Type Here to Get Search Results !

 


SUAMI SEJATI #3

 

“Kisah Abu Zar’ dan Ummu Zar'”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Menyamakan Dirinya Terhadap Aisyah Sebagaimana Abu Zar’ Terhadap Istrinya Ummu Zar’ Agar Aisyah Tahu Sayangnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Kepada Dirinya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah diriku bagimu sebagaimana Abu Zar’ bagi Ummu Zar’”. Berkata Imam An-Nawawi, “Para ulama berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian untuk menyenangkan hati Aisyah dan menjelaskan bahwa ia telah bersikap baik dalam kehidupan rumah tangga bersama Aisyah”. (Al-Minhaj XV/221)

Bagaimanakah kisah Abu Zar’ dan Ummu Zar’???, marilah kita simak tuturan Ummul mukiminin Aisyah[1] beserta penjelasan kisah mereka yang dirangkum dari kitab Fathul Bari[2], serta faedah yang diambil dari beberapa sumber[3].

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا

قَالَتِ الأُوْلَى زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلَ فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِيْنَ فَيُنْتَقَلُ

قَالَتْ الثَانِيَةُ زَوْجِي لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ إِنْ أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ

قَالَتْ الثَّالِثَةُ زَوْجِي الْعَشَنَّقُ إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ أُعَلَّقْ

قَالَتِ الرَّابِعَةُ زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ لاَ حَرَّ وَلاَ قَرَّ وَلاَ مَخَافَةَ وَلاَ سَآمَةَ

قَالَتِ الْخَامِسَةُ زَوْجِي إِنْ دَخَلَ فَهِدَ وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ وَلاَ يَسْأَلُ عَمَّا عَهِدَ

قَالَتِ السَّادِسَةُ زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ وَإِنِ اضْطَجَعَ الْتَفَّ وَلاَ يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ

قَالَتِ السَّابِعَةُ زَوْجِي غَيَايَاءُ أَوْ عَيَايَاءُ طَبَاقَاءُ كُلُّ دَاءٍ لَهُ دَاءٌ شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ

قَالَتِ الثَّامِنَةُ زَوْجِي الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبَ وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبَ

قَالَتِ التَّاسِعَةُ زَوْجِي رَفِيْعُ الْعِمَادِ طَوِيْلُ النِّجَادِ عَظِيْمُ الرَّمَادِ قَرِيْبُ الْبَيْتِ مِنَ النَادِ

قَالَتِ الْعَاشِرَةُ زَوْجِي مَالِكٌ وَمَا مَالِكٌ؟ مَاِلكُ خَيْر مِنْ ذَلِكَ لَهُ إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ الْمَبَارِكِ قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ صَوْتَ الْمُزْهِرِ أَيْقَنَّ أَنَهُنَّ هَوَالِكُ

قَالَتِ الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ زَوْجِي أَبُوْ زَرْعٍ فَمَا أَبُوْ زَرْعٍ؟ أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ وَمَلَأَ مِنْ شَحْمِ عَضُدَيَّ وَبَجَّحَنِي فَبَجَحْتُ إِلَى نَفْسِي. وَجَدَنِي فِي أَهْلِ غُنَيْمَةٍ بِشِقٍ فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيْلٍ وَأَطِيْطٍ وَدَائِسٍ وَمَنَقٍ، فَعِنْدَهُ أَقُوْلُ فَلاَ أُقَبَّحُ وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ.

أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا أُمُّ أَبِي زَرْعٍ ؟ عُكُوْمُهَا رِدَاحٌ وَبَيْتُهَا فَسَاحٌ .

ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ

بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا

جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا

قَالَتْ خَرَجَ أَبُو زَرْعٍ وَالأَوْطَابُ تُمَخَّضُ فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا وَلَدَانِ لَهَا كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خِصْرِهَا بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي وَنَكَحَهَا فَنَكَحْتُ بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًا رَكِبَ شَرِيًّا وَأَخَذَ خَطِّيًّا وَأَرَاحَ عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًا وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا وَقَالَ كُلِي أُمَّ زَرْعٍ وَمِيْرِي أَهْلَكِ قَالَتْ فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ

قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ

((Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikitpun kabar tentang suami mereka))

Ada beberapa pendapat tentang dari manakah kesebelas wanita tersebut?. Ada yang mengatakan bahwa mereka dari sebuah kampung di negeri Yaman, ada juga yang mengatakan bahwa mereka dari Mekah. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka adalah para wanita di zaman Jahiliyah. [4] Ada juga yang berpendapat bahwa mereka ini adalah berasal dari umat yang telah berlalu (punah).[5] Adapun penyebutan nama-nama kesebelas wanita tersebut maka sebagaimana perkataan Al-Khothiib Al-Bagdaadi, “Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyebutkan nama-nama para wanita yang disebutkan dalam hadits Ummu Zar’ kecuali dari jalur yang aku sebutkan dan jalur tersebut ghorib jiddan (sangat ghorib)” [6]


Faedah : Dibolehkan ghibah jika pendengar tidak mengetahui siapakah orang yang sedang dighibahi. Dalam hadits ini Aisyah bercerita kepada Nabi tentang para wanita yang majhul (tidak diketahui)[7], maka terlebih lagi para suami mereka yang sedang mereka ghibahi jelas lebih tidak diketahui.

Maka wanita pertama berkata, “Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus[8] yang berada di atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur [9] yang tidak mudah untuk didaki  dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambili”))

Maksudnya adalah sang wanita memisalkan keburukan akhlak suaminya seperti gunung terjal, yang sulit untuk didaki, demikian juga sifat sombong suaminya yang merasa di atas.

Dan menyamakan suaminya yang pelit dengan daging unta yang kurus. Daging unta tidak sama dengan daging kambing karena daging unta rasanya kurang enak, oleh karena itu banyak orang yang tidak begitu senang dengan daging unta. Orang-orang lebih mendahulukan daging kambing kemudian daging sapi baru kemudian daging onta. Ditambah lagi dagingnya dari onta yang kurus. Lebih parah lagi daging tersebut memiliki bau yang kurang enak. Yaitu meskipun sang istri butuh terhadap apa yang dimiliki suaminya namun ia tahu bahwa suaminya pelit, kalau ia meminta dari suaminya maka akan sangat sulit sekali ia akan diberi, kalaupun diberi hanyalah sedikit karena pelitnya suaminya, ditambah lagi akhlak suaminya yang sombong lagi merasa tinggi.

Peringatan :

Terkadang akhlak yang jelek yang timbul dari seorang istri adalah akibat jeleknya akhlak sang suami. Terkadang sang suamilah yang secara tidak langsung mengajar sang istri untuk pandai berbohong. Bagaimana bisa???. Jika sang suami adalah suami yang pelit, tidak memberikan nafkah yang cukup kepada istrinya maka istrinya akan berusaha mencuri uang suaminya yang pelit tersebut, dan jika ditanya oleh suaminya maka ia akan berbohong. Lama kelamaanpun karena terbiasa akhirnya ia menjadi tukang bohong. Padahal jika seorang suami menampakkan pada istrinya bahwasanya ia tidak pelit, dan memberikan kepada istrinya suatu yang bernilai meskipun hanya sedikit, maka hal ini menjadikan sang istri percaya kepadanya dan mendukung sang istri untuk menjadi wanita yang sholehah.

