PELANGGARAN-PELANGGARAN SEPUTAR PERNIKAHAN YANG WAJIB DIHINDARKAN ATAU DIHILANGKAN
1. Pacaran Sebelum melangsungkan pernikahan, sebagian besar orang biasanya ‘berpacaran’ terlebih dahulu.
Hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu atau masa penjajagan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya. Dengan adanya anggapan seperti ini, maka akan melahirkan konsensus di masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang pernikahan. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh. Perbuatan ini sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ.
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya.” [1]
Jadi, dalam Islam tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan berpacaran hukumnya haram. Contoh lain yang juga merupakan pelanggaran, yaitu sangkaan sebagian orang bahwa kalau sudah tunangan (khitbah), maka laki-laki dan perempuan tersebut boleh jalan berdua-duaan, bergandengan tangan, bahkan ada yang sampai bercumbu layaknya pasangan suami-isteri yang sah. Anggapan ini adalah salah! Dan perbuatan ini adalah dosa dan akan membawa kepada perzinaan yang merupakan perbuatan dosa besar!
2. Tukar Cincin (Pertunangan)
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan. Hal ini juga bukan dari ajaran Islam.[2] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum laki-laki untuk memakai cincin yang terbuat dari emas. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ ِلإِنَاثِ أُمَّتِي وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا.
"Emas dan sutra dihalalkan untuk wanita dari ummatku dan diharamkan atas laki-lakinya.”[3]
Cincin pertunangan adalah tradisi orang-orang Nasrani, dimana mereka biasa memberikan cincin kepada calon pengantin sebelum dilangsungkannya pernikahan. Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah berkata, “Kami tidak mengetahui dasar amalan ini dalam syari’at. Dan yang paling utama adalah meninggalkan hal tersebut, baik cincin itu terbuat dari emas, perak, atau selainnya.” [4]
3. Menuntut Mahar yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu yang membatasi mahar wanita adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah.[5]
4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara, dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk diting-galkan dan dihilangkan. Sebagian ummat Islam dalam cara pernikahan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan. Padahal Sunnah Rasul shallal-laahu ‘alaihi wa sallam merupakan cahaya dalam agama ini.
Di antara contoh upacara-upacara adat yang jelas-jelas syirik seperti upacara menginjak telur, pasang sesaji, pasang janur, dan lainnya dengan tujuan untuk mengusir jin dan menganggap supaya “berkah”. Ada pula yang mengharuskan berpakaian adat yang membuat mempelai wanita dan para pendampingnya memamerkan aurat, memamerkan rambut, bahu dan bagian tubuh lainnya kepada hadirin.
Perbuatan ini adalah maksiat. Ingat, setiap wanita yang sudah baligh maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan. Ada juga ritual “sungkeman”, yaitu kedua mempelai berlutut menghadap kepada orang tua mereka untuk meminta maaf dan memohon restu yang biasanya dilakukan seusai akad nikah. Padahal, perbuatan ini mengajarkan orang untuk tunduk dan sujud kepada selain Allah, bahkan dapat menjerumuskan seseorang kepada kesyirikan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan hormat kepada orang tua, akan tetapi bukan dengan cara ruku’, berlutut atau bersujud, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan hal-hal tersebut kepada anak-anak dan para Shahabatnya.
Yang disyari’atkan adalah berjabat tangan ketika berjumpa dan berpelukan ketika pulang dari safar, justru hal ini banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin. Mudah-mudahan para orang tua atau para wali sadar untuk tidak mengikuti upacara-upacara adat yang mengandung perbuatan syirik dan kemaksiatan. Dan mudah-mudahan mereka sadar untuk kembali mengikuti ajaran Islam yang mudah dan tidak menyulitkan agar pernikahan anaknya diberkahi oleh Allah Ta’ala. Sungguh sangat ironis…! Kepada mereka yang masih mengagungkan adat istiadat Jahiliyyah dan melecehkan ajaran Islam, berarti mereka belum yakin sepenuhnya kepada kebenaran agama Islam. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” [Al-Maa-idah : 50]
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, ajaran, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan kelak di akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran : 85]
5. Mencukur Jenggot bagi Laki-laki
Sebagian laki-laki yang akan menikah mencukur jenggotnya dengan alasan supaya tampil lebih rapi ketika merayakan pernikahannya. Dalam syari’at Islam, laki-laki tidak boleh mencukur jenggotnya dan hukumnya haram, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki untuk memelihara dan memanjangkan jenggotnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَي:خَالِفُوا الْمَجُوْسَ.
