Type Here to Get Search Results !

 


TANDA-TANDA KIAMAT KECIL #2

 

Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil 

10. MEMERANGI BANGSA TURK [1] 

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ التُّرْكَ، قَوْمًا وُجُوهُهُمْ كَالْمِجَانِّ الْمُطْرَقَةِ، يَلْبَسُونَ الشَّعَرَ وَيَمْشُونَ فِي الشَّعَرِ. 

“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kaum muslimin memerangi bangsa Turk, yaitu kaum di mana wajah-wajah mereka seperti tameng [2] yang dilapisi kulit [3], mereka memakai (pakaian) yang terbuat dari bulu dan berjalan (dengan sandal) yang terbuat dari bulu.” [4] 

Dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

 لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تُقَاتِلُوا قَوْمًا نِعَالُهُمُ الشَّعَرُ وَحَتَّى تُقَاتِلُوا التُّرْكَ صِغَارَ اْلأَعْيُنِ حُمْرَ الْوُجُوهِ ذُلْفَ اْلأُنُوفِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمِجَـانُّ الْمُطْرَقَةُ. 

“Tidak akan terjadi hari Kiamat hingga kalian memerangi satu kaum yang sandal-sandal mereka terbuat dari bulu, dan kalian memerangi bangsa Turk yang bermata sipit, wajahnya merah, hidungnya pesek [5], wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.” [6] 

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Taghlib, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُقَاتِلُوا قَوْمًا عِرَاضَ الْوُجُـوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ. 

"Di antara tanda-tanda Kiamat adalah kalian memerangi suatu kaum yang berwajah lebar, wajah-wajah mereka seperti tameng yang dilapisi kulit.’” [7] 

Kaum muslimin telah memerangi orang-orang Turk pada masa Sahabat Radhiyallahu anhum. Hal itu terjadi di awal masa khilafah Bani Umayyah, pada zaman Mu-’awiyah Radhiyallahu anhu. Abu Ya’la meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Khudaij, dia berkata, “Saat itu aku bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan ketika datang kepadanya surat dari petugasnya di suatu daerah, dia mengabarkan bahwa telah terjadi peperangan dengan bangsa Turk dan kaum muslimin telah mengalahkannya. Banyak korban dari mereka, demikian pula banyak harta rampasan perang yang didapatkan dari mereka. Lalu Mu’awiyah marah karena hal itu, kemudian memerintahkan untuk menulis surat (yang isinya), “Aku telah memahami apa yang engkau katakan, korban yang telah engkau bunuh dan harta rampasan perang yang engkau dapatkan, maka aku tidak akan pernah ingin tahu terhadap apa yang engkau telah persiapkan, dan jangan engkau perangi mereka sampai datang perintahku kepadamu.” Aku (Mu’awiyah bin Khudaij) bertanya, “Kenapa wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لَتَظْهَرَنَّ التُّرْكُ عَلَى الْعَرَبِ حَتَّـى تُلْحِقَهَا بِمَنَابِتِ الشِّيْحِ وَالْقَيْصُوْمِ، فَأَنَا أَكْرَهُ قِتَالَهُمْ لِذَلِكَ. 

"Sungguh bangsa Turk akan mengalahkan orang Arab hingga mengejarnya di asy-Syiih [8] dan al-Qaishuum [9], ’ dan aku tidak suka untuk memerangi mereka karena hal itu.” [10] 

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah dari bapaknya Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami mendengar beliau bersabda: 

إِنَّ أُمَّتِي يَسُوقُهَا قَوْمٌ عِرَاضُ اْلأَوْجُهِ، صِغَارُ اْلأَعْيُنِ، كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْحَجَفُ (ثَلاَثَ مِرَارٍ) حَتَّـى يُلْحِقُوهُمْ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ، أَمَّا السَّابِقَةُ اْلأُولَى فَيَنْجُو مَنْ هَرَبَ مِنْهُمْ، وَأَمَّا الثَّانِيَةُ فَيَهْلِكُ بَعْضٌ وَيَنْجُو بَعْضٌ، وَأَمَّا الثَّالِثَةُ فَيَصْطَلِمُوْنَ كُلُّهُمْ مَنْ بَقِيَ مِنْهُـمْ، قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللهِ! مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمُ التُّرْكُ، قَالَ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِـي بِيَدِهِ لَيَرْبِطُنَّ خُيُولَهُمْ إِلَى سَوَارِي مَسَاجِدِ الْمُسْلِمِينَ. 

"Sesungguhnya umatku akan digiring oleh satu kaum yang berwajah lebar, bermata sipit, wajah-wajah mereka seperti tameng (hal itu terjadi tiga kali), hingga mereka dapat mengejarnya di Jazirah Arab. Adapun pada kali yang pertama, selamatlah orang yang lari darinya. Pada kali kedua, sebagiannya binasa dan sebagian lainnya selamat, sementara pada kali yang ketiga, mereka semua membunuh yang tersisa.’ Para Sahabat bertanya, ‘Wahai Nabiyullah! Siapakah mereka?’ Beliau menjawab, ‘Mereka adalah bangsa Turk.’ Beliau berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, niscaya kuda-kuda mereka akan ditambatkan di tiang-tiang masjid kaum muslimin.’” Dia (‘Abdullah) berkata, “Setelah itu Buraidah tidak pernah berpisah dengan dua atau tiga unta, bekal perjalanan, dan air minum untuk kabur sewaktu-waktu, karena beliau mendengar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang musibah yang ditimpakan oleh para pemimpin Turk.” [11] 

Telah masyhur pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum sebuah hadits yang berbunyi: 

اُتْرُكُوا التُّرْكَ مَا تَرَكُوكُمْ. 