Bukankah sekecil apapun harta yang ia keluarkan untuk memberi nafkah kepada istrinya maka ia akan mendapatkan pahala…!!!, bahkan sesuap nasi yang ia berikan kepada istrinya !!?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ

Sesungguhnya bagaimanapun nafkah yang kau berikan kepada istrimu maka ia merupakan sedekah, bahkan sesuap makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu. (HR Al-Bukhari no 2591)

Dalam riwayat Muslim

وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ

“Dan tidaklah engkau memberi nafkah dengan mengharapkan wajah Allah kecuali engkau mendapatkan pahala, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu”. (HR Muslim no 1628)

Berkata An-Nawawi, “Seorang suami meletakan sesuap makanan di mulut istrinya, biasanya hal ini terjadi tatkala sang suami sedang mencumbui, bercanda, dan berlezat-lezat dengan perkara yang diperbolehkan (dengan istrinya). Kondisi seperti ini sangat jauh dari bentuk ketaatan (bentuk ibadah) dan perkara-perkara akhirat. Meskipun demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan jika sang suami menghendaki wajah Allah dengan suapan yang ia berikan kepada istrinya maka ia akan mendapatkan pahala” (Al-Minhaj XI/78)

Berkata Ibnu Hajar, “Perkara yang mubah jika diniatkan karena Allah maka jadilah ia merupakan ketaatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan perkara dunia yang sangat ringan dan biasa yaitu menyuap istri dengan sesuap makanan, yang hal ini biasanya terjadi tatkala sang suami sedang mencumbu dan mencandai sang istri, namun meskipun demikian ia mendapatkan pahala jika berniat yang baik. Maka bagaimana lagi jika pada perkara-perkara yang lebih dari itu…!!” (Fathul Bari V/368)

Apa lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa memberi nafkah kepada istri merupakan amalan yang sangat besar pahalanya di sisi Allah.

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Sekeping dinar yang engkau infakkan pada jihad fi sabilillah, sekeping dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, sekeping dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin, dan sekeping dinar yang engkau infakkan kepada istrimu, maka yang paling besar pahalanya adalah sekeping dinar yang engkau infakkan kepada istrimu”[10]

Syaikh Utsaimin menjelaskan, “Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaiamana penjelasan beliau dalam Riyaadhus Shalihiin)


((Wanita yang kedua berkata, “Suamiku…aku tidak akan menceritakan tentang kabarnya, karena jika aku kabarkan tentangnya aku kawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya[11]”))

Maksudnya yaitu jika ia menceritakan tentang kabar suaminya maka ia akan menyebutkan aibnya yang banyak sekali baik aib yang nampak maupun yang tersembunyi. Aib yang nampak ia ibaratkan dengan urat-uratnya yang muncul dan nampak di tubuhnya, adapun aib yang tersembunyi diibaratkan seperti urat yang timbul di perutnya yang tidak dilihat oleh orang karena tertutup pakaian. Dan jika suaminya tahu bahwa ia membeberkan aib-aib suaminya maka ia akan dicerai oleh suaminya padahal ia tidak siap untuk ditinggal suaminya. Intinya yaitu ia mengeluhkan suaminya yang banyak aibnya dan kaku serta tidak murah hati.

Faedah : Hendaknya istri semangat untuk tetap bisa barsama suami meskipun pada suami terdapat beberapa aib

((Wanita yang ketiga berkata, “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”))

Ada beberapa penafsiran dari maksud perkataan sang wanita bahwasanya suaminya adalah orang yang tinggi.

Ibnu Hajar berkata,                                       

1.      Berkata Al-Ashma’iy, “Sang wanita ingin menjelaskan bahwa suaminya tidak memiliki sesuatu kecuali hanya tubuhnya yang tinggi, itu saja”…

2.      Dikatakan juga bahwasanya sang wanita mencela suaminya dengan tubuhnya yang tinggi karena ketinggian pada umumnya merupakan indikasi kebodohan dikarenakan jauhnya letak antara otak dan hati.

3.      Dan aneh orang yang mengatakan bahwa sang wanita memuji suaminya dengan tubuhnya yang tinggi karena bangsa Arab memuji hal itu. Pendapat ini dikritiki karena konteks pembicaraannya menunjukan bahwasanya sang wanita sedang mencela suaminya. Akan tetapi Al-Anbari menjawab kritikan ini bahwasanya bisa jadi sang wanita ingin memuji penampilan tubuh suaminya dan hendak mencela akhlaknya…

4.      Berkata Abu Sa’id Ad-Dhorir, “Yang benar “orang yang tinggi” yaitu yang seorang suami yang keras dan tegas, dialah yang mengatur dirinya dan tidak mau istri-istrinya ikut campur mengatur. Bahkan ialah yang mengatur istri-istrinya semaunya sehingga istri-istrinya takut untuk berbicara dihadapannya” (Fathul Baari (IX/260-261))


Adapun perkataan sang wanita, “jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”” maka ada dua penafsiran

Pertama:

Jika ia menyebutkan aib-aib suaminya lalu hal ini sampai kepadanya maka ia akan dicerai. Namun jika ia berdiam diri maka ia tergantung terkatung-katung, seperti tidak punya suami dan sekaligus bukan wanita yang tidak bersuami. Seakan-akan ia berkata, “Aku di sisi suamiku seperti tidak bersuami karena aku tidak bisa mengambil manfaat dari suamiku, dan tidak juga aku dicerai agar aku bisa lepas darinya dan mencari suami yang lain.

Kedua:

Yaitu ia menjelaskan akan buruknya suaminya yang tidak sabaran jika mendengar keluhan-keluhannya. Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung meceraikannya dan ia tidak pingin dicerai karena cintanya yang dalam kepada suaminya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.

Faedah : Suami yang sholeh adalah suami yang dekat kepada istrinya, yang bisa menjadi tempat mencurahkan hati istrinya, dan bukan yang ditakuti oleh istrinya.

((Wanita yang keempat berkata, “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”))

Tihamah adalah daerah yang dikelilingi gunung-gunung dan daerah yang mayoritas musimnya terasa panas dan tidak ada angin segar yang bertiup. Namun pada malam hari panas tersebut tidak begitu terasa maka penduduknya akan merasa nyaman dan nikmat jika dibanding keadaan mereka di siang hari.

Maksud dari sang wanita adalah menceritakan tentang kondisi suaminya yang seimbang, tidak ada gangguan dari suaminya dan tidak ada sesuatu yang dibencinya sehingga tidak membosankan untuk terus bersamanya. Sehingga ia merasa aman karena tidak takut gangguan suaminya sehingga kehidupannya nyaman sebagaimana kehidupan penduduk Tihamah tatkala di malam hari.

