Berbuka Puasa
Berbicara tentang fikih terkait buka puasa, maka dalam hal ini ada beberapa pembahasan di antaranya:
1. Menyegerakan berbuka puasa
Anjuran untuk segera berbuka puasa adalah untuk menyelisihi para ahli kitab dan juga Rafidhah([1]). Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”([2])
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah t, dari Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُودَ، وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
Agama ini akan terus tampak selama manusia menyegerakan berbuka puasa, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya. ([3])
Kita bersyukur bahwasanya masyarakat kita menerapkan sunnah ini. Kita mengenal di Indonesia ketika hendak berbuka puasa di bulan Ramadan, banyak dari masyarakat kita yang berburu ta’jil, yang mana maksud dari kebiasaan tersebut adalah menyegerakan berbuka.
Dalam sebuah hadits dikisahkan, suatu hari Nabi Muhammad ﷺ sedang bersama para sahabat di sore hari ketika berpuasa. Kemudian, matahari pun terbenam, maka Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan kepada salah seorang sahabat untuk menyiapkan hidangan berbuka. Ketika itu, langit masih terlihat kemerahan dan agak terang. Maka sebagian para sahabat menyarankan agar berbuka puasa ditunda karena langit masih terang. Nabi Muhammad ﷺ ternyata tetap memerintahkan mereka untuk menyiapkan hidangan dan berbuka. Maka setelah Nabi Muhammad ﷺ berbuka, beliau berkata,
إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Apabila kalian telah melihat malam sudah datang dari arah sana maka orang yang puasa sudah boleh berbuka (sambil beliau memberi isyarat dengan jarinya ke arah timur).”([4])
Ini menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad ﷺ bersegera dalam urusan berbuka puasa. ([5])
2. Waktu berbuka puasa
Kapan waktu berbuka puasa? Tentu jawabannya adalah ketika bulatan matahari sudah tenggelam seluruhnya. Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam hal ini, yaitu:
Harus dalam kondisi yakin bahwa matahari sudah tenggelam. Ada banyak hal yang bisa membuat kita yakin waktu magrib telah masuk, bisa dengan melihat jam yang memang sudah disepakati jadwal berbuka puasa setiap harinya, atau bahkan dengan melihat matahari tenggelam secara langsung. Apabila seseorang masih ragu apakah matahari sudah tenggelam atau belum, dan ia pun ragu dengan waktu magrib yang ada, maka hendaknya ia tidak berbuka.
Kita memiliki kaidah bahwasanya keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan. Asalnya, seseorang yang berpuasa masih dalam kondisi siang, sehingga tidak berbuka kecuali yakin dengan persangkaan yang kuat bahwa waktu malam (magrib) telah tiba.
Namun, apabila seseorang yakin bahwa matahari telah terbenam, misalnya mungkin waktu itu sedang mendung, lalu kemudian ia berbuka, kemudian beberapa saat angin menyingkap langit dan terlihat matahari masih ada, maka tidak perlu ia mengqada puasanya. Hal ini pernah terjadi oleh para sahabat di zaman Nabi Muhammad ﷺ.
Penulis menasihatkan ini agar seseorang tidak bermudah-mudahan dalam hal ini, tetapi hendaknya seseorang yakin dengan sebab-sebab yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya dengan persangkaan belaka.
Waktu berbuka disesuaikan dengan lokasi seseorang yang berpuasa. Contoh, apabila seseorang berada di pesawat atau berada di lantai atas dari gedung yang paling tinggi, maka jadwal berbukanya jadi lebih lambat daripada orang yang berada di darat atau yang berada di lantai satu. Kenapa? Karena semakin tinggi letak seseorang maka matahari akan semakin terlihat.
Sebaliknya, apabila seseorang telah berbuka puasa di darat, kemudian ia naik pesawat ke arah barat dan ternyata melihat matahari kembali, maka tidak perlu ia berpuasa, karena matahari sudah tenggelam saat dia sedang berbuka.
Memperhatikan waktu ketika bersafar. Orang yang bersafar dari barat ke timur, maka waktu berbuka baginya akan semakin cepat dari tempat asalnya. Adapun bagi yang bersafar dari timur ke barat maka waktu berbuka baginya lebih lambat.
Contoh: Seperti orang yang berangkat umrah dari Indonesia ke Arab Saudi. Perbedaan waktu antara Jakarta dan Arab Saudi adalah 4 jam. Maka, seseorang yang sahur di Jakarta bisa jadi sampai di Arab Saudi masih siang atau sore. Akhirnya, seseorang harus menambah waktu puasanya hingga tiba waktu magrib di Arab Saudi. Ini juga merupakan implementasi dari poin sebelumnya, bahwa seseorang berbuka menyesuaikan dengan lokasi dia saat matahari tenggelam.
sunnah berbuka
3. Sunnah dalam berbuka puasa
Ada beberapa sunnah yang bisa kita lakukan ketika berbuka puasa, di antaranya:
Berdoa ketika berbuka puasa. Doa yang masyhur di masyarakat kita ada dua, yaitu:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insya Allah.”([6])
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”([7])
Kedua doa di atas boleh diucapkan, karena asalnya kita boleh berdoa apa saja yang kita sukai.
Oleh karenanya, ketika Abdullah bin Amr bin al-‘Ash k meriwayatkan hadits tentang doanya orang yang berpuasa tidak akan tertolak, maka ia pun berijtihad dengan doa yang ia pilih sendiri ketika berbuka puasa. Abdullah bin Amr bin al-‘Ash k berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi setiap sesuatu, agar Engkau mengampuniku.”([8])
Jadi, seseorang bisa berdoa dengan doa-doa di atas atau yang lainnya. Tentunya, seseorang yang berbuka puasa di dahului dengan membaca basmalah, lalu kemudian berdoa.
Berdoa menjelang berbuka puasa. Asalnya, doa seseorang yang berpuasa kapan saja akan dikabulkan. Sebagaimana dalam hadits disebutkan,
ثَلَاثَةٌ لَا يُرَدُّ دُعَاؤُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya; yaitu Imam yang adil, orang yang berpuasa hingga ia berbuka, dan doa orang yang teraniaya.”([9])
Ini menunjukkan bahwasanya kapan saja seseorang yang berpuasa berdoa, maka akan dikabulkan([10]). Namun, berdoa ketika berpuasa lebih ditekankan lagi ketika menjelang berbuka puasa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin al-‘Ash k, bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ
“Sungguh orang yang berpuasa mempunyai doa yang dikabulkan dan tidak akan ditolak tatkala berbuka puasa.”([11])
Berdoa menjelang berbuka puasa adalah puncak dari rasa lapar dan haus seseorang. Sehingga hati jika berdoa kepada Allah di waktu tersebut benar-benar terenyuh dan diri benar-benar menjadi rendah di hadapan Allah ﷻ. Dan kita pun tahu bahwa di antara sebab mudahnya doa terkabulkan adalah sikap hina dan rendah diri seseorang di hadapan Allah ﷻ.
