Type Here to Get Search Results !

 


TANDA-TANDA KECIL KIAMAT #3


14.BANYAKNYA OKNUM PEMBELA PENGUASA ZHALIM 

Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَكُونُ فِي هَذِهِ اْلأُمَّةِ فِي آخِرِ الزَّمَانِ رِجَالٌ -أَوْ قَالَ: يَخْرُجُ رِجَالٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ فِـي آخِرِ الزَّمَانِ- مَعَهُمْ أَسْيَاطٌ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ الْبَقَرِ يَغْدُونَ فِي سَخَطِ اللهِ وَيَرُوحُونَ فِي غَضَبِهِ. 

“Akan ada pada umat ini di akhir zaman orang-orang -atau beliau bersabda, ‘Akan keluar beberapa orang dari umat ini di akhir zaman-, mereka membawa cambuk-cambuk bagaikan ekor sapi, mereka pergi di pagi hari dengan kemurkaan Allah dan pulang pada sore hari dengan kemarahan-Nya.” [1] 

Pada riwayat ath-Thabrani dalam al-Kabiir:

سَيَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ شُرْطَةٌ يَغْدُوْنَ فِـي غَضَبِ اللهِ، وَيَرُوْحُوْنَ فيِ شَخَطِ اللهِ، فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنْ بِطَانَتِهِمْ. 

“Akan ada di akhir zaman para penegak hukum yang pergi dengan kemurkaan Allah dan kembali dengan kemurkaan Allah, maka hati-hatilah engkau agar tidak menjadi kelompok mereka.” [2] 

Telah datang ancaman dengan Neraka bagi kelompok manusia seperti ini, yaitu mereka yang menganiaya (menyiksa) kaum muslimin tanpa alasan. Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda: 

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّـارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَـرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ

… ‘Ada dua kelompok dari penghuni Neraka yang belum pernah aku lihat; satu kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuk manusia….’” [3] 

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah di antara mukzijat Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam. Sungguh, telah terbukti apa yang dikabarkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun orang-orang yang membawa cambuk adalah pengawal-pengawal penguasa yang berbuat kezhaliman.”[4] 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: 

إِنْ طَالَتْ بِكَ مُدَّةٌ أَوْشَكْتَ أَنْ تَرَى قَوْمًا يَغْدُونَ فِـي سَخَطِ اللهِ وَيَرُوحُونَ فِي لَعْنَتِهِ فِي أَيْدِيهِمْ مِثْلُ أَذْنَابِ الْبَقَرِ. 

“Jika umurmu panjang, niscaya engkau akan melihat satu kaum yang pergi pada pagi hari dengan kemurkaan Allah dan pulang pada sore hari dengan laknat-Nya, di tangan-tangan mereka ada (cambuk) bagaikan ekor sapi.” [5] 

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَكُوْنُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ هُمْ شَرٌّ مِنَ الْمَجُوْسِ. 

"Niscaya akan ada para pemimpin (yang memimpin) kalian, mereka lebih jelek daripada orang Majusi.’” [6]

15. MEREBAKNYA PERZINAAN 

Di antara tanda-tanda (Kiamat) yang telah nampak adalah merebaknya perzinaan dan banyak terjadi di tengah-tengah manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa hal itu termasuk tanda-tanda Kiamat. 

Telah tetap dalam ash-Shahiihain dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ… (فَذَكَرَ مِنْهَا:) وَيَظْهَرَ الزِّنَا

"Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah… (lalu beliau menyebutkan di antaranya:) dan merebaknya perzinaan.’” [1] 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 سَيَأْتِي عَلَـى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ… (فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ، وَفِيْهِ:) وَتَشِيْعُ فِيْهَا الْفَاحِشَةُ. 

“Akan datang kepada manusia beberapa tahun yang penuh dengan tipuan… (lalu beliau melanjutkan haditsnya, di dalamnya disebutkan:) dan menyebarnya perbuatan keji (zina).’”[2] 

Yang lebih dahsyat dari itu adalah menganggap halal perbuatan zina. Telah tetap dalam ash-Shahiih dari Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, bahwasanya dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ. 

“Akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina dan sutera.” [3]

Di akhir zaman setelah tidak ada lagi kaum mukminin, maka yang tersisa adalah seburuk-buruk manusia. Mereka saling melakukan hubungan intim bagaikan keledai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits an-Nawwas Radhiyallahu anhu :

 وَيَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ يَتَهَارَجُونَ فِيهَا تَهَارُجَ الْحُمُرِ، فَعَلَيْهِمْ تَقُومُ السَّاعَةُ. 

“Dan yang tersisa adalah seburuk-buruk manusia, mereka melakukan hubungan intim [4] di dalamnya bagaikan keledai, maka pada merekalah Kiamat akan terjadi.’” [5] Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: 

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لاَ تَفْنَى هَذِهِ اْلأُمَّةُ حَتَّى يَقُوْمَ الرَّجُلُ إِلَى الْمَرْأَةِ، فَيَفْتَرِشُهَا فِي الطَّرِيْقِ، فَيَكُوْنَ خِيَارُهُمْ يَوْمَئِذٍ يَقُوْلُ: لَوْ وَارَيْتَهَا وَرَاءَ هَذَا الْحَائِطِ! 

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak akan hancur umat ini hingga kaum pria mendatangi kaum wanita, lalu dia menggaulinya di jalan. Orang yang paling baik di antara mereka saat itu berkata, ‘Seandainya engkau menutupinya di belakang tembok ini.’” [6] 

Al-Qurthubi [7] rahimahullah berkata dalam al-Mufhim, mengomentari hadits Anas terdahulu, “Di dalam hadits ini ada sebuah tanda dari tanda-tanda kenabian, karena beliau telah mengabarkan berbagai perkara yang akan terjadi, maka perkara itu pun telah terjadi terutama di masa-masa sekarang ini.” [8] Jika hal ini terjadi pada zaman Imam al-Qurthubi, maka sesungguhnya hal itu lebih nampak lagi di zaman kita sekarang ini, karena besarnya dominasi kebodohan dan tersebarnya kerusakan di tengah-tengah manusia. 