((Wanita yang kelima berkata, “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”))

Dan macan kuat namun suka tidur.

Ada dua kemungkinan makna yang terkandung dari perkataan wanita yang kelima ini.

Pertama adalah pujian (dan ini adalah pendapat mayoritas pensyarah hadits ini)

Yaitu suaminya jika masuk kedalam rumah menemuinya maka seperti macan yang kuat yang menerkam dengan kuat. Maksudnya yaitu sang suami sering menjimaknya yang menunjukan bahwa ia sangat dicintai suaminya sehingga jika suaminya melihatnya maka tidak sabar dan ingin langsung menerkamnya untuk menjimaknya. Dan jika keluar rumah maka seperti singa yang pemberani

Ia tidak pernah bertanya tentang apa yang telah dikeluarkannya yang menunjukan ia adalah suami yang baik yang sering bersedekah dan tidak perduli dengan sedekah yang ia keluarkan. Atau jika ia masuk ke dalam rumah maka ia tidak perduli dengan aib-aib yang terdapat dalam rumah

Faedah :

Termasuk sifat suami yang baik adalah tidak ikut campur dengan istrinya dalam mengatur urusan rumah, oleh karena itu jika ia melihat perubahan-perubahan atau keganjilan-keganjilan dalam rumahnya hendaknya ia pura-pura tidak tahu, ia membiarkan istrinyalah yang menangani hal itu. Atau jika ia memang harus bertanya kepada istrinya tentang keganjilan yang timbul maka hendaknya ia bertanya dengan lembut.

Disebutkan bahwa dintara sifat macan adalah banyak tidur sehingga sering lalai dari mangsa yang terkadang berada dihadapannya. Ini merupakan isyarat bahwa sang suami adalah orang yang kuat namun sering tidak ikut campur dalam urusan sang istri dalam mengatur rumah. Inilah makna dari perkataan sang wanita “tidak bertanya apa yang didapatinya” (Al-Minhaj XV/214)

Disebutkan juga bahwa seorang Arab ditanya, “Siapakah yang disebut dengan orang yang pandai ?”, maka ia menjawab, فَطِنٌ مُتَغَافِلٌ “Orang yang ngerti namun berpura-pura tidak tahu”

Betapa banyak permasalahan rumah tangga yang timbul karena sang suami terlalu detail dalam menghadapi istrinya, segala yang terjadi di rumahnya bahkan sampai perkara-perkara yang sepele dan ringan ia tanyakan, ia cek pada istrinya. Akhirnya timbullah permasalahan dan cekcok antara dia dan istrinya. Kalau seandainya ia sedikit bersifat pura-pura tidak tahu, terutama pada perkara-perkara yang ringan maka akan banyak permasalahan yang bisa diselesaikan, bahkan hanya dengan salam. Bahkan sebagian kesalahan yang ringan yang dilakukan oleh sang istri –dan sang istri menyadari bahwa ia telah bersalah- jika dibiarkan saja oleh sang suami maka akan selesai dengan sendirinya. Oleh karena itu seorang yang cerdik adalah yang menerapkan sifat pura-pura tidak tahu pada beberapa permasalahan keluarga yang dihadapinya terutama permasalahan-permasalahan yang ringan. (Lihat ceramah Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwaini yang berjudul “Lailah fi bait An-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.) Sifat inilah yang disebut dengan mudaraooh (pura-pura tidak tahu atau basa-basi) dan akan datang penjelasannya.


Kedua adalah celaan

Yaitu suaminya jika masuk kedalam rumah seperti macan dimana jika suaminya menjimaknya maka langsung terkam tanpa dibuka dengan cumbuan dan rayuan karena sifatnya yang keras seperti macan. Atau karena sifatnya yang jelek sehingga kalau masuk ke dalam rumah sering memukulnya dan menamparnya. Dan jika keluar rumah maka seperti singa yang lebih keras lagi dan lebih berani lagi.

Dan jika ia masuk rumah maka ia tidak bertanya-tanya, yaitu sang suami tidak pernah perduli dengan keadaan istrinya dan juga urusan rumahnya.

Faedah : Suami yang baik adalah yang selalu bertanya kepada istrinya tentang kondisi istrinya meskipun sang istri tidak menampakan tanda-tanda perubahan, yang hal ini menyebabkan sang istri merasa bahwa ia sangatlah diperhatikan oleh istrinya.

((Wanita keenam berkata, “Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”))

Maksunya yaitu ia mensifati suaminya yang banyak makan dan minum, dan orang Arab mengunakan sifat banyak makan dan minum untuk mencela seseorang dan menggunakan sifat banyak berjimak untuk memuji seseorang yang menunjukan kejantanannya. Wanita yang keenam ini ingin menjelaskan sifat suaminya yang buruk yang tidak memperhatikan dirinya. Jika tidur maka ia memojok (menjauh) dengan selimutnya sendiri tidak satu selimut dengan istrinya. Dan jika ia hendak berjimak maka ia tidak menjulurkan tangannya untuk mencumbu sang istri sebagai pembukaan jimak. Atau maksudnya jika sang istri mengalami kesedihan, kesusahan, atau sakit maka ia tidak pernah menjulurkan tangannya ke tubuh istrinya untuk mengecek keadaannya, yang hal ini menunjukan ketidakpeduliannya terhadap istrinya.

Faedah :

Bukan termasuk sikap yang baik jika suami tidur sebelum berbincang-bincang dengan istrinya dan menyentuhkan tangannya kepada istrinya sebagai tanda kasih sayangnya. Kemudian jika sang istri memunculkan adanya perubahan pada sikapnya (baik kesedihan atau rasa sakit) maka hendaknya suami tanggap dan segera menunjukan perhatiannya pada istrinya.

((Wanita yang ketujuh berkata, “Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”))

Yiatu ia ingin menjelaskan bahwa suaminya bodoh tidak pandai dan tidak kuat berjimak, ditambah lagi akhlaknya yang buruk, jika ia (sang istri) berbicara dengannya maka ia langsung memaki, jika sang istri bercanda maka langsung memukul kepalanya hingga melukainya, jika sang istri membuatnya marah maka ia memukulnya hingga mematahkan tulang, atau ia mengumpulkan semua itu (mengumpulkan makian, pukulan, dan mematahkan tulang).

Semua aib yang ada di dunia ini yang tersebar di orang-orang terkumpul semuanya pada diri suaminya.

((Wanita yang kedelapan berkata, “Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”))

Maksudnya yaitu bahwa suaminya lembut, berakhlak baik, bersihan, dan berbicara dengan pembicaraan yang baik sehingga orang-orang memujinya.

