, agar para sahabat meneladaninya…agar kita meneladaninya…!!

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قَالَتْ دَخَلَ الحَبَشَةُ الْمَسْجِدَ يَلْعَبُوْنَ فَقَالَ لِي يَا حُمَيْرَاءُ أَتُحِبِّيْنَ أَنْ تَنْظُرِي إلَيْهِمْ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَامَ باِلْبَابِ وَجِئْتُهُ فَوَضَعْتُ ذَقَنِي عَلَى عَاتِقِهِ فَأَسْنَدْتُ وَجْهِي إِلَى خَدِّهِ … فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  حَسْبُكِ فَقُلْتُ يَا رَسُوْل اللهِ لاَ تَعْجَلْ فَقَامَ لِي ثُمَّ قَالَ حَسْبُكِ فَقُلْتُ لاَ تَعْجَلْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَتْ وَمَالِي حُبُّ النَّظْرِ إِلَيْهِمْ وَلَكِنِّي أَحْبَبْتُ أَنْ يَبْلُغَ النِّسَاءَ مَقَامُهُ لِي وَمَكَانِي مِنْهُ

Dari Aisyah berkata, “Orang-orang Habasyah (Ethiopia) masuk kedalam masjid bermain, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada, “Wahai yang kemerah-merahan (maksudnya adalah Aisyah)[3], apakah engkau ingin melihat mereka?”, aku berkata, “Iya”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdiri di pintu lalu aku mendatanginya dan aku letakkan daguku di atas pundaknya dan aku sandarkan wajahku di pipinya…Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sudah cukup (engkau melihat mereka bermain)”, aku berkata, “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru”, lalu beliau (tetap) berdiri untukku (agar aku bisa terus melihat mereka. Kemudian ia berkata, “Sudah cukup”, aku berkata, “Wahai Rasulullah, jangan terburu-buru”. Aisyah berkata, “Aku tidak ingin terus melihat mereka bermain, akan tetapi aku ingin para wanita tahu bagaimana kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisiku dan kedudukanku di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR Al-Bukhari V/2006 no 4938, Muslim II/608 no 892, An-Nasai no 1594 (Al-Kubro V/307 no 8951 dan ini adalah lafal di Sunan An-Nasa’i Al-Kubro)

Lihatlah bagaimana tawadhu’nya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdiri menemani Aisyah menyaksikan permainan orang-orang Habasyah, bahkan beliau terus berdiri hingga memenuhi keinginan Aisyah sebagaimana perkataan Aisyah dalam riwayat yang lain, “Hingga akulah yang bosan (melihat permainan mereka)”. (HR Al-Bukhari V/2006 no 4938)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak segan-segan memberikan waktunya kepada istrinya untuk memenuhi keinginan istrinya karena beliau adalah orang yang paling lembut kepada istri-istri dalam segala hal selama masih dalam parkara-perkara yang mubah (dibolehkan).

Renungkanlah kisah yang dituturkan oleh Aisyah..

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي فَأَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الْتِمَاسِهِ وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ وَلَيْسُوْا عَلَى مَاءٍ فَأَتَى النَّاسَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ فَقَالُوْا أَلاَ تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالنَّاسِ وَلَيْسُوْا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَجَاءَ أَبُوْ بَكْرٍ وَرَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم وَاضِعُ رَأْسِهِ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ فَقَالَ حَبَسْتِ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالنَّاسَ وَلَيْسُوْا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَعَاتَبَنِي أَبُوْ بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلُ وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي فَلاَ يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلاَّ مَكَانُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى فَخِذِي فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِيْنَ أَصْبَحَ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ }فَتَيَمَّمُوْا{ فَقَالَ أُسَيْدُ بْنِ الْحُضَيْرِ مَا هِيَ بَأَوَلِ بَرَكَتِكُمْ ياَ آلَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ فَبَعَثْنَا الْبَعِيْرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيِهِ فَأَصَبْنَا الْعِقْدَ تَحْتَهُ

Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safar beliau (yaitu tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya berangkat berperang melawan kaum yahudi kabilah bani Mushtholiq[4]) , hingga tatkala kami sampai di Al-Baidaa’ di Dzatuljaisy kalung milikku terputus maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut, dan orang-orang yang beserta beliaupun ikut terhenti, padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci. Maka orang-orangpun pada berdatangan menemui Abu Bakar As-Shiddiq dan berkata, “Tidakkah engkau lihat apa yang telah diperbuat Aisyah, ia menyebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan bersuci”. Maka Abu Bakar menemuiku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbaring meletakan kepalanya di atas pahaku dan beliau telah tertidur. Lalu ia berkata, “Engkau telah menyebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti padahal orang-orang dalam keadaan tidak bersuci dan mereka tidak memiliki air”. Aisyah berkata, “Maka Abu Bakar mencelaku dan berkata dengan perkataannya lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Dan tidaklah mencegahku untuk bergerak (karena kesakitan) kecuali karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas pahaku. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun tatkala subuh dalam keadaan tidak bersuci lalu Allah turunkan ayat tayammum {فَتَيَمَّمُوْا} (Bertayammumlah..). Berkata Usaid bin Al-Hudhoir, “Ini bukanlah awal barokah kalian wahai keluarga Abu Bakar”. Aisyah berkata, “Lalu kami mengutus unta yang tadinya aku naik di atasnya maka kami mendapati ternyata kalung (yang hilang) terdapat di bawah unta tersebut”. (HR Al-Bukhari I/127 no 327)

Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberhentikan pasukan perangnya yang sedang berangkat untuk menyerang orang-orang Yahudi hanya untuk mencari kalung Aisyah yang jatuh..!!!.

Bahkan Rasulullah memerintahkan sebagian sahabatnya yang dipimpin oleh Usaid bin Al-Hudhoir untuk mencari kalung tersebut[5]. Bahkan disebutkan bahwa kalung Aisyah yang hilang nilainya murah, ada yang mengatakan nilainya hanya dua belas dirham…!!![6] Apalagi di tengah malam dan para sahabat dalam keadaan tidak bersuci…!!!, apalagi mereka tidak membawa air…!!!.

Ini semua menunjukan bagaimana perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tawadhu’ beliau kepada istri-istri beliau.

