PASAL KETUJUH
Oleh: Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
Terbitnya matahari dari barat adalah salah satu tanda besar Kiamat, hal tersebut telah tetap berdasarkan al-Qur-an dan as-Sunnah.
1. Dalil-Dalil Terbitnya Matahari dari Barat
a. Dalil-dalil dari al-Qur-an al-Karim Allah Ta’ala berfirman:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
“… Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebaikan dengan imannya itu…” [Al-An’aam: 158]
Telah dinyatakan di berbagai hadits shahih bahwa yang dimaksud dengan tanda-tanda tersebut di dalam ayat adalah terbitnya matahari dari barat, dan inilah pendapat mayoritas ulama tafsir. [1]
Ath-Thabari rahimahullah berkata -setelah menuturkan beberapa pendapat ulama tafsir tentang ayat ini-, “Dan pendapat yang paling tepat tentang masalah itu adalah yang didukung oleh banyak riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
ذَلِكَ حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.
'Hal itu terjadi ketika matahari terbit dari barat.’”[2]
Asy-Syaukani rahimahullah berkata; “Jika telah sah marfu’nya tafsir Nabawi ini dengan jalan yang benar tanpa ada celaan di dalamnya, maka pendapat tersebut wajib didahulukan dan harus diambil.” [3]
b. Dalil-dalil dari as-Sunnah Hadits-hadits yang menunjukkan terbitnya matahari dari barat banyak sekali, di sini kami sebutkan kepada Anda sebagian darinya: Pertama: Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa-sanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنَ الْمَغْرِبِ، فَإِذَا طَلَعَتْ، فَرَآهَا النَّـاسُ؛ آمَنُوا أَجْمَعُوْنَ، فَذَلِكَ حِيْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِيْ إِيْمَانِهَا خَيْرًا.
"Tidak akan terjadi Kiamat sehingga matahari terbit dari sebelah barat, jika ia telah terbit, lalu manusia menyaksikannya, maka semua orang akan beriman, ketika itu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.”[4]
Kedua: Diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ… (فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ، وَفِيْهِ:) وَحَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا، فَإِذَا طَلَعَتْ؛ آمَنُوا أَجْمَعُوْنَ، فَذَلِكَ حِيْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِيْ إِيْمَانِهَا خَيْرًا.
“Tidak akan terjadi Kiamat hingga ada dua kelompok yang saling berperang… (lalu beliau menuturkan hadits, dan di dalamnya:) hingga matahari terbit dari barat, lalu jika ia telah terbit, maka semua orang akan beriman, ketika itu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.”[5]
Ketiga: Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَادِرُوْا بِاْلأَعْمَالِ سِتًّا: …طُلُوْعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا.
“Bersegeralah kalian beramal sebelum datangnya enam hal: …terbitnya matahari dari barat.”[6]
Keempat: Telah diungkapkan sebelumnya hadits Hudzaifah bin Asid Radhiyallahu anhu tentang penyebutan tanda-tanda besar Kiamat, lalu beliau menuturkan di antaranya, “Terbitnya matahari dari barat.” [7]
Kelima: Imam Ahmad dan Muslim رحمهما الله meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku hafal satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak pernah aku lupa setelahnya, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ اْلآيَاتِ خُرُوْجًا طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا.
“Sesunguhnya tanda Kiamat yang pertama kali muncul adalah terbitnya matahari dari arah barat.” [8]
Keenam: Dan diriwayatkan dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, bahwasanya pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
أَتَدْرُونَ أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ الشَّمْسُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: إِنَّ هَذِهِ تَجْرِي حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَخِرُّ سَاجِدَةً، فَلاَ تَزَالُ كَذَلِكَ، حَتَّى يُقَالُ لَهَا: ارْتَفِعِي، ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ، فَتْرجِعُ فَتَصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَطْلَعِهَا، ثُمَّ تَجِيءُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَخِرُّ سَـاجِدَةً، فَلاَ تَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّـى يُقَالُ لَهَا: اِرْتَفِعِيْ، اِرْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ، فَتَرْجِعُ، فَتَصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَطْلَعِهَا، ثُمَّ تَجْرِيْ لاَ يَسْتَنْكِرُ النَّاسُ مِنْهَا شَيْئًا، حَتَّـى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا ذَلِكَ تَحْتَ الْعَرْشِِ، فَيُقَالُ لَهَا: اِرْتَفِعِيْ، أَصْبَحِيْ طَالِعَةً مِنْ مَغْرِبِكِ فَتَصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَغْرِبِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : أَتَدْرُونَ مَتَى ذَاكُمْ؟ ذَاكَ حِيْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خيْرًا.