Oleh karena itu, hendaknya sunnah ini kita hidupkan, yaitu berdoa menjelang berbuka puasa. Apabila hidangan telah siap, dan masih banyak waktu untuk kita bisa berdoa kepada Allah ﷻ, maka berdoalah.
Berbuka dengan ruthab([12]), kalau tidak ada dengan kurma, kalau tidak ada maka dengan air. Demikianlah yang Nabi Muhammad ﷺ contohkan, beliau berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab, jika tidak ada maka dengan kurma kering, dan jika tidak ada maka dengan seteguk air. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah ﷺ biasanya berbuka dengan ruthab (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.”([13])
Apabila ternyata kita tidak memiliki ruthab maupun tamr, maka sebagian ulama menyarankan agar menggantinya dengan hal-hal yang manis. Hal ini dikarenakan makanan yang mengandung glukosa sangat mudah untuk diserap ketika berpuasa, dan mengoptimalkan kembalinya kekuatan tubuh yang lemah([14]).
Pertanyaan, apakah berbuka dengan ruthab ataupun kurma disunnahkan dengan jumlah ganjil? Pendapat yang lebih kuat dan dipilih Syekh ‘Utsaimin r adalah tidak disunnahkan dengan bilangan ganjil, karena yang sunnah memakan kurma dengan bilangan ganjil adalah makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri dan memakan tujuh butir kurma Ajwa di pagi hari, dan secara zahir ketentuan bilangan ganjil ini tidak menjadikan seluruh hal menjadi harus dengan bilangan ganjil([15]).
Dalam hal ini pula penulis ingin menasihatkan agar kita semua memperhatikan waktu dengan baik. Jangan sampai kita malah membuang-buang waktu istimewa di sore hari menjelang berbuka puasa dengan kegiatan yang sia-sia, seperti nongkrong, jalan-jalan, menonton film, dan yang semisalnya. Padahal, di waktu tersebut kita bisa banyak melakukan amal saleh, seperti membaca Al-Qur’an dan berdoa kepada Allah ﷻ.
______
Footnote:
([1]) Lihat: Fath al-Bari (4/199).
([2]) HR. Bukhari No. 1957 dan HR. Muslim No. 1098.
([3]) HR. Ahmad No. 1098, Abu Dawud No. 2353 dinyatakan hasan oleh al-Albani.
([4]) HR. Bukhari No. 1956.
([5]) Lihat: Fath al-Bari (4/197).
([6]) HR. Abu Daud No. 2357, dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya. Namun, sebagian ulama hadits yang juga mendha’ifkan hadits tersebut. Sebagian mengatakan bahwa doa ini di baca setelah berbuka, namun dibaca sebelum berbuka pun tidak jadi masalah.
([7]) HR. Abu Daud No. 2358, dinyatakan dha’if oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya dan banyak ulama lainnya pun mendha’ifkannya.
([8]) HR. Ibnu Majah No. 1753, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam ta’liqnya menyatakan bahwa sandanya shahih. Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya menyatakan sanadnya hasan (2/637). Adapun Syekh al-Albani menyatakan hadits ini dha’if.
([9]) HR. Ahmad No. 9743, Syu’aib al-Arnauth menyatakan dalam ta’liqnya bahwa hadits ini shahih.
([10]) Lihat: Hasyiyah as-Sindi (1/533).
([11]) HR. Ibnu Majah No. 1753.
([12]) Kurma yang masih basah.
([13]) HR. Abu Daud No. 2356, dinyatakan hasan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([14]) Lihat: Umdah al-Qari (11/66).
([15]) Lihat: Fatawa Nur ‘ala ad-Darb li al-Utsaimin (11/2).
Baca juga: Rahasia Lailatul Qadar
Memberi Buka Puasa
Apabila salah seorang di antara kita memiliki rezeki sehingga bisa memberikan buka puasa kepada saudara kita yang lain, maka lakukanlah. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa yang memberi makan orang yang berbuka, dia mendapatkan seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.”([1])
Hadis berisi anjuran untuk memberikan makan bagi orang yang telah berpuasa([2]). Secara hitung-hitungan matematika, jika seseorang memberi buka puasa kepada satu orang setiap harinya di bulan Ramadan, maka hal itu akan menambah pahala bagi yang memberi sebanyak 30 puasa, sehingga total pahala puasa yang kita dapatkan bisa 60 puasa. Jika ia memberi lebih daripada itu, maka pahala puasa yang ia dapatkan pun jauh lebih besar lagi. Ini seharusnya menjadi motivasi besar bagi setiap mukmin untuk tidak bersikap pelit di bulan Ramadan.
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa harta datang dan pergi. Jika harta itu kita keluarkan maka pasti akan datang penggantinya. Maka, jika Allah ﷻ tahu bahwa kita memiliki kebiasaan bersedekah, maka Allah ﷻ pun akan menjadikan suatu kebiasaan terhadap kita, yaitu mengganti apa yang kita telah keluarkan. Tentunya, Islam bukan menganjurkan kita untuk bersedekah sepenuhnya namun melupakan istri dan anak-anak, akan tetapi maksudnya jika nafkah keluarga telah terpenuhi dan masih ada sisa dari harta kita, maka sedekahkanlah sebagai bentuk kepedulian diri kita terhadap pahala diri kita sendiri, karena kita sendiri butuh penolong di hari kiamat kelak.
_______
Footnote:
([1]) HR. Tirmizi No. 807, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([2]) Lihat: Al-Mughni (3/176).
Shalat Malam (qiyamullail) dengan Ihtisab
Sebagaimana dengan puasa, Nabi Muhammad ﷺ juga mensyaratkan agar seseorang berihtisab ketika melakukan shalat malam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”([1])
Para ulama menjelaskan hadits ini merupakan anjuran bagi setiap orang untuk menghidupkan malam-malam puasanya dengan shalat([2]). Hendaknya setiap hamba menyadari bahwa setiap langkah kaki yang digunakan menuju masjid untuk shalat malam menjadikan pemberat timbangan amal kebaikannya serta menjadi penghapus dosa-dosanya. Dengan begitu, ia akan terus semangat dan ihtisab dalam menunaikan shalat malam.