Yang sungguh sangat disayangkan sebagian suami sangat pelit terhadap istrinya…bukan hanya pelit terhadap hartanya, bahkan pelit terhadap waktunya…seakan-akan waktunya sangat berharga tidak pantas untuk dihabiskan bersama istrinya. Sebagian suami sangat tidak sabar untuk menemani istrinya belanja…!!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangkan hati istri-istrinya

Termasuk perkara yang menguatkan tali kasih sayang diantara dua sejoli adalah variasi dalam cara bermuamalah dengan istri. Dan tidak diragukan lagi bahwa diantara cara mu’amalah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat adalah berusaha untuk menyenangkan hati istri. Menyenangkan hati orang lain secara umum merupakan ibadah, apalagi menyenangkan hati seorang istri secara khusus yang telah banyak berjasa kepada suaminya. Dialah yang telah bersusah payah mengurus kebutuhan-kebutuhan suaminya, dialah yang mengurus anak-anak, dan pekerjaan-pekerjaan yang lainnya yang tidak diragukan lagi akan besarnya jasa seorang istri bagi suaminya. Tidak ada salahnya jika seorang suami memberikan hadiah “yang agak bernilai” untuk istrinya…, jika ia memang tidak mampu untuk melakukan demikian maka senangkanlah hati istrinya dengan cara-cara yang lain…, bahkan dengan perkataan yang baik terkadang lebih bermakna dari pada harta yang banyak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ “Perkataan yang baik adalah sedekah”. (HR Al-Bukhari III/1090 no 2827, Muslim II/699 no 1009)

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa perbuatan atau perkataan yang asalnya mubah namun jika diniatkan untuk menyenangkan hati orang lain maka akan bernilai ibadah. (Al-Qoulul Mufiid (Bab tentang  لَو, tatkala beliau menjelaskan tentang hadits Abu Huroiroh اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنفَعُكَ…))

Diantara dalil yang menunjukan bahwa membuat istri senang dan tertawa merupakan perkara yang disunnahkan dan dituntut dalam syari’at adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir tatkala Jabir baru menikah

فَهَلاَّ جَارِيَةٌ تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ وَتُضَاحِكُهَا وَتُضَاحِكُكَ

“Kenapa engkau tidak menikahi yang  masih gadis sehingga engkau bisa bermain dengannya dan ia bermain denganmu (saling cumbu-cumbuan), engkau membuatnya tertawa dan ia membuatmu tertawa?”( HR Al-Bukhari 5/2053, Muslim 2/1087, Abu Dawud 2/220, An-Nasai di Al-Kubro 3/265, dan Al-Mujtaba 6/61)

Diantara contoh sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyenangkan hati istri-istri beliau adalah sebagai berikut

عن عائشة أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرِهِ ، وَهِيَ جَارِيَةٌ قَالَتْ : لَمْ أَحْمِلِ اللَّحْمَ ، وَلَمْ أَبْدَنْ ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ : تَقَدَّمُوْا ،  فَتَقَدَّمُوْا ، ثُمَّ قَالَ : تَعاَلَيْ أُسَابِقُكِ ، فَسَابَقْتُهُ ، فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلِي ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدُ ، خَرَجْتُ مَعَهُ فِي سَفَرٍ ، فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ : تَقَدَّمُوْا ، ثُمَّ قَالَ : تَعَالَيْ أُسَابِقُكِ ، وَنَسِيْتُ الَّذِي كَانَ ، وَقَدْ حَمِِلْتُ اللَّحْمَ ، وَبَدَنْتُ ، فَقُلْتُ : كَيْفَ أُسَابِقُكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأنَا عَلَى هَذِهِ الْحَالِ ؟ فَقَالَ : لَتَفْعَلَنَّ ، فَسَابَقْتُهُ ، فَسَبَقَنِي ، فَجَعَلَ يَضْحَكُ ، وَ قَالَ : هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ

Dari Aisyah bahwasanya ia pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersafar, dan tatkala itu ia masih gadis remaja (Aisyah berkata, “Aku tidak gemuk), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah ke depan”, lalu merekapun maju ke depan. Kemudian beliau berkata, “Kemarilah (Aisyah) kita berlomba (lari)”, maka akupun berlomba dengannya dan aku mengalahkannya. Tatkala di kemudian hari aku bersafar bersama beliau lalu beliau berkata kepada para sahabatnya, “Pergilah maju ke depan”, kemudian ia berkata, “Kemarilah (Aisyah) kita berlomba (lari)”, dan aku telah lupa perlombaan yang dulu dan tatkala itu aku sudah gemuk. Maka akupun berkata, “Bagaimana aku bisa mengalahkanmu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kondisiku sekarang seperti ini?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau akan berlomba denganku”, maka akupun berlomba dengannya lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahuluiku, kemudian beliaupun tertawa dan berkata, “Ini untuk kekalahanku yang dulu” (Syaikh Al-Albani berkata, “Dikeluarkan oleh Al-Humaidi di Musnadnya, Abu Dawud, An-Nasai, At-Thobroni dan isnadnya shahih sebagaimana perkataan Al-Iroqi dalam takhrij Al-Ihya’” (Adabuz Zifaf hal 204))

Hadits ini jelas menunjukan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan sikap lembut beliau kepada istri beliau. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencandai istrinya di hadapan para sahabatnya. Kalau kita perhatikan hadits ini jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba dengan Aisyah di awal kali bukanlah untuk kemenangan akan tetapi jelas untuk menyenangkan hati Aisyah. Kemudian setelah waktu yang lama setelah Aisyah gemuk beliau untuk kedua kalinya mengajak Aisyah berlomba untuk menyenangkan hati Aisyah, dan lomba yang kedua kali ini lebih terasa pengaruhnya dalam menyenangkan hati Aisyah.

Contoh yang lain

عَنْ عَائِشَةَ قاَلَتْ قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّى رَاضِيَةً وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى ، فَقُلْتُ : وَمِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّى رَاضِيَةً فَإِنَّكِ تَقُوْلِيْنَ لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ ، وَإِذَا كُنْتِ غَضْبَى قُلْتِ لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيْمَ !! ، قَالَتْ : قُلْتُ : أَجَلْ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَهْجُرُ إِلاَّ اسْمَكَ

Dari Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku tahu jika engkau sedang ridho kepadaku dan jika engkau sedang marah kepadaku”. Aku berkata, “Dari mana engkau tahu hal itu?”, beliau berkata, “Adapun jika engkau ridho kepadaku maka engkau berkata “Demi Robnya Muhammad”, dan jika engkau sedang marah maka engkau berkata, “Demi Robnya Ibrahim”!!. Aku berkata, “Benar, demi Allah wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak menghajr (marah) kecuali hanya kepada namamu”. (HR Al-Bukhari V/2004 no 4930 dan Muslim IV/1890 no 2439)

Hadits ini menunjukan bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat dan arahan kepada istrinya, dimana beliau ingin agar Aisyah merasa bahwa ia tahu kapan Aisyah marah kepadanya dan kapan ridho kepadanya. Beliau menyampaikan hal ini kepada Aisyah tatkala Aisyah dalam keadaan tenang, beliau menunjukan kepada Aisyah bahwasanya beliau sangat sayang dan memperhatikan Aisyah bahkan tatkala Aisyah sedang marah kepadanya. Kemudian beliau menyampaikan hal ini dengan metode canda yang membuat Aisyah senang dan menjawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh adab yang disertai dengan canda juga “Benar, demi Allah wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku tidak menghajr (marah) kecuali hanya kepada namamu."