“Biarkanlah bangsa Turk selama mereka membiarkan kalian.” [12] 

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebelumnya ada penghalang antara mereka dengan kaum muslimin hingga penghalang tersebut terbuka sedikit demi sedikit. Tawanan dari kalangan mereka sangat banyak sehingga para penguasa saling berlomba mendapatkannya karena mereka memiliki sifat kuat dan pemberani sehingga sebagian besar tentara al-Mu’tashim adalah dari kalangan mereka. Lalu bangsa Turk menguasai raja al-Mu’tashim dan mereka membunuh puteranya, al-Mutawakkil, kemudian anak-anaknya yang lain satu persatu, sehingga kerajaan Islam bercambur baur dengan kerajaan ad-Dailam. Para penguasa as-Samaniyyah pun dari bangsa Turk, hingga mereka dapat menguasai negeri-negeri selain Arab. Kemudian kerajaan-kerajaan tersebut dikuasai oleh Dinasti Sabaktikin, lalu oleh Dinasti Saljuk, dan kekuasaan meluas mereka sampai Irak, Syam, dan Romawi. Selanjutnya dikuasai oleh sisa-sisa pengikut mereka di Syam -yaitu Dinasti Zanki- dan pengikut mereka -yaitu Baitu Ayyub-, mereka pun banyak dari bangsa Turk, mereka bisa mengalahkan kerajaan di Mesir, Syam dan Hijaz.” Selanjutnya al-Ghazz memberontak kepada dinasti Saljuk pada abad ke-5 H. Mereka menghancurkan berbagai negeri dan banyak membunuh manusia. Kemudian tibalah bencana besar dengan kedatangan bangsa Tatar. Keluarnya Jengis Khan terjadi setelah abad ke-6. Dunia dibumihanguskan olehnya, terutama daerah timur dan sekitarnya sehingga tidak tersisa satu negeri pun kecuali mendapatkan bagian kejelekan dari mereka. 

Dan konon hancurnya Baghdad dan terbunuhnya Khalifah al-Musta’shim, khalifah mereka yang terakhir di tangan-tangan bangsa Tatar pada tahun 650 H. Kemudian, sisa-sisa mereka senantiasa melakukan kerusakan sampai pada akhirnya datang Ling yang maknanya si pincang. Namanya adalah Tamur, datang ke Syam dan hidup di sana. Dia membakar Damaskus sampai ke atap-atapnya, masuk ke Romawi, India dan daerah yang ada di antara keduanya. Umurnya panjang hingga Allah mematikannya, dan berpencaranlah anak-anaknya di berbagai negeri. Tampaknya semua yang kami sebutkan sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

إِنَّ بَنِي قُنْطُوْرَاءَ أَوَّلُ مَنْ سَلَبَ أُمَّتِيْ مُلْكَهُمْ. 

"Sesungguhnya Bani Qunthura’ adalah yang pertama kali merampas kerajaan umatku.” Seakan-akan maksud dari sabdanya “Umatku” adalah umat secara nasab, bukan umat dakwah, yaitu bangsa Arab. Wallaahu a’lam.[13] 

Dengan penjelasan di atas, maka sesungguhnya bangsa Tatar yang muncul pada abad ke-7 Hijriyyah adalah bangsa Turk, karena sifat-sifat yang disifatkan untuk bangsa Turk sesuai dengan bangsa Tatar (Mongolia). Kemunculan mereka terjadi pada masa Imam an-Nawawi rahimahullah [14], beliau berkata tentang mereka, “Peperangan dengan bangsa Turk didapati dengan segala sifat mereka yang diungkapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Mata mereka kecil (sipit), muka mereka merah, hidung mereka kecil (pesek), muka mereka seperti tameng yang dilapisi kulit, memakai terompah dari bulu, mereka didapati dengan sifat-sifat tersebut pada masa kami, kaum muslimin telah memerangi mereka beberapa kali dan sekarang pun mereka memeranginya.” [15] 

Telah banyak bangsa Turk yang masuk Islam, bahkan banyak kebaikan juga manfaat yang mereka berikan untuk Islam dan kaum muslimin. Mereka menjadikan negeri Islam sebagai negeri yang kuat dan dengannya Islam menjadi jaya. Banyak terjadi penaklukan yang sangat besar pada masa mereka, di antaranya penaklukan Konstantinopel, ibu kota Romawi. Hal itu merupakan pijakan awal bagi penaklukan besar di akhir zaman sebelum kemunculan Dajjal, sebagaimana akan dijelaskan nanti, dan masuknya Islam ke Eropa serta berbagai negeri lainnya di timur maupun di barat. Sikap mereka terhadap Islam membenarkan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan peperangan dengan bangsa Turk, beliau bersabda: 

وَتَجِدُونَ مِنْ خَيْرِ النَّاسِ أَشَدَّهُمْ كَرَاهِيَةً لِهَذَا اْلأَمْرِ، حَتَّـى يَقَعَ فِيهِ وَالنَّاسُ مَعَادِنُ، خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي اْلإِسْلاَمِ. 

“Dan kalian akan mendapati manusia yang paling baik adalah yang (sebelumnya) paling benci terhadap perkara ini (Islam) hingga ia masuk ke dalamnya dan manusia ibarat barang tambang (beragam), orang terbaik dari mereka pada masa Jahiliyyah adalah orang terbaik dari mereka pada masa Islam.” [16] 

11. PEPERANGAN DENGAN BANGSA ‘AJAM[1] 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تُقَاتِلُوا خُوزًا وَكَرْمَانَ مِنَ اْلأَعَاجِمِ حُمْرَ الْوُجُوهِ فُطْسَ اْلأُنُوفِ، صِغَارَ اْلأَعْيُنِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ، نِعَالُهُمُ الشَّعَرُ. 

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga kalian memerangi bangsa Khuz [2] dan bangsa Karman [3] dari kalangan bangsa ‘Ajam, bermuka merah, berhidung hidung pesek, bermata sipit, wajah-wajah mereka bagaikan tameng yang dilapisi kulit dan terompah-terompah mereka terbuat dari bulu.” [4] 

Telah berlalu pada pembahasan peperangan dengan bangsa Turk penyebutan sifat-sifat mereka yang dijelaskan dalam hadits-hadits tentang peperangan melawan mereka. Dalam hadits ini dijelaskan tentang peperangan melawan bangsa Khuz juga Karman, keduanya bukan dari negeri Turk, bahkan dari negeri ‘Ajam. Akan tetapi, sifat-sifat mereka sama dengan sifat-sifat bangsa Turk. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mungkin bisa dijawab bahwa hadits ini bukan hadits tentang peperangan melawan bangsa Turk, akan tetapi keduanya sama-sama diperingatkan bahwa keduanya akan keluar.” [5] 

Kami katakan: Pendapat ini diperkuat oleh riwayat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يُوشِكُ أَنْ يَمْلأَ اللهُ k أَيْدِيَكُمْ مِنَ الْعَجَمِ، ثُمَّ يَكُونُـوا أُسْدًا لاَ يَفِرُّونَ فَيَقْتُلُونَ مُقَاتِلَتَكُمْ وَيَأْكُلُونَ فَيْئَكُمْ. 