“Rapikanlah kumis, biarkanlah jenggot; selisihilah orang Majusi.” [6]
Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Mencukur jenggot bagi kaum laki-laki adalah perilaku yang buruk karena mereka seringkali meniru perilaku orang-orang kafir Eropa yang selalu mencukur jenggotnya. Mereka merasa malu jika mereka memelihara jenggot, apalagi ketika mereka menemui pengantin wanita tanpa ber-cukur.
Dalam hal ini mereka telah melakukan hal-hal yang dilarang. Di antaranya:
1. Merubah ciptaan Allah. Allah Ta’ala berfirman:
لَعَنَهُ اللَّهُ ۘ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
“Syaitan dilaknat Allah, dan ia berkata, ‘Aku pasti akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu, dan pasti akan aku sesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan akan aku suruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka merubah ciptaan Allah, (lalu mereka benar-benar merubahnya).’ Barangsiapa menjadikan syaitan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh ia menderita kerugian yang nyata.” [An-Nisaa’ : 118-119]
Mencukur jenggot termasuk perilaku merubah apa yang ditetapkan oleh ajaran Islam.
2. Melanggar perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنْهِكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى.
“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.” [7]
Kita mengetahui bahwa perintah tersebut tidak menunjukkan wajib, kecuali ada qarinah atas yang menegaskan hal itu, yaitu sebagaimana yang ada pada point ketiga berikut ini.
3. Menyerupai orang kafir.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوْسَ.
“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot. Bedakanlah diri kalian dengan orang-orang Majusi.” [8]
4. Menyerupai kaum wanita.
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَّبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” [9]
Oleh karena itu, laki-laki yang mencukur jenggotnya telah terbukti berusaha menyerupai wanita.” [10]
6. Mencukur Alis Mata bagi Wanita
Begitu pula sebagian wanita mencukur bulu alis matanya menjelang pesta pernikahan dengan alasan supaya tampil lebih cantik. Perbuatan ini adalah dosa dan dilarang dalam syari’at Islam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ.
"Allah melaknat wanita yang bertato, wanita yang minta ditato, wanita yang mengerik alis dan yang meminta dikerik alisnya, dan wanita yang mengikir giginya agar tampak cantik, mereka telah mengu-bah ciptaan Allah.” [11]
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang meminta disambung rambutnya.[12]
7. Kepercayaan terhadap Hari Baik dan Sial dalam Menentukan Waktu Pernikahan.
Sebagian kaum muslimin masih mempercayai adanya hari baik atau hari sial, bulan baik atau bulan sial ketika mereka menentukan tanggal pernikahan putera-puteri mereka. Mereka mendatangi dukun, orang pintar, peramal atau paranormal untuk minta nasihatnya tentang penentuan tanggal tersebut. Ini adalah perbuatan tathayyur yang sangat dilarang dalam Islam! Agama Islam tidak mengenal adanya hari sial.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sungguh dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [13] Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik; dan tidak ada seorang pun di antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” [14]
Thiyarah yaitu menganggap sial dengan sesuatu yang dilihat, didengar atau diketahui. Bisa juga berarti merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau apa saja. Seperti kepercayaan orang Jahiliyyah yang menganggap sial dengan bulan Shafar. Atau juga menganggap sial dengan hari-hari tertentu.
8. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Ucapan Kaum Jahiliyyah
Kaum Jahiliyyah selalu menggunakan kata-kata, “Birrafaa’ wal Baniin (semoga rukun dan banyak anak),” ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birrafaa’ wal Baniin telah dilarang dalam agama Islam. Dari al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan Jahiliyyah: “Birrafaa’ wal Baniin.” Maka ‘Aqil bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu melarang mereka seraya berkata,
“Janganlah kalian mengucapkan demikian! Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian.” Para tamu bertanya: “Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid?” ‘Aqil menjawab, “Ucapkanlah:
بَارَكَ اللهُ لَكُمْ وَبَارَكَ عَلَيْكُمْ.
"Baarakallaahu lakum wabaaraka ‘alaikum (mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan).’” Demikianlah ucapan selamat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. [15]
Do’a yang biasa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai adalah:
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ.
“Semoga Allah memberikan berkah kepadamu dan kepada pernikahanmu serta mengumpulkan kalian berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan.” Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَانَ إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ.
"Bahwasanya jika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a: “Baarakallaahu laka wabaaraka ‘alaika wa jama’a bainakumaa fii khair (Semoga Allah memberikan berkah kepadamu dan kepada pernikahanmu serta mengumpulkan kalian berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan).” [16]
9. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah berbaurnya laki-laki dan wanita sehingga terjadi pandang-memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Padahal, laki-laki dan wanita diperintahkan untuk menunduk-kan pandangan, berdasarkan firman Allah:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara ke-maluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’” [An-Nuur : 30]
Begitu pun menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram adalah diharamkan dalam syari’at Islam, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِيْ لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِيْ ِلامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ.
“Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita. Sesungguhnya ucapanku kepada seratus wanita sama halnya dengan ucapanku kepada seorang wanita.”[1]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: َ
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ.
“Sungguh, ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” [2]
Menurut syari’at Islam, antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah berkata, “Di antara perkara munkar yang diadakan manusia pada zaman ini adalah meletakkan pelaminan pengantin di tengah-tengah kaum wanita dan menyandingkan suaminya di sisinya, dengan dihadiri wanita-wanita yang berdandan dan bersolek. Mungkin juga yang menghadiri adalah kerabat pengantin pria dan wanita dari kalangan laki-laki. Orang yang memiliki fitrah yang selamat dan kecemburuan terhadap agama akan mengetahui kerusakan yang besar dari perbuatan ini, dan memungkinkan kaum pria asing melihat para pemudi yang bersolek, serta akibat buruk yang dihasilkannya. Oleh karena itu, wajib mencegah hal itu dan menghapuskannya…”[3]
10. Musik
Kemungkaran lain dalam pernikahan adalah adanya musik, baik berupa alat musik, lagu atau nyanyian atau panggung hiburan. Parahnya lagi, ada yang sengaja mendatangkan para biduan dan biduanita ke pesta pernikahan untuk menghibur para tamu undangan. Musik dalam pandangan Islam hukumnya haram. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، …
“Sungguh, akan ada di antara ummatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.” [4] Demikian juga lagu dan nyanyian, dalam syari’at Islam hukumnya haram. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” [Luqman : 6]
Ayat yang mulia ini ditafsirkan oleh Shahabat, Tabi’in dan ulama ahli tafsir dengan rincian sebagai berikut: Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Ayat ini turun tentang masalah nyanyian dan sejenisnya.” [5] ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata: “ Maksud dari
لَهْوَ الْحَدِيثِ
(percakapan kosong) adalah lagu dan nyanyian. Demi Allah yang tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia!” (Beliau mengulangi perkataannya tiga kali)[6] Penafsiran yang sama dijelaskan juga oleh Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Mak-hul, ‘Amr bin Syu’aib dan ‘Ali bin Badzii. [7]
Hasan al-Bashri menafsirkan ayat ini dengan alat musik. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:
اَلْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ.