16. RIBA MERAJALELA 

Di antara tanda-tanda Kiamat adalah merajalelanya riba, dan penyebarannya di tengah-tengah manusia, juga tidak adanya kepedulian memakan sesuatu yang haram. Dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa-sanya beliau bersabda: 

بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ يَظْهَرُ الرِّبَا. 

“Menjelang hari Kiamat riba akan merajalela.” [1] 

Dijelaskan dalam ash-Shahiih dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ. 

“Akan datang suatu zaman pada manusia, di mana seseorang tidak peduli terhadap harta yang ia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram.” [2] 

Hadits-hadits ini sesuai dengan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini. Anda akan dapati mereka tidak mencukupkan diri dengan yang halal dalam usahanya, bahkan mereka mengumpulkan harta dari yang halal dan yang haram. Sebagian besar hal itu terjadi dengan masuknya riba dalam muamalah di antara manusia. Telah banyak tersebar bank-bank yang melaku-kan transaksi riba dan banyak manusia yang terjerumus ke dalam bencana besar ini. Di antara kefaqihan al-Bukhari rahimahullah bahwa beliau menempatkan hadits Abu Hurairah terdahulu dalam bab firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda….” [Ali ‘Imran: 130] 

Hal itu untuk menjelaskan bahwa memakan riba yang berlipatganda terjadi dengan memperluas (pintu)nya, yaitu ketika manusia tidak peduli lagi dengan berbagai jalan pengumpulan harta dan tidak ada lagi sikap membedakan antara yang halal dan yang haram. 

17. MERAJALELANYA AL-MA’AZIF [1] (ALAT-ALAT MUSIK) DAN MENGHALALKANNYA 

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَكُونُ فِـي آخِرِ الزَّمَانِ خَسْفٌ وَقَذْفٌ وَمَسْخٌ قِيْلَ: وَمَتَى ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْقَيْنَاتُ. 

"Di akhir zaman nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan dirubah rupanya.” Beliau ditanya, “Kapankah hal itu terjadi wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Ketika alat-alat musik dan para penyanyi telah merajalela.” [2] 

Tanda-tanda Kiamat ini telah banyak bermunculan pada zaman-zaman sebelumnya, dan sekarang lebih banyak lagi. Alat-alat musik telah muncul di zaman ini dan menyebar dengan penyebaran yang sangat luas serta banyak para biduan dan biduanita. Merekalah yang diisyaratkan dalam hadits ini dengan ungkapan “الْقَيْنَـاتُ (para penyanyi).” Lebih dahsyat lagi adalah penghalalan alat-alat musik yang dilakukan oleh sebagian manusia. Telah datang ancaman bagi orang yang melakukan hal itu dengan dirubah rupanya, dilempari batu dan ditenggelamkan ke dalam bumi, sebagaimana dijelaskan dalam hadits terdahulu. Telah tetap dalam Shahiih al-Bukhari rahimahullah, beliau berkata, Hisyam bin ‘Ammar berkata, Shadaqah bin Khalid meriwayatkan kepada kami (kemudian beliau membawakan sanad yang sampai kepada Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda): 

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ يَعْنِي -الْفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِيْـنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. 

“Akan datang pada umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina sutra, khamr (minuman keras) dan alat musik, dan sungguh akan menetap beberapa kaum di sisi gunung, di mana (para pengembala) akan datang kepada mereka dengan membawa gembalaannya, datang kepada mereka -yakni si fakir- untuk sebuah keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah menghancurkan mereka pada malam hari, menghancurkan gunung dan merubah sebagian mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat.” [3] 

Ibnu Hazm rahimahullah [4] menyangka bahwa hadits ini Munqathi, tidak bersambung (sanadnya) antara al-Bukhari dan Shadaqah bin Khalid [5]. 

Al-Allamah Ibnul Qayyim membantahnya dan beliau menjelaskan bahwa yang diungkapkan oleh Ibnu Hazm tidak benar dari enam sisi:[6] 

a. Sesungguhnya al-Bukhari telah bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar, dan mendengarkan (riwayat) dari beliau. Jika beliau meriwayatkan secara ‘An’anah, maka hal itu dianggap bersambung berdasarkan kesepakatan, karena sezaman dan mendengar langsung, lalu jika ia berkata, “Hisyam berkata”, maka sama sekali tidak ada bedanya dengan ungkapan “Diriwayatkan dari Hisyam.” 

b. Sesungguhnya orang-orang tsiqah telah meriwayatkan dari Hisyam secara maushul (bersambung). Al-Isma’ili berkata da-lam Shahiihnya, “Al-Hasan mengabarkan kepadaku, Hisyam bin ‘Ammar meriwayatkan kepadaku,” dengan sanad dan matannya. 

c. Sesungguhnya hadits ini telah diriwayatkan dengan jalan yang shahih selain hadits Hisyam. Al-Isma’ili dan ‘Utsman Abi Syaibah meriwayatkan dengan dua sanad lain yang sampai kepada Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu. d. Imam al-Bukhari, jika (dikatakan) beliau tidak pernah bertemu dengan Hisyam atau tidak pernah mendengar darinya, maka yang beliau lakukan memasukkan hadits ini dalam Shahiihnya dan meyakininya, menunjukkan bahwa hadits ini benar-benar dari Hisyam. Adapun beliau tidak menyebutkan pelantara antara dirinya dengan Hisyam bisa karena me-reka sudah dikenal atau banyaknya periwayatan dari mereka maka ri-wayat ini sudah sangat dikenal dari Hisyam. 

e. Sesungguhnya jika al-Bukhari berkata dalam ash-Shahiihnya, “Fulan berkata,” maka maknanya adalah hadits tersebut shahih menurutnya. 

f. Sesungguhnya al-Bukhari mengungkapkan hadits ini sebagai hujjah. Dimasukkan dalam Shahiihnya sebagai landasan pokok dan bukan sebagai penguat. Maka kesimpulannya hadits ini tidak diragukan keshahihannya. Ibnu Shalah rahimahullah [7] berkata, “Tidak perlu melihat pendapat Ibnu Hazm azh-Zhahiri al-Hafizh dalam penolakannya terhadap apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik.” Lalu beliau menyebutkan haditsnya. Kemudian beliau berkata, “Dan hadits ini shahih, ketersambungan sanadnya dikenal dengan syarat periwayatan ash-Shahiih. 