"Hampir saja Allah memenuhi tangan-tangan kalian dengan orang-orang ‘Ajam, kemudian mereka menjadi singa-singa yang tidak akan pernah lari, lalu mereka akan berperang dengan peperangan kalian, dan memakan harta rampasan (fai’) kalian.’” [6] 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يُوشِكُ أَنْ يَكْثُرَ فِيْكُمْ مِنَ الْعَجَمِ أُسْدٌ لاَ يَفِرُّونَ، فَيَقْتُلُونَ مُقَاتِلَتَكُمْ، وَيَأْكُلُونَ فَيْئَكُمْ. 

"Hampir saja di kalangan kalian banyak orang ‘Azam sebagai singa-singa yang tidak pernah lari, lalu mereka berperang dengan peperangan kalian, dan memakan harta rampasan (fai’) kalian.” [7] 

Berdasarkan hal itu, maka peperangan dengan kaum ‘Ajam merupakan salah satu tanda-tanda Kiamat. 

12. HILANGNYA AMANAH[1] 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radadhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. 

"Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,’ dia (Abu Hurairah) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab, ‘Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!’”[2] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bagaimana diangkatnya amanah dari hati. Tidak ada yang tersisa darinya di dalam hati kecuali bekas-bekasnya saja. Hudzaifah Radhiyallahu anhu berkata: 

حَدَّثَنَا رَسُـولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثَيْنِ، رَأَيْتُ أَحَدَهُمَا وَأَنَا أَنْتَظِرُ اْلآخَرَ، حَدَّثَنَا أَنَّ الأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِي جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ، ثُمَّ عَلِمُوا مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ عَلِمُوا مِنَ السُّنَّةِ، وَحَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا قَالَ: يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ أَثَرِ الْوَكْتِ، ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ، فَيَبْقَى أَثَرُهَا مِثْلَ الْمَجْلِ، كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ، فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا، وَلَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ، فَلاَ يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي اْلأَمَانَةَ، فَيُقَالُ: إِنَّ فِي بَنِي فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِينًا وَيُقَالُ لِلرَّجُلِ، مَا أَعْقَلَهُ! وَمَا أَظْرَفَهُ! وَمَا أَجْلَدَهُ! وَمَا فِـي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، وَلَقَدْ أَتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَالِي أَيَّكُمْ بَايَعْتُ، لَئِنْ كَانَ مُسْلِمًا؛ رَدَّهُ اْلإِسْلاَمُ، وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا؛ رَدَّهُ عَلَيَّ سَاعِيهِ، فَأَمَّا الْيَوْمَ؛ فَمَا كُنْتُ أُبَايِعُ إِلاَّ فُلاَنًا وفُلاَنًا. 

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan kepada kami dua hadits, [3] salah satu dari keduanya telah aku lihat, dan saat ini aku sedang menunggu yang lainnya. Beliau meriwayatkan kepadaku bahwasanya amanah singgah pada pangkal hati manusia, kemudian mereka mengetahui sebagian dari al-Qur-an, mengetahui sebagian dari as-Sunnah, dan beliau meriwayatkan kepada kami bagaimana diangkatnya amanah itu, beliau bersabda, “Seseorang tidur, lalu amanah di dalam hatinya dicabut, maka bekasnya masih tetap ada bagaikan titik-titik, lalu dia tidur kemudian dicabut, maka bekasnya bagaikan lepuh, seperti sebongkah bara api yang digelindingkan ke kakimu, lalu ia melukainya sehingga engkau melihatnya melepuh, tidak ada apa-apa (sesuatu yang manfaat) di dalamnya. Lalu pagi harinya manusia melakukan jual beli, maka hampir saja salah seorang dari mereka tidak bisa melaksanakan amanah, dikatakan, ‘Sesungguhnya di bani Fulan ada seorang laki-laki yang terpercaya,’ dan dikatakan kepada seseorang, ‘Sungguh cerdas! Sungguh cerdik! dan sungguh kuat! Sementara di dalam hatinya tidak ada keimanan seberat biji sawi pun. Telah datang kepadaku satu zaman di mana aku tidak pernah peduli kepada siapa saja di antara kalian aku melakukan jual beli, jika ia seorang muslim, maka keislamannya yang akan mengembalikan (amanah), dan jika seorang Nasrani, maka walinyalah yang akan mengembalikan (amanah) kepadaku. Adapun hari ini, maka aku tidak melakukan jual beli kecuali kepada si fulan dan si fulan.” [4] 

Mengikut Prilaku Umat-Umat Terdahulu Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa amanah akan diangkat dari hati, sehingga seseorang menjadi pengkhianat padahal sebelumnya dia adalah orang yang terpercaya. Hal ini hanyalah terjadi pada orang yang telah hilang rasa takutnya kepada Allah, lemah imannya, bergaul dengan orang yang selalu khianat sehingga dia menjadi seorang pengkhianat, karena seorang teman akan mengikuti orang yang menemaninya. Di antara bentuk nyata hilangnya amanah adalah memberikan berbagai urusan, berupa kepemimpinan, khilafah, peradilah, dan pekerjaan dengan berbagai macamnya kepada yang bukan ahlinya, yaitu (bukan) kepada orang yang mampu untuk melaksanakannya juga menjaganya. Karena dalam hal itu ada unsur mengabaikan hak-hak orang lain, menganggap remeh kebaikan-kebaikan mereka, melukai hati mereka dan menimbulkan fitnah di antara mereka.[5] 

Lalu jika seseorang yang memegang urusan orang lain mengabaikan amanahnya -sementara manusia akan mengikuti orang yang memegang urusannya- maka mereka akan sama dengannya dalam mengabaikan amanah. Baiknya keadaan para pemimpin akan berakibat kepada baiknya keadaan orang yang dipimpin, sebaliknya rusaknya para pemimpin akan berakibat kepada rusaknya orang yang dipimpin. Selanjutnya, sesungguhnya mempercayakan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya merupakan bukti nyata tidak adanya perhatian manusia terhadap agamanya, sehingga mereka akan mempercayakan urusan mereka kepada orang-orang yang mengabaikan agama mereka. Hal ini hanyalah terjadi ketika kebodohan mendominasi dan diangkatnya ilmu. Karena itulah al-Bukhari rahimahullah menuturkan hadits Abu Hurairah yang terdahulu dalam kitab al-Ilmu sebagai isyarat kepada (apa yang saya jelaskan di atas). Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kesesuaian matan hadits ini dengan kitab al-Ilmu adalah sesungguhnya mempercayakan suatu urusan kepada orang yang bukan ahlinya hanyalah terjadi ketika kebodohan mendominasi dan ilmu diangkat, ini termasuk tanda-tanda Kiamat.” [6] 