“Lagu dan nyanyian menimbulkan kemunafikan dalam hati.” [8]
Semua jenis alat musik diharamkan dalam Islam. Hanya ada satu alat musik yang boleh dimainkan, yaitu rebana. Itu pun hanya boleh dilakukan pada tiga keadaan: ketika ‘Iedul Fithri, ‘Iedul Adh-ha, dan pesta pernikahan. Dengan syarat, alat musik ini hanya boleh dimainkan oleh gadis-gadis kecil yang belum baligh. Pada hari pernikahan dianjurkan agar ditabuhkan rebana. Hal ini memiliki dua faedah, yaitu:
- Publikasi pernikahan.
- Menghibur kedua mempelai.
Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ.
“Pembeda antara perkara yang halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah tabuhan rebana dan nyanyian.” [9] •
Tentang Nasyid. Di antara kemunkaran dalam pesta pernikahan adalah dipanggilnya “tim Nasyid” untuk memeriahkan pernikahan. Padahal para ulama telah menggariskan bahwa nyanyian dalam pesta pernikahan hanyalah boleh dilakukan oleh gadis-gadis kecil dan boleh juga dengan menggunakan kaset, apabila tidak ada gadis-gadis kecil yang menyanyi secara langsung.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa nasyid yang di-nyanyikan oleh para pemuda itu dimainkan dengan alat-alat musik, atau mereka menggunakan “acapela” sebagai ganti alat-alat musik dengan menggunakan ‘mulut’ mereka. Padahal alat-alat musik hukumnya haram. Mengenai “acapela”, maka patutkah seorang muslim mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Yaitu dengan meniru suara gendang, bass, dan alat-alat musik lainnya. Bahkan, karena terlalu asyiknya hingga mereka menggoyang-goyangkan badan dan kaki mereka. Innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Para ulama senantiasa berpesan agar menjauhi nasyid dan mengakrabkan diri dengan membaca ayat-ayat Al-Qur-an.
Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullaah pernah ditanya, “Bolehkah laki-laki melantunkan nasyid Islami? Bagaimana jika diiringi dengan rebana? Dan bolehkah dilantunkan selain pada waktu hari ‘Ied dan pernikahan?”
Maka Syaikh menjawab, “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. Nasyid-nasyid Islami adalah perkara bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang Sufi yang banyak memalingkan manusia dari Al-Qur-an dan Al-Hadits. Terkecuali di tempat-tempat jihad yang dimaksudkan untuk membangkitkan keperwiraan dan semangat jihad fii sabilillaah. Namun jika diiringi rebana, maka ini adalah perkara yang jauh dari kebenaran.” [10]
Dengan demikian, nasyid-nasyid yang dibawakan oleh para pemuda, baik dengan alat-alat musik yang mereka mainkan maupun dengan mulut-mulut mereka yang menirukan alat-alat musik, adalah kemunkaran dalam pesta yang harus dihindari. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada pemuda agar senang membaca dan mendengarkan Al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullaah ditanya mengenai (hukum) nasyid. Beliau ditanya, “Banyak ulasan dan komentar mengenai nasyid Islami. Sementara di sana ada yang memfatwakan bolehnya dan ada pula yang mengatakannya sebagai pengganti kaset-kaset lagu.
Lalu apakah pendapat Syaikh tentang hal ini?”
Maka Syaikh menjawab, “Penyebutan nama (Islami) ini sama sekali tidak benar. Itu adalah penamaan yang baru. Di seluruh kitab para Salaf maupun pernyataan para ulama, tidak ada nama nasyid Islami. Yang ada, bahwa orang-orang Sufi menciptakan lagu-lagu yang dianggap sebagai agama, yang disebut dengan as-sima’. Karena zaman sekarang banyak golongan, partai dan jama’ah, maka setiap golongan, partai atau jama’ah memiliki nasyid sendiri-sendiri. Untuk menjaga ke-langsungannya mereka menamakannya nasyid Islami. Penamaan ini tidak benar dan tidak boleh mengambil nasyid-nasyid itu dan tidak boleh memasarkannya kepada manusia.” [11]
Kesimpulannya, bahwa nasyid pada hari pernikahan dibolehkan selama isi nasyid tersebut tidak keluar dari etika Islam. Juga dengan syarat nasyid tersebut hanya boleh dinyanyikan oleh gadis-gadis kecil dengan menggunakan duff (rebana), baik secara langsung maupun dengan kaset. Dan tidak boleh dibawakan oleh laki-laki dewasa, apalagi dengan menggunakan alat musik, baik langsung maupun dengan kaset.