“Tahukah kalian ke mana perginya matahari (saat itu)?” Para Sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari ini berjalan hingga sampai ke tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu dia tersungkur sujud, dan senantiasa demikian hingga dikatakan kepadanya, ‘Bangunlah! Kembalilah ke tempatmu pertama kali datang.’ Kemudian dia kembali datang di waktu pagi dan terbit dari tempat terbitnya, kemudian dia berjalan hingga sampai ke tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu dia tersungkur sujud, dan senantiasa demikian hingga dikatakan kepadanya, ‘Bangunlah! Kembalilah ke tempatmu pertama kali datang.’ Kemudian dia kembali datang waktu pagi dan terbit dari tempat terbitnya, kemudian dia berjalan lagi sementara manusia tidak mengingkarinya sedikit pun hingga dia kembali ke tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, hingga dikatakan kepadanya, ‘Bangunlah! Terbitlah dari tempamu terbenam.’ Kemudian dia kembali datang di waktu pagi dan terbit dari tempat terbenamnya.’” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian tahu kapan itu terjadi? Hal itu terjadi ketika tidak bermanfaat lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” [9]
2. Diskusi Bersama Rasyid Ridha Atas Bantahannya Terhadap Hadits Abu Dzarr Tentang Sujudnya Matahari
Rasyid Ridha membawakan hadits Abu Dzarr terdahulu, dan memberikan komentar bahwa matan (teks) hadits tersebut termasuk matan yang memiliki kemusykilan yang paling besar. Beliau mengomentari sanadnya dengan berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh as-Syaikhani dari jalan Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi dari Abu Dzarr, dan Ibrahim -walaupun ahlul hadits menganggapnya tsiqah akan tetapi beliau adalah seorang mudallis- al-Imam Ahmad berkata, ‘Dia tidak pernah bertemu dengan Abu Dzarr.” Sebagaimana dikatakan oleh ad-Daraquthni, ‘Beliau tidak pernah mendengar langsung dari Hafshah, tidak juga dari ‘Aisyah, bahkan tidak pernah mendapati zaman keduanya.” Dan sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Madini, ‘Beliau tidak pernah mendengarkan dari ‘Ali, dan tidak pernah mendengarkan langsung dari Ibnu ‘Abbas.’ Hal itu diungkapkan dalam kitab Tahdziibut Tahdziib.
Telah diriwayatkan selain riwayat ini dari mereka akan tetapi dengan riwayat yang ‘An’anah (periwayatan menggunakan lafazh عَنْ (dari), tidak menggunakan lafazh حَدَّثَنَا (telah menceritakan kepada kami)), maka memiliki kemungkinan bahwa orang yang meriwayatkannya dari mereka tidak tsiqah.
Jika pada sebagian riwayat ash-Shahiihain dan as-Sunan ada illah yang seperti ini, ditambah lagi dengan kemungkinan masuknya Israiliyyat, dan salahnya penukilan secara makna, maka bagaimana halnya dengan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh asy-Syaikhani juga Ash-habus Sunan?![10]
Inilah yang dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridha!!
Ungkapannya ini sangat berbahaya, merupakan celaan terhadap berbagai hadits yang tetap dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan meragukan keshahihannya, terutama yang termaktub dalam ash-Shahiihain di mana semua umat telah sepakat untuk menerimanya.