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Berbuat Adil Terhadap Istri-Istri Beliau”

Allah yang Maha Bijak dan Maha Lebih Mengetahui kemaslahatan para hamba ciptaanNya dari para hamba itu sendiri telah membuat syari’at bolehnya berpoligami.

Syaikh Muhammad Al-Amiin Asy-Syingqithy berkata:

“Diantara petunjuk Al-Qur’an yang lurus adalah dibolehkannya berpoligami hingga empat istri dan bahwasanya seorang suami jika kawatir tidak mampu berbuat adil diantara istri-istrinya maka wajib baginya untuk bermonogami atau menggauli budak-budak wanitanya sebagaimana firman Allah

(وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ) (النساء : 3 )

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)

Dan tidak diragukan lagi bahwasanya jalan yang terlurus dan yang teradil adalah bolehnya berpoligami karena perkara-perkara yang nampak yang diketahui oleh seluruh orang yang berakal.

Diantara perkara-perkara tersebut adalah:

1.      Satu orang wanita mengalami haid, sakit, nifas, dan perkara-perkara yang lainnya yang menghalanginya untuk bisa menjalankan kewajiban rumah tangganya yang terkhusus (yaitu jimak dengan sauminya). Adapun lelaki maka selalu siap untuk menjadi sebab bertambahnya umat (siap untuk aktifitas biologis). Jika ia terhalang dari menjimaki sang wanita dikarenakan udzur-udzurnya maka produkitifitasnya akan tersia-siakan tanpa dosa.

2.      Allah menjadikan kebiasaan yang berlaku yaitu para lelaki lebih sedikit jumlahnya dibandingkan para wanita di seluruh penjuru dunia. Dan para lelaki lebih banyak terjun dalam perkara-perkara yang bisa menyebabkan kematian dalam seluruh sisi kehidupan. Jika para lelaki hanya bermonogami maka akan terlalu banyak para wanita yang terhalang dari pernikahan sehingga mereka akhirnya terjerumus dalam perbuatan-perbuatan keji. Maka berpaling dari petunjuk Al-Qur’an dalam permasalahan ini merupakan sebab terbesar hilangnya akhlak bahkan terperosok hingga sampai pada derajat binatang dimana mereka para wanita tidak terlindungi dan tidak terpelihara di atas kemuliaan dan kehormatan serta akhlak yang mulia. Sungguh maha suci Allah Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui.

(كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ) (هود : 1 )

(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, (QS. 11:1)

3.      Seluruh wanita (kondisinya) siap untuk dinikahi, adapun para lelaki banyak diantara mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan perkara-perkara yang merupakan konsekuensi dari pernikahan karena miskinnya mereka. Maka yang siap menikah dari kaum lelaki lebih sedikit dari yang siap menikah dari kaum wanita, karena wanita tidak ada penghalangnya (untuk menikah), berbeda dengan lelaki yang terhalangi untuk menikah karena kemiskinannya dan tidak adanya kemampuan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban setelah proses pernikahan. Jika para lelaki hanya bermonogami maka akan banyak para wanita yang siap untuk menikah yang akan tersia-siakan, dan juga karena tidak adanya para lelaki yang siap untuk menikah. Maka hal ini merupakan sebab hilangnya kemuliaan dan tersebarnya keburukan dan terporosnya akhlak serta hilangnya pondasi kemanusiaan sebagaimana kenyataan yang nampak dengan jelas.” (Adhwaaul Bayaan III/22 (Tafsir surat Al-Israa’ ayat 9))

Beliau juga berkata,

“Adapun yang disangkakan oleh sebagian orang-orang kafir yang merupakan musuh-musuh Islam bahwasanya poligami melazimkan selalu timbulnya permusuhan dan percekcokan yang mengantarkan kepada rusaknya kehidupan (kekeluargaan). Hal ini karena kapan saja ia membuat salah seorang istrinya ridho dan senang maka istrinya yang lain akan marah, maka ia akan selalu berada diantara dua kemarahan (kalau tidak dimarahi oleh istri yang pertama maka akan dimarahi oleh istri yang kedua-pen), oleh karenanya poligami bukanlah sikap yang bijak.

Perkataan mereka ini merupakan perkataan yang batil yang sangat nampak kebatilannya bagi setiap orang yang berakal, karena permusuhan dan percekcokan antara anggota keluarga tidak akan bisa hilang. Akan terjadi antara seorang pria dan ibunya, atau antara ia dan ayahnya, atau antara dia dan anak-anaknya, atau antara dia dan istrinya satu-satunya. Ini merupakan perkara yang biasa, dan sangat tidak berpengaruh jika dibandingkan dengan kemaslahatan yang besar yang diperoleh dengan adanya poligami seperti terpelihara dan terjaganya para wanita, kemudahan pernikahan bagi seluruh wanita, banyaknya jumlah umat untuk bisa menghadapi musuh-musuh Islam. Karena kemaslahatan yang besar lebih didahulukan untuk diperoleh daripada menolak kemudhorotan yang kecil.