Terkhusus di malam lailatulqadar, hendaknya jauh lebih bersemangat lagi, karena Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
مَن قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang shalat malam di lailatulqadar dengan iman dan rasa harap pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”([3])
Karena tidak ada yang mengetahui kapan malam lailatul qadar itu, dan pendapat yang lebih kuat bahwasanya malam lailatul qadar itu berpindah-pindah dari satu Ramadan ke Ramadan berikutnya([4]). Maka, sudah seharusnya setiap orang bersemangat dan fokus beribadah di seluruh malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Ingatlah, apabila seseorang mendapati malam lailatulqadar namun tidak beribadah, maka sesungguhnya ia benar-benar terhalangi dari banyak kebaikan, karena Allah ﷻ sendiri yang mengatakan,
﴿لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍ﴾
“lailatulqadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar: 3)
______
Footnote:
([1]) HR. Bukhari No. 37.
([2]) Lihat: Syarh an-Nawawi Ala Muslim (6/40).
([3]) HR. Bukhari No. 1901.
([4]) Lihat: Fath al-Qadir, li al-Kamal bin al-Humam (2/390), Hasyiyah ad-Dasuki (1/550-551), al-Majmu’ (6/450) dan al-Inshaf (3/354).
Pengertian Shalat Tarawih
Kata tarawih diambil dari bahasa Arab التَّرَاوِيح yang merupakan jamak dari التَّروِيحَة yang artinya adalah istirahat.
Istilah tarawih sendiri tidak ada dalam dalil-dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits. Istilah tarawih ini muncul belakangan karena dahulu para salaf setiap selesai empat rakaat shalat malam yang panjang, maka mereka pun beristirahat. Ketika para salaf shalat malam 20 rakaat, maka mereka akan istirahat sebanyak lima kali. Maka kumpulan-kumpulan istirahat mereka inilah yang kemudian disebut dengan tarawih, sehingga shalatnya disebut shalat tarawih. ([1])
______
Footnote:
([1]) Lihat: Fath al-Baari (4/250) dan Fath al-Qadir (1/466).
Hukum dan Dalil Shalat Tarawih
Para ulama bersepakat bahwa hukum shalat Tarawih adalah sunah([1]). Bahkan menurut mayoritas dari mereka hukumnya adalah sunnah muakkad([2]). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ، فَيَقُولُ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Rasulullah ﷺ memberikan motivasi untuk mengerjakan shalat pada malam Ramadhan tanpa mewajibkannya kepada para sahabat. Beliau ﷺ bersabda, “Barang siapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.””([3])
Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pada suatu hari shalat di masjid, orang-orang pun shalat sebagaimana shalat beliau. Kemudian beliau mendirikan shalat yang sama pada malam berikutnya, orang-orang semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam yang ketiga dan keempat. Namun, Rasulullah ﷺ tidak keluar bertemu orang-orang. Pada waktu pagi beliau bersabda: Aku telah melihat apa yang kalian perbuat. Dan tidaklah aku keluar untuk bertemu kalian melainkan karena aku khawatir kalian menganggap hal itu diwajibkan untuk kalian. Saat itu adalah bulan Ramadhan.” ([4])
______
Footnote:
([1]) Imam an-Nawawi menjelaskan hukum permasalah ini dengan berkata
فَصَلَاةُ التَرَاوِيْحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاء
“Shalat Tarawih hukumnya sunah sebagaimana ijmak para ulama.” [Al-Majmu’ (4/31)].
([2]) Lihat: Radd al-Muhtar (2/43), Kassyaf al-Qina’ (1/425) dan Hasyiyah al-Adawi (1/460).
([3]) HR. Muslim No. 759.
([4]) HR. Bukhari No. 1129 dan Muslim No. 759.
Asal-usul Shalat Tarawih Berjamaah
Dahulu, Nabi Muhammad ﷺ pernah melakukan shalat tarawih bersama para sahabat selama tiga malam berturut-turut. Pada malam pertama shalat, sebagian para sahabat ikut shalat bersama Nabi Muhammad ﷺ. Hari berikutnya, hal tersebut menjadi perbincangan oleh para sahabat, sehingga malam harinya shalat tarawih yang dipimpin oleh Nabi Muhammad ﷺ bertambah banyak dari hari sebelumnya. Hari berikutnya pun demikian, masjid semakin sesak karena banyaknya orang-orang. Maka pada hari keempat, para sahabat ramai datang ke masjid Nabawi untuk shalat tarawih, namun Nabi Muhammad ﷺ tidak kunjung keluar dari rumah beliau. Tiba waktu subuh, barulah Nabi Muhammad ﷺ keluar ke masjid. Maka para sahabat pun bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang hal tersebut, maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا
“Amma ba’du, sesungguhnya tidak samar bagiku dengan keadaan kalian semalam, akan tetapi saya hanya khawatir (shalat malam itu) akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak sanggup melaksanakannya.”([1])
Zahir dari kisah di atas, Nabi Muhammad ﷺ mengerjakan shalat tarawih ini pada bulan Ramadhan terakhir beliau. Karena saking sayangnya Nabi Muhammad ﷺ kepada umatnya, maka beliau khawatir jika shalat tarawih tersebut akan menjadi wajib. Maka beliau ﷺ pun tidak shalat tarawih berjamah secara terus-menerus.
Setelah Nabi Muhammad ﷺ meninggal dunia, kemudian kepemimpinan dipegang oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka tidak ada shalat tarawih. Hal ini dikarenakan pendeknya waktu kepemimpinan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, dan ketika itu terjadi banyak permasalahan-permasalahan([2]), sehingga tidak sempat untuk dilakukan shalat tarawih.
Kemudian di zaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, orang-orang ketika itu shalat malam sendiri-sendiri. Suatu malam Umar radhiallahu ‘anhu pergi ke masjid Nabawi dan mendapati orang-orang shalat masing-masing, ada yang sendiri dan ada yang berjamaah. Maka Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pun memiliki ide untuk mengumpulkan mereka sehingga semuanya shalat berjamaah dengan satu imam yaitu Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, sebagaimana yang pernah dilakukan di zaman Nabi Muhammad ﷺ. Di situlah Umar bin Khattab mengatakan,
نِعْمَةِ الْبِدْعَةُ هذِهِ
“Ini adalah sebaik-baik perkara baru.”([3])
Maksud dari perkataannya tersebut adalah hal tersebut baru diadakan kembali setelah terputus di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.