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan akan adanya tahun-tahun yang penuh dengan penghianatan, segala urusan berbalik, orang yang jujur dianggap bohong, orang yang bohong dianggap jujur, orang yang terpercaya dianggap berkhianat dan orang yang berkhianat dipercaya, sebagaimana akan dijelaskan bahwa di antara tanda-tanda Kiamat adalah terangkatnya orang-orang yang rendah. [Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] 

13. HILANGNYA ILMU DAN MENYEBARNYA KEBODOHAN 

Diantara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ. 

"Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.’” [1] 

Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ. 

"Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” [2] 

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ. 

"Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.’”[3] 

Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadits ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.” [4] 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” [5] 

Dicabutnya ilmu terjadi dengan diwafatkannya para ulama. Dijelaskan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّـى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا. 

"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.’” [6] 

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencabut ilmu dalam hadits-hadits terdahulu yang mutlak bukan menghapusnya dari hati para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah pembawanya meninggal, dan manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemutus hukum yang memberikan hukuman dengan kebodohan mereka, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”[7]

Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu al-Qur-an dan as-Sunnah, ia adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi Allaihissallam, karena sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan dengan kepergian (wafat)nya mereka, maka hilanglah ilmu, matilah Sunnah-Sunnah Nabi, muncullah berbagai macam bid’ah dan meratalah kebodohan. Adapun ilmu dunia, maka ia terus bertambah, ia bukanlah makna yang dimaksud dalam berbagai hadits. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا. 

“Lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.” 

Kesesatan hanya terjadi ketika bodoh terhadap ilmu agama. Para ulama yang sebenarnya adalah mereka yang mengamalkan ilmu mereka, memberikan arahan kepada umat, dan menunjuki mereka jalan kebenaran dan petunjuk, karena sesungguhnya ilmu tanpa amal adalah sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan akan menjadi musibah bagi pemiliknya. Dijelaskan pula dalam riwayat al-Bukhari: 

Penghalalan Baitul Haram (Makkah) وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ. “Dan berkurangnya pengamalan.” [8] Imam adz-Dzahabi rahimahullah ulama besar ahli tarikh (sejarah) Islam berkata setelah memaparkan sebagian pendapat ulama, “Dan mereka tidak diberikan ilmu kecuali hanya sedikit saja. Adapun sekarang, maka tidak tersisa dari ilmu yang sedikit itu kecuali sedikit saja pada sedikit manusia, sungguh sedikit dari mereka yang mengamalkan ilmu yang sedikit tersebut, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita.” [9] Jika hal ini terjadi pada masa Imam adz-Dzahabi, maka bagaimana pula dengan zaman kita sekarang ini? Karena setiap kali zaman itu jauh dari masa kenabian, maka ilmu pun akan semakin sedikit dan banyak kebodohan. 

Sesungguhnya para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang yang paling tahu dari umat ini, kemudian para Tabi’in, lalu orang yang mengikuti mereka, dan merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ. 

"Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” [10] 

Ilmu senantiasa terus berkurang, sementara kebodohan semakin banyak, sehingga banyak orang yang tidak mengenal kewajiban-kewajiban dalam Islam. Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللهِ k فِـي لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا. 

“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah [11] berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).” [12] 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: 

لَيُنْزَعَنَّ الْقُرْآنُ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِكُمْ، يُسْرَى عَلَيْهِ لَيْلاً، فَيَذْهَبُ مِنْ أَجْوَافِ الرِّجَالِ، فَلاَ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ. 

“Sungguh, al-Qur-an akan dicabut dari pundak-pundak kalian, dia akan diangkat pada malam hari, sehingga ia pergi dari kerongkongan orang-orang. Maka tidak ada yang tersisa darinya di bumi sedikit pun.” [13] 

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Di akhir zaman (al-Qur-an) dihilangkan dari mushhaf dan dada-dada (ingatan manusia), maka tidak ada yang tersisa satu kata pun di dada-dada manusia, demikian pula tidak ada yang tersisa satu huruf pun dalam mushhaf.” [14] Lebih dahsyat lagi dari hal ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas bumi. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

Lalai Melaksanakan Ibadah Sunnah. Banyaknya Kedustaan 

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: اللهُ، اللهُ. 

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, Allah.” [15] 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini: Pendapat pertama : Bahwa seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak melarang orang yang melakukan kemunkaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkannya dengan ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma : 

فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا. 

"Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.’ [16] 

Pendapat kedua : Sehingga tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka bumi. Hal itu terjadi ketika zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, dan banyaknya kekufuran, kefasikan juga kemaksiatan.” [17] 

BACA SERIAL TANDA-TANDA KECIL KIAMAT:

  1. Tanda kecil Kiamat Bagian Pertama
  2. Tanda kecil Kiamat Bagian Kedua
  3. Tanda kecil Kiamat Bagian Ketiga
  4. Tanda kecil Kiamat Bagian Keempat
  5. Tanda kecil Kiamat Bagian Kelima
  6. Tanda kecil Kiamat Bagian Keenam
  7. Tanda kecil Kiamat Bagian Ketujuh
  8. Tanda kecil Kiamat Bagian Kedelapan

BACA SERIAL TANDA-TANDA BESAR KIAMAT:

  1. Tanda Besar Kiamat Al-Mahdi
  2. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Dajjal
  3. Tanda Besar Kiamat Turunnya nabi 'Isa 'Alaihissalam
  4. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Ya'juj wa Ma'juj
  5. Tanda Besar Kiamat Penenggelaman kedalam bumi
  6. Tanda Besar Kiamat Munculnya Asap
  7. Tanda Besar Kiamat Terbitnya Matahari dari barat
  8. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Dabbah dari perut bumi
  9. Tanda Besar Kiamat Adanya Api dari Yaman yang mengumpulkan manusia