Faedah :

1.      Merupakan sifat suami yang baik adalah yang memperhatikan keharuman tubuhnya

2.      Merupakan sifat suami yang baik adalah berakhlak yang mulia sehingga mudah dan senang didekati oleh orang-orang sebagaimana kelinci yang lembut sentuhannya dan bulunya sangat halus sehingga orang-orangpun suka mendekati binatang ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ؟ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟ عَلَى كُلِّ قَرِيْبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ

“Maukah aku kabarkan kepada kalian orang yang diharamkan masuk neraka?, atau neraka diharamkan menyentuhnya?, yaitu neraka haram bagi setiap orang yang dekat, tenang, lagi mudah”. (HR At-Thirmidzi no 2488 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat juga As-Shahihah no 938))

3.      Dalam riwayat yang lain ada tambahan وَأَنَا أَغْلِبُهُ وَالنَّاس يَغْلِبُ ((Aku menundukkannya dan dia menundukkan orang-orang)) (HR An-Nasaa’i dalam Al-Kubro (V/357 no 91319) dan At-Thobrooni dalam Al-Mu’jam Al-Kabiir (XXIII/165 no 265) dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jaami’ no 141)

Berkata Ibnu Hajar menjelaskan maksud dari tambahan ini, “Sang wanita menjelaskan bahwa suaminya ini sangat baik dan sangat sabar terhadapnya… Hal ini sebagaimana perkataan Mu’awiyah, يَغْلِبْنَ الْكِرَامَ وَيَغْلِبُهُنَّ اللِّئَامُ “Para wanita menundukkan orang-orang yang berakhlak mulia dan mereka dikuasai oleh orang-orang yang tercela akhlak mereka”… kalau seandainya sang wanita hanya mengatakan ,”Aku menundukkannya” maka akan disangka bahwa suaminya adalah orang yang lemah dan pengecut. Tatkala ia berkata, “Ia menundukkan orang-orang” maka hal ini menunjukan bahwa ia bisa menundukan suaminya semata-mata hanyalah karena kemuliaan akhlak sang suami. Maka dengan ucapannya ia ini sempurnalah pujiannya terhadap sifat-sifat suaminya.” (Al-Fath (IX/265))


((Wanita yang kesembilan berkata, “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”))

Maksudnya yaitu suaminya memiliki rumah yang luas yang menunjukan akan mulianya dan tinggi martabatnya di masyarakat. Ia adalah orang yang tinggi karena barang siapa yang sarung pedangnya panjang maka menunjukan ia adalah orang yang tinggi, juga pemberani. Suaminya juga suka menjamu tamu hingga api tungkunya selalu menyala setiap saat menanti tamu yang datang, yang hal ini mengakibatkan banyaknya abu bekas bakaran api. Dan rumahnya dekat dengan tempat pertemuan, maksudnya ia adalah orang yang dimuliakan oleh masyarakat sehingga masyarakat sering berkumpul di rumahnya, atau maknanya yaitu ia membangun rumahnya dekat dengan tempat perkumpulan masyarakat agar mereka mudah untuk mampir dirumahnya untuk ia jamu.

((Wanita yang kesepuluh berkata, “Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik??, Malik  adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki onta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika onta-onta tersebut mendengar tukang penyala api maka onta-onta tersebut yakin bahwa mereka akan binasa”))

Wanita ini menjelaskan bahwa suaminya adalah seorang suami yang sangat baik, lebih baik dari yang disangka oleh pendengar, lebih baik dari pujian tentangnya. Ia memiliki onta yang sangat banyak dikandang dan jarang dikeluarkan untuk digembalakan karena sering datangnya tamu, sehingga onta-onta tersebut harus selalu disiapkan disembelih untuk memuliakan dan menjamu para tamu. Hari-hari disembelihnya onta-onta lebih banyak dari pada hari-hari digembalakannya onta-onta tersebut, hal ini menunjukan betapa karimnya dan baiknya sang suami yang selalu menjamu para tamunya. Onta-onta tersebut jika mendengar suara tukang jagal datang maka mereka yakin bahwa mereka pasti akan disembelih karena itulah kebiasaannya tukang jagal yang selalu menyembelih mereka

Faedah : Termasuk sifat suami yang baik adalah memuliakan tamu, dan hendaknya ia selalu menyiapkan makanan khusus untuk para tamu karena para tamu bisa datang sewaktu-waktu.

((Wanita yang kesebelas berkata, “Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’??, dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan aku maka akupun gembira))

Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya perhiasan yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan tubuhnya padat (montok). Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya tubuhnya semuanya padat. Hal ini menjadikannya gembira.

(( Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dengan kehidupan yang sulit, lalu iapun menjadikan aku di tempat para pemiliki kuda dan onta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku tidur di pagi hari, aku minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi))

Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya.

Jika ia berbicara dihadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak pernah menghinakan atau menjelekannya karena mulianya suaminya tersebut dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur dipagi hari dan tidak dibangunkan karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai model minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya.

Faedah :

1. Merupakan sifat suami yang baik adalah menghiasi dan mempercantik istrinya dengan perhiasan dan memberikan kepada istrinya makanan pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan sang istri menjadi sangat mencintai suaminya karena merasakan perhatian suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya.
2. Para wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang paling baik yang diberikan kepada wanita.
3. Merupakan sifat suami yang baik adalah membantu istrinya diantaranya dengan mendatangkan pembantu yang bisa membantu tugas-tugas rumah tangga istrinya.
4. Tubuh yang berisi padat (tidak kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang wanita

((Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’??, yang mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas))

Kemudian karena besar cintanya kepada suaminya maka mulailah ia menceritakan tentang keadaan keluarga suaminya, diantaranya adalah ibu suaminya (Ibu Abu Zar’).

Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang memiliki banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar dan luas. Hal ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat baik yang selalu memuliakan tamu-tamunya

Faedah : Diantara sifat istri yang sholehah hendaknya ia menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu suaminyalah yang telah melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik kepadanya. (Lihat ceramah Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwaini yang berjudul “Lailah fi bait An-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”). Kemudian hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang istri yang sholehah dan ibu suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya tidak ada motivasi yang mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa masing-masing memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh sang suami

((Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia ??, tempat tidurnya adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika memakan lengan anak kambing betina))

Maksudnya bahwa putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan serta pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan lembut, namun sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.

((Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia ??, taat kepada ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya))

Maksudnya yaitu ia adalah seorang putri yang berbakti kepada kedua orang tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati kedua orangtuanya. Ia seorang putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga menjadikan istri suaminya yang lain cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya tersebut.

((Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia ??, ia menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami))

Maksudnya budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya bisa menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang terjadi di dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat jauh dari sifat khianat dan sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga jauh dari tuduhan tuduhan sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.

Demikianlah sang wanita menceritakan kebaikan-kebaikan yang ia dapatkan di rumah suaminya, yang hal ini menunjukan betapa besar cintanya dan sayangnya ia pada suaminya, hatinya telah tertawan oleh suaminya. Bahkan dalam riwayat yang lain ia juga menyebutkan tentang tamu Abu Zar’, harta Abu Zar’, dan para tukang masak Abu Zar’, bahkan sampai-sampai ia menceritakan tentang anjingnya Abu Zar’. (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath IX/272)

((Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya susu sedang digoyang-goyang  agar keluar sari susunya, maka iapun bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima[12]. Maka iapun lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut))

Maksudnya Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu para pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka ada yang sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu agar keluar sari susu tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki dua orang anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang subur. Hal ini merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita tersebut, karena orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak keturunan. Dan sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang menunjukan bahwa wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu Zar’

((Setelah itu akupun menikahi seoerang pria yang terkemuka yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi[13] lalu  membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa gonimah berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”.

Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’))

Yaitu Ummu Zar’ setelah itu menikahi seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga memberikannya  makanan yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut kepada keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.

Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah yang telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami pertama dari sang wanita, hal ini sebagaimana perkataan seorang penyair

نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى      فَماَ الْحُبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الْأَوَّلِ

وَكَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَتَى              وَحَنِيْنُهُ أبَدًا لِأَوَّلِ مَنْزِلِ

Pindahkanlah hatimu kepada siapa saja yang engkau mau

Namun kecintaan (sejati) hanyalah untuk kekasih yang pertama

Betapa banyak tempat di bumi yang sudah biasa ditinggali seorang pemuda

Namun selamanya kerinduannya selalu kepada tempat yang pertama ia tinggali

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menikahi para wanita yang perawan karena wanita perawan akan lebih cinta kepada suaminya, karena suaminyalah yang pertama kali mengenalkannya makna cinta. (Lihat penjelasannya lebih panjang dalam tulisan kami “Kekasih Idaman”)

Ia tidak bisa melupakan kebaikan-kebaikan suami pertamanya Abu Zar’ bahkan kebaikan-kebaikan yang begitu banyak yang ia dapatkan dari suami keduanya seakan-akan tidak ada nilainya jika dibandingkan dengan kebaikan yang diberikan oleh Abu Zar’ kepadanya.

Faedah :

1. Diantara sifat suami yang baik adalah membiarkan istrinya bersilaturahmi dengan keluarga istrinya

2. Bahkan merupakan sifat suami yang baik adalah membiarkan istrinya memberikan makanan atau sesuatu dari rumahnya untuk keluarga istrinya, bahkan suami yang baik adalah yang mendorong istrinya berbuat demikian

3. Menguasai seorang wanita adalah dengan menguasai hatinya. Abu Zar’ telah menguasai hati Ummu Zar’ sehingga Ummu Zar’ tidak bisa melupakannya meskipun suaminya yang kedua tidak kalah baiknya atau bahkan lebih baik dari Abu Zar’ dalam hal pemberian. Namun karena hati Ummu Zar’ telah dikuasai oleh Abu Zar’ maka semua pemberian suami keduanya kurang bernilai dihadapan pemberian Abu Zar’. Hal ini menunjukan bahwa hati itu dimiliki dengan akhlak dan pergaulan yang baik bukan dengan harta

4. Wanita yang pandai adalah wanita tidak menyerah dengan susahnya kehidupan. Lihatlah Ummu Zar’ ia tidak putus asa setelah dicerai oleh Abu Zar’, tidak membiarkan dirinya terhanyut dalam kesedihan, akan tetapi ia segera menikah dengan lelaki yang lain untuk memulai kehidupan baru.

5. Perceraian bukanlah merupakan akhir dari kehidupan, lihatlah Ummu Zar’ menikah lagi sebagaimana Abu Zar’ menikah lagi

((Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’”))

Berkata Imam An-Nawawi, “Dan lafal كَانَ (yaitu dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam كُنْتُ) adalah zaaidah (tambahan) atau untuk menunjukan dawam (kesinambungan) sebagaimana firman Allah {وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا} (Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang), yaitu sejak dahulu hingga seterusnya Allah akan selalu bersifat demikian (Maha Pengampun dan Maha Penyayang)” (Al-Minhaj XV/221)

Hal ini menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu sayang dan perhatian keapda Aisyah. Berbeda dengan sebagian suami yang kasih sayangnya kepada istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak sayang dan perhatian lagi kepada istrinya.

Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah,

كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ إِلاَّ أَنَّ أَبَا زَرْعٍ طَلَّقَ وَأَنَا لاَ أُطَلِّقُ

“Aku bagimu seperti Abu Zar’ seperti Ummu Zar’ hanya saja Abu Zar’ mencerai dan aku tidak mencerai” (HR At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XXIII/173 no 270)

Dalam riwayat lain Aisyah berkata 

يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ 

“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro V/358 no 9139)

Faedah:

1. Perhatikanlah…Aisyah menceritakan kisah yang indah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabar mendengarkan kisah tersebut padahal kisahnya panjang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak memotong pembicaraan Aisyah, padahal beliau memiliki kesibukan yang sangat banyak, banyak urusan penting yang harus beliau tunaikan. Maka suami yang baik adalah suami yang mendengarkan pembicaraan istrinya dan tidak memotong pembicaraannya.
2. Para wanita kalau berkumpul biasanya pembicaraan mereka seputar para lelaki. Hal ini berbeda dengan para lelaki, kalau mereka berkumpul biasanya pembicaraan mereka berputar pada perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan
3. Bolehnya membuat permisalan dalam pembicaraan.

Peringatan:

Bukanlah maksudnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Aisyah sama persis sebagaimana sifat Abu Zar’ kepada Ummu Zar’, akan tetapi maksudnya sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan sikap Abu Zar’ dalam hal kasih sayang kepada istri, hal ini sebagaimana dalam riwayat Al-Haitsam كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لأُمِّ زَرْعٍ فِي الأُلْفَةِ (Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’ dalam hal kasih sayang) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. (Al-Fath IX/277). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyamai Abu Zar’ dalam segala hal dan sifat yang disebutkan dalam hadits seperti kekayaan dan kemewahan hidup, memiliki putra, pembantu, dan yang lainnya. Demikian juga jelas bahwa ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah sama dengan Abu Zar’, bahkan dalam hadits sama sekali tidak disebutkan tentang ibadah Abu Zar’. Oleh karena itu janganlah dipahami dari kisah Abu Zar’ ini bahwa hanyalah yang bisa menggauli istrinya dengan baik adalah yang memiliki harta banyak dan berlebihan. Akan tetapi maksudnya hendaknya seseorang itu seperti Abu Zar’ dalam hal kasih sayang dan perhatian serta pemberian. Dan menampakkan kasih sayang dan perhatian tidaklah mesti dengan harta yang banyak, akan tetapi masing-masing suami menyesuaikan dengan kondisinya yang penting ia bisa menunjukan kasih sayang dan perhatiannya serta tidak pelitnya dia kepada istrinya. Wallahu A’lam.