Atsar yang telah diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abdul Qari’ berkata,
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ، قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
“Aku keluar bersama Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu ke masjid pada suatu malam di bulan Ramadhan. Ketika itu orang-orang (shalat) secara berpisah-pisah. Ada seseorang yang shalat sendiri, ada pula yang shalat dengan berkelompok. Maka Umar berkata: Aku berpendapat seandainya aku mengumpulkan mereka di belakang satu qari’ ([4]), maka hal itu lebih baik. Kemudian beliau bertekad, lalu mengumpulkan orang-orang untuk shalat di belakang Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar bersama beliau pada malam berikutnya sedangkan orang-orang shalat dengan mengikuti qari’ mereka. Maka Umar berkata: Sebaik-baik bid’ah adalah ini([5]). Orang yang tidur lebih baik dari pada orang yang melaksanakan shalat. Maksud Umar adalah tidur untuk shalat pada akhir dari sepertiga malam. Hal ini dikarenakan saat itu orang-orang melaksanakan shalat pada awal malam.” ([6])
_______
Footnote:
([1]) HR. Muslim No. 761, dari Aisyah radhiallahu ‘anha.
([2]) Ada banyak masalah yang terjadi di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, di antaranya seperti banyaknya orang yang murtad, adanya yang mengaku sebagai nabi, banyak orang yang tidak bayar zakat, dan beberapa peperangan terjadi di zaman beliau.
([3]) HR. Imam Malik No. 378 dalam al-Muwattha’ tahqiq al-A’zhami (2/158).
([4]) Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no.673.
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
“Yang berhak memimpin shalat suatu kaum adalah yang paling banyak bacaan Al-Qur’annya.” (Al-Istidzkar Li Ibni Abdil Barr 2/66)
([5]) Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Umar ‘Sebaik-baik bid’ah’ dalam bahasa orang arab bermakna hal baru yang belum pernah ditemukan. Perkara agama yang menyelisihi amalan sunnah Nabi, maka itulah sejatinya bid’ah yang tidak ada kebaikan di dalamnya, harus dicela, menjauhinya dan pelakunya, jika telah jelas keburukan yang dianutnya. Adapun hal baru yang yang tidak menyelisihi sumber syariat dan sunnah, maka itulah sebaik-baik bid’ah, sebagaimana perkataan Umar, karena sumber pengamalannya sendiri merupakan sunnah yang diajarkan oleh Nabi. [Al-Istidzkar, (5/153)].
([6]) HR. Bukhari No. 2010.
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Secara umum para ulama berselisih pendapat tentang jumlah rakaat dalam shalat tarawih. Ada yang berpendapat 11 rakaat, 13 , 17, 19 dst([1]). Sejatinya jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah tidak ada batasan. Namun, yang terbaik adalah shalat 11 atau 13 rakaat dengan shalat yang panjang sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ([2]). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ -وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ- إِلَى الْفَجْرِ، إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ،
“Rasulullah ﷺ pernah shalat antara waktu setelah shalat isya’ (yang biasa disebut ‘atamah) hingga waktu fajar. Beliau melakukan sebelas rakaat, setiap dua rakaat beliau salam, dan beliau juga melakukan witir satu rakaat.” ([3])
Begitu juga dengan hadits Ibnu Abbas k berkata
كَانَتْ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يَعْنِي بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi Muhammad ﷺ adalah tiga belas rakaat yaitu shalat malam.” ([4])
Meskipun demikian, seseorang juga boleh shalat tarawih dengan jumlah kurang atau lebih dari 11 rakaat. Dalil akan hal ini sangatlah banyak. Di antaranya hadits yang menyebutkan tentang salah seorang yang datang kepada Nabi Muhammad ﷺ menanyakan tentang jumlah rakaat shalat malam, maka Nabi Muhammad ﷺ menjawab,
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Subuh, hendaknya dia shalat satu rakaat untuk mengganjilkan shalat yang telah dia lakukan.”([5])
Sisi pendalilan:
Ada dua sisi pendalilan dari hadits Ibnu Umar di atas:
- Pertama: Orang yang bertanya tersebut dalam sebagian riwayat adalah الأَعْرَابِيُّ ‘Arab badui’([6]). Dan sebagaimana diketahui bahwa orang arab badui tidaklah tinggal bertetangga dengan Nabi dan para sahabat. Tentu ia tidak tahu tentang jumlah raka’at shalat malam Nabi, terlebih lagi tidak ada seorang sahabatpun yang meriwayatkan tentang jumlah 11 rakaat shalat malam Nabi kecuali Aisyah radhiallahu ‘anha, karena Nabi mengerjakannya di rumah dan dilihat oleh Aisyah radhiallahu ‘anha.
Hal ini dikuatkan lagi bahwasanya jika Arab badui tersebut tidak tahu tentang kaifiyyah (tata cara) shalat malam, setiap berapa rakaatkah harus salam?
Jika seandainya shalat malam ada batasan jumlah raka’atnya tentu Nabi akan menjelaskan kepada orang arab badui tersebut. Tatkala Nabi tidak menjelaskan sisi ini maka menunjukkan bahwa shalat malam tidak terikat dengan jumlah tertentu, karena mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.
- Kedua: Justru Nabi menjawab orang arab badui tersebut dengan mengisyaratkan bahwa shalat malam tidak terbatas jumlah raka’atnya. Karena Nabi menyatakan bahwa shalat malam itu dua-dua rakaat hingga subuh. Artinya arab badui tersebut boleh shalat dengan shalat dua rakaat-dua rakaat dan terus melakukannya seperti itu, sampai jika ia khawatir tiba subuh maka shalat satu rakaat dan menjadi witir bagi shalatnya. Apalagi orang-orang arab badui tidak dikenal dengan sebagai para sahabat yang memiliki hafalan Al-Qur’an yang banyak, sehingga kemungkinan ia akan memperbanyak rakaat hingga subuh.
Dengan demikian, tidak adanya batasan jumlah rakaat shalat malam dalam hadits ini, menunjukkan bahwa jumlah rakaat shalat malam itu tanpa batas. Oleh karenanya, para ulama pun telah ijmak akan hal ini, yaitu boleh shalat lebih dari 11 rakaat, di antaranya disampaikan oleh Ibnu Abdil Barr([7]), Ibnu Taimiyah([8]), An-Nawawi([9]), dan yang lainnya.
