Type Here to Get Search Results !

 


BEKAL SEBELUM RAMADHAN: NIAT HINGGA PEMBATAL PUASA


Dalil-dalil Puasa Ramadan

    Al-Qur’an

Hukum asal disyariatkannya puasa pada bulan Ramadan adalah firman Allah ﷻ,

﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)

Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,

﴿شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ﴾

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

    As-Sunnah

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar k, bahwa Nabi  ﷺ bersabda,

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima: Persaksian bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak untuk disembah) kecuali Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”([1])

Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidillah t berkata, “Ada seorang arab badui datang kepada Rasulullah ﷺ dengan rambut acak-acakan, ia berkata, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku shalat apakah yang Allah wajibkan atasku?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda,

الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا، فَقَالَ: أَخْبِرْنِي مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ؟ فَقَالَ: شَهْرَ رَمَضَانَ إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا

“Shalat lima waktu, kecuali jika engkau mau menambah dengan yang tathawu’ (sunnah)”. Orang itu bertanya lagi, “Kabarkan kepadaku puasa apakah yang telah Allah wajibkan atasku?”. Maka beliau ﷺ menjawab, “Shaum di bulan Ramadan.” ([2])

    Ijmak

Telah disebutkan ijmak para ulama tentang wajibnya menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan. ([3])

    Akal

Secara logika puasa disyariatkan karena beberapa hal, di antaranya:

    Puasa merupakan wujud syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah ﷻ. Hal ini ditunjukkan pada saat seseorang menahan dirinya dari makan, minum atau berjimak dalam beberapa waktu. Ia akan menyadari betapa besar nikmat yang ia rasakan dalam aktivitas tersebut di setiap waktunya. Dengan demikian, hal ini akan mendorongnya untuk bersyukur kepada Allah ﷻ.
    Puasa menjadi wasilah menuju ketakwaan. Dikarenakan ketika setiap muslim menahan dirinya dari perkara yang mubah, maka ia akan lebih mudah untuk menahan dirinya dari perkara yang haram. Sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ﷻ,

﴿لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ﴾

“Agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183)

    Puasa dapat menaklukan hawa nafsu. Hal ini dikarenakan kondisi kenyang akan mendorong seseorang untuk melampiaskan hawa nafsunya. Begitu juga sebaliknya, jika ia dalam kondisi lapar, maka akan mampu mengendalikan hawa nafsunya. ([4])
_____

Footnote:

([1]) HR. Bukhari No. 8 dan Muslim No. 16.
([2]) HR. Bukhari No. 1891.
([3]) Para ulama 4 mazhab telah menyebutkan ijmak ini, di antaranya adalah:

    Hanafiyah: Adapun ijmak para ulama telah berijmak mengenai fardunya puasa di bulan Ramadan. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali kafir. [Badai’ ash-Shanai’, (2/75)].

    Malikiyah: Disebutkan pula di dalam Mawahib al-Jalil: Para ulama telah berijmak tentang wajibnya puasa Ramadan. Barang siapa yang mengingkari kewajibannya, maka ia telah murtad. [Lihat: Mawahib al-Jalil (2/378)].

    Syafi’iyah: Puasa Ramadan wajib menurut ijmak. [Lihat: Nihayah al-Muhtaj (3/149)].

    Hanabilah: Para ulama telah berijmak atas wajibnya puasa di bulan Ramadan. [Lihat: Al-Mughni (3/104)].

([4]) Lihat: Badai’ ash-Shanai’, (2/75).


Rukun Puasa

Berdasarkan kesepakatan ahli fikih, rukun puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.([1]) Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ,

﴿وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ﴾

“Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Yang dimaksud dengan benang putih pada ayat di atas adalah fajar Shadiq (fajar yang kedua)([2]), sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ

“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam.”([3])

_________

Footnote:

([1]) Lihat: Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (28/19).

([2]) Fajar  ada dua, fajar kadzib dan fajar shadiq. Perbedaan keduanya bisa kita lihat di tabel berikut:
Fajar kadzib  Fajar Shadiq
Muncul sebelum            Muncul setelah
fajar shadiq                    fajar kadzib
Cahayanya vertikal  Cahayanya  
                                             horizontal
Akan redup seiring        Cahayanya 
waktu  semakin besar

Fajar shadiq adalah fajar yang berkaitan dengan waktu shalat subuh dan juga waktu berakhirnya makan dan minum serta berhubungan di bulan Ramadhan. Oleh karenanya, ketika seseorang melihat cahaya di waktu subuh, jangan langsung mengatakan itu waktu fajar, karena bisa saja itu adalah fajar kadzib.