Al-Bukhari rahimahullah terkadang melakukan hal itu karena hadits tersebut dikenal dari segi ketsiqahan orang yang dita’liqnya. Beliau terkadang melakukan hal itu karena hadits tersebut juga diutarakan pada pembahasan lain di kitabnya dengan menyebutkan sanadnya yang bersambung. Beliau pun terkadang melakukan hal itu karena sebab lain yang intinya hadits tersebut tidak mengandung cacat terputusnya sanad, wallaahu a’lam.[8] 

Kami memperpanjang pembahasan hadits ini karena sebagian orang bergantung kepada pendapat Ibnu Hazm, dan berhujjah dengannya untuk membolehkan alat musik. Sementara telah jelas bahwa hadits-hadits yang melarangnya adalah shahih, bahkan umat diancam dengan siksaan ketika alat-alat musik bermunculan dan kemaksiatan dilakukan.

18. BANYAKNYA PEMINUM KHAMR (MINUMAN KERAS) DAN MENGANGGAPNYA HALAL 

Telah merebak di umat ini peminum-peminum khamr, dan menamakannya dengan selain namanya, lebih jelek lagi adalah sebagian manusia ada yang menghalalkannya. Ini adalah salah satu di antara tanda-tanda Kiamat. Imam Muslim rahimahukllah meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ… (وَذَكَرَ مِنْهَا) وَيُشْرَبُ الْخَمْرُ… 

"Di antara tanda-tanda Kiamat adalah… (lalu beliau menyebutkan di antaranya:) Dan diminumnya khamr….’” [1] 

Telah berlalu penyebutan beberapa hadits tentangnya pada pembahasan tentang alat-alat musik. Di dalamnya dijelaskan bahwa akan ada pada umat ini orang yang menghalalkan meminum khamr. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لَيَسْتَحِلَّنَّ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ بِاسْمٍ يُسَمُّونَهَا إِيَّاهُ.

"Sungguh, akan ada sekelompok dari umatku yang menghalalkan khamr, (mereka menamakannya) dengan nama yang mereka tetapkan untuknya.’”[2] Khamr telah diberi nama dengan nama yang bermacam-macam, bahkan ada yang menamakannya dengan minuman penyegar jiwa dan yang serupa dengannya. Juga hadits-hadits lain yang menjelaskan bahwa meminum khamr akan menyebar luas pada umat ini, dan sungguh, di antara mereka ada yang meng-halalkannya dan merubah dengan nama yang bermacam-macam. 

Ibnul ‘Arabi rahimahullah menafsirkan ungkapan “menganggapnya halal” dengan dua penafsiran: 

  • Pertama: Meyakini bahwa meminum khamr halal hukumnya. 
  • Kedua: Maknanya adalah terbiasa meminumnya sebagaimana mereka biasa meminum yang halal. Beliau (Ibnu Shalah) menuturkan bahwa beliau mendengar dan melihat orang yang melakukan hal itu.[3] Hal tersebut lebih banyak lagi di zaman kita saat ini. Dan sungguh sebagian orang telah terfitnah dengan meminumnya. Dan yang lebih dahsyat lagi adalah menjual dan meminumnya secara terang-terangan, di sebagian negeri Islam, juga penyebaran narkoba dengan sangat pesat yang belum ada bandingan pada zaman sebelumnya. Semua ini harus diwaspadai (diperingatkan) karena menimbulkan bahaya dan kerusakan yang besar. Hanya milik Allah segala urusan sebelum dan sesudahnya.

19. BERLOMBA-LOMBA MENGHIASI MASJID DAN BERBANGGA-BANGGA DENGANNYA. 

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ. 

“Tidak akan tiba Kiamat hingga manusia saling berbangga-bangga dengan masjidnya.” [1] 

Dalam riwayat an-Nasa-i juga Ibnu Majah dari beliau (Anas) Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ. 

“Di antara tanda-tanda Kiamat adalah manusia saling berbangga-bangga dengan masjid.” [2] 

Al-Bukhari berkata, Anas berkata, ‘Berbangga-bangga dengannya kemudian tidak memakmurkannya (mengisinya dengan berbagai macam ibadah-ed.) kecuali sedikit saja, maka makna dari berbangga-bangga dengannya adalah hanya memperhatikan hiasannya saja. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Sungguh kalian akan menghiasinya sebagaimana dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani (menghias tempat ibadah mereka).’” [3] 

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah melarang menghiasi masjid karena hal itu bisa menghilangkan konsentrasi (kekhusu’an) bagi orang yang sedang melakukan shalat. Beliau berkata ketika memerintahkan untuk memperbaharui pembangunan Masjid Nabawi: 

أَكِنَّ النَّاسَ مِنَ الْمَطَرِ، وَإِيَّاكَ أَنْ تُحَمِّرَ أَوْ تُصَفِّرَ فَتَفْتِنَ النَّاسَ. 