_______ 

Footnote 

[1] Tentang asal-usul bangsa Turk ada beberapa pendapat para ulama, di antaranya: a. Mereka adalah keturunan dari Yafits bin Nuh, dari keturunan inilah Ya’juz dan Ma’juz berasal, mereka adalah anak-anak paman mereka. b. Mereka berasal dari anak-anak Qanthura’, nama seorang budak wanita milik Ibrahim al-Khalil Shalawaatullaah wa Salaamuhu ‘alaihi, dan darinya lahir anak-anak yang merupakan nenek moyang bagi bangsa Cina dan Turk. c. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka dari keturunan Tubba’. d. Dan ada yang mengatakan mereka berasal dari keturunan Afridun bin Sam bin Nuh. Dikatakan negeri mereka adalah Turkistan, yaitu daerah antara Khurasan sampai ke Cina bagian barat dan dari bagian utara India sampai ujung al-Ma’mur. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (IV/113), Tartiibul Qamuusil Muhiith (III/700), Ma’aalimus Sunan (VI/68), Mu’jamul Buldaan (II/23), an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/153) tahqiq Dr. Thaha Zaini, Fat-hul Baari (VI/104 dan 608), al-Isyaa’ah (hal. 35), dan al-Idzaa’ah (hal. 82). 

[2] الْمِجَانُّ bentuk jamak dari kata (مِجَنٌّ), maknanya adalah tameng, huruf mimnya hanyalah sebagai tambahan, karena asalnya dari kata (الْجُنَّةُ) yang berarti penutup. Lihat an-Nihaayah fi Ghariibil Hadiits (IV/301).

[[3] اَلْمِجَانُّ الْمُطْرَقَةُ yaitu yang ditutupi dengan kulit, hal ini seperti ungkapan (طَارِقُ النَّعْلِ) artinya adalah sandal yang dijadikan berlapis-lapis. (Di dalam hadits ini) wajah mereka diibaratkan dengan tameng yang dipakaikan padanya kulit karena lebar dan menonjolnya pipi bagian atas. Lihat an-Nihaayah fهi Ghariibil Hadiits (III/122), Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVIII/36-37). 

[4]. Shahiih Muslim, al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/37, Syarh an-Nawawi). 

[5]. (ذُلْفُ اْلأُنُوفِ) اَلذَّلَفُ dengan huruf yang berharakat, maknanya adalah hidung pendek lagi melebar, ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah panjang ujungnya dan kecil, adapun الذُّلْفُ dengan huruf lam yang disukunkan adalah bentuk jamak dari kata أَذْلَفُ, seperti kata أَحْمَرُ dan 

حُمْرٌ. [6]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Manaaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah fil Islaam (VI/604, al-Fat-h). 

[7]. Musnad Ahmad (V/70, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzi), dengan lafazh beliau, dan Shahiih al-Bukhari, kitab al-Jihaad, bab Qitaalit Turk (VI/ 104, dalam al-Fat-h). 

[8]. (الشِّيْحُ) dengan dikasrahkan, kemudian sukun dan huruf ha: tumbuhan dengan bau wangi, di mana orang-orang Tharqiah menamainya dengan wakhsyrik, (ذُاتُ الشِّيْحِ), nama sebuah perkampungan Bani Yarbu’, dan (ذُو الشِّيْحِ) sebuah tempat di Yamamah, dan sebuah tempat di Jazirah. Lihat Mu’jamul Buldaan (III/379). 

[9]. (اَلْقَيْصُومُ) tumbuhan dengan bau wangi yang ada di daerah pedalaman, bentuk tunggalnya adalah (قَيْصُومَةٌ), ia adalah sumber air yang berhadapan dengan asy-Syaihah di antara keduanya ada tanjakan di sebelah timur dari Fiid yaitu (negeri di pertengahan jalan antara Makkah dan Kufah yang di-lewati oleh orang yang melaksanakan haji, ia dekat dengan Aja, Salma, Jablam dan Thayy). Lihat Mu’jamul Buldaan (IV/282, 422). 

[10]. Fat-hul Baari (VI/609). Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan di dalamnya ada seseorang yang tidak aku kenal,” (Majma’uz Zawaa-id VII/312). 

[11]. Musnad Ahmad (V/348-349 -dengan catatan pinggir al-Muntakhab). Abul Khaththab ‘Umar bin Dihyah berkata, “Ini adalah sanad yang shahih.” At-Tadzkirah, karya al-Qurthubi (hal. 593). Al-Haitsami berkata, “Abu Dawud meriwayatkannya secara ringkas, diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazzar secara ringkas, perawinya adalah perawi shahih. Majma’uz Zawaa-id (VII/311). Akan tetapi riwayat Abu Dawud berbeda dengan riwayat Imam Ahmad, karena zhahir riwayat Abu Dawud menunjukkan sesungguhnya kaum musliminlah yang menggiring orang-orang Turk sebanyak tiga kali hingga menempatkan mereka di Jazirah Arab, dan di dalam riwayat itu dikatakan: يُقُاتِلُكُمْ قَوْمٌ صِغَارُ اْلأَعْيُنِ. “Kaum bermata kecil memerangi kalian.” Maksudnya adalah orang-orang Turk. Kelanjutan hadits: تَسُوْقُوْنَهُمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ حَتَّى تُلْحِقُوْهُمْ بِجَزِيِرَةِ الْعَرَبِ… الحديث “Kalian menggiringnya sebanyak tiga kali sehingga menempatkan mereka di Jazirah Arab…” Sunan Abi Dawud, kitab al-Malaahim, bab Qitaalit Turk (XI/412-413, ‘Aunul Ma’buud). Penulis kitab ‘Aunul Ma’buud berkata, “Menurut saya yang benar adalah riwayat Ahmad, adapun riwayat Abu Dawud, maka yang jelas telah terjadi kerancuan pada sebagian perawinya.” Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Ahmad bahwasanya Buraidah tidak pernah meninggalkan dua atau tiga unta, bekal perjalanan, dan air minum setelah itu agar bisa kabur. Hal ini karena dia mendengar dari Nabi J tentang bencana yang ditimpakan oleh pemimpin-pemimpin Turk. Diperkuat pula oleh kenyataan terjadinya keraguan pada sebagian perawi Abu Dawud, karena itulah dikatakan di akhir hadits, “أَوْ كَمَا قَالَ (Atau seperti yang disabdakan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Demikian pula diperkuat oleh terjadinya berbagai peristiwa serupa sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. (‘Aunul Ma’buud XI/414). Kemudian dinukil dari al-Qurthubi kisah tentang keluarnya bangsa Turk, mereka keluar sebanyak tiga kali untuk menyerang kaum muslimin, yang terakhir adalah penghancuran yang mereka lakukan terhadap kota Baghdad, juga pembunuhan yang mereka lakukan terhadap Khalifah, para ulama, para Gubernur, tokoh dan ahli ibadah. Mereka masuk ke berbagai negeri hingga menguasai Syam dalam waktu yang singkat. Ketakutan yang mereka timbulkan masuk ke Mesir sehingga raja al-Muzhaffar yang diberi julukan Quthuz melawan mereka dalam sebuah pertempuran yang terkenal, yaitu ‘Ainu Jaaluut. Beliau mendapat kemenangan sebagaimana didapatkan oleh Thalut (mengalahkan Jalut pada zaman Nabi Dawud q), hancurlah persatuan musuh-musuhnya dan Allah menjaga kaum muslimin dari kejelekan mereka. Lihat at-Tadzkirah, karya al-Qurthubi (hal. 592-595), ‘Aunul Ma’buud (XI/ 415-416). 