Jika sendainya percekcokan yang dipersangkakan timbul akibat poligami itu merupakan suatu mafsadah atau sakit hati istri yang pertama karena istri yang kedua merupakan suatu mafsadah maka tetap akan didahulukan kemaslahatan-kemasalatan yang besar yang telah kami jelaskan. Hal ini merupakan perkara yang sudah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh…”[1]

Beliau juga berkata, “Al-Qur’an membolehkan poligami demi kemaslahatan wanita sehingga tidak terhalangi dari pernikahan, dan untuk kemaslahatan pria agar produktifitasnya tidak tersia-siakan tatkala sang wanita memiliki udzur (sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk memenuhi kebutuan biologis suaminya-pen), serta demi kemaslahatan umat agar semakin banyak jumlahnya sehingga memungkinkan untuk menghadapi musuh mereka agar kalimat Allah yang tertinggi. Ini merupakan syari’at dari Allah Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Tidak ada yang mencela syari’at ini kecuali orang yang telah dibutakan hatinya dengan bertumpuk-tumpuk kegelapan kekafiran. Dan pembatasan poligami hanya sampai empat istri merupakan pembatasan dari Allah Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Pembatasan ini merupakan perkara yang tengah-tengah antara jumlah istri yang sedikit (monogami) yang mengakibatkan tersia-siakannya produktifitas para lelaki dan antara jumlah istri yang banyak (yang lebih dari empat atau tanpa batas-pen) yang biasanya seorang lelaki tidak mampu untuk menegakkan perkara-perkara yang merupakan konsekuensi dari pernikahan bagi seluruh istri-istrinya”. (Adhwaaul Bayaan III/24 (Tafsir surat Al-Israa’ ayat 9))

Namun kenyataan yang menyedihkan yang terjadi di masyarakat, ada sebagian orang yang begitu bersemangat untuk berta’addud (berpoligami) dengan menggembar-gemborkan bahwa niatnya adalah untuk menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka bahkan ada yang terus terang menyatakan bahwa niat mereka berpoligami adalah untuk menyelamatkan sebagian wanita yang mungkin “kesulitan” mencari suami apalagi di zaman sekarang ini yang jumlah para wanita berlipat ganda dibanding jumlah para lelaki. Sungguh ini merupakan niat mulia yang harus dimasyarakatkan sehingga masyarkat tidak “pobi” atau merasa tabu dengan sunnah Nabi mereka[2]. Namun yang menyedihkan mereka tidak memperhatikan hukum-hukum yang berkaitan dengan poligami sebagaimana yang telah digariskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara mereka ada yang hanya bermodal semangat namun tidak dilandasi dengan ilmu, akhirnya yang terjadi poligami tersebut berakhir dengan perceraian, kalau tidak maka akan berakhir dengan percekcokan keluarga…yang semua ini mayoritasnya akibat tidak diterapkan keadilan dalam menyikapi para istri.

Marilah kita perhatikan bagaimana syari’at begitu memperhatikan masalah keadilan diantara para istri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap adil diantara istri-istrinya, baik dalam nafkah maupun dalam pembagian jatah giliran nginap. Telah lalu tuturan Aisyah…

عن عَائِشَةُ رضي الله عنها قَالَتْ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا ، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا (امْرَأةً امْرَأةَ) فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا

Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendahulukan sebagaian kami di atas sebagian yang lain dalam hal jatah menginap diantara kami (istri-istri beliau), dan beliau selalu mengelilingi kami seluruhnya (satu persatu) kecuali sangat jarang sekali beliau tidak melakukan demikian. Maka beliau pun mendekati (mencium dan mencumbui) setiap wanita tanpa menjimaknya hingga sampai pada wanita yang merupakan jatah menginapnya, lalu beliau menginap ditempat wanita tersebut”. (HR Abu Dawud no 2135, Al-Hakim di Al-Mustadrok no 2760, Ahmad VI/107. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Ash-Shahihah no 1479))

Ibnu Qudamah menjelaskan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat adil (diantara istri-istrinya) sampai-sampai pada pembagian ciuman. (Al-Mughni VII/235)

Allah berfirman

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ (النساء : 3 )

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)

Maksudnya yaitu, “Apabila kalian takut tidak berbuat adil dalam pembagian (jatah gilir nginap) dan nafkah jika menikahi dua atau tiga atau empat maka nikahlah seorang wanita saja…dan hanyalah ditakutkan jika ditinggalkan suatu perkara yang wajib, maka hal ini menunjukan bahwa berbuat adil diantara para istri baik dalam pembagian jatah giliran nginap maupun nafkah hukumnya adalah wajib. Hal ini diisyaratkan pada akhir ayat ((Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya)). Dan aniaya hukumnya adalah haram.” (Bada’i’ As-Shonai’ II/332)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Barangsiapa yang memiliki dua istri kemudian ia condong kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tubuhnya miring”. (HR Abu Dawud no 2123 dan At-Thirmidzi no 1141 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Berkata Al-‘Aini, “Dan balasan sesuai dengan perbuatan, tatkala seseorang tidak berbuat adil atau berpaling dari kebenaran menuju aniaya dan kecondongan maka adzabnya pada hari kiamat ia datang pada hari kiamat di hadapan seluruh orang dalam keadaan setengah tubuhnya miring”. (Umdatul Qori’ XX/199)

Adapun masalah batin maka ini berada diluar kekuasaan manusia oleh karena itu jika seorang suami lebih mencintai salah seorang istrinya daripada yang lainnya maka tidak mengapa yang penting dalam masalah yang dzohir ia berbuat adil diantara mereka.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسَمِي فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ

Dari Aisyah bahwsanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi antara istri-istrinya dengan adil lalu ia berkata, “Ya Allah inilah pembagianku pada perkara yang aku bisa maka janganlah engkau mencelaku pada perkara yang engkau miliki dan tidak aku miliki (yaitu hatinya)” ( HR Abu Dawud no 2134, At-Thirmidzi no 1140, An-Nasai no 3943, dan Ibnu Majah no 1971. Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berkata, “Isnadnya shahih dan seluruh perawinya tsiqoh dan Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa sanadnya adalah jayyid di Misykaat (komentar beliau terhadap Misykat)  namun beliau melemahkan hadits ini di Al-Irwa’, beliau menjelaskan bahwa hadits ini datang melalui jalan Hammad bin Salamah (secara musnad) namun telah datang dari riwayat Hammad bin Zaid dan Isma’il bin ‘Ulaiyah secara mursal, dan kedua orang ini lebih didahulukan (lebih tsiqoh) daripada Hammad bin Salamah maka hukum hadits ini adalah mursal….Akan tetapi jika terjadi pertentangan antara irsal dan washl (sambung) dan washl tersebut datang dari rawi yang tsiqoh maka tambahannya tersebut diterima…”.  (Syarh Abu Dawud kaset no 161). Syaikh Al-Abbad juga berkata, “Bagaimanapun juga (kedudukan hadits ini) namun maknanya benar”)

Yaitu rasa cinta yang terdapat pada hati, yang lebih condong kepada salah satu istri daripada yang lain, inilah yang seseorang tidak mampu untuk berbuat adil