"Tutupilah orang-orang dari air hujan, dan janganlah kalian menghiasinya dengan warna merah atau warna kuning, sehingga orang-orang terganggu dengannya.” [4] 

Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepada ‘Umar; karena terbukti orang-orang tidak memegang wasiatnya, mereka bukan saja memberikan warna merah dan warna kuning, akan tetapi mereka menghiasinya sebagaimana mereka menghiasai pakaian. Para raja juga khalifah berbangga-bangga membangun masjid dan menghiasinya hingga mereka melakukan sesuatu yang sangat mencengangkan. Masjid-masjid itu tetap tegak sampai saat ini, sebagaimana terdapat di Syam, Mesir, negeri-negeri Maghrib (Maroko), Andalusia dan yang lainnya, dan hingga saat ini kaum muslimin senantiasa berbangga-bangga dalam menghiasi masjid. Tidak diragukan lagi bahwa menghiasi masjid merupakan ciri sikap boros. Sedangkan meramaikannya hanyalah dengan melakukan ketaatan dan dzikir kepada Allah di dalamnya. Cukuplah bagi manusia membuat sesuatu yang dapat melindunginya dari panas, dingin, dan hujan. Telah datang ancaman dengan kehancuran ketika masjid dihiasi dan al-Qur-an diperindah (dengan berbagai corak). Al-Hakim dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abud Darda Radhiyallahu anhu, dia berkata:

إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ، وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ، فَالدِّمَارُ عَلَيْكُمْ

“Jika kalian menghiasi masjid-masjid dan mushhaf kalian, maka kehancuranlah yang akan menimpa kalian.” [5] 

Al-Munawi rahimahullah [6] berkata, “Menghiasi masjid dan mushhaf adalah sesuatu yang dilarang, karena hal itu bisa menyibukkan hati, dan menghilangkan kekhusyu’an dari bertadabbur dan hadirnya hati dengan mengingat Allah Ta’ala. Madzhab asy-Syafi’i berpendapat bahwa menghiasi masjid -walaupun Ka’bah- dengan emas atau perak diharamkan secara mutlak, adapun dengan selain keduanya hukumnya adalah makruh.” [7] 

20. BERLOMBA-LOMBA MENINGGIKAN BANGUNAN 

Ini adalah salah satu tanda Kiamat yang muncul dekat dengan masa kenabian. Setelah itu menyebar sehingga manusia berbangga-bangga membuat bangunan tinggi dan menghiasi rumah. Hal itu disebabkan karena dunia dibentangkan kepada kaum muslimin dan melimpahnya harta digenggaman mereka setelah banyaknya penaklukan. Demikianlah keadaannya dalam waktu yang lama hingga banyak dari mereka yang tunduk pada dunia, dan penyakit umat sebelum mereka menjalari mereka, yaitu berlomba-lomba mengumpulkan harta dan menggunakannya pada tempat yang tidak layak menurut pandangan agama, hingga orang-orang badui dan yang semisalnya dari kalangan orang-orang fakir dilapangkan untuk memperoleh dunia seperti yang lainnya. Mereka mulai mendirikan bangunan bertingkat dan berlomba-lomba di dalamnya. Semua hal ini telah terjadi, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril Alaihissallam ketika ia bertanya tentang waktu terjadinya Kiamat: 

وَلَكِنْ سَأُحَدِّثُكَ عَنْ أَشْـرَاطِهَا… (فَذَكَرَ مِنْهَا:) وَإِذَا تَطَاوَلَ رِعَاءُ الْبَهْمِ فِي الْبُنْيَانِ فَذَاكَ مِنْ أَشْرَاطِهَا. 

“Akan tetapi aku akan menyebutkan kepadamu tanda-tandanya… (lalu beliau menyebutkan, di antaranya:) jika para pengembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan, maka itulah di antara tanda-tandanya.” [1] Sementara dalam riwayat Muslim diungkapkan: 

وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ. 

"Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang lagi miskin yang mengembala domba, berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” [2] 

Dan dijelaskan dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata: 

يَا رَسُـولَ اللهِ، وَمَنْ أَصْحَابُ الشَّاءِ وَالْحُفَاةُ الْجِيَـاعُ الْعَالَةُ قَالَ: اَلْعَرَبُ. 

“Wahai Rasulullah, dan siapakah para pengembala, orang yang tidak memakai sandal, dalam keadaan lapar dan yang miskin itu?” Beliau menjawab, “Orang Arab.” [3] 

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ… حَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ.

 “Tidak akan datang hari Kiamat… hingga manusia berlomba-lomba meninggikan bangunan.” [4] 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Makna berlomba-lomba meninggikan bangunan adalah setiap orang yang membangun rumah ingin jika rumahnya itu lebih tinggi daripada yang lainnya. Mungkin pula maknanya adalah berbangga-bangga dengan memperhias dan memperindahnya, atau makna yang lebih umum dari itu. Hal itu telah banyak ditemukan bahkan bertambah banyak.”[5] 

Hal ini telah nampak dengan jelas di masa sekarang ini. Orang-orang banyak berlomba mendirikan bangunan, merasa bangga dengan ketinggian, luas, dan keindahannya, bahkan masalah ini sampai pada pembangunan gedung pencakar langit yang terkenal di Amerika dan negeri-negeri lainnya. [Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] 

21. BUDAK WANITA MELAHIRKAN TUANNYA (RABBATAHA) [1] 

Dijelaskan dalam hadits Jibril Alaihissallam yang panjang, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ رَبَّتَهَا. 

“Aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya; jika seorang (sahaya) wanita melahirkan tuannya.” [2] [Muttafaq ‘alaih] Sementara dalam riwayat Muslim: 

إِذَا وَلَدَتِ اْلأَمَةُ رَبَّهَا. 

“Jika seorang sahaya wanita melahirkan tuannya.” Para ulama berbeda pendapat tentang makna tanda Kiamat ini dengan berbagai pendapat. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menuturkan empat pendapat di antaranya: 

  • Pertama: Al-Khaththabi berkata, “Maknanya adalah meluasnya kekuasaan Islam dan para pemeluknya dapat menguasai negeri-negeri syirik, dan banyaknya tawanan. Jika seorang laki-laki telah memiliki seorang budak wanita dan mendapatkan seorang anak darinya, maka anak itu bagaikan tuan bagi ibunya sendiri, karena ia adalah anak tuannya.”[3] 

An-Nawawi rahimahullah mengungkapkan bahwa ini adalah pendapat mayoritas ulama. [4] 

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Akan tetapi jika dikatakan bahwa itulah maknanya, maka perlu dipertimbangkan kembali [5], karena pengambilan para budak wanita telah ada sejak hadits tersebut diungkapkan. Bahkan, penaklukan negeri-negeri syirik dan penawanan telah banyak terjadi di awal Islam. Redaksi hadits memberikan isyarat akan terjadinya sesuatu menjelang Kiamat yang sebelumnya belum pernah terjadi.” [6] 

  • Kedua: Para tuan menjual ibu anak-anak mereka. Hal itu banyak terjadi, sehingga kepemilikan wanita tersebut berputar yang pada akhirnya dibeli oleh anak-anaknya sendiri, sementara dia tidak menyadarinya. 
  • Ketiga: Seorang budak wanita melahirkan anak merdeka bukan dari tuannya dengan jima’ syubhat, atau melahirkan seorang budak belian dengan nikah, atau hasil zina. Kemudian budak belian dalam dua gambaran tersebut dijual dengan akad yang sah, ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya hingga dibeli oleh putera dan puterinya sendiri. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat sebelumnya. 