[12]. Sunan Abi Dawud, kitab al-Malaahim, bab an-Nahyu ‘an Tahyiijit Turk wal Habasyah (XI/409, ‘Aunul Ma’buud). Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari hadits Mu’awiyah.” Fat-hul Baari (VI/ 609). Al-‘Ajaluni berkata, “Az-Zarqani berkata, ‘Hasan.’” Dan beliau berkata di dalam al-Ashl, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari seseorang, dari kalangan Sahabat, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam… diriwayatkan oleh an-Nasa-i… demikian pula ath-Thabrani dalam al-Kabiir juga al-Ausath dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ dengan lafazh: اُتْرُكُوا التُّرْكَ مَا تَرَكُوكُمْ. “Biarkanlah bangsa Turk selama mereka membiarkan kalian.” Beliau bersabda: أَوَّلُ مَنْ يَسْلُبُ أُمَّتِيْ مُلْكَهُمْ وَمَا خَوَّلَهُمُ اللهُ بَنُوْ قُنْطُوْرَاءَ. “Yang pertama kali merampas kerajaan umatku dan apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka adalah Banu Qunthura’.” Dan diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan secara marfu’ dengan jalan-jalan yang satu sama lain saling menguatkan.” Lihat Kasyful Khafaa wa Muziilul Ilbaas ‘Ammasy Tahara minal Ahaadiits ‘ala Alsunin Naas (I/38), karya al-‘Ajaluni, ta’liq Ahmad al-Qalasy, cet. Muassasah ar-Risalah, Beirut. Syaikh al-Albani t berkata tentang hadits ini, “Hadits ini maudhu’.” Lihat Dha’iif al-Jaami’ish Shaaghiir (I/81, no. 105). As-Sakhawi berkata setelah menyebutkan orang-orang yang meriwayatkannya, “Dan tidak di-benarkan menghukuminya sebagai maudhu, al-Hafizh Dhiya-uddin al-Maqdisi telah mengumpulkan satu juz secara khusus tentang keluarnya bangsa Turk sebagaimana kita dengar.” Al-Maqaashidul Hasanah fi Bayaani Katsiirin minal Ahaadiitsil Musytaharah ‘alal Alsinah (hal. 16-17) yang dishahihkan dan dita’liq catatan kakinya oleh ‘Abdullah Muhammad ash-Shiddiq, diberikan kata pengantar oleh ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif, cet. Darul Adab al-‘Arabi, dan disebarluaskan oleh Maktabah al-Khaniji – Mesir, tahun 1375 H. Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir dan al-Ausath, di dalamnya ada perawi bernama ‘Utsman bin Yahya al-Qarqasani, dan saya tidak mengenalnya, sementara perawi-perawinya yang lain adalah perawi ash-Shahiih.” Majma’uz Zawaa-id (VII/312). Walhasil hadits ini minimal hasan, terlebih lagi Ibnu Hajar menuturkan bahwa hadits ini masyhur pada masa Sahabat g, dan beliau tidak menyebutkan cacat di dalamnya. Maka hal ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tsabit menurut beliau, dan saya telah mendapati bahwa Syaikh al-Albani telah membawakan syahid dengan hadits: دَعُوا الْحَبَشَةَ مَا وَدَعُوكُمْ وَاتْرُكُوا التُّرْكَ مَا تَرَكُوكُمْ. “Biarkanlah orang-orang Habasyah selama mereka membiarkan kalian dan biar-kanlah bangsa Turk selama mereka membiarkan kalian.” Dan beliau berkata tentang sanadnya, “Ini adalah sanad la ba’-sa bihi di dalam syawahid (penguat), semua perawinya tsiqah selain Abu Sakinah,” al-Hafizh berkata dalam at-Taqriib, “Dikatakan bahwa namanya adalah Muhlim dan diperdebatkan apakah dia seorang Sahabat?” Menurutku (al-Albani), “Jika ia bukan seorang Sahabat, maka ia adalah seorang Tabi’in Mastuur, ada tiga orang yang me-riwayatkan darinya, maka hadits ini adalah syahid (penguat) yang hasan.” Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (II/416, no. 772). Barangkali yang dimaksud dengan perkataan al-Albani, “Maudhu’” adalah tambahan yang ada di akhir hadits, yaitu ungkapan: أَوَّلُ مَنْ يَسْلُبُ أُمَّتِيْ مُلْكَهُمْ وَمَا خَوَّلَهُمُ اللهُ بَنُوْ قُنْطُوْرَاءَ. “Yang pertama kali merampas kerajaan umatku dan apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada mereka adalah Banu Qunthura’.” Dan akan dijelaskan nanti bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar menjadikannya sebagai dalil, maka hadits tersebut tsabit menurut beliau, wallaahu a’lam. 

[13]. Fat-hul Baari (VI/609-610). 

[14]. Imam an-Nawawi lahir pada tahun 631 H, wafat pada tahun 676 H, saat itu adalah masa di mana Tatar datang, dan mereka menghancurkan Khilafah ‘Abbasiyyah. Lihat Tadzkiratul Huffaazh (IV/ 1471-1473).

[15]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVIII/37-38). [16]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Manaaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah fil Islaam (VI/604, al-Fat-h). 