Wasiat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam Kepada Para Suami Untuk Memperhatikan Para Wanita

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُُه كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ

“Berwasiatlah untuk para wanita karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan yang paling bengkok dari bagian tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau ingin meluruskan tulang rusuk tersebut maka engkau akan mematahkannya, dan jika engkau membiarkannya maka ia akan tetap bengkok, maka berwasiatlah untuk para wanita” (HR Al-Bukhari III/1212 no 3153 dan V/1987 no 4890 dari hadits Abu Hurairah)

Makna dari sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam “Berwasiatlah untuk para wanita” ada beberapa makna, diantaranya:

(i)           Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian saling berwasiat untuk memperhatikan dan menunaikan hak-hak para wanita”

(ii)         Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian meminta wasiat dari diri kalian sendiri atau dari orang lain untuk menunaikan hak-hak para wanita”. Sebagaimana seseorang yang ingin menjenguk saudaranya yang sakit maka disunnahkan baginya untuk berwasiat, dan berwasiat kepada wanita perkaranya lebih ditekankan lagi mengingat kondisi mereka yang lemah dan membutuhkan orang lain yang mengerjakan urusan mereka

(iii)       Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Terimalah wasiatku (Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam) tentang para wanita dan amalkanlah wasiat tersebut, bersikap lembutlah kepada mereka dan gaulilah mereka dengan baik”. (Pendapat yang terakhir inilah yang menurut Ibnu Hajar lebih tepat (Al-Fath VI/368))

Inti dari ketiga penafsiran di atas adalah hendaknya para suami memberikan perhatian yang serius dalam bersikap baik kepada para wanita.

Wanita adalah makhluk yang lemah yang sangat membutuhkan kasih sayang dari suaminya…membutuhkan perhatian khusus….. oleh karena itu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam membuka wasiatnya dengan sabdanya ((Berwasiatlah untuk para wanita)) dan  menutup wasiatnya dengan mengulangi sabdanya ((Berwasiatlah untuk para wanita)) untuk menegaskan hal ini.

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda –tatkala haji wada’-

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ

“Hendaknya kalian berwasiat yang baik untuk para wanita karena mereka sesungguhnya hanyalah tawanan yang tertawan oleh kalian” (HR At-Thirmidzi no 1163, Ibnu Majah no 1851 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Berkata Asy-Syaukani, “Maksudnya bahwasanya hukum para wanita seperti hukum para tawanan…dan seorang tawanan tidak bisa membebaskan dirinya tanpa idzin dari yang menawannya, demikianlah (kondisi) para wanita. Hal ini didukung dengan hadits إِنَّمَا الطَّلاَقُ لِمَنْ أَخَذَ بِالسَّاقِ ((Sesungguhnya perceraian berada di tangan yang memegang betis)).[ HR Ibnu Majah no 2081 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (lihat Al-Irwa’ no 2041). Maksud dari (memegang betis) adalah kinayah dari jimak. Artinya perceraian itu berada di tangan suami (Syarh Sunan Ibni Majah karya As-Suyuthi I/151)]

Maka wanita tidak memiliki kekuasaan untuk membebaskan dirinya dari suaminya kecuali ada dalil yang menunjukan akan bolehnya hal itu misalnya karena kondisi suami yang tidak mampu memberi nafkah atau adanya aib pada suami yang membolehkan untuk pembatalan akad nikah dan demikian juga jika sang wanita benar-benar sangat membenci sang suami…( Asy-Syaukani menyebutkan adanya khilaf dalam poin yang terakhir ini)” (Nailul Author VII/135)

Terkadang seorang wanita dizholimi oleh suaminya…hak-haknya tidak ditunaikan oleh suaminya…omelan-omelan menjadi santapannya sehari-hari, tamparan demi tamparan ia rasakan…namun ia tak kuasa untuk memisahkan dirinya dari suaminya…

Apalagi jika sang wanita telah mencapai usia yang agak tua…jika ia meminta cerai maka siapakah yang akan menggantikan posisi suaminya kelak…, batinnya berkata “Apakah ada laki-laki yang mau menikah denganku yang sudah tua ini”??? Kesedihan dan ketakutan terus menyelimutinya….

Terkadang meskipun suaminya selalu mendzoliminya namun ia tak kuasa berpisah dari suaminya itu…cintanya terlalu dalam kepada suaminya…ia hanyalah tawanan suaminya yang diperlakukan seenak suaminya…hanya kepada Allah-lah ia mengadukan penderitaannya…!!!!!

Oleh karena itu hendaknya para suami bertakwa kepada Allah…takut kepada Allah tatkala menunaikan kewajibannya kepada para wanita… hendaknya tatkala mereka bermuamalah dengan istri-istri mereka mengingat wasiat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda –tatkala haji wada’ mengingatkan para sahabatnya-

فَاتَّقُوْا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ

“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah[1] Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah” (HR Muslim II/889 no 1218)

Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menganjurkan untuk memperhatikan hak-hak para wanita dan wasiat (untuk berbuat baik) kepada mereka serta untuk mempergauli mereka dengan baik. Telah datang hadits-hadits yang banyak yang shahih tentang wasiat tentang mereka dan penjelasan akan hak-hak mereka serta peringatan dari sikap kurang dalam hal-hal tersebut (menunaikan hak-hak mereka)” (Al-Minhaj VIII/183)

Sebagian ulama menyatakan bahwa meninggalkan hak-hak istri dosanya lebih besar daripada dosa karena meninggalkan penunaian hak-hak suami. Karena seorang suami jika istrinya tidak menunaikan hak-haknya maka ia bisa saja menceraikannya atau ia mampu untuk bersabar karena tubuhnya yang kuat dan pribadinya yang kuat. Berbeda dengan seorang wanita yang dizolimi oleh suaminya, hak-haknya tidak ditunaikan oleh suaminya, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menangis, hatinya lemah. Wanita yang keadaannya seperti ini merasa bahwa ia telah gagal dalam kehidupannya, ia hanya bisa mengeluhkan kesedihannya kepada Allah, terkadang ia tidak mampu untuk berdo’a kepada Allah untuk membalas kezoliman suaminya karena kecintaannya kepada suaminya. (Ceramah Syaikh Muhammad Mukhtaar Asy-Syinnqithi yang berjudul “Fiqhul Usroh”)

Bertakwalah wahai para suami..!!!, takutlah kepada Allah..!!!, tunaikanlah hak-hak istri-istri kalian…!!!

Hendaknya para suami menyadari bahwa kodrat wanita diciptakan dengan penuh kekurangan, maka janganlah ia mengharapkan kesempurnaan dari seorang wanita.