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mencintai Aisyah daripada istri-istrinya yang lain. ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ عَائِشَةُ. فَقُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ؟ فَقَالَ أَبُوْهَا. قُلْتُ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ. فَعَدَّ رِجَالاً

“Siapakah yang paling engkau cintai?”, beliau berkata, “Aisyah”. Kemudian aku berkata, “Dari kalangan lelaki?”, beliau berkata, “Ayahnya”, kemudian aku berkata, “Kemudian siapa?” ia berkata, “Umar bin Al-Khotthob”, kemudian beliau menyebut beberapa orang.” (HR Al-Bukhari III/1139 no 3462,  IV/1584 no 4100 dan Muslim IV/1856 no 2384)

Bahkan kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah lebih daripada istri-istrinya yang lain diketahui oleh Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu ‘anhu. (Lihat HR Al-Bukhari V/2001 no 4920). Bahkan hal ini juga diketahui oleh para sahabat yang lain dan lebih-lebih lagi diketahui oleh istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah

أَنَّ نِسَاءَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنَّ حِزْبَيْنِ، فَحِزْبٌ فِيْهِ عَائِشَةُ وَحَفْصَةُ وَصَفِيَّةُ وَسَوْدَةُ وَالْحِزْبُ الآخَرُ أُمُّ سَلَمَةَ وَسَائِرُ نِسَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكَانَ الْمُسْلِمُوْنَ قَدْ عَلِمُوْا حُبَّ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَائِشَةَ، فَإِذَا كَانَتْ عِنْدَ أَحَدِهِمْ هَدِيَّةٌ يُرِيْدُ أَنْ يُهْدِيَهَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَخَّرَهَا حَتَّى إِذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِ عَائِشَةَ بَعَثَ صَاحِبُ الْهَدِيَّةِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِ عَائِشَةَ، فَكَلَّمَ حِزْبُ أُمِّ سَلَمَةَ فَقُلْنَ لَهَا كَلِّمِي رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُكَلِّمُ النَّاسَ فَيَقُوْلُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُهْدِيَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم هَدِيَّةً فَلْيُهْدِهَا إِلَيْهِ حَيْثُ كَانَ مِنْ بُيُوْتِ نِسَائِهِ فَكَلَّمَّتْهُ أُمُّ سَلَمَةَ بِمَا قُلْنَ لَهَا فَلَمْ يَقُلْ لَهَا شَيْئًا فَسَأَلْنَهَا فَقَالَتْ مَا قَالَ لِي شَيْئًا فَقُلْنَ لَهَا فَكَلِّمِيْهِ قَالَتْ فَكَلَّمَتْهُ حِيْنَ دَارَ إِلَيْهَا أَيْضًا فَلَمْ يَقُلْ لَهَا شَيْئًا فَسَأَلْنَهَا فَقَالَتْ مَا قَالَ لِي شَيْئًا فَقُلْنَ لَهَا كَلِّمِيْهِ حَتَّى يُكَلِّمَكِ فَدَارَ إِلَيْهَا فَكَلَّمَتْهُ فَقَالَ لَهَا لاَ تُؤْذِيْنِي فِي عَائِشَةَ فَإِنَّ الْوَحْيَ لَمْ يَأْتِنِي وَأَنَا فِي ثَوْبِ امْرَأَةٍ إِلاَّ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَالَتْ أَتُوْبُ إِلَى اللهِ مِنْ أَذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ثُمَّ إِنَّهُنَّ دَعَوْنَ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأُرْسِلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم تَقُوْلُ إِنَّ نِسَاءَكَ يُنْشِدْنَكَ اللهَ الْعَدْلَ فِي بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ فَكَلَّمَتْهُ فَقَالَ يَا بُنَيَّة أَلاَ تُحِبِّيْنَ مَا أُحِبُّ؟ قَالَتْ بَلَى (فَأَحِبِّى هَذِهِ) فَرَجَعَتْ إِلَيْهِنَّ فَأَخْبَرَتْهُنَّ فَقُلْنَ  (مَا نَرَاكِ أَغْنَيْتِ عَنَّا مِنْ شَيْءٍ فَارْجِعِى إِلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقُوْلِي لَهُ إِنَّ أَزْوَاجَكِ يُنْشِدْنَكَ الْعَدْلَ فِي ابْنَةِ أَبِي قُحَافَةَ) فَأَبَتْ أَنْ تَرْجِعَ (قالت : وَاللهِ لاَ أُكَلِّمُهُ فِيْهَا أَبَدًا) فَأَرْسَلْنَ زَيْنَبَ بِنْتَ جَحْشٍ فَأَتَتْهُ فَأَغْلَظَتْ وَقَالَتْ إِنَّ نِسَاءَكَ يُنْشِدْنَكَ اللهَ الْعَدْلَ فِي بِنْتِ أَبِي قُحَافَةَ فَرَفَعَتْ صَوْتَهَا حَتَّى تَنَاوَلَتْ عَائِشَةَ وَهِيَ قَاعِدَةٌ فَسَبَّتْهَا حَتَّى إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَيَنْظُرُ إِلَى عَائِشَةَ هَلْ تَكَلَّمَ قَالَ فَتَكَلَّمَتْ عَائِشَةُ تَرُدُّ عَلَى زَيْنَبَ حَتَّى أَسْكَتَتْهَا قَالَتْ فَنَظَرَ النَّبِيُ صلى الله عليه وسلم إِلَى عَائِشَةَ وَقَالَ إِنَّهَا بِنْتُ أَبَِي بَكْرٍ

“Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi dua kelompok[3], kelompok pertama yaitu Aisyah, Hafshoh, Sofiyah, dan Saudah. Adapun kelompok kedua adalah Ummu Salamah dan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya.

Kaum muslimin telah mengetahui kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah, maka jika salah seorang diantara mereka memiliki hadiah yang hendak ia hadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia mengakhirkan pemberian hadiah tersebut. Hingga tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginap di rumah Aisyah maka sang pemiliki hadiahpun mengirim hadiah tersebut untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah Aisyah.