 _______ 

Footnote 

[1]. ‘Ajam adalah bangsa selain Arab, bentuk tunggalnya ‘ajamiyyun seperti kata ‘arabiyyun bentuk jamaknya ‘Arab. 

[2]. (خُوْزُ) dengan didhammahkan huruf awalnya, disukunkan huruf keduanya dan akhirnya adalah huruf zay. Negeri Khuzistan, disebut juga al-Khuz, negeri tersebut termasuk negeri-negeri al-Ahwaz keturunan ‘Azam, dan dikatakan pula bahwa al-Khuz adalah satu bagian dari kaum ‘Azam. Lihat kitab Mu’jamul Buldaan (II/404), dan Fat-hul Baari (VI/607). 

[3]. (كَرْمَانُ) dengan huruf yang difat-hahkan, lalu disukunkan dan akhirnya adalah huruf nun, terkadang huruf kafnya dikasrahkan, dan yang fat-hahlah yang lebih masyhur. Ia adalah nama sebuah negara yang luas dengan perkampungan juga perkotaan di dalamnya, di sebelah barat dibatasi dengan Persia, di sebelah utara dengan Khurasan dan di sebelah selatan dengan lautan Persia. Yaqut berkata, “Penduduknya adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan baik, hal itu setelah pe-naklukan yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadapnya.” Lihat kitab Mu’jamul Buldaan (IV/454). 

[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Manaaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah (VI/604, al-Fat-h). [5]. Fat-hul Baari (VI/607). 

[6]. Musnad Ahmad (V/11, dengan catatan pinggir Muntakhab al-Kanz). Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani, dan perawi Ahmad adalah perawi ash-Shahiih.” Majma’uz Zawaa-id (VII/310). 

[7]. HR. Ath-Thabrani, dan perawinya adalah perawi shahih.” Majma’uz Zawaa-id (VII/311).

Sumber Pertama

_______ 

Footnote 

[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Manaaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah (VI/603-604, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/ 16-17, Syarh an-Nawawi). 

[2]. Lihat perincian peristiwa itu dalam kitab al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/170- 191). 

[3]. Lihat al-‘Awaashim minal Qawaashim (hal. 132-137) tahqiq dan ta’liq Muhibbuddin al-Khatib. 

[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab al-Fitnah allati Tamuuju ka Maujil Bahri (XIII/48, al-Fat-h). 

[5]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/51). 

[6]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah. 

[7]. Syarh Muslim, karya an-Nawawi (XVIII/8).

Sumber Pertama

_______ 

Footnote 

[1]. Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim berpendapat, “Sesungguh-nya mereka berangkat ke Bashrah untuk mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin.” Beliau berkata, “Inilah yang benar, dan bukan untuk tujuan selain itu, dan hal ini didukung oleh berbagai kabar shahih yang menjelaskannya.” Lihat al-‘Awaashim (hal. 151). 

[2]. Lihat penjelasan rincinya dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/54-59). 

[3]. Musnad Imam Ahmad (VI/393, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal). Hadits ini hasan. Lihat Fat-hul Baari (XIII/55). 

[4]. الْحَوْأَب sebuah tempat dekat Bashrah. Tempat itu di antara sumber air pada zaman Jahiliyyah, dan merupakan jalan yang ditempuh oleh orang yang datang dari Makkah menuju Bashrah. Dinamakan al-Hau-ab dinisbatkan kepada Abu Bakar bin Kilab al-Hau-ab, atau nisbat kepada al-Hau-ab binti Kalb bin Wabrah al-Qudha’iyyah. Lihat Mu’jamul Buldaan (II/314), dan catatan pinggir Muhibbuddin al-Khatib atas kitab al-‘Awaa-shiim minal Qawaashim (hal. 148).

[5]. Mustadrak al-Hakim (III/120). Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya berdasarkan syarat ash-Shahiih.” Lihat Fat-hul Baari (XIII/55). Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, dan perawi Ahmad adalah perawi ash-Shahiih.” (Majma’uz Zawaa-id VII/237). Hadits ini terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (VI/52, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal). 

[6]. Fat-hul Baari (XIII/55), Ibnu Hajar berkata, “Para perawinya tsiqah.” Al-Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi mengingkari hadits al-Hau-ab dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim (hal. 161), pendapat itu diikuti oleh Syaikh Muhibbuddin al-Khatib dalam ta’liqnya terhadap kitab al-‘Awashim, dan beliau menyebutkan bahwa hadits tersebut sama sekali tidak ter-maktub di dalam kitab-kitab Islam yang diakui. Akan tetapi hadits tersebut shahih, hadits tersebut dishahihkan oleh al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana dijelaskan terdahulu. Al-Hafizh dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/55) pada pembahasannya terhadap hadits al-Hau-ab berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, di-shahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, dan sanadnya berdasarkan syarat al-Bukhari.” Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, dan beliau membantah orang yang membatalkan keshahihan hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa yang me-riwayatkannya adalah di antara para Imam. Lihat as-Silsilah (jilid 1, juz 4-5/223-233) (no. 475). 

[7]. Minhaajus Sunnah (II/185).

Sumber kedua

_______ 

Footnote 

[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab (tanpa bab) (XIII/8, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/12-13, Syarh an-Nawawi). 

[2]. Fat-hul Baari (XIII/85). 

[3]. Fat-hul Baari (XIII/85). 

[4]. Shiffin adalah sebuah tempat di tepi sungai Efrat dari arah barat daya, dekat dengan ar-Riqqah, akhir perbatasan Irak dan awal negeri Syam. Lihat Mu’jamul Buldaan (III/414), dan ta’liq Muhibbuddin al-Khatib terhadap kitab al’Awashiim (hal. 162). 

[5]. Kitab Fat-hul Baari (XIII/86) dan Mu’jamul Buldaan (XIII/414-415). 

[6]. Dia adalah Malik bin al-Harits bin ‘Abdi Yaghuts bin Maslamah an-Nakha’i al-Kufi yang terkenal dengan sebutan al-Asytar, mengalami zaman Jahiliyyah dan meriwayatkan hadits dari ‘Umar juga ‘Ali, ia adalah pengikut ‘Ali Radhiyallahu anhu. Ikut dalam peperangan Jamal, Shiffin dan peperangan yang lainnya. Dikatakan bahwa dia pun ikut dalam perang Yarmuk. Dia adalah kepala kaumnya, dia adalah orang yang berusaha menimbulkan fitnah dan merencanakan siasat atas ‘Utsman. Pernah menjadi gubernur di Mesir dan wafat ketika berjalan menuju ke sana pada tahun 37 H. Lihat biografinya dalam kitab Tahdziibut Tahdziib (X/11-12), al-A’laam (V/ 259). 