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk dan ia (seorang wanita) tidak akan lurus bagimu di atas satu jalan, maka jika engkau menikmatinya maka engkau akan menikmatinya dan pada dirinya ada kebengkokan, dan jika engkau meluruskannya maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya wanita adalah menceraikannya.” (HR Muslim II/1091 no 1468)

Berkata Ibnu Hajar, “Sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam  ((Wanita diciptakan dari tulang rusuk)),…dikatakan bahwa ini merupakan isyarat bahwasanya Hawwa’ diciptakan dari tulang rusuk Adam yang sebelah kiri” [Fathul Bari VI/368. An-Nawawi berkata, “Dikatakan bahwa Hawwa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelum masuk ke dalam surga maka lalu keduanya masuk ke dalam surga. Dikatakan juga bahwa Hawwa diciptakan tatkala Adam telah masuk dalam surga” (Al-Minhaj X/59)]. Hal ini sesuai dengan firman Allah

خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا (الزمر : 6 )

Dia menciptakan kamu dari seorang diri (Adam) kemudian Dia jadikan daripadanya isteriya (Hawwa’) (QS. 39:6) (Lihat penjelasan Asy-Syaukani dalam Nailul Author VI/358)

Tatkala wanita asal penciptaannya dari tulang rusuk maka sifat-sifatnya seperti tulang rusuk. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Wanita seperti tulang rusuk, jika engkau luruskan maka engkau akan mematahkannya dan jika engkau menikmatinya maka engkau menikmatinya dan pada dirinya kebengkokan” (HR Al-Bukhari V/1987 no 4889)

Berkata Ibnu Hajar (mengomentari hadits yang sebelumnya), “Maknanya bahwa para wanita diciptakan asalnya adalah diciptakan dari sesuatu yang bengkok, dan ini tidaklah menyelisihi hadits yang lalu bahwasanya wanita diserupakan dengan tulang rusuk. Bahkan diambil faedah dari hal ini titik penyerupaannya yaitu bahwasanya wanita bengkok seperti tulang rusuk karena asal pencipataannya adalah dari tulang rusuk” (Fathul Bari IX/253)

Berkata Ibnu Hajar, “Faedahnya bahwasanya janganlah diingkari kebengkokan seorang wanita, atau isyarat bahwa wanita tidak bisa diluruskan sebagaimana tulang rusuk tidak bisa diluruskan” (Fathul Bari VI/368)

Tatkala seorang suami mengetahui hal ini maka janganlah sampai ia mengharapkan seorang wanita akan menjadi lurus seratus persen, karena bagaimanapun juga sholehnya wanita itu ia tetap saja masih memiliki kebengkokan, dan janganlah seorang suami mengharapkan kemustahilan dari istrinya…!!!

Berkata Asy-Syaukani, “Sebagai peringatan bahwasanya seorang wanita akhlaknya bengkok dan tidak akan lurus selamanya, maka barangsiapa yang berusaha untuk memaksakannya pada akhlak yang lurus maka ia akan merusak wanita tersebut” (Nailul Author VI/358).

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُُه كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ

“Berwasiatlah untuk para wanita karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan yang paling bengkok dari bagian tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau ingin meluruskan tulang rusuk tersebut maka engkau akan mematahkannya, dan jika engkau membiarkannya maka ia akan tetap bengkok, maka berwasiatlah untuk para wanita” (HR Al-Bukhari III/1212 no 3153 dan V/1987 no 4890 dari hadits Abu Hurairah)

Ibnu Hajar berkata, “Sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam  ((dan yang paling bengkok dari bagian tulang rusuk adalah bagian atasnya)), Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal ini untuk menegaskan makna akan benar-benar “patah”, karena penglurusan sangat nampak pada bagian yang paling atas. Atau merupakan isyarat bahwa wanita diciptakan dari bagian tulang rusuk yang paling bengkok dalam rangka untuk penekanan dan penegasan bahwa wanita benar-benar memiliki sifat bengkok. Atau mungkin saja maksudnya untuk menjelaskan bagian atas wanita, karena bagian atas wanita adalah kepalanya dan pada kepalanya ada lidahnya dan dengan lisannya tersebutlah timbul gangguan dari sang wanita” (Fathul Bari IX/253)

Seorang penyair berkata

هِيَ الضِّلَعُ الْعَوْجَاءُ لَسْتَ تُقِيْمُهَا       أَلاَ إِنَّ تَقْوِيْمَ الضُّلُوْعِ انْكِسَارُهَا

تَجْمَعُ ضَعْفًا وَاقْتِدَارًا عَلَى الْفَتَى           أَلَيْسَ عَجِيْبًا ضَعْفُهَا وَاقْتِدَارُهَا

Wanita adalah rusuk yang bengkok yang tidak mungkin engkau luruskan

Ketahuilah bahwasanya meluruskan tulang rusuk berarti mematahkannya

Wanita menggabungkan antara kelemahan dan kekuatannya pada seorang pemuda[2]

Bukankah merupakan hal yang ajaib (terkumpulkannya) kelemahan dan kekuatan seorang wanita (pada diri seorang pemuda)?

(Lihat sya’ir ini di Faidhul Qodiir I/503)

Namun bukan berarti seorang suami membiarkan istrinya dalam kebengkokannya tanpa ada usaha sama sekali untuk meminimalisir kebengkokan tersebut

Wajib bagi seorang suami untuk mengarahkan istrinya kepada pendidikan agama dan pengamalan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Jika kebengkokan sang istri membawa sang istri hingga melakukan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban maka wajib baginya untuk menasehati istrinya tersebut. Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (التحريم : 6 )

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)

Namun ingat bahwasanya menasehati seorang wanita harus dengan cara yang selembut-lembutnya. Berkata Ibnu Hajar mengomentari sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam  di akhir hadits ((maka berwasiatlah kepada para wanita)), “Seakan-akan pada sabda beliau itu ada isyarat bahwasanya hendaknya tatkala meluruskan wanita harus dilakukan dengan lembut hingga tidak terlalu berlebih-lebihan yang mengakibatkan patahnya wanita tersebut, dan juga tidak dibiarkan begitu saja (tanpa ada usaha pemebenahan sama sekali) sehingga ia akan terus diatas kebengkokakannya.  Oleh karena itu Imam Al-Bukhari melanjutkan setelah itu dengan bab yang berjudul “Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. Faedah dari hal ini adalah hendaknya sang suami tidak membiarkan istrinya di atas kebengkokannya jika ia telah melampaui kekurangan tabi’atnya hingga melakukan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban. Namun maksudnya adalah ia membiarkannya di atas kebengkokannya pada perkara-perkara yang dibolehkan” (Fathul Bari IX/254)

((Adapun pembicaraan tentang bagaimana cara seorang suami meluruskan istrinya yang tidak taat padanya dengan cara menasehati kemudian menghajr kemudia memukul…maka akan datang pada bab “Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh suami, insya Allah…))


Kelembutan dan Basa-Basi dalam Menghadapi Istri

Kelembutan merupakan kunci utama menghadapi wanita

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

اِرْفَقْ بِالْقَوارِيْرِ

“Lembutlah kepada kaca-kaca (maksudnya para wanita)” (HR Al-Bukhari V/2294 no 5856, Muslim IV/1811 no 2323, An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubro VI/135 no 10326 dan ini adalah lafal An-Nasa’i)

Berkata Ibnu Hajar, “Al-Qowarir plural (kata jamak) dari singular (kata tunggal) Qoruroh yang artinya adalah kaca…berkata Romahurmuzi, “Para wanita dikinayahkan dengan kaca karena lembutnya mereka dan lemahnya mereka yang tidak mampu untuk bergerak gesit. Para wanita disamakan dengan kaca karena kelembutan, kehalusan, dan kelemahan tubuhnya”…yang lain berkata bahwasanya para wanita disamakan dengan kaca karena begitu cepatnya mereka berubah dari ridho menjadi tidak ridho dan tidak tetapnya mereka (mudah berubah sikap dan pikiran) sebagaimana dengan kaca yang mudah untuk pecah dan tidak menerima kekerasan” (Fathul Bari X/545)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “…Sebuah kata yang engkau ucapkan bisa menjadikannya menjauh darimu sejauh bintang di langit, dan dengan sebuah kata yang engkau ucapkan bisa menjadikannya dekat hingga di sisimu” (Asy-Syarhul Mumti’ XII/385)

Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh, “Para wanita disamakan dengan kaca karena lemahnya hati mereka” ( Masyariqol Anwaar II/177). Demikianlah…Allah telah menciptakan wanita dengan penuh kelembutan dan kelemahan. Hati mereka lemah sehingga sangat perasa. Mudah tersinggung…namun senang dipuji. Mudah berburuk sangka…mudah cemburu…mudah menangis…demikianlah wanita.