Alangkah baiknya jika beliau benar-benar meneliti sanad hadits dan menyelamatkan matannya dari segala kemusykilan yang beliau dakwahkan serta mengikuti segala hal yang dikatakan oleh ulama-ulama Salaf yang telah beriman kepada semua hadits yang tetap dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak membebani diri dengan sesuatu yang tidak diketahui, akan tetapi mereka menetapkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan makna yang shahih yang dapat difahami dengan jelas dari teks hadits.
Abu Sulaiman al-Khaththabi ketika menjelaskan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Tempat menetapnya di bawah ‘Arsy”, beliau berkata, “Kita tidak mengingkari bahwa-sanya matahari memiliki tempat menetap di bawah ‘Arsy, di mana kita tidak dapat melihat dan menyaksikannya, kita hanya mendapatkan kabar ghaib tentangnya, maka kita tidak mendustakan juga tidak perlu memperkirakan kaifiahnya (bagaimana caranya) karena ilmu kita tidak bisa mencapainya.”
Kemudian beliau berkomentar tentang sujudnya matahari di bawah ‘Arsy, “Adapun kabar tentang sujudnya matahari di bawah ‘Arsy, maka tidak bisa diingkari bahwa hal itu terjadi ketika lurus dengan ‘Arsy di dalam peredarannya, dan dia diperlakukan sesuai dengan apa-apa yang ditundukkan kepadanya. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ
“Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam….” [Al-Kahfi: 86]
Maka hal itu adalah batas akhir dari pandangan kita kepadanya ketika terbenam, dan kembalinya dia ke bawah ‘Arsy untuk bersujud hanya terjadi setelah terbenam.” [11]
Pasal Ketiga : Tersebarnya Rasa Aman Dan Keberkahan Pada Zaman ‘Isa Alaihissallam
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sujudnya matahari, maka hal itu sesuai dengan keistimewaan dan pengetahuan yang Allah ciptakan di dalamnya.”[12]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Segala sesuatu bersujud kepada-Nya karena keagungan-Nya, baik dengan ketaatan atau secara terpaksa, dan sujudnya segala sesuatu sesuai dengan kekhususan masing-masing.”[13]
Dan Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Menurut zhahir hadits ini bahwa yang dimaksud dengan menetapnya adalah berhentinya pada siang atau malam ketika bersujud, dan lawan dari menetap adalah peredarannya yang selalu dilakukan, yang diredaksikan dengan berjalan, wallahu a’lam.” [14]
Bagaimana pun keadaannya, maka pembahasan kita di sini bukan ten-tang menetapnya matahari, tidak juga tentang sujudnya, kami hanya ingin menjelaskan sesungguhnya hadits Abu Dzarr Radhiyallahu anhu sama sekali tidak memiliki sesuatu yang musykil di dalam matannya, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah. Dan sesungguhnya para ulama telah menerimanya juga menjelaskan makna yang terkandung di dalamnya.
Adapun celaan beliau terhadap sanad hadits ini, maka itu hanya tuduhan tanpa dalil karena hadits ini memiliki sanad yang muttashil (tersambung) dengan riwayat orang-orang yang tsiqah. Adapun yang beliau katakan, yaitu tadlisnya Ibrahim bin Zaid at-Taimi dan bahwa dia tidak berjumpa dengan Abu Dzarr, tidak juga Hafshah dan ‘Aisyah, dan beliau tidak mengalami masa mereka berdua, maka hal itu bisa dijawab:
Pertama: Bahwa hadits tersebut di dalamnya tidak ada sanad dari riwayat Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari Abu Dzarr, yang ada sanadnya adalah -sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim- dari riwayat Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari bapaknya, dari Abu Dzarr.
