Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
1. Nikah Syighar
Yaitu seseorang menikahkan orang lain dengan anak perempuannya, saudara perempuannya atau selain dari keduanya yang masih dalam perwaliannya dengan syarat ia, anaknya atau anak saudaranya juga dinikahkan dengan anak perempuan, saudara perempuan atau anak perempuan dari saudara orang yang dinikahkan tersebut.
Pernikahan seperti ini tidaklah sah (rusak), baik dengan menyebutkan mahar ataupun tidak. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang keras hal tersebut dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” [Al-Hasyr/59: 7]
Dalam ash-Shahiihain dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ.
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah Syighar” [1] Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah syighar. Beliau bersabda:
وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِيْ، أَوْ زَوِّجْنِيْ أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِيْ.
"Dan nikah syighar adalah, seseorang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkan aku dengan anak perempuanmu, maka aku akan menikahkan anak perempuanku denganmu,’ atau, ‘Nikahkan aku dengan saudara perempuanmu, maka aku nikahkan engkau dengan saudara perempuan-ku.’” [2]
Dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ.
"Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [3]
Beberapa hadits shahih yang telah disebutkan di atas menjadi dalil atas keharaman dan rusaknya nikah syighar, juga menunjukkan bahwa perbuatan tersebut menyelisihi syari’at Allah. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan apakah dalam nikah syighar tersebut disebutkan maskawin ataupun tidak.
Adapun apa yang disebutkan dalam riwayat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma tentang tafsir syighar, yaitu: seseorang menikahkan orang lain dengan anak perempuannya dengan syarat ia dinikahkan dengan anak perempuan orang itu juga tanpa ada maskawin di antara keduanya. Para ulama telah menyebutkan bahwa sebenarnya tafsir tersebut berasal dari perkataan Nafi’ yang meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Umar dan bukan merupakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan tafsir Nikah Syighar dari beliau adalah hadits riwayat Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas, yaitu: seseorang menikahkan orang lain dengan anak perempuan atau saudara perempuannya dengan syarat ia dinikahkan dengan anak perempuan atau saudara perempuannya pula, dan Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam tidak menyebutkan tentang tidak adanya maskawin di antara keduanya.
Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan menyebutkan atau tanpa menyebutkan maskawin dalam nikah syighar tidak berpengaruh apa pun. Akan tetapi yang menyebabkan rusaknya nikah tersebut adalah adanya syarat mubadalah (pertukaran). Perbuatan tersebut mengandung kerusakan yang sangat besar karena akan mengakibatkan adanya pemaksaan terhadap wanita atas pernikahan yang tidak diinginkannya karena me-mentingkan maslahat bagi para wali dengan mengenyampingkan maslahat wanita. Tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut merupakan kemunkaran dan kezhaliman terhadap kaum Hawa. Pernikahan semacam ini akan dapat mengakibatkan wanita tidak mendapatkan maskawin seperti wanita-wanita lainnya sebagaimana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang melakukan akad pernikahan yang munkar ini kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah. Sebagaimana juga dapat mengakibatkan perselisihan dan permusuhan setelah terjadinya pernikahan. Dan yang demikian itu termasuk hukuman Allah yang disegerakan bagi orang yang menyelisihi syari’at-Nya. [4]
Yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sudah ditalak tiga kali setelah selesai ‘iddahnya, kemudian mentalak kembali dengan tujuan agar wanita itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama.