Sikap para wanita begitu cepat berubah terhadap sikap suami mereka…terkadang hari ini ridho dengan sikap suaminya…besok hari marah dan tidak ridho…, apalagi jika sang suami melakukan kesalahan….!!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌ

“Seandainya engkau berbuat baik pada salah seorang istri-istrimu sepanjang umurmu kemudian dia melihat suatu (yang tidak disukainya) darimu maka ia akan berkata, “Aku sama sekali tidak pernah kebaikan darimu” (HR Al-Bukhari I/19 no 29 dan Muslim II/626 no 907)

Basa-basi sangat diperlukan dalam menghadapi wanita

Hendaknya seorang suami pandai bersiasat dan berstrategi dalam bergaul dengan istrinya hingga menarik hatinya.

Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan akan dianjurkannya untuk berbuat mujamalah (berbasa-basi) untuk menarik hati para wanita dan melembutkan hati mereka. Hadits ini juga menunjukan siasat dalam menghadapi wanita yaitu dengan memaafkan mereka serta sabar dalam menghadapi kebengkokan mereka. Dan barangsiapa yang berharap selamatnya para wanita dari kebengkokan maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari mereka, padahal seorang pria pasti membutuhkan seorang wanita yang ia merasa tentram bersamanya dan menjalani hidup bersamanya. Seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sempurna menikmati (bersenang-senang) dengan seorang wanita kecuali dengan bersabar menghadapinya” (Fathul Bari IX/254)

Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan sikap berlemah lembut terhadap para wanita, bersikap baik kepada mereka, sabar menghadapi bengkoknya akhlak mereka, sabar menghadapi lemahnya akal mereka, dan dibencinya menceraikan mereka tanpa ada sebab, serta janganlah berharap lurusnya seorang wanita” (Al-Minhaj X/57)

Oleh karena itu sikap basa-basi dihadapan wanita sangatlah diperlukan untuk menundukannya, bahkan hal ini disunnahkan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

أََلآ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَأَنَّكَ إِنْ تُرِدْ إِقَامَتَهَا تَكْسِرْهَا فَدَارِهَا تَعِشْ بِهَا

“Ketahuilah bahwasanya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan jika engkau ingin untuk meluruskannya maka engkau akan mematahkannya, oleh karenya barbasa-basilah niscaya engkau akan bisa menjalani hidup dengannya” (HR Al-Hakim di Al-Mustadrok IV/192 no 7333, Ibnu Hibban (Al-Ihsan IX/485) no 4178, Ad-Darimi II/198 no 2221 dari hadits Samuroh bin Jundaub. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat Shahihul Jami’ no 1944))

Penulis: Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Bersambung ke: Suami sejati #4

Tulisan ini Berseri:

____

Catatan Kaki:
  • Sumber Pertama
[1] HR Al-Bukhari V/1988 no 4893 dan Muslim IV/1896 no 2448

[2] Fathul Bari jilid IX hal 256 hingga hal 278

[3] Seperti Fathul Bari, Al-Minhaj Syarah An-Nawawi, majalah Al-Asholah no 46, ceramah Abu Ishaq Al-Huwaini yang berjudul Lailah fi baitin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[4] Lihat Fathul Bari (IX/258)

[5] Seabgaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Minhaj (XV/221)

[6] Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (XV/212)

[7] Lihat Al-Minha (XV/222)

[8] Yang dibenci dan ditinggalkan orang karena kurusnya (Al-Fath IX/259)

[9] Yang tanahnya berlumpur, jika ditanjaki maka kaki akan tertahan dalam lumpur tersebut dan sulit untuk dikeluarkan

[10] HR Muslim no 995

Sebab yang menjadikan pahala infaq kepada keluarga adalah yang terbesar yaitu karena memberi nafkah kepada keluarga hukumnya adalah wajib ‘ain berbeda dengan memberi nafkah pada perkara-perkara sebelumnya yang tersebut di hadits (jihad, pembebasan budak, dan sedekah untuk fakir miskin). (Lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim VII/81-82 dan Mirqootul Mafaatiih IV368). Oleh karena itu ulama berdalil dengan hadits ini bahwasanya fardu ‘ain lebih afdhol daripada fardu kifayah karena memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib ‘ain sehingga lebih afdhol dari pada memberi nafkah untuk jihad fi sabilillah yang merupakan fardu kifayah” (Faidhul Qodiir III/536)

[11] Urat timbul yang nampak pada badan dan perut merupakan istilah untuk mengungkapkan aib baik yang nampak maupun yang tidak nampak

[12] Ada dua pendapat dalam menafsirkan perkataan “yang bermain dengan dua buah delima”.

Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan buah delima di sini adalah benar-benar buah delima. Artinya sang wanita yang dilihat oleh Abu Zar’ adalah wanita yang montok berpantat besar sehingga jika sang wanita berbaring diatas punggungnya maka pingganya akan terangkat karena pantatnya yang besar. Maka munculah lubang di bawah pinggangnya sehingga kedua anaknya melempar (menggulirkan) dua buah delima dibawah pinggangnya.

Adapun pendapat kedua (dan inilah yang dipilih oleh Ibnu Hajar) bahwasanya yang dimaksud dengan buah delima di sini adalah payudara sang wanita. Dimisalkan dengan buah delima karena payudaranya yang masih montok dan belum mengendur yang hal ini menunjukan bahwa sang wanita masih sangat muda. (Lihat Al-Fath IX/274)

[13] Yiatu tombak yang didatangkan dari suatu tempat di pinggiran Bahroin yang bernama Khoth akhirnya dinisbahkanlah nama tombak tersebut pada nama tempat itu. Disebutkan bahwa tombak-tombak tersebut asalnya dari nageri India kemudian diimport ke Khoth di Bahrain (Al-Fath IX/274)

___
Catatan Kaki:
  • Sumber Kedua
[1] Dalam sebagian riwayat بِأَمَانَةِ الله  (Al-Minhaj VIII/183)

[2] Maksudnya seorang wanita lemah, namun selalu tidak mengalah dengan suaminya untuk memenuhi keinginannya sehingga dia lemah dihadapan suaminya dan sekaligus mengalahkan suaminya untuk memenuhi keinginannya.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.