Abu Ibrahim adalah Yazid bin Syarik at-Taimi, beliau meriwayatkan hadits dari ‘Umar, ‘Ali, Abu Dzarr, Ibnu Mas’ud juga yang lainnya dari kalangan Sahabat Radhiyallahu anhuma, dan meriwayatkan dari beliau anaknya, Ibrahim, Ibrahim an-Nakhai’, dan selain keduanya, Ibnu Ma’in mentsiqahkannya, demikian pula Ibnu Hibban, Ibnu Sa’d dan Ibnu Hajar, dan al-Jamaah meriwayatkan darinya. Abu Musa al-Madini berkata, “Dikatakan bahwa dia mengalami masa Jahiliyyah.”[15]
Kedua: Bahwa Ibrahim bin Yazid jelas-jelas mengatakan bahwa dia mendengar langsung dari bapaknya, Yazid. Sebagaimana terdapat dalam riwayat Muslim, beliau berkata, “…Telah meriwayatkan kepada kami Yunus dari Ibrahim bin Yazid at-Taimi, sepengetahuanku beliau mendengarnya dari bapaknya dari Abu Dzarr.”[16]
Sementara orang yang tsiqah jika dia menjelaskan bahwa dia mendengarkan langsung maka riwayatnya diterima, sebagaimana hal ini ditetapkan di dalam kitab mushthalah hadiits.[17] [Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
3. Setelah Matahari Terbit dari Barat Iman dan Taubat Tidak Lagi
Diterima Jika matahari terbit dari barat, maka keimanan tidak lagi diterima dari seseorang yang sebelumnya tidak beriman, sebagaimana tidak diterimanya taubat orang yang melakukan maksiat. Hal itu karena terbitnya matahari dari barat adalah salah satu tanda besar Kiamat yang dapat dilihat oleh setiap orang yang ada pada zaman tersebut. Maka ketika itu berbagai kenyataan akan ter-buka dan ketika itu mereka akan menyaksikan segala kegoncangan yang me-maksa mereka untuk membenarkan Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Hukum mereka dalam hal itu sama dengan hukum orang yang menyaksikan siksa Allah Ta’ala, sebagaimana difirmankan oleh-Nya:
فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا ۖ سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ ۖ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ
“Maka tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata, ‘Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” [Al-Mu’min: 84-85]
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, ‘Keimanan satu jiwa tidak bermanfaat ketika matahari telah terbit dari barat. Hal itu karena perasaan takut menghujam sangat dalam di hati, yang mematikan segala syahwat dan nafsu dan kekuatan badan menjadi hilang, demikian pula setiap kekuatan di dalam badan menjadi lemah. Maka semua manusia -karena keyakinan mereka akan dekatnya Kiamat- menjadi bagaikan orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, dan terputusnya segala ajakan untuk melakukan berbagai macam kemaksiatan, dan anggota badan mereka tidak menginginkannya. Maka orang yang bertaubat pada kesempatan seperti itu tidak akan diterima taubatnya, sebagaimana tidak diterimanya taubat orang yang sedang sakaratul maut.” [1]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika tumbuh keimanan pada seorang kafir ketika itu, maka keimanannya tidak akan diterima. Adapun orang yang telah beriman sebelumnya, jika dia baik dalam perbuatannya, maka dia berada dalam kebaikan yang sangat besar. Adapun jika dia adalah orang yang mencampurbaurkan antara kebaikan dan keburukan, lalu dia bertaubat, maka taubatnya tidak diterima ketika itu.” [2] Inilah yang dijelaskan dalam al-Qur-an dan dalam berbagai hadits shahih, karena Allah Ta’ala berfirman:
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
“… pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) meng-usahakan kebaikan dengan imannya itu…” [Al-An’aam: 158]
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ مَا تُقُبِّلَتِ التَّوْبَةُ، وَلاَ تَزَالُ التَّوْبَةُ مَقْبُولَةٌ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنَ الْمَغْرِبِ، فَإِذَا طَلَعَتْ؛ طُبِعَ عَلَى كُلِّ قَلْبٍ بِمَا فِيْهِ، وَكُفِيَ النَّاسُ الْعَمَلَ.