Lalai Melaksanakan Ibadah Sunnah. Banyaknya Kedustaan 

  • Keempat: Banyaknya perbuatan durhaka dari anak-anak. Sehingga, seorang anak memperlakukan ibunya seperti seorang tuan memperlakukan budak beliannya, dengan mencela, memukul dan memperkerjakannya. Maka dia disebut sebagai tuannya dengan makna yang tidak sebenarnya, atau yang dimaksud dengan kata rabb di sini adalah orang yang mengatur secara hakiki. Kemudian Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lebih kuat menurutku, karena maknanya yang umum dan karena keadaan menunjukkan sesuatu yang dianggap langka -di sisi lain menunjukkan rusaknya keadaan- dan mengandung isyarat sesungguhnya hari Kiamat sudah dekat ketika segala urusan terjadi dengan terbalik, di mana seorang pengatur menjadi yang diatur, orang yang di bawah menjadi di atas, dan hal ini sesuai dengan sabda beliau tentang tanda yang lainnya bahwa seseorang yang berjalan tanpa alas kaki menjadi raja-raja di bumi.” [7] 
  • Kelima: Pendapat kelima ini adalah pendapat al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya budak-budak wanita akan didapatkan di akhir zaman. Merekalah yang diisyaratkan dengan ungkapan hisymah (kerabat), di mana saat itu, budak wanita lebih diminati oleh majikannya daripada isteri-isterinya yang bukan budak. Karena itulah ungkapan tersebut disertakan dengan ungkapan: 

وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ. 

"Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang, juga miskin berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” [8]

22. BANYAKNYA PEMBUNUHAN

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْهَرْجُ، قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْقَتْلُ، الْقَتْلُ. 

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga banyak al-harj,” mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah al-harj itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan, pembunuhan.” [HR. Muslim][1] 

Sementara dalam riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallah anhu: 

بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ أَيَّامُ الْهَرْجِ، يَزُولُ فِيهَا الْعِلْمُ، وَيَظْهَرُ فِيهَا الْجَهْلُ، قَالَ أَبُو مُوسَى: وَالْهَرْجُ: الْقَتْلُ، بِلِسَانِ الْحَبَشَةِ. 

“Menjelang datangnya hari Kiamat akan ada hari-hari al-harj, saat itu ilmu hilang dan muncul kebodohan.” Abu Musa berkata, “Al-harj adalah pembunuhan menurut bahasa Habasyah.” [2] 

Diriwayatkan dari Abu Musa Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: 

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ الْهَرْجَ. قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ؟ قَالَ الْقَتْلُ. قَالُوا أَكْثَرُ مِمَّا نَقْتُلُ، إِنَّا لَنَقْتُلُ الْعَامِ الْوَاحِدِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ أَلْفًا. قَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِقَتْلِكُمُ الْمُشْـرِكِينَ، وَلَكِنْ قَتْلُ بَعْضِكُمْ بَعْضًا. قَالُوا: وَمَعَنَا عُقُولُنَا يَوْمَئِذٍ. قَالَ: إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ، وَيُخَلَّفُ لَهُ هَبَاءٌ مِنَ النَّاسِ، يَحْسِبُ أَكْثَرُهُمْ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ وَلَيْسُوا عَلَى شَيْءٍ. 

“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat akan ada al-harj.” Para Sahabat bertanya, “Apakah al-harj itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan.” Mereka berkata, “Lebih banyak daripada pembunuhan yang kita lakukan, sesungguhnya kita membunuh lebih dari tujuh ribu dalam satu tahun.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah pembunuhan yang kalian lakukan terhadap kaum musyrikin, akan tetapi pembunuhan sebagian dari kalian dengan yang lainnya.” Mereka berkata, “Bukankah kami memiliki akal saat itu,” beliau menjawab, “Sesungguhnya akan dicabut akal-akal penduduk zaman itu dan digantikan dengan manusia-manusia yang tidak berarti. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa mereka berada di atas kebenaran, padahal mereka tidak berada di atas kebenaran.” [3] 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّـى يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ يَوْمٌ لاَ يَدْرِي الْقَاتِلُ فِيمَ قَتَلَ؟ وَلاَ الْمَقْتُولُ فِيمَ قُتِلَ فَقِيلَ: كَيْفَ يَكُونُ ذَلِكَ؟ قَالَ: الْهَرْجُ، الْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ. 