[7]. Hasyim bin ‘Atabah bin Abi Waqqash az-Zuhri, dikenal dengan nama al-Mirqal. Dia adalah komandan ‘Ali pada perang Shiffin. Lahir ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, ada yang mengatakan bahwa dia termasuk Sahabat, dan terbunuh pada perang Shiffin, dan dia adalah seorang pemberani. Lihat biografinya dalam kitab Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/486), Syadzaraatudz Dzahab (I/46), dan al-A’laam (VIII/66). 

[8]. ‘Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid, salah seorang yang dermawan. Dia adalah pembawa bendera Mu’awiyah pada perang Shiffin, meninggal tahun 46 H rahimahullah. Lihat biografinya dalam kitab Syadzaraatudz Dzahab (I/55). 

[9]. Dia adalah ‘Amr bin Sufyan bin ‘Abd Syams bin Sa’ad adz-Dzakwani as-Sulami, yang terkenal dengan kun-yahnya. Ibnu Hajar menukil dari ‘Abbas ad-Dauri bahwasanya Yahya bin Ma’in berkata, “Abul A’war as-Sulami adalah seseorang dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau bersama Mu’awiyah.” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari bapaknya, “Sesungguhnya Abul A’war mengalami masa Jahiliyyah dan bukan merupakan seorang Sahabat, pernah ikut perang Qubrush pada tahun 26 H, dan dia memiliki kedudukan pada perang Shiffin bersama Mu’awiyah. Lihat al-Ishaabah (II/540-541) dan catatan pinggirnya al-Muntaqaa’ min Man-haajil I’tidal (hal. 264), karya adz-Dzahabi tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibuddin al-Khatib. 

[10]. Minhaajus Sunnah, karya Ibnu Taimiyyah (II/224)

Sumber ketiga

_______ 

Footnote 

[1]. Amanah adalah lawan kata dari khianat, diungkapkan dalam al-Qur-an di dalam firman-Nya: 

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا 

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” [Al-Ahzaab: 72] 

Ada beberapa pendapat ulama tentang maknanya, semua kembali pada dua bagian: 

a. Tauhid: Sesungguhnya hal itu merupakan amanah yang ada di pundak seorang hamba dan tersembunyi di dalam hati. 

b. Amal: Masuk ke dalam semua bagian syari’at dan semuanya merupakan amanah bagi seorang hamba. Maka amanah adalah tugas, melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Lihat Ahkaamul Qur-aan, karya Ibnul ‘Arabi (III/1588-1587) tahqiq ‘Ali Muhammad al-Bajawi, Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (II/168), Tafsir Ibnu Katsir (VI/477), dan Fat-hul Baari (XI/333). 

[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Raf’ul Amaanah (XI/333, dalam al-Fat-hul). 

[3]. Yaitu tentang singgahnya amanah pada diri seseorang dan dicabutnya amanah. 

[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Raf’ul Amaanah (XI/333, al-Fat-h), dan kitab al-Fitan, bab Idzaa Baqiya fii Hatsalatin minan Naas (XIII/38, al-Fat-h). 

[5]. Lihat Qabasaat min Hadyir Rasuulil A’zham Shallallahu ‘alaihi wa sallam fil ‘Aqaa-id (hal. 66), karya ‘Ali asy-Syarbaji, cet. I th. 1398 H, Darul Qalam – Damaskus. 

[6]. Fat-hul Baari (I/143).

Sumber Kelima

_______ 

Footnote 

[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmu bab Raf’ul ‘Ilmi wa Zhuhuurul Jahli (I/178, al-Fath), dan Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi Aakhiriz Zamaan (XVI/222, Syarh an-Nawawi). 

[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Zhuhuuril Fitan (XIII/13, al-Fath). 

[3]. Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222-223, Syarh an-Nawawi). 

[4]. Fat-hul Baari (XIII/16). 

[5]. Fat-hul Baari (XIII/16). 

[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmi, bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmi (I/194, al-Fath), dan Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi, bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan (XVI/223-224, Syarh an-Nawawi). 

[7]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVI/223-224). 

[8]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Adab, bab Husnul Khuluq was Sakhaa’ wa Ma Yukrahu minal Bukhli (X/456, al-Fath). 

[9]. Tadzkiratul Huffaazh (III/1031). 

[10]. Shahiih Muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah Tsummal Ladziina Yaluu-nahum (XVI/86, Syarh an-Nawawi). 

[11]. Beliau: Abul ‘Ala atau Abu Bakar; Shilah bin Zufar al-‘Abasi al-Kufi, seorang Tabi’in terkemuka, terpercaya dan mulia. Beliau meriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah Ibnul Yaman, Ibnu Mas’ud, ‘Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas. Beliau wafat sekitar tahun 70 H. rahimahullah. 

[12]. Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan bab Dzahaabul Qur-aan wal ‘Ilmi (II/1344-1245), al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/473), dan beliau berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat Muslim, akan tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Ibnu Hajar berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang kuat.” Fat-hul Baari (XIII/16). Al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaaghiir (VI/339, no. 7933). 

[13]. HR. Ath-Thabrani, dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi kitab-kitab ash-Shahiih, selain Syaddad bin Ma’qal, ia adalah tsiqat (Majma’uz Zawaa-id VII/329-330). Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih, akan tetapi hadits ini mauquf.” (Fat-hul Baari XIII/16). Komentar saya, “Hadits seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan akal, maka hukumnya sama dengan hukum marfu’.” 

[14]. Majmuu’ al-Fataawaa (III/198-199). 

[15]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Dzahaabul Iimaan Akhiraz Zamaan (II/ 178, Syarh an-Nawawi). 

[16]. Musnad Ahmad (XI/181-182, Syarh Ahmad Syakir), dan beliau berkata, “Sanadnya shahih.” Dan al-Mustadrak al-Hakim (IV/435), beliau berkata, “Ini adalah hadits shahih dengan syarat asy-Syaikhani, jika al-Hasan mendengarnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Dan disepakati oleh adz-Dzhahabi. 

[17]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/186) tahqiq Dr. Thaha Zaini.

Sumber: https://almanhaj.or.id/

Tags