“Hijrah tidak akan terputus selama taubat masih diterima, dan taubat akan tetap diterima hingga matahari terbit dari barat. Jika ia telah terbit (dari barat), maka dikuncilah setiap hati dengan apa yang ada di dalamnya dan dicukupkan bagi manusia amal yang telah dilakukannya.”[3]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَوجَلَ جَعَلَ بِالْمَغْرِبِ بَابًا عَرْضُهُ مَسِيْرَةُ سَبْعِيْنَ عَامًا لِلتَّوْبَةِ، لاَ يُغْلَقُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ قَبْلِهِ، وَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا … الآية.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membuat sebuah pintu untuk taubat (pintu taubat) di barat yang panjangnya sejauh perjalanan 70 tahun, pintu tersebut tidak akan pernah dikunci hingga matahari terbit dari arahnya, itulah makna firman Allah تبارك وتعالى, ‘… pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu, tidaklah bermanfaat iman seseorang yang belum beriman sebelum itu….’ [Al-An’aam: 158].” [4]
Sebagian ulama [5] berpendapat bahwa orang-orang yang tidak diterima taubatnya adalah orang-orang kafir yang menyaksikan langsung matahari terbit dari barat, adapun jika zaman terus berkembang sementara manusia melupakannya, maka imannya orang kafir dan taubatnya orang yang bermaksiat masih dapat diterima. Al-Qurthubi berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai ke kerongkongan.”[6]
Maknanya adalah selama ruhnya belum sampai di kerongkongan, kala itulah seseorang melihat dengan jelas tempat yang disediakan untuknya; Surga atau Neraka. Maka orang yang menyaksikan matahari terbit dari barat sama dengan orang yang menghadapi sakaratul maut. Oleh karena itu, taubat orang yang menyaksikannya atau orang yang keadaannya sama adalah tertolak, selama dia masih hidup karena keyakinannya terhadap Allah, Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan terhadap janjinya adalah menjadi sesuatu yang darurat (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Lalu jika hari-hari di dunia terus berlalu, sehingga manusia melupakan masalah agung ini dan tidak membicarakannya lagi kecuali hanya sedikit saja, dan berita tersebut menjadi sesuatu yang hanya diketahui oleh kalangan tertentu, dan kemutawatiran telah terputus. Maka barangsiapa masuk ke dalam agama Islam ketika itu atau bertaubat, maka hal itu diterima darinya, wallahu a’lam.” [7]
Pendapat ini diperkuat dengan sebuah riwayat:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ يُكْسَيَانِ بَعْدَ ذَلِكَ الْضَوْءِ وَالنُّوْرِ، ثُمَّ يَطْلُعَانِ عَلَى النَّاسِ وَيَغْرَبَانِ.
“Sesungguhnya matahari akan bersinar setelah itu, kemudian keduanya akan terbit dan terbenam kepada manusia (seperti biasa).” Demikian pula riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَبْقَى النَّاسُ بَعْدَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا عِشْرِيْنَ وَمِئَةَ سَنَةٍ.
“Manusia tetap ada setelah matahari terbit dari barat selama seratus dua puluh tahun.” Diriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, bahwasanya beliau berkata, “Sesungguhnya tidak diterima hanya pada waktu terbitnya matahari (dari barat) hingga datang teriakan, lalu ketika itu banyak manusia yang binasa, maka barangsiapa masuk Islam atau bertaubat ketika itu, kemudian dia mati maka taubatnya tidak diterima, dan barangsiapa bertaubat setelah itu, maka taubatnya diterima.”[8] Jawaban atas semua pernyataan di atas bahwa nash-nash menunjukkan sesungguhnya taubat tidak diterima setelah matahari terbit dari barat, dan seorang kafir tidak diterima keislamannya ketika itu. Nash-nash sama sekali tidak membedakan antara orang yang menyaksikan langsung tanda besar itu dan orang yang tidak menyaksikannya. Dan di antara yang memperkuat hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh ath-Thabari dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Jika tanda Kiamat yang pertama telah keluar, maka qalam-qalam (pencacat amal) dilemparkan, para Malaikat penjaga ditahan, dan manusia menjadi saksi atas amalnya.”[9] Yang dimaksud dengan tanda Kiamat yang pertama adalah terbitnya matahari dari barat. Adapun tanda-tanda Kiamat yang keluar sebelum matahari terbit, maka berbagai hadits menunjukkan diterimanya taubat dan keimanan ketika itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari pula dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
اَلتَّوْبَةُ مَبْسُوْطَةٌ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.