11. Meninggalkan Shalat Wajib
Termasuk dalam kemungkaran pernikahan adalah kedua mempelai beserta keluarga meninggalkan shalat wajib yang lima waktu. Sangat disayangkan, sebagian besar kaum muslimin sengaja meninggalkan shalat wajib ketika mereka melakukan resepsi pernikahan. Padahal, bagaimana pun keadaannya seorang muslim tetap wajib mengerjakan shalat yang lima waktu. Banyaknya tamu, make-up yang menempel di wajah atau gaun pengantin yang dikenakan seharusnya tidak menghalangi dia untuk melakukan shalat. Menikah bukanlah satu alasan yang membolehkan pengantin wanita meninggalkan shalat, begitu pula pengantin pria tidak boleh meninggalkan shalat berjama’ah. Meninggalkan shalat wajib adalah dosa besar yang paling besar! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [12]
Hendaklah seorang muslim memperhatikan kewajiban terhadap Rabb-nya pada hari yang paling istimewa baginya.
12. Lukisan, gambar dan patung
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah adanya lukisan-lukisan, gambar-gambar makhluk bernyawa, patung-patung, termasuk juga fotografi dengan tujuan untuk kenangan pernikahan.[13]
Apabila di dalam suatu rumah terdapat lukisan (gambar) makhluk bernyawa, patung, atau anjing, maka Malaikat rahmat tidak akan masuk ke rumahnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَدُخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتاً فِيْهِ كَلْبٌ وَلاَ تَصَاوِيْرُ.
"Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar.” [14]
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتاً فِيْهِ تَمَاثِيْلُ أَوْ تَصَاوِيْرُ.
“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar (lukisan).” [15] 13.
Pelanggaran-pelanggaran Lainnya Membuat panggung-panggung hiburan seperti dangdut, wayang, ketoprak, gambus, marawis, dan sejenisnya yang tidak selayaknya dilakukan oleh kaum muslimin, karena termasuk perbuatan menyia-nyiakan waktu dan hartanya untuk perbuatan maksiat. Contoh pelanggaran berikutnya yaitu menggelar pesta joget muda-mudi yang jelas merusak generasi muda Islam.
Selain itu juga adanya “standing party”, yaitu makan atau minum sambil berdiri di pesta pernikahan. Makan dan minum sambil berdiri dilarang dalam Islam.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا.
“Dari Anas radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau melarang sese-orang minum sambil berdiri.” Qatadah berkata, “Kami bertanya kepada Anas radhiyallaahu ‘anhu, ‘Bagaimana dengan makan sambil berdiri?’ Maka ia menjawab,
ذَلِكَ أَشَرٌّ أَوْ أَخْبَثُ.
"Itu lebih jelek atau lebih buruk lagi!’” [16]
Pelanggaran lainnya yaitu makan dan minum dengan tangan kiri. Islam melarang makan dan minum dengan tangan kiri, karena syaitan makan dan minum dengan tangan kiri. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ.
“Apabila seseorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya. Dan apabila ia minum, maka minumlah dengan tangan kanannya. Karena sesungguhnya syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” [17] Pelanggaran lainnya adalah membaca syahadat bagi seorang muslim ketika ijab qabul pernikahan, atau pembacaan “shighat ta’liq” yaitu ta’liq talak (menggantungkan talak) oleh pengantin pria seusai akad nikah, atau membaca surat al-Fatihah ketika akad nikah [18], ratiban, atau melakukan kawin lari. Semua perbuatan ini tidak ada contoh dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah dilakukan oleh para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum.