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah dunia lenyap hingga datang kepada manusia suatu hari di mana seorang pembunuh tidak tahu kenapa dia membunuh, demikian pula orang yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh,’ beliau ditanya, ‘Bagaimana hal itu (bisa terjadi)?’ Beliau menjawab, ‘Banyaknya pembunuhan, orang yang membunuh dan terbunuh berada di dalam Neraka.’” [4] 

Telah terjadi peperangan antara kaum muslimin pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu. Kemudian peperangan menjadi sering terjadi di berbagai tempat sementara tidak terjadi di tempat lainnya, juga pada sebagian zaman sementara tidak terjadi pada yang lainnya, dan tanpa diketahui sebab-sebab terjadinya dari sebagian besar peperangan itu. Bahkan apa yang terjadi pada kurun-kurun terakhir berupa peperangan yang sangat dahsyat di antara umat manusia, yang memakan korban ribuan jiwa, tersebarnya fitnah di tengah-tengah manusia dengan sebab banyaknya pembunuhan. Hingga seseorang membunuh yang lainnya sementara dia tidak tahu faktor apa yang mendorongnya untuk membunuh. Demikian pula, tersebarnya senjata-senjata penghancur masal memiliki peran penting terjadinya banyak pembunuhan. Sehingga manusia menjadi barang yang tidak berharga, dia disembelih sebagaimana kambing disembelih. Semua itu disebabkan oleh kelemahan dan hilangnya akal. Maka ketika fitnah itu terjadi, seseorang membunuh sementara yang dibunuh tidak tahu kenapa dia dibunuh dan atas dasar apa ia dibunuh? Bahkan kita menyaksikan sebagian manusia membunuh orang lain hanya karena sebab-sebab yang sepele. Hal itu terjadi ketika kegalauan menimpa manusia, demikianlah sesuai dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 

إِنَّهُ لَتُنْزَعُ عُقُولُ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ. 

“Sesungguhnya akan dicabut akal-akal penduduk zaman itu”. Hanya kepada Allah kita memohon keselamatan dan berlindung kepada-Nya dari segala fitnah yang nampak dan tersembunyi. Telah dijelaskan (dalam sebuah riwayat) bahwa umat ini adalah umat yang dirahmati, ia tidak akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan siksanya di dunia berupa fitnah-fitnah, gempa, dan pembunuhan. Dijelaskan dalam hadits, dari Shadaqah bin al-Mutsanna, Rabah bin al-Harits meriwayatkan kepada kami, dari Abu Burdah, beliau berkata: 

بَيْنَا أَنَا وَاقِفٌ فِي السُّوْقِ فِي إِمَارَةِ زِيَادٍ إِذْ ضَرَبْتُ بِإِحْدَى يَدَيَّ عَلَى الأُخْرَى تَعَجُّبًا، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَدْ كَانَتْ لِوَالِدِهِ صُحْبَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِمَّا تَعْجَبُ يَا أَبَا بُرْدَةَ؟ قُلْتُ: أَعْجَبُ مِنْ قَوْمٍ دِيْنُهُمْ وَاحِدٌ، وَدَعْوَتُهُمْ وَاحِدَةٌ، وَحَجُّهُمْ وَاحِدٌ، وَغَزْوُهُمْ وَاحِدٌ، يَسْتَحِلُّ بَعْضُهُمْ قَتْلَ بَعْضٍ. قَالَ: فَلاَ تَعْجَبْ ! فَإِنِّي سَمِعْتُ وَالِدِيْ أَخْبَرَنِيْ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ مَرْحُوْمَةٌ، لَيْسَ عَلَيْهَا فيِ اْلآخِرَةِ حِسَابٌ وَلاَ عَذَابٌ، إِنَّمَا عَذَابُهَا فيِ الْقَتْلِ وَالزَّلاَزِلِ وَالْفِتَنِ. 

“Ketika aku sedang berdiri di sebuah pasar pada masa pemerintahan Ziyad, tiba-tiba aku memukul salah satu tanganku ke tangan yang lainnya karena merasa aneh. Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar di mana bapaknya adalah seorang Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata, ‘Apakah yang menjadikanmu merasa aneh wahai Abu Burdah?’ ‘Aku merasa aneh terhadap satu kaum di mana agama mereka adalah satu, dakwah mereka satu, haji mereka satu, dan peperangan mereka satu, akan tetapi sebagian mereka menganggap halal pembunuhan sebagian lainnya,’ jawabku. Dia berkata, ‘Jangan kau merasa aneh! Karena sesungguhnya aku mendengar bapakku mengabarkan kepadaku bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya umatku adalah umat yang disayangi, tidak ada hisab juga siksa baginya di akhirat, siksa hanyalah berupa pembunuhan, gempa bumi dan berbagai macam fitnah.’” [5] Sementara dalam riwayat dari Abu Musa Radhiyallahu anhu: 

إِنَّ أُمَّتِي أُمَّةٌ مَرْحُومَةٌ، لَيْسَ عَلَيْهَا فِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ إِنَّمَا عَذَابُهُمْ فِي الدُّنْيَا: الْقَتْلُ وَالْبَلاَبِلُ وَالزَّلاَزِلُ. 

“Sesungguhnya umatku adalah umat yang dirahmati, tidak ada siksa baginya di akhirat, siksa mereka hanya di dunia berupa pembunuhan, kegalauan dan gempa bumi.” [6] 

Penulis: Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil 

BACA SERIAL TANDA-TANDA KECIL KIAMAT:

  1. Tanda kecil Kiamat Bagian Pertama
  2. Tanda kecil Kiamat Bagian Kedua
  3. Tanda kecil Kiamat Bagian Ketiga
  4. Tanda kecil Kiamat Bagian Keempat
  5. Tanda kecil Kiamat Bagian Kelima
  6. Tanda kecil Kiamat Bagian Keenam
  7. Tanda kecil Kiamat Bagian Ketujuh
  8. Tanda kecil Kiamat Bagian Kedelapan

BACA SERIAL TANDA-TANDA BESAR KIAMAT:

  1. Tanda Besar Kiamat Al-Mahdi
  2. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Dajjal
  3. Tanda Besar Kiamat Turunnya nabi 'Isa 'Alaihissalam
  4. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Ya'juj wa Ma'juj
  5. Tanda Besar Kiamat Penenggelaman kedalam bumi
  6. Tanda Besar Kiamat Munculnya Asap
  7. Tanda Besar Kiamat Terbitnya Matahari dari barat
  8. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Dabbah dari perut bumi
  9. Tanda Besar Kiamat Adanya Api dari Yaman yang mengumpulkan manusia

_______ 

Footnote 

[1]. Musnad Imam Ahmad (V/250, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz), hadits ini shahih sebagai-mana terdapat dalam hadits setelahnya. 