“Taubat itu dibentangkan selama matahari belum terbit dari barat.” [10]
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Musa Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَـى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.
‘"Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kejelekan pada siang hari, dan membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kejelekan pada malam hari hingga matahari terbit dari barat.’”[11]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan puncak (akhir) dari penerimaan taubat adalah terbitnya matahari dari barat. Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan beberapa hadits juga atsar yang menunjukkan terkuncinya pintu taubat (setelah terbitnya matahari dari barat) berlangsung sampai datangnya hari Kiamat, kemudian beliau berkata, “Atsar-atsar ini saling memperkuat satu sama lainnya dan sepakat bahwa jika matahari telah terbit dari barat, maka terkuncilah pintu taubat dan tidak akan pernah dibuka setelah itu, dan sesungguhnya hal itu tidak khusus pada hari kemunculannya dari barat, bahkan berlangsung sampai hari Kiamat.”[12]
Adapun pengambilan dalil al-Qurthubi dapat dijawab bahwa hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dikatakan oleh, al-Hafizh Ibnu Hajar: “Kemarfu’an hadits ini tidak benar.” Dan hadits ‘Imran bin Hushain, “Sama sekali tidak ada dasarnya.” [13]
Adapun hadits: “Sesungguhnya matahari dan bulan akan menyinari…” maka al-Qurthubi tidak menyebutkan sanadnya, sungguh pun hadits tersebut tetap riwayatnya, maka kembalinya matahari dan bulan kepada keadaannya semula sama sekali bukan dalil bahwa pintu taubat dibuka kembali.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tetap berpegang dengan nash penentu dalam perbedaan pendapat ini, yaitu hadits ‘Abdullah bin ‘Amr yang menyebutkan terbitnya matahari dari barat, dan di dalamnya diungkapkan: “Maka sejak hari itu sampai hari Kiamat “…Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.”[14]
BACA SERIAL TANDA-TANDA KECIL KIAMAT:
- Tanda kecil Kiamat Bagian Pertama
- Tanda kecil Kiamat Bagian Kedua
- Tanda kecil Kiamat Bagian Ketiga
- Tanda kecil Kiamat Bagian Keempat
- Tanda kecil Kiamat Bagian Kelima
- Tanda kecil Kiamat Bagian Keenam
- Tanda kecil Kiamat Bagian Ketujuh
- Tanda kecil Kiamat Bagian Kedelapan
BACA SERIAL TANDA-TANDA BESAR KIAMAT:
- Tanda Besar Kiamat Al-Mahdi
- Tanda Besar Kiamat Keluarnya Dajjal
- Tanda Besar Kiamat Turunnya nabi 'Isa 'Alaihissalam
- Tanda Besar Kiamat Keluarnya Ya'juj wa Ma'juj
- Tanda Besar Kiamat Penenggelaman kedalam bumi
- Tanda Besar Kiamat Munculnya Asap
- Tanda Besar Kiamat Terbitnya Matahari dari barat
- Tanda Besar Kiamat Keluarnya Dabbah dari perut bumi
- Tanda Besar Kiamat Adanya Api dari Yaman yang mengumpulkan manusia
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsiir ath-Thabari (VIII/96-102), Tafsiir Ibni Katsir (III/366-371), Tafsiir al-Qurthubi (VII/145), dan Ithaaful Jamaa’ah (II/315-316).
[2]. Tafsiir ath-Thabari (VIII/103).
[3]. Tafsiir asy-Syaukani (II/182)
[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Raqaaiq (XI/352, dengan al-Fat-h), Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab az-Zamanul Ladzi la Yuqbalu fiihil Iimaan (II/194, Syarh an-Nawawi).