Itulah sebagian pelanggaran yang sering dilaku-kan dan masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Penulis: Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/222), al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim (no. 1341) dan lafazh ini menurut riwayat Muslim, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 99), cet. Daarus Salaam, th. 1423 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/392, 393, 394, 407), at-Tirmidzi (no. 1720) dan an-Nasa-i (VIII/161), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 277).
[4]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/129).
[5]. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (VI/347-348) dan al-Insyirah fi Adabin Nikah (hal. 35).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 260 (55)) dan Abu ‘Awanah (I/188), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5893) dan Muslim (no. 260).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 260 (55)) dan Abu ‘Awanah (I/188), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5885, 6834), at-Tirmidzi (no. 2784) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[10]. Adabuz Zifaf (hal. 207-210).
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5931) dan Muslim (no. 2125 (120)), dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Lihat keterangan lengkap dalam Adabuz Zifaf (hal. 202-210).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2124), dari Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/429), al-Hakim (I/8) dan al-Baihaqi (VIII/135). Al-Hakim berkata, “Shahih atas syarat al-Bukhari dan Muslim,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
]14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3910), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (lihat Shahiih Adabul Mufrad no. 698), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (no. 1427—al-Mawaarid) dan al-Hakim (I/17-18), dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (VI/252, no. 17381), ad-Darimi (II/134), an-Nasa-i (VI/128), Ibnu Majah (no. 1906), Ahmad (I/201 dan III/451), dan yang lainnya.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/38), at-Tirmidzi (no. 1091), ad-Darimi (II/134), al-Hakim (II/183), Ibnu Majah (no. 1905), Abu Dawud (no. 2130) dan al-Baihaqi (VII/148).
_______
Footnote
[1]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/357), Malik (II/749, no. 2), al-Humaidi (no. 341), at-Tirmidzi (no. 1597), an-Nasa-i dalam Sunannya (VII/149) juga dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 358), Ibnu Majah (no. 2874), Ibnu Hibban (no. 14—al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXIV/186-187, no. 470-472), dari Umaimah bintu Ruqaiqah radhiyallaahu ‘anha. At-Tirmidzi ber-kata, “Hadits ini hasan shahih.” Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 529).
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani (XX/211-212, no. 486-487) dari Sahabat Ma’qil bin Yasar. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5045) dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 226).
[3]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/188).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5590), Fat-hul Baari (X/51-52), al-Baihaqi (X/221), dari Shahabat Abu Malik al-Anshari radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 1265, lihat Shahiih Adabul Mufrad no. 955), Ibnu Jarir dalam Tafsiirnya (no. 28043) dan al-Baihaqi (X/221, 223).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari (no. 28040) dan al-Hakim (II/411), ia berkata, “Sanadnya shahih.”
[7]. Lihat Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari dan Tafsiir Ibnu Katsir.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Dzamul Malahi dan al-Baihaqi (X/223). Lihat Tahriim Aalaat ath-Tharb oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah.
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmidzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/184) dan ia berkata, “Sanadnya shahih,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[10]. Dinukil dari al-Qaulul Mufiid fii Hukmil Anaasyid (hal. 40), cet. Maktabah al-Furqan.
[11]. Majalah ad-Da’wah edisi 1632, 7 Dzul Hijjah 1418 H. Lihat Qaulul Mufiid fii Hukmil Anaasyid (hal. 37).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 82), dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.
[13]. Lihat pembahasan tentang masalah ini dalam Aadabuz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 185-196) oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dan Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah (IV/210-225) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullaah.
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5949), Muslim (no. 2106) dan an-Nasa-i (VIII/213), dari Abu Thalhah radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2112).
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2024 (113)). Tentang larangan minum sambil berdiri, bisa dilihat dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 175, 176, dan 177).
[17]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2020 (105)) dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. [18]. Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Membaca al-Fatihah tidak disyari’atkan, bahkan ini adalah bid’ah.” (Lihat al-Bida’ wal Muhdatsaat wamaa Laa Asla Lahu, hal. 469)
Sumber:https://almanhaj.or.id/