Kelompok Ummu Salamah berkata kepada Ummu Salamah, “Sampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar ia menyampaikan kepada orang-orang, “Barangsiapa yang hendak memberi hadiah maka hendaknya ia memberikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah-rumah para istri beliau”. Maka Ummu Salamahpun menyampaikan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengucapkan apa-apa. Mereka (para istri yang lain) bertanya kepada Ummu Salamah dan ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengucapkan seuautupun kepadaku”. Mereka berkata kepadanya, “Sampaikanlah kepadanya!!”. Maka Ummu Salamah menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tidak mengucapkan sesuatupun kepadanya. Merekapun bertanya kepadanya dan ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengucapkan seuautupun kepadaku”. Mereka berkata kepadanya, “Sampaikanlah kepadanya hingga ia berbicara kepadamu!!”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendatanginya dan Ummu Salamah menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Janganlah engkau menggangguku tentang Aisyah !!, sesungguhnya tidaklah wahyu turun kepadaku dan aku sedang berada dalam kain bersama seorang wanitapun kecuali Aisyah”. Ummu Salamah berkata, “Aku bertaubat kepada Allah dari mengganggumu ya Rasulullah”.

Kemudian merekapun memanggil Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu iapun diutus kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Sesungguhnya istri-istrimu memintamu dengan nama Alalah  untuk berbuat adil dalam menyikapi putri Abu Bakar”. Maka Fathimah pun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah dan Rasulullah berkata, “Wahai putriku tidakkah engkau mencintai apa yang aku cintai?”, Fathimah berkata, “Tentu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Maka cintailah wanita ini (Aisyah)!” Maka Fathimahpun kembali kepada para istri Rasulullah (yang mengutusnya) lalu mengabarkan kepada mereka. Mereka berkata ((“Menurut kami engkau tidak memuaskan kami sama sekali, kembalilah kepada Rasulullah dan katakanlah kepadanya bahwa istri-istrimu mengnginkan engkau berbuat adil dalam menyikapi putri Abu Quhafah”)). Namun Fathimah enggan untuk kembali ((ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan berbicara kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Aisyah”)). Merekapun mengutus Zainab binti Jahsy, lalu Zainabpun berbicara dengan keras dan berkata, “Sesungguhnya istri-istrimu memintamu dengan nama Alalah  untuk berbuat adil dalam menyikapi putri Abu Quhafah”. Ia mengangkat suaranya hingga menyebut kejelekan Aisyah dan Aisyah sedang dalam keadaan duduk. Iapun mencela Aisyah hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang kepada Aisyah apakah Aisyah akan berbicara?. Maka Aisyahpun berbicara membantah Zainab dan akhirnya menjadikan Zainab terdiam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang kepada Aisyah dan berkata, “Dia adalah putri Abu Bakar”. (HR Al-Bukhari II/911 no 2442 dan Muslim IV/1891 no 2442. Dan lafal yang terdapat dalam kurung adalah riwayat Muslim)

Berkata An-Nawawi, “Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dia adalah putri Abu Bakar” maknanya adalah isyarat akan sempurnanya pemahaman Aisyah dan pandangannya yang bagus” (Al-Minhaj XV/207)

Berkata An-Nawawi. “Makna perkataan  “Istri-istrimu memintamu untuk berbuat adil dalam menyikapi putri Abu Quhafah (Aisyah)” yaitu bahwasanya para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau berbuat adil diantara mereka dalam hal rasa cinta yang ada di hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat adil diantara mereka dalam hal sikap perbuatan, giliran menginap, dan yang semisalnya, adapun rasa cinta di hati maka beliau lebih mencintai Aisyah daripada yang lainnya.” (Al-Minhaj XV/205)

Diantara dalil bahwasanya Aisyah adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit parah beliau meminta idzin kepada istri-istrinya yang lain untuk menginap di tempat Aisyah yang kemudian akhirnya beliau meninggal di pangkuan Aisyah.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا

Aisyah berkata, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala sakit yang menyebabkan beliau mati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bertanya, “Saya besok menginap di mana?, saya besok menginap di tempat siapa?” yaitu beliau ingin menginap di tempat Aisyah. Maka istri-istri beliaupun mengidzinkan beliau untuk menginap di mana saja beliau kehendaki. Maka beliaupun menginap di rumah Aisyah hingga beliau meninggal”( HR Al-Bukhari V/2001 no 4919)[4]

Oleh karena itu Allah berfirman

وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً (النساء : 129 )

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:129)

Berkata Muhammad bin Sirin, “Aku bertanya kepada ‘Abidah tentang ayat ini maka ia berkata “Rasa cinta dan jimak”. (Sebagaimana diriwayatkan oleh At-Thobari dalam tafsirnya V/314)

Berkata Ibnul ‘Arobi, “Sungguh benar ‘Abidah (As-Salmani), seseorang tidak bisa menguasai hatinya karana hatinya berada diantara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman, Allah membolak-balikannya sesukaNya. Demikian juga jimak, seseorang terkadang semangat untuk menjimak salah seorang istrinya namun ia tidak semangat dengan istri yang lain. Jika ia tidak sengaja untuk bermaksud demikian maka tidak mengapa, karena hal itu termasuk perkara yang tidak ia mampui…”. (Ahkamul Qur’an I/634-635)

Berkata Ibnu Qudamah, “Kami tidak mengetahui adanya (perselisihan) antara para ulama bahwa tidak wajib pembagian rata antara istri-istri dalam jimak…namun jika seorang suami mampu untuk membagi rata dalam jimak maka itulah yang terbaik dan lebih utama dan lebih sempurna dalam berbuat adil…dan tidak wajib juga pembagian rata dalam perkara-perkara selain jimak seperti ciuman, sentuhah (usapan) dan yang semisalnya. Karena jika tidak wajib pembagian rata pada jimak maka pada perkara-perkara yang mengantarkan kepada jimak juga lebih tidak wajib”. (Al-Mughni VII/234-235)

Syaikh Utsaimin berkata, “Sebagian ulama berpendapat wajib bagi seorang suami untuk membagi rata dalam hal jimak jika ia mampu. Dan inilah pendapat yang benar karena ini merupakan konsekuensi dari ‘illah (sebab tidak diwajibkannya adil dalam jimak, yaitu karena ketidakmampuan sang suami). Karena tatkala kita menyatakan bahwa ‘illah (sebab) tidak wajibnya berbuat adil dalam hal jimak dikarenakan sang suami tidak mungkin bersikap adil, maka jika sang suami ternyata mampu untuk berbuat adil dalam hal jimak, hilanglah ‘illahnya dan tetaplah hukumnya yaitu wajib berbuat adil (dalam hal jimak).