Di antara dalilnya yang lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Qais bin Thalq berkata,
زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأَمْسَى عِنْدَنَا، وَأَفْطَرَ، ثُمَّ قَامَ بِنَا اللَّيْلَةَ، وَأَوْتَرَ بِنَا، ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ، فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ، حَتَّى إِذَا بَقِيَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلًا، فَقَالَ: أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ، فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
“Thalq bin Ali (ayahku) mengunjungi kami pada bulan Ramadan, dan dia bersama kami sampai sore. Setelah itu ia shalat malam bersama kami dan shalat witir bersama kami. Kemudian ia menuju masjidnya dan shalat bersama para penduduk, hingga ketika sisa shalat witir, ia memerintahkan seseorang untuk maju sambil berkata kepadanya; “Shalatlah witir bersama mereka, karena aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada dua witir dalam satu malam”.” ([10])
Begitu juga dengan amalan para salaf, yang mana banyak dari mereka mengamalkan hal ini. Para salaf (sahabat dan tabiin) shalat tarawih lebih dari 11 rakaat. Praktik mereka ini menguatkan pendapat yang menjelaskan bahwa para sahabat shalat tarawih di masa Umar sebanyak 20 rakaat. Berikut penukilannya:
Atha’ berkata:
أَدْرَكْت النَّاسَ وَهُمْ يُصَلُّونَ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ
“Aku menjumpai orang-orang shalat 23 rakaat dengan witir”. ([11])
Atha adalah seorang tabiin faqih yang wafat pada tahun 114 H, sehingga yang beliau jumpai adalah para sahabat Rasulullah ﷺ, wallahu a’lam
Dawud bin Qais berkata:
دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ : أَدْرَكْتُ النَّاسَ بِالْمَدِينَةِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَأَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ يُصَلُّونَ سِتَّة وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ.
“Aku jumpai di Madinah pada masa Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin Utsman shalat 36 rakaat dan witir 3 rakaat.” ([12])
Atsar ini menjelaskan bahwa para tabiin shalat 39 rakaat.
Sa’id bin Jubair:
كَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ يَؤُمُّنَا فِي رَمَضَانَ فَيُصَلِّي بِنَا عِشْرِينَ لَيْلَةً سِتَّ تَرْوِيحَاتٍ، فَإِذَا كَانَ الْعَشْرُ الأَخَرُ اعْتَكَفَ فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى بِنَا سَبْعَ تَرْوِيحَاتٍ.
“Dahulu Sa’id bin Jubair adalah imam kita di bulan Ramadhan, beliau shalat mengimami kita 20 malam dengan 6 kali istirahat, jika memasuki 10 malam akhir beliau I’tikaf di masjid dan shalat mengimami kita dengan 7 kali istirahat.” ([13])
Dan Saíd bin Jubair adalah seorang tabiin yang mulia yang merupakan murid Ibnu Ábbas
Sa’id bin Jubair adalah seorang tabiin wafat tahun 95 H, ketika 10 hari terakhir beliau shalat menjadi imam dengan 7 kali istirahat berarti 14 rakaat.
Abu Al-Hashib berkata:
كَانَ يَؤُمُّنَا سُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ فِي رَمَضَانَ فَيُصَلِّي خَمْسَ تَرْوِيْحَاتٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Dahulu Suwaid bin Ghafalah mengimami shalat kita pada bulan Ramadhan dengan 5 kali istirahat dalam 20 rakaat”. ([14])
Suwaid bin Ghafalah masuk Islam saat Nabi masih hidup, akan tetapi beliau tidak bertemu dengan Nabi, dan beliau meriwayatkan hadits dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ubay bin Kaáb, Bilal, Abu Dzar, Ibnu Masúd, dan sahabat-sahabat yang lain([15]).
Beliau shalat 20 rakaat, setiap 4 rakaat salam, sehingga ada 5 kali istirahat.
Imam Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir menyebutkan riwayat Abu Al-Hasib Al-Ju’fi:
كَانَ سُوَيْدُ بْنُ غَفَلَةَ يَؤُمُّنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Dahulu Suwaid bin Ghafalah mengimami kita pada bulan Ramadhan 20 rakaat”. ([16])
Ibnu Abi Mulaikah
عن نافع بن عمر، قال: كَانَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ يُصَلِّي بِنَا فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَيَقْرَأُ: بِحَمْدِ الْمَلَائِكَةِ فِي رَكْعَةٍ
“Nafi’ bin Umar berkata: Dahulu Ibnu Abi Mulaikah shalat mengimami kami 20 rakaat, beliau membaca Hamdu Al-Malaikat (Surat Fathir) dalam satu rakaat.” ([17])
Ibnu Abi Mulaikah adalah seorang tabiin yang lahir di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib atau sebelumnya. Beliau telah menjumpai 30 sahabat([18]).
Atsar-atsar para tabiin ini menunjukkan bahwa pelaksanaan shalat tarawih di masa tabiin berlanjut dengan lebih dari 11 rakaat. Dan kemungkinan besar bahwa kebiasaan para tabiin tersebut diwariskan dari kebiasaan para sahabat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Sesungguhnya qiyam Ramadhan sendiri tidak ditetapkan oleh Nabi dengan jumlah tertentu. Bahkan, beliau dalam Ramadhan maupun bulan lain tidak lebih dari 13 rakaat, akan tetapi beliau memanjangkan rakaat. Ketika Umar mengumpulkan orang-orang untuk shalat diimami oleh Ubai bin Ka’ab, beliau shalat bersama mereka 20 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Pada saat itu beliau meringankan bacaan sesuai dengan tambahan rakaat, karena itu yang paling ringan bagi para makmum daripada memanjangkan satu rakaat.
Kemudian sekelompok salaf mengerjakan shalat 40 rakaat dan witir 3 rakaat, dan sekelompok salaf yang lain mengerjakan shalat 36 rakaat dan witir 3 rakaat, dan ini semua diperbolehkan. Bagaimanapun cara yang dilakukan pada bulan Ramadhan dari tata cara tersebut maka ia telah melakukan hal yang baik.
Yang paling utama dalam praktik shalat malam adalah berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi jamaah yang shalat. Jika mereka mampu untuk berdiri lama, maka yang lebih utama adalah mengerjakan 10 rakaat dan tiga rakaat setelahnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika shalat sendiri di bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Namun, jika mereka tidak mampu, maka mengerjakan 20 rakaat lebih utama. Inilah yang dikerjakan kebanyakan kaum muslimin, karena terletak pertengahan antara 10 dan 40 rakaat. Dan jika mengerjakan 40 rakaat maka hal itu dibolehkan dan sama sekali tidak dibenci. Ini telah disebutkan sejumlah imam, seperti imam Ahmad dan lainnya.
وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Siapa mengira qiyam Ramadhan ada bilangan tertentu dari Nabi yang tidak boleh ditambah dan dikurangi maka ia terjatuh dalam kesalahan.” ([19])
As-Syaukani mengatakan,
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ أَحَادِيثُ الْبَابِ وَمَا يُشَابِهُهَا هُوَ مَشْرُوعِيَّةُ الْقِيَامِ فِي رَمَضَانَ، وَالصَّلَاةُ فِيهِ جَمَاعَةً وَفُرَادَى، فَقَصْرُ الصَّلَاةِ الْمُسَمَّاةِ بِالتَّرَاوِيحِ عَلَى عَدَدٍ مُعَيَّنٍ، وَتَخْصِيصُهَا بِقِرَاءَةٍ مَخْصُوصَةٍ لَمْ يَرِدْ بِهِ سُنَّةٌ
“Kesimpulannya, hadits-hadits dalam bab ini dan hadits yang serupa menunjukkan disyariatkannya qiyam ramadhan, shalat baik dengan jamaah maupun sendiri-sendiri. Adapun membatasi shalat yang dinamai dengan tarawih dengan jumlah tertentu dan mengkhususkan dengan bacaan tertentu maka tidak ada sunnah yang menunjukkah hal itu”. ([20])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالتَّرَاوِيحُ إنْ صَلَّاهَا كَمَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ: عِشْرِينَ رَكْعَةً أَوْ: كَمَذْهَبِ مَالِكٍ سِتًّا وَثَلَاثِينَ، أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، أَوْ إحْدَى عَشْرَةَ فَقَدْ أَحْسَنَ.كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ لِعَدَمِ التَّوْقِيفِ فَيَكُونُ تَكْثِيرُ الرَّكَعَاتِ وَتَقْلِيلُهَا بِحَسَبِ طُولِ الْقِيَامِ وَقِصَرِهِ
“Shalat tarawih jika dikerjakan sesuai madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad adalah 20 rakaat, atau sesuai madzhab Malik 36 rakaat, atau 13, atau 11 maka itu baik, seperti dikatakan oleh Imam Ahmad, karena tidak ada penentuan batas akhir, sehingga memperbanyak jumlah rakaat dan mempersedikit dilakukan tergantung panjang atau pendeknya berdiri.” ([21])
Lantas bagaimana dengan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan jumlah rakaat shalat malam Nabi Muhammad ﷺ adalah 11 atau 13 rakaat? Maka ketahuilah bahwa landasan kita dalam memahami adalah berdasarkan pemahaman para salaf, dan kita dapatkan bahwa tidak satu pun dari para salaf bahwasanya jumlah tersebut sebagai batasan, sehingga asalnya boleh shalat kurang atau bahkan lebih dari jumlah tersebut.
Selain itu, para salaf juga mengamalkan shalat tarawih lebih dari 11 rakaat. Di antaranya riwayat yang menyebutkan tentang Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu yang mengimami para sahabat di zaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Tatkala itu, Ubay bin Ka’ab shalat tarawih 20 rakaat, dan inilah pendapat yang benar sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah([22]). Bahkan, penduduk kota Madinah dahulu sempat shalat tarawih hingga 36 atau 40 rakaat.
Intinya, berapa pun jumlah rakaat shalat tarawih tidak menjadi masalah, karena yang menjadi patokannya adalah durasi shalat itu sendiri. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an,
﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُزَّمِّلُ، قُمِ ٱلَّيۡلَ إِلَّا قَلِيلًا، نِصۡفَهُ أَوِ ٱنقُصۡ مِنۡهُ قَلِيلًا، أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا﴾
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil: 1-4)
Dalam ayat ini, yang menjadi standar ketika Allah ﷻ memerintahkan untuk Nabi Muhammad ﷺ shalat malam adalah durasinya, bukan jumlah rakaatnya.
Demikian pula sabda Nabi Muhammad ﷺ,
أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُومُ يَوْمًا، وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Shalat yang paling Allah cintai adalah shalatnya Nabi Daud n, dan shaum (puasa) yang paling Allah cintai adalah shaumnya Nabi Daud. Nabi Daud tidur hingga pertengahan malam, lalu shalat pada sepertiganya kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya. Dan Nabi Daud shaum sehari dan berbuka sehari.”([23])
Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya yang menjadi standarisasi kecintaan Allah ﷻ terhadap shalat Nabi Daud ‘alaihissalam adalah durasi shalatnya, dan bukan pada jumlah rakaatnya.
Dari sini, para ulama kemudian khilaf tentang mana yang lebih utama dalam meraih durasi terbanyak dalam shalat tarawih, apakah dengan memperbanyak rakaat atau memperpanjang shalat (berdiri) itu sendiri?
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang lebih utama adalah dengan memperbanyak rakaat.
Berdasarkan hadits tentang seorang sahabat yang ingin membersamai Nabi Muhammad ﷺ di surga. Lantas beliau ﷺ bersabda
فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku mewujudkannya dengan cara engkau memperbanyak sujud.” ([24])
Memperbanyak sujud adalah dengan memperbanyak jumlah rakaat dalam shalat. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hadits ini merupakan dalil bagi ulama yang berpendapat memperbanyak sujud dan rakaat lebih baik dari pada memanjangkan durasi shalat([25]).
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang terbaik adalah dengan memperpanjang durasi berdiri dalam shalat.
Dalilnya adalah praktik Nabi Muhammad ﷺ. Bukankah Nabi Muhammad ﷺ dalam satu rakaat shalat membaca surah Al-Baqarah hingga surah An-Nisa’.
Berdasarkan hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ، ثُمَّ مَضَى، فَقُلْتُ: يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ، فَمَضَى، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ بِهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ، فَقَرَأَهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ، فَقَرَأَهَا، يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا، إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ، وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ، وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
“Pada suatu malam aku shalat bersama Nabi Muhammad ﷺ, beliau mulai membaca surat Al-Baqarah, lalu aku berkata, “Beliau akan rukuk pada ayat ke seratus”, kemudian melewatinya, lalu aku berkata, “Beliau akan shalat dengan surat itu dalam satu rakaat”, namun ternyata beliau melewatinya. Setelah itu aku berkata lagi, “Beliau akan segera rukuk”. Kemudian beliau memulai surat An-Nisa, lalu beliau membacanya, kemudian beliau melanjutkan membaca surat Ali Imran hingga selesai. Beliau membaca dengan cara tartil, jika beliau melewati ayat tasbih, beliau bertasbih dan jika beliau membaca ayat yang memerintahkan untuk memohon, beliau memohon dan jika beliau melewati ayat yang memerintahkan untuk memohon perlindungan, beliau memohon perlindungan.” ([26])
Dari hadits tersebut imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan dianjurkannya memperpanjang shalat malam([27]). Sehingga ini menunjukkan bahwa cara terbaik dalam shalat tarawih atau shalat malam adalah dengan memperpanjang durasi berdiri.
Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Shalat yang paling utama adalah lama berdirinya.” ([28])
Intinya, kedua pendapat di atas adalah pendapat yang sama-sama kuat. Bahkan, Allah ﷻ sendiri dalam firman-Nya memuji keduanya, baik dengan sujud maupun yang berdiri. Allah ﷻ berfirman,
﴿أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ﴾
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Artinya, baik memperpanjang berdiri atau memperbanyak sujud, keduanya memiliki kemuliaan dan keutamaan tersendiri. Oleh karenanya, seorang imam tinggal mengambil kesepakatan dengan makmumnya, mana dari dua pilihan tersebut yang dipilih.
______
Footnote:
([1]) Lihat: Fath al-Bari (4/253-254).
([2]) Lihat: Fath al-Bari (3/19).
([3]) HR. Muslim No. 736.
([4]) HR. Bukhari No. 1138.
([5]) HR. Bukhari No. 990 dan HR. Muslim No. 749.
([6]) Shahih Ibn Khuzaimah no 1110, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh al-A’dzami.
([7]) Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,
وَأَكْثَرُ الْآثَارِ عَلَى أَنَّ صَلَاتَهُ كَانَتْ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وَقَدْ رُوِيَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً. وَاحْتَجَّ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنّ َصَلَاةَ اللَّيْلِ لَيْسَ فِيْهَا حَدٌّ مَحْدُوْدٌ وَالصَّلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ فَمَنْ شَاءَ اسْتَقَلَّ وَمَنْ شَاءَ اسْتَكْثَرَ.
“Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa shalat beliau adalah 11 rakaat, dan diriwayatkan bahwa 13 rakaat, para ulama berdalil bahwa shalat lail tidak ada batasnya, dan shalat adalah ibadah terbaik, siapa yang berkehendak silahkan menyedikitkan rakaát, dan siapa yang berkehendak maka silahkan memperbanyak rakaát”. [Lihat: Al-Istidzkar (2/98)].
([8]) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata
وأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ لَمَّا قَامَ بِهِمْ وَهُمْ جَمَاعَةٌ وَاحِدَةٌ لَمْ يُمْكِنْ أَنْ يُطِيْلَ بِهِمُ الْقِيَامَ، فَكَثَّرَ الرَّكَعَاتِ لِيَكُوْنَ ذَلِكَ عِوَضًا عَنْ طُوْلِ الْقِيَامِ، وَجَعَلُوْا ذَلِكَ ضِعْفَ عَدَدِ رَكَعَاتِهِ، فَإِنَّهُ كَانَ يَقُوْمُ بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً أَوْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ كَانَ النَّاسُ بِالْمَدِيْنَةِ ضَعُفُوْا عَنْ طُوْلِ الْقِيَامِ، فَكَثَّرُوْا الرَّكَعَاتِ، حَتَّى بَلَغَتْ تِسْعًا وَثَلَاثِيْنَ
“Ubai bin Ka’ab tatkala mengimami mereka yang saat itu mereka satu jamaah, tidak memungkinkan untuk memperlama berdiri, maka beliau perbanyak rakaat sebagai ganti berdiri lama, dan mereka menjadikannya dua kali lipat jumlah rakaat, karena sebelum itu ia melakukan qiyamulllail 11 atau 13 rakaat, kemudian setelah itu orang-orang penghuni Kota Madinah tidak mampu berdiri lama, maka mereka perbanyak rakaat, hingga sampai 39 rakaat.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa (22/272) dan (23/112)].
([9]) Lihat: Syarh Shahih Muslim (6/19).
([10]) HR. Abu Dawud No. 1439 dan dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([11]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 7770, Fadhail Ramadhan Ibnu Abi Dunya (hlm. 79) No. 49. Sanad atsar ini sesuai dengan syarat (kriteria) Imam Muslim, dishahihkan Nawawi dalam Al-Majmu’ (4/32) dan Ibnul Iraqi di Tarhu at-Tatsrib (3/97).
([12]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 7771.
([13]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 7773, dan dengan makna yang sama dalam riwayat Ismail bin Abdul Malik dalam Mushannaf Abdurrazzaq No. 7749, dan dengan makna yang sama dalam riwayat Musa bin Nafi’ dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad (6/271).
([14]) HR. Baihaqi dalam Sunan beliau (2/496) No. 4803, Ahmad bin Yahya An-Najmi dalam kitab beliau Ta’sisul Ahkam (2/287) mengatakan: Sanadnya sahih.
([15]) Lihat: Siyar A’laam an-Nubalaa’ (4/70).
([16]) At-Tarikh al-Kabir (9/28) tarjamah No. 234.
([17]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 7683 dengan sanad sahih.
([18]) Ibnu Abi Mulaikah pernah berkata:
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu álaihi wasallam, semuanya takut akan kemunafikan atas dirinya”[Shahih Al-Bukhari (1/18)].
Diantara shahabat yang dijumpai oleh beliau adalah ; Aisyah, Asmaa’ binti Abi Bakar, Abu Mahdzuurah, Ibnu Ábbas, Abdullah bin Ámr, Ibnu Umar, Ibnu Az-Zubair, Úqbah bin al-Haarits, Ummu Salamah, Al-Miswar bin Al-Makhromah, dan Abdullah bin Ja’far. [Lihat: Siyar A’laam An-Nubalaa’ (5/89-90)].
([19]) Majmu’ Fatawa (22/272) dan (23/113).
([20]) Nailul Authar (3/66).
([21]) Al-Ikhtiyarat (hlm. 64).
([22]) Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah,
فَإِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ أَنَّ أبي بْنَ كَعْبٍ كَانَ يَقُومُ بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً فِي قِيَامِ رَمَضَانَ وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ. فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْن الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ. وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ: تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً؛ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ.