[2]. Ithaaful Jamaa’ah (I/507-508). Hadits ini shahih, lihat Shahiihul Jaami’ (III/317, no. 3560). 

[3]. Shahiih Muslim, bab Jahannam A’aadzaanallaah minhaa (XVII/190, Syarh an-Nawawi). 

[4]. Syarh an-Nawawi (XVII/190). 

[5]. Shahiih Muslim, bab Jahannam A’aadzaanallaah minhaa (XVII/190, Syarh an-Nawawi). 

[6]. HR. Ath-Thabrani dalam ash-Shaghiir dan al-Ausath, perawinya adalah perawi Shahiih selain Muammad bin Hisyam, dia adalah tsiqah (Majma’uz Zawaa-id (V/235)). 

_______ 

Footnote 

[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa Zhuhuurul Jahli (I/178, al-Fat-h), Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdihi wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi Akhiiriz Zamaan (XVI/221, Syarh an-Nawawi).

 [2]. Mustadrak al-Haakim (IV/512), beliau berkata, “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat Shahiihul Jaami’ (III/212, no. 3544), dan di dalamnya tidak diungkapkan: وَتَشِيْعُ الْفَاحِشَةُ. “Dan menyebarnya perbuatan keji (zina).” 

[3]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Asyrubah, bab Ma Jaa-a’ Fiiman Yastahillul Khumur wa Yusammiihi bighairi Ismihi (X/51, al-Fat-h). 

[4]. (يَتَهَاجَرُونَ) asal katanya adalah اَلْهَرْجُ maknanya adalah banyak dan semakin luas, dan yang dimaksud dalam ungkapan ini adalah jima’ dan banyak menikah. Jadi, maknanya adalah kaum pria melakukan hubungan intim dengan kaum wanita di hadapan banyak orang sebagaimana dilakukan oleh keledai. Lihat kitab an-Nihaayah fi Ghariibil Hadiits (V/257), dan Syarh an-Nawawi untuk Shahiih Muslim (XVIII/70). 

[5]. Shahiih Muslim kitab al-Fitan wa Asyraatus Sa’aah bab Dzikrud Dajjal (XVIII/ 70, Syarh an-Nawawi). 

[6]. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la. Al-Haitsami berkata, “Dan perawinya adalah perawi ash-Shahiih.” Lihat Maj’mauz Zawaa-id (VII/331). 

[7]. Beliau adalah Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Umar bin Ibrahim bin ‘Umar al-Anshari al-Qurthubi, salah seorang ulama fiqih madzhab Maliki, dan termasuk perawi hadits. Beliau adalah seorang syaikh di Cordova dan ulama tafsir, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, penulis kitab at-Tadzkirah fii Ahwaalil Mautaa’ wa Umuuril Aakhirah, Abul ‘Abbas yang ini terkenal dengan Ibnu Mazin. Di antara kitabnya adalah al-Mufhim lima Asykala min Talkhiisil Muslim dan Mukhtashar Shahiih al-Bukhari, meninggal di Iskandaria pada tahun 656 H t. Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/213), al-A’laam (I/186), karya az-Zarkali. 

[8]. Fat-hul Baari (I/179). 

_______ 

Footnote 

[1]. HR. Ath-Thabrani, sebagaimana terdapat dalam at-Targhiib wat Tarhiib, karya al-Mundziri (III/9), dan beliau berkata, “Para perawinya adalah perawi ash-Shahiih.” 

[2]. Shahiih al-Bukhari kitab al-Buyuu’, bab Qaulullaahi Ta’ala: Ya Ayyuhalladziina Aamanuu laa Ta-kulur Ribaa’ (IV/313, al-Fat-h), dan Sunan an-Nasa-i’ (VII/243), kitab al-Buyuu’, bab Ijtinaabusy Syahawaat fil Kasb

Sumber Pertama

_______ 

Footnote 

[1]. Al-Ma’aazif adalah alat-alat yang melalaikan seperti kecapi, rebab, gendang, dan setiap alat per-mainan yang dibunyikan. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (III/230 

[2]. HR. Ibnu Majah dalam Sunannya sebagian dari awalnya (II/1350) tahqiq Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi. 

[3]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Asyrubah, bab Ma Jaa-a fiiman Yastahillul Khamra wa Yusammihi bighairi Ismihi (X/51, al-Fat-h). 

[4]. Beliau adalah al-‘Allamah al-Hafizh Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi al-Qurthubi, salah seorang imam madzhab az-Zhahiri. Beliau adalah orang yang banyak mentakwil dalam masalah ushul, ayat-ayat sifat dan hadits-haditsnya. Beliau banyak mengarang kitab tentang madzhab-madzhab ulama, aliran-aliran dalam agama, fiqih, ushul fiqh, biografi para ulama, dan sejarah. Wafat pada tahun 456 H rahimahullah. Lihat biografinya dalam al-Bidaayah wan Nihaayah (XII/91-92), karya Ibnu Katsir, dan Syadzaraatudz Dzahab fi Akhbaari man Dzahab (III/229-300).

[5]. Lihat kitab al-Muhallaa, karya Ibnu Hazm (IX/59) tahqiq Ahmad Syakir, terbitan al-Maktabah at-Tijaari lith Thiba’ah wan Nasyr, Beirut. 

[6]. Lihat Tahdziibus Sunan (V/270-272). 

[7]. Dia adalah al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu ‘Amr ‘Utsman bin ‘Abdirrah-man asy-Syahruzuri, yang tekenal dengan sebutan Ibnu Shalah, ia adalah ahli ibadah, ahli zuhud, orang yang sangat wara’ berjalan di atas jalan Salafush Shalih, beliau memiliki banyak karya tulis dalam masalah hadits dan fiqih, melaksanakan tugas mengajar di Darul Hadits Damaskus, dan wafat pada tahun 634 H rahimahullah. Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/168), Syadzaraatudz Dzahab (V/221-222). 

[8]. Muqaddimah Ibni Shalah fi ‘Uluumil Hadiits (hal. 32), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1398 H, dan lihat Fat-hul Baari (X/52). 