Atas dasar ini maka jika seseorang mengatakan bahwasanya ia bukanlah orang yang kuat syahwatnya sehingga jika ia menjimaki istrinya yang pertama pada suatu malam iapun tidak mampu untuk menjimaki istrinya yang kedua pada malam itu juga, atau sulit baginya untuk melakukannya, lantas ia berkata, “Kalau begitu aku akan mengumpulkan kekuatanku untuk istriku yang pertama bukan untuk yang kedua” maka hukumnya tidak boleh, karena ia mampu untuk bertindak adil (yaitu semalam untuk istri yang pertama dan malam yang lainnya untuk istri yang kedua-pen). Intinya perkara-perkara yang tidak mungkin bagi sang suami untuk bersikap adil maka Allah tidak membebani seseorang kecuali yang dimampuinya. Dan perkara-perkara yang memungkinnya untuk berbuat adil maka wajib baginya untuk berbuat adil.” (Asy-Syarhul Mumti’ XII/429)

Dan diantara perkara-perkara yang mungkin bagi sang suami untuk berbuat adil adalah pemberian hadiah diantara para istrinya. (Asy-Syarhul Mumti’ XII/429 dan Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/375 no 21418)

Peringatan 1

Berkata Ibnu Taimiyyah, “Jika ia menginap pada salah seorang istrinya semalam atau dua malam atau tiga malam maka dia juga menginap pada istri yang lainnya demikian juga dan ia tidak melebihkan salah satu istrinya atas yang lainnya. (Majmu’ Fatawa XXXII/269)

Beliau juga berkata, “(Namun) jika ia bersepakat (shulh) dengan istri yang hendak diceraikannya bahwasanya dia tinggal di tempat istrinya tersebut tanpa ada aturan pembagian giliran kemudian sang istri ridho maka hal itu boleh sebagaimana firman Allah

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ (النساء : 128 )

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (QS. 4:128)

Dan dalam kitab shahih (Yaitu shahih Imam Muslim IV/2316 no 3021 -pen) dari Aisyah berkata, “Ayat ini turun tentang seorang wanita yang telah lama bersama suaminya, kemudian suaminya ingin menceraikannya. Sang wanita berkata, “Janganlah engkau menceraiku dan biarkanlah aku bersamamu dan silahkan engkau bebas pada waktu hari giliranku”, lalu turunlah ayat ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ingin menceraikan Saudah maka Saudah lalu menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersamanya (tidak menceraikannya) tanpa jatah giliran. Dan demikian juga Rofi’ bin Khodiij mengalami hal yang sama, dan dikatakan bahwa ayat ini turun tentang dirinya”. (Majmu’ Fatawa XXXII/270)

Peringatan 2

Jika seorang wanita menghadiahkan jatahnya kepada istri yang lain kemudian ia menariknya kembali maka tidak mengapa, karena para ulama menjelaskan bahwa hadiah yang tidak boleh untuk ditarik kembali adalah hadiah yang telah di qobdh (pindah tangan), adapun hadiah yang belum pindah tangan maka bisa ditarik kembali. Dan hadiah jatah giliran berkaitan dengan masa depan dan tidak mungkin bisa di qobdh, oleh karena itu boleh bagi sang wanita untuk menariknya kembali. Kecuali jika kasusnya terjadi As-Shulh (kesepakatan antara sang suami dan istri yang merasa akan diceraikan oleh suaminya) sebagaimana yang terjadi antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Saudah, maka sang wanita tidak boleh menarik kembali hadiah jatah nginap yang telah ia berikan kepada istri suaminya yang lain. Wallahu A’lam. (Faedah dari guru kami Syaikh DR Abdullah Alu-Musa’id)

Peringatan 3

Jika seorang wanita telah menghadiahkan jatah gilirannya kepada istri yang lain kemudian sang suami tetap ingin menginap ditempatnya maka sang wanita tidak boleh menolaknya. Karena hak jimak merupakan hak yang sama-sama dimiliki oleh dua belah pihak, jika salah satunya menjatuhkan namun yang lainnya tetap ingin mengambil haknya maka tetap boleh baginya untuk mengambilnya.      (Faedah dari guru kami Syaikh DR Abdullah Alu-Musa’id)

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Tulisan ini Berseri:

 ____

Catatan Kaki:

[1] Adhwaaul Bayaan III/23 (Tafsir surat Al-Israa’ ayat 9)

Beliau juga berkata,

“Membebaskan kaum muslimin yang ditawan oleh musuh merupakan kemaslahatan yang lebih berat dan membayar musuh sebagai tebusan pembebasan mereka merupakan kemudhorotan yang ringan maka kemaslahatan yang berat didahulukan. Adapun jika sama antara kemaslahatan dan kemafsadahan atau kemafsadahan lebih berat seperti menebus para tawanan dengan memberikan senjata kepada musuh yang bisa menyebabkan musuh menggunakan senjata tersebut untuk membunuh sejumlah tawanan yang mau ditebus atau lebih banyak lagi maka kemasalahatan dibuang karena kemafsadahan yang lebih berat…

Demikian juga dengan anggur yang bisa dibuat bir yang merupakan induk dari segala keburukan. Akan tetapi kemasalahatan dari adanya anggur dan juga zabib (anggur yang telah dikeringkan) dengan mengambil manfaat dari keduanya di penjuru dunia merupakan maslahat yang rojih (lebih berat) dari pada mafsadah dibuatnya bir dari perasan anggur.

Berkumpulnya lelaki dan wanita di satu negeri bisa jadi merupakan sebab timbulnya zina, hanya saja kerjasama diantara masyarakat yang terdiri dari para lelaki dan para wanita merupakan maslahat yang lebih rajih daripada mafsadah tersebut. Oleh karenanya tidak seorang ulamapun yang mengatakan bahwa wajib untuk memisahkan para wanita di tempat khusus yang terpisah dari para lelaki dan wajib untuk membentengi mereka dengan benteng yang kuat yang tidak mungkin bisa ditembus dan kuncinya diserahkan kepada orang yang terpercaya…” (Adhwaaul Bayaan III/23 (Tafsir surat Al-Israa’ ayat 9))

[2] Betapa sangat dibutuhkan poligami di zaman sekarang ini… betapa banyak wanita yang akhirnya menjadi perawan tua… betapa banyak wanita yang jika telah dicerai (padahal masih muda) kemudian tidak bisa menikah lagi karena para lelaki mencari gadis yang jumlahnya masih sangat banyak…,  demikian juga betapa banyak lelaki yang tidak cukup dengan seorang istri akhirnya harus bersabar karena tidak berpoligami…

Yang lebih menyedihkan lagi sunnah poligami semakin diperangi oleh masyarakat secara umum, bahkan diperangi oleh kaum muslimin sendiri. Terutama para wanita yang terpengaruh dengan pola hidup dan pemikiran orang-orang kafir..???. Bahkan diantara wanita kaum muslimin ada yang lebih suka suaminya berzina dengan wanita lain daripada berpoligami…???!!!