“Telah menjadi ketetapan bahwa Ubay bin Ka’ab shalat bersama orang-orang dengan 20 rakaat dan witir 3 rakaat. Maka para ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunah, karena ia melakukannya di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satu pun yang mengingkarinya. Bahkan, sebagian ulama lainnya menyukai 39 rakaat, karena mengikuti amalan penduduk Madinah dahulu.” [Lihat: Majmu’ al-Fatawa (23/112)].
([23]) HR. Bukhari No. 1131.
([24]) HR. Muslim No. 489.
([25]) HR. Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim (4/206).
([26]) HR. Muslim No. 772.
([27]) Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim (6/63).
([28]) HR. Muslim No. 756.
Macam-Macam Shalat Tarawih
Secara umum, shalat tarawih ini adalah shalat malam. Adapun shalat malam maka ada dua; yaitu qiyamullail([1]) dan shalat witir. Kedua jenis shalat malam ini bisa dikerjakan secara sendiri-sendiri ataupun secara berjamaah. Apabila shalat malam ini dikerjakan di bulan Ramadhan secara berjamaah, maka disebut dengan shalat tarawih. Shalat malam tidak disyaratkan harus tidur terlebih dahulu, karena shalat malam bisa dilakukan sebelum tidur atau setelah tidur.
______
Footnote:
([1]) Qiyamullail yaitu shalat malam yang dikerjakan dengan jumlah genap, dua rakaat dua rakaat, dan jumlahnya tidak terbatas. Bisa dilakukan sebelum tidur atau setelah tidur yang juga disebut dengan shalat tahajud.
Hukum Shalat Tahajud Lagi Setelah Shalat Tarawih
Bagaimana jika ingin shalat lagi setelah shalat witir?
Jawaban akan hal ini adalah boleh. Sebagaimana dalam hadits disebutkan bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ pernah setelah shalat witir shalat lagi dua rakaat. Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, di mana Nabi Muhammad ﷺ shalat 11 rakaat (setalah shalat 9 rakaat, lalu beliau shalat 2 rakaat). Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ
“Dahulu kami menyiapkan siwak dan air untuk bersuci beliau, Allah membangunkan beliau pada malam hari dengan kehendak-Nya, beliau pun bersiwak dan shalat 9 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat ke 8, beliau berzikir kepada Allah memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian bangkit dan tidak salam, kemudian berdiri dan melanjutkan rakaat ke 9, kemudian duduk dan berzikir kepada Allah memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau salam dengan salam yang kita dengar, kemudian shalat 2 rakaat setelah salam dalam keadaan duduk, maka semuanya adalah 11 rakaat wahai anakku. ([1])
Di dalam hadits dan riwayat yang sama, Aisyah radhiallahu ‘anha melanjutkan perkataannya,
فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَخَذَهُ اللَّحْمُ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ، وَصَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الْأَوَّلِ، فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَيَّ
“Ketika Nabi semakin berusia dan gemuk, beliau witir dengan 7 rakaat, kemudian beliau melakukan 2 rakaat seperti di awal, sehingga semuanya 9 rakaat wahai anakku”. ([2])
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas maka para ulama berkesimpulan bolehnya shalat malam lagi setelah witir. Imam Nawawi berkata,
إذَا أَوْتَرَ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ نَافِلَةً أَمْ غَيْرَهَا فِي اللَّيْلِ جَازَ بِلَا كَرَاهَةٍ وَلَا يُعِيدُ الْوِتْرَ
“Jika seorang melakukan witir kemudian ingin shalat sunnah atau lainnya pada malam itu juga maka diperbolehkan tanpa dibenci dan tidak perlu mengulang witir.” ([3])
Meskipun hal ini bukanlah kebiasaan Nabi Muhammad ﷺ, namun ini menunjukkan masih bolehnya shalat setelah witir.
Terkadang, ada sebagian di antara kita yang masih ingin shalat meskipun ia telah shalat tarawih di masjid hingga selesai. Maka ada dua solusi yang bisa kita jalankan:
Pertama: Shalat tarawih bersama imam hingga selesai terlebih dahulu, baik itu dengan witir atau tidak.([4]) Kemudian jika kita masih ingin shalat baik di rumah atau di masjid, maka boleh bagi kita kembali shalat, namun tidak ditutup dengan witir apabila telah witir sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dipraktikkan oleh sahabat Thalq bin Ali radhiallahu ‘anhu, di mana ia shalat tarawih dua kali. Shalat pertama ia lakukan di kampung anaknya dan menyelesaikannya dengan witir. Setelah itu, ia pun kembali ke masjidnya (kampungnya) dan mengimami para sahabatnya tanpa witir, ia meminta orang lain menggantikannya karena ia telah witir([5]).
Kedua: Imam yang shalat witir, namun makmum tidak ingin witir.
Jadi, cara penyelesaiannya adalah ketika imam telah salam dari shalat witir, maka ia bangun kembali menambah satu rakaat untuk menggenapkannya. Setelah itu kita bebas menambah berapa rakaat shalat malam yang kita inginkan, kemudian kita bisa mengakhirinya dengan shalat witir.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Karya : Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema : Bekal Puasa
______
Footnote:
([1]) Shahih Muslim No. 746 (1/513), dan Sunan Ibnu Majah No. 1191 dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([2]) Shahih Muslim No. 746 (1/513).
([3]) Al-Majmu’ 4/16.
An-Nawawi menjelaskan juga bahwa shalatnya Nabi Muhammad ﷺ 2 rakaat setelah witir bukanlah menunjukan disunnahkan sholat 2 rakaat setelah witir, sehingga seseorang selalu mendawamkannya, karena yang beliau ﷺ anjurkan adalah menjadikan shalat witir sebagai penutup. Akan tetapi maksud beliau ﷺ adalah untuk menjelaskan bahwa setelah shalat witir masih boleh melaksanakan sholat sunnah. [Lihat: al-Majmuu’ (4/17), Syarh Shahih Muslim (5/21)].
([4]) Hal ini sebagaimana keutamaan shalat bersama imam hingga selesai,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ، فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ
“Barang siapa shalat bersama imam hingga selesai, sesungguhnya hal itu telah menyamai shalat satu malam penuh.” (HR. Ibnu Majah No. 1327, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya).
([5]) Lihat: Sunan Abu Daud No. 1441, dan dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
Baca artikel lebih banyak (tanpa video) di: https://bekalislam.firanda.com/
BEKAL RAMADHAN: Pertama Keutamaan Ramadhan || Kedua Niat Hingga Pembatal Puasa || Ketiga Waktu Berbuka Hingga Tarawih || Keempat Udzur, Qadha, Dan Fidyah
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/