[5]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan (XIII/81-82, al-Fat-h).
[6]. Shahiih Muslim , bab fii Baqiyyati min Ahaadiitsid Dajjal (XVIII/87, Syarh an-Nawawi).
[7]. Shahiih Muslim , kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/27-28, Syarh an-Nawawi).
[8]. Musnad Ahmad (XI/110-111, no. 6881), tahqiq Ahmad Syakir, dan Shahiih Muslim, kitab Asyraathus Saa’ah bab Dzikrud Dajjal (XVIII/77-78, Syarh an-Nawawi).
[9]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan, bab Bayaan az-Zamanul Ladzii laa Yuqbalu fiihil Iimaan (II/195-196, an-Nawawi), dan diriwayatkan pula oleh al-Bukhaari secara ringkas dalam Shahiihnya, kitab at-Tafsiir bab wasy Syamsu Tajrii li Mustaqarrin lahaa (VIII/451, al-Fat-h), dan kitab at-Tauhid, bab wa Kaana ‘Arsyuhu ‘alal Maa’ wa Huwa Rabbul ‘Arsyil Azhiim (XIII/404, al-Fat-h).
[10]. Tafsiir al-Manaar (VIII/211-212) penulis Muhammad Rasyid Ridha, cet. II, cetakan Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon. [11]. Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi (XV/95-96) tahqiq Syu’aib al-Arna-uth.
[12]. Syarah an-Nawawi li Shahiih Muslim (II/197). [13]. Tafsiir Ibni Katsir (V/398).
[14]. Fat-hul Baari (VIII/542).
[15]. Lihat Tahdziibut Tahdziib (XI/337).
[16]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan, bab Bayaan az-Zamanul Ladzi la Yuqbalu fiihil Iimaan (II/195, Syarh an-Nawawi).
[17]. Lihat Taisiir Musthalahil Hadiits (hal. 83).
_______
Footnote
[1]. At-Tadzkirah (hal. 706), dan Tafsiir al-Qurthubi (VII/146).
[2]. Tafsiir Ibni Katsir (III/371).
[3]. Musnad Imam Ahmad (III/133-134, no. 1671) tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.” Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah sanad yang jayyid lagi kuat.” An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/170). Al-Haitsami berkata, “Perawi Ahmad tsiqat.” Majma’uz Zawaa-id (V/251).
[4]. HR. At-Tirmidzi, bab Maa Jaa-a fii Fadhlit Taubah wal Istighfaar (IX/517-518, Tuhfatul Ahwadzi). At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits yang hasan lagi shahih.” Ibnu katsir berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh an-Nasa-i.” Tafsiir Ibni Katsir (III/369).
[5]. Lihat at-Tadzkirah, karya al-Qurthubi (hal. 706), dan Tafsiir al-Alusi (VIII/63).
[6]. Musnad Imam Ahmad (IX/17-18, no. 6160) tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[7]. Tafsiir ath-Thabari (VII/146-147), dan at-Tadzkirah (hal. 706).
[8]. At-Tadzkirah (hal. 705-706).
[9]. Ath-Thabari (VIII/103). Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih, hadits tersebut walaupun mauquf, namun hukumnya adalah hukum marfu’.” Fat-hul Baari (XI/355).
[10]. Tafsiir ath-Thabari (VIII/101). Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya jayyid,” Fat-hul Baari (XI/355).
[11]. Shahiih Muslim, kitab at-Taubah, bab Qabuulut Taubah minadz Dzunuub wa in Takarraratidz Dzunuub wat Taubah (XVII/76, Syarh an-Nawawi).
[12]. Fat-hul Baari (XI/354-355).
[13]. Fat-hul Baari (XI/354).
[14]. Fat-hul Baari (XIII/88), al-Hafizh menyebutkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Hakim. Kami mencarinya di dalam kitab al-Mustadrak, karya al-Hakim, akan tetapi kami tidak mendapatkannya.
Sumber: https://almanhaj.or.id/