_______ 

Footnote 

[1]. Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi, bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi Aakhiriz Zamaan (XVI/221, Syarh an-Nawawi). 

[2]. Musnad Ahmad (V/318, dengan catatan pinggir Kanzul ‘Ummal), dan Sunan Ibni Majah (II/1123). Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h (X/51), “Sanadnya jayyid.” Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (V/13-14, no. 4945). 

[3]. Lihat Fat-hul Baari (X/15). 

_______ 

Footnote 

[1]. Musnad Ahmad (III/134, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz). Syaikh al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat Shahiihul Jaami (VI/174, no. 7294). 

[2]. Sunan an-Nasa-i (II/32, Syarh as-Suyuthi). Syaikh al-Albani berkata, “Shahih,” lihat Shahiihul Jaami’ (V/213, no. 5771). Dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/281, no. 1322-1323) tahqiq Dr. Muhammad Mushthafa al-A’zhami, beliau berkata, “Isnadnya shahih.” 

[3]. Shahiih al-Bukhari, kitab ash-Shalaah, bab Bun-yaanul Masjid (I/539, al-Fat-h). 

[4]. Lihat Shahiih al-Bukhari (I/539, al-Fath). 

[5]. Shahiih al-Jaami’ish Shagiir (I/220, no. 599), dan Syaikh al-Albani berkata, “Sanadnya hasan.” Diungkapkan dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (III/337, no. 1351). Hadits tersebut di-riwayatkan oleh al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam al-Akyaas wal Mughtarriin (hal. 78, Manuskrip azh-Zhahiriyah) dari Abud Darda secara marfu’. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dengan perubahan susunan yang awal ada di akhir dan yang akhir ada di awal dalam az-Zuhd (hal. 275, no. 797) tahqiq Habiburrahman al-A’zhami. Al-Albani menyebutkan sanad Ibnul Mubarak dalam as-Silsilah, dan beliau berkata, “Perawi sanad ini tsiqah, perawi Muslim. Akan tetapi saya tidak mengetahui apakah Bakar bin Sawadah (riwayat dari Abud Darda) mendengar dari Abud Darda atau tidak?” Al-Baghawi menuturkannya dalam Syarhus Sunnah (II/350) dan menisbatkannya kepada Abud Darda. As-Suyuthi menyambungkannya dalam al-Jaami’ush Shaghiir (hal. 27) kepada al-Hakim dari Abud Darda, dan memberikan lambang dengan ضَعِيْفُ (lemah), demikian pula al-Munawi melemahkannya dalam Faidhul Qadiir (I/367, no. 658). 

[6]. Beliau adalah Zainuddin Muhammad bin ‘Abdurrauf bin Tajul ‘Arifin bin ‘Ali bin Zainal ‘Abidin al-Haddadi al-Manawi. Beliau memiliki delapan puluh karya tulis, sebagian besar dalam masalah hadits, biografi dan sejarah, wafat di Kairo tahun 1031 H t. Lihat al-A’laam (VI/204). [7]. Faidhul Qadiir (I/367).

Sumber Kedua

_______

Footnote 

[1]. Di dalam satu riwayat (dengan kata) rabbuha. Ibnul Atsir berkata, “Ar-Rabb dalam bahasa Arab secara mutlak maknanya adalah raja, tuan, pengatur, pembimbing, penegak, dan pemberi nikmat, tidak diungkapkan secara mutlak kecuali untuk makna yang dihubungkan kepada Allah. Adapun jika dimaksudkan kepada selain Allah, maka harus dihubungkan (kepadanya), seperti رَبُّ كَذَا (pemilik ini), an-Nihaayah (II/179). 

[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalu Jibriil (I/114, al-Fat-h), Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/158, Syarh an-Nawawi). 

[3]. Ma’aalimus Sunan ‘ala Mukhtashar Sunan Abi Dawud (VII/67), nash ini terdapat dalam Fat-hul Baari (I/122). 

[4]. Syarh an-Nawawi li Shahiih Muslim (I/158). 

[5]. Al-Hafizh Ibnu Katsir pun menganggap bahwa pendapat ini tidak tepat. Lihat kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/177-178). 

[6]. Fat-hul Baari (I/122). 

[7]. Fat-hul Baari (I/122-123) dengan diringkas. [8]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/177) tahqiq Dr. Thaha Zaini.

_______ 

Footnote 

[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil an-Nabiyya J ‘anil Iimaan wal Islaam, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/161-164). 

[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Bayaanul Iimaan wal Islaam wal Ihsaan (I/158, Syarh an-Nawawi). 

[3]. Musnad Ahmad (IV/332-334, no. 2926), Syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.” Al-Haitsami berkata, “Ahmad dan al-Bazzar meriwayatkan dengan yang semisalnya… dan di dalam sanad Ahmad ada Syahr bin Hausyab.” (Majma’uz Zawaa-id I/38-39). Al-Albani berkata, “Sanad ini tidak mengapa.” Lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah.” (III/ 332, no. 1345). 

[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab (tanpa bab) (XIII/81-82, al-Fat-h). 

[5]. Fat-hul Baari (X I21. 

_______ 

Footnote 

[1]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/13, Syarh an-Nawawi). 

[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Zhuhuurul Fitan (XIII/14, al-Fat-h). 

[3]. Musnad Imam Ahmad (IV/414, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal), Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan, bab at-Tatsabbut fil Fitnah (II/1309, no. 3909), dan Syarhus Sunnah, bab Asyraatus Saa’ah (XV/28-29, no. 4234). Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (II/193, no. 2043). 

[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/35, Syarh an-Nawawi). 

[5]. Mustadrak al-Hakim (IV/253-254), beliau berkata, “Sanadnya shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini shahih, lihat kitab Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (II/684-686). 

[6]. Musnad Ahmad (IV/410, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal). Hadits ini shahih, lihat Shahiih al-Jaami’sh Shaghiir (II/104, no. 1734), dan Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (II/684, no. 959).

Sumber: https://almanhaj.or.id/

Tags