Pernikahan semacam ini termasuk salah satu di antara dosa-dosa besar dan perbuatan keji. Hukumnya adalah haram, baik keduanya mensyaratkan pada saat akad, atau keduanya telah sepakat sebelum akad atau dengan niat salah satu di antara keduanya. Dan orang yang melakukannya akan dilaknat. Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat al-Muhallil (laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan al-Muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi) [5]
Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قاَلُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: هُوَ الْمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
"Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang at-Taisil Musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah al-Muhallil, Allah akan melaknat al-Muhallil dan al-Muhallal lahu.’” [6]
Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ c فَسَأَلَهُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاَثًا، فَتَزَوَّجَهَا أَخٌ لَهُ مِنْ غَيْرِ مُؤَامَرَةٍ مِنْهُ لِيَحِلَّهُ ِلأَخِيْهِ، هَلْ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ نِكَاحَ رَغْيَةٍ، كُنَّا نَعُدُّ هَذَا سَفَاحًا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [7]
3. Nikah Mut'ah
Disebut juga dengan az-Zawaj al-Mu’aqqat (nikah sementara) dan az-Zawaj al-Munqati’ (nikah terputus), yaitu, seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu satu hari, satu minggu atau satu bulan atau beberapa waktu yang telah ditentukan. Para ulama telah sepakat atas pengharaman nikah mut’ah dan jika terjadi, maka nikahnya adalah bathil. [8]
Dari Shabrah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh kami untuk melakukan mut’ah pada saat pembukaan kota Makkah tatkala kami memasuki Makkah, kemudian kami tidak keluar darinya sampai beliau melarangnya kembali.” [9]
4. Nikah Dengan Niat Talak
Syaikh Sayyid Sabiq -rahimahullah- dalam kitab Fiqhus Sunnah (II/38) berkata, “Para ahli fiqih telah sepakat bahwa orang yang menikahi wanita tanpa mensyaratkan zaman, akan tetapi ia mempunyai niat untuk menceraikannya setelah beberapa waktu atau setelah keperluannya di negara yang sedang ia tempati telah selesai, maka nikahnya tetap sah.”
Akan tetapi al-Auza’i -rahimahullah- menyelisihi pendapat tersebut dan menganggapnya termasuk nikah mut’ah.
Syaikh Rasyid Ridha -rahimahullah- berkomentar tentang masalah ini dalam tafsir al-Manaar, “Bahwa sikap keras para ulama Salaf (terdahulu) dan khalaf (yang datang belakangan) dalam mengharamkan nikah mut’ah menunjukkan atas pengharaman mereka terhadap nikah dengan niat talak, meskipun para ahli fiqih menyatakan bahwa akad nikah dianggap sah jika seseorang berniat menikah untuk beberapa waktu saja tanpa mensyaratkannya di dalam shighah akad.
Akan tetapi menyembunyikan niat talak tersebut termasuk tipuan dan kecurangan sehingga hal itu dinilai lebih dekat dengan kebathilan daripada sebuah akad yang dengan terang-terangan mensyaratkan adanya jenjang waktu yang telah diridhai antara pihak laki-laki, wanita dan wali.
Tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh nikah semacam ini kecuali berbuat curang terhadap ikatan kemanusiaan yang sangat agung dan lebih mengutamakan di ladang syahwat antara para penikmat syahwat laki-laki dan wanita yang menimbulkan kemunkaran. Jika dalam akad pernikahan tersebut tidak disyaratkan adanya jenjang waktu, maka yang demikian itu termasuk penipuan dan kecurangan yang akan menyebabkan kerusakan dan permasalahan seperti permusuhan dan kebencian serta hilangnya kepercayaan sampai pun kepada orang yang benar-benar akan menikah secara sah dan serius, yaitu untuk saling menjaga antara suami dan isteri, adanya keikhlasan di antara keduanya dan saling tolong-menolong dalam membangun rumah tangga yang sakinah.” (Aku berkata), “
Apa yang dikatakan oleh Rasyid Ridha diperkuat oleh atsar ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, ‘Telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi perempuan tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami yang pertama, agar perempuan tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah perempuan tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’” [10]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/162, no. 5112), Shahiih Muslim (II/1034, no. 1415), Sunan an-Nasa-i (VI/112).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 808)], Shahiih Muslim (II/1035, no. 1416).
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7501)], Shahiih Muslim (II/ 1035, no. 1415 (60)).
[4]. Lihat Risalah Hukmu as-Sufuur wal Hijaab wan Nikaah asy-Syighaar, karangan Syaikh Ibnu Baaz t.
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5101)], Sunan Abi Dawud (VI/88, no. 2062), Sunan at-Tirmidzi (II/294, no. 1128), Sunan Ibni Majah (I/622, no. 1935).
[6]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1572)], Sunan Ibni Majah (I/623, no. 1936), al-Mustadrak (II/198), al-Baihaqi (VII/208).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil VI/311], Mustadrak al-Hakim (II/199), al-Baihaqi (VII/208).
[8]. Fiqhus Sunnah (II/35).
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 812)], Shahiih Muslim (II/1023, no. 1406).
[10]. Telah ditakhrij sebelumnya.
Sumber: https://almanhaj.or.id/