Kondisi seperti inilah yang akhirnya mengantarkan timbulnya banyak penyakit sosial mulai dari timbulnya tempat-tempat perzinahan, timbulnya penyakit-penyakit sekskologi seperti homo seksual dan yang lainnya.

[3] Berkata Ali Al-Qoori’, “Yang dimaksud dengan dua kubu disini adalah dua kelompok yang masing-masing kelompok para anggotanya sepakat model dan pendapapat mereka tentang cara menggauli dan menyikapi Nabi” (Mirqootul Mafaatiih XI/333)

[4]

Peringatan

Hadits ini jelas dan sangat jelas tanpa ada keraguan sama sekali bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai Aisyah hingga akhir hayat beliau. Lantas apakah ada seorang muslim yang meimiliki iman meskipun hanya sebesar atom melaknat Aisyah..??!!, wanita yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ??!!. Bahkan diantara mereka ada yang menyatakan bahwa Aisyah adalah seorang pezina, padahal Allah telah menyatakan kesuciannya tatkala orang-orang munafik menuduhnya berzina..??!!!,  Apakah pantas Allah memberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia yang paling baik di muka bumi ini seorang istri yang terlaknat dan bejat…????

Allah berfirman

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (النور : 26 )

Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).Mereka (yang di tuduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (yaitu surga). (QS. 24:26)

Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai seorang pezina..???. Bahkan yang lebih parah daripada itu ada suatu adat yang sangat jelek yang berlaku di salah satu negara yang mengaku menerapkan negara Islam, adat tersebut yaitu mereka memanggil seorang wanita pezina dengan sebutan “Aisyah”. Semoga Allah melaknat mereka

Allah berfirman

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (النور : 19 )

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)

Bersambung ke: Suami sejati #3

Tulisan ini Berseri:
___

Catatan Kaki:

[1] Sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi, yaitu di atas pusat (Al-Minhaj III/203)

[2] HR Al-Bukhari I/55 no 117

[3] Maksudnya adalah karena putihnya Aisyah sehingga nampak kemerah-merahan (An-Nihayah fi Ghoribil Hadits I/438)

[4] Fathul Bari I/432

[5] Berkata Ibnu Hajar, “Dalam riwayat Muslim, ((Maka Nabi mengutus sekelompok sahabatnya untuk mencari kalung tersebut)), dan dalam riwayat Abu Dawud, ((Maka Nabi mengutus Usaid bin Al-Hudhoir dan sekelompok orang bersamanya)). Maka penggabungan dari kedua riwayat ini yaitu Usaid adalah pemimpin para sahabat yang ditugaskan oleh Nabi untuk mencari kalung tersebut…” (Al-Fath I/435)

[6] Syarh Az-Zarqooni I/160 dan Umdatul Qoori’ IV/3

_____

Catatan Kaki:

[1] Makna dari فَيَدْنُو مِنْهَا (mendekati) adalah mencium dan mencumbunya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath IX/379, dan ini sesuai dengan riwayat Ahmad وَيَلْمَسُ (lalu menyentuhnya)

[2] Ulama hadits berselisih pendapat, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Urwah di sini adalah Urwah Al-Muzani (dan kedudukannya adalah majhul sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam At-Taqrib). Dan ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Urwah di sini adalah Urwah bin Az-Zubair. Dan kemungkinan kedua inilah yang dipilih oleh Syamsul Haq Al-Adzim Abadi (penulis ‘Aunul Ma’bud) dengan dalil bahwasanya dalam riwayat Ibnu Majah dan riwayat Imam Ahmad jelas disebutkan bahwa Urwah adalah Urwah bin Zubair. Berkata Syaikh Abbad –hafidzohullah-, “Dan kemungkinan yang nampak bahwasanya Urwah pada sanad hadits ini adalah Urwah bin Az-Zubair karena Aisyah adalah bibi (kholah)nya, dan pembicaraan yang terjadi antara Urwah dan Aisyah kemungkinannya adalah pembicaraan yang terjadi antara seseorang dengan bibinya” . Syaikh Abbad juga menjelaskan jika seandainya Urwah yang terdapat dalam isnad ini adalah Urwah Al-Muzani maka hadits ini tetap merupakan hujjah karena banyaknya jalan yang mendukungnya. (Syarh sunan Abu Dawud kaset no 20). Dan inilah pendapat Al-Mubarokfuuri, ia berkata, “Akan tetapi hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak maka lemahnya hadits ini terangkat karena banyaknya jalan” (Tuhfatul Ahwadzi I/240). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani

[3] Berkata Imam An-Nawawi, “Kesembilan orang tersebut adalah yang ditingal wafat oleh Rasulullah r (yaitu mereka masih menjadi istri-istri Rasulullah r hingga wafat beliau). Mereka itu adalah Aisyah, Hafshoh, Saudah, Zainab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Maimunah, Juwairiyah, dan Shofiyyah” (Al-Minhaj X/47)

[4] Imam An-Nawawi berkata, “Dikatakan bahwa Nabi r tidak bermaksud menyentuh Zainab akan tetapi ia r bermaksud untuk menyentuh Aisyah yang memiliki hak giliran nginap, dan tatkala itu di malam hari dan tidak ada lampu di rumah” (Al-Minhaj X/47)
_____ 

Catatan Kaki:

[1] Sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi, yaitu di atas pusat (Al-Minhaj III/203)

[2] HR Al-Bukhari I/55 no 117

[3] Maksudnya adalah karena putihnya Aisyah sehingga nampak kemerah-merahan (An-Nihayah fi Ghoribil Hadits I/438)

[4] Fathul Bari I/432

[5] Berkata Ibnu Hajar, “Dalam riwayat Muslim, ((Maka Nabi mengutus sekelompok sahabatnya untuk mencari kalung tersebut)), dan dalam riwayat Abu Dawud, ((Maka Nabi mengutus Usaid bin Al-Hudhoir dan sekelompok orang bersamanya)). Maka penggabungan dari kedua riwayat ini yaitu Usaid adalah pemimpin para sahabat yang ditugaskan oleh Nabi untuk mencari kalung tersebut…” (Al-Fath I/435)

[6] Syarh Az-Zarqooni I/160 dan Umdatul Qoori’ IV/3

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.