([3]) HR. Bukhari No. 1916.



Syarat-syarat Puasa

Syarat puasa ada 2 macam:

Pertama: Syarat wajib puasa

Maksudnya adalah seseorang dikatakan telah wajib berpuasa jika telah memenuhi syarat-syarat di bawah ini:

    Islam

Islam adalah syarat wajib dari seluruh cabang ibadah. Karenanya, orang-orang kafir tidak wajib atas mereka seluruh cabang ibadah, termasuk puasa. Meski demikian, di akhirat kelak mereka akan dihisab pada seluruh cabang ibadah tersebut. Imam Nawawi r berkata,

الْمُخْتَارُ أَنَّ الْكُفَّارَ مُخَاطَبُونَ بِفُرُوعِ الشَّرِيعَةِ الْمَأْمُورِ بِهَا، وَالْمَنْهِيِّ عَنْهَا، لِيَزْدَادَ عَذَابُهُمْ فِي الآْخِرَةِ

“Pendapat yang terpilih adalah orang-orang kafir juga terbebani dengan cabang-cabang syariat, baik itu perintah ataupun larangan. Hal ini untuk menambah azab mereka di akhirat.”([1])

    Baligh

Puasa tidak wajib bagi seseorang yang belum baligh. Nabi ﷺ bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الْمُصَابِ حَتَّى يُكْشَفَ عَنْهُ

“Diangkat pena dari tiga hal: anak kecil sampai dia mencapai baligh, orang yang tertidur sampai dia terjaga dan orang yang sakit (gila) sampai dia sembuh.”([2])

    Berakal

Akal merupakan syarat taklif (pembebanan). Karenanya, jika seseorang kehilangan akal karena gila maka tidak wajib baginya untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana sabda telah disebutkan sebelumnya. Dalam riwayat yang lain disebutkan secara jelas, Rasulullah ﷺ bersabda,

وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ

“Orang yang gila sampai dia waras.”([3])

    Mampu

Seseorang yang tidak mampu berpuasa karena tertimpa sakit, atau sedang safar, atau uzur-uzur lainnya, maka ia tidak diwajibkan berpuasa. Akan tetapi ia harus mengganti puasa tersebut di hari-hari lainnya. Allah ﷻ berfirman,

﴿فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَۚ﴾

“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184).

Apakah semua orang yang tidak mampu berpuasa karena sakit harus menggantinya (qada’) di hari lain?

Jawabannya: Perlu dilihat, apakah sakit tersebut bisa sembuh ataukah tidak. Jika sakit tersebut bisa sembuh, maka ia harus mengganti puasanya tersebut di hari lain saat ia telah sembuh. Adapun jika sakit tersebut tidak bisa sembuh, maka cukup baginya memberi makan seorang fakir miskin (membayar fidyah) di setiap harinya. Hal yang demikian ini pun berlaku bagi seseorang yang tidak mampu lagi berpuasa karena telah berada di usia senja.

    Menetap

Maksudnya adalah tidak dalam kondisi safar. Allah ﷻ berfirman,

﴿وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ﴾

“Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kedua: Syarat sah puasa

Puasa seseorang menjadi sah jika terpenuhi syarat-syarat berikut:

    Islam

Para ulama telah ijmak atas tidak sahnya puasa seorang kafir.([4]) Fakhruddin az-Zaila’i r berkata,

أَنَّ وُجُودَ الْإِيمَانِ شَرْطٌ لِصِحَّةِ سَائِرِ الْعِبَادَاتِ بِلَا خِلَافٍ

“Sesungguhnya tidak ada ikhtilaf di antara para ulama bahwasanya iman merupakan syarat sahnya seluruh ibadah.”([5])

    Suci dari haid dan nifas

Wanita diwajibkan berpuasa jika ia telah suci dari darah haid dan nifas. Ini merupakan perkara ijmak.([6]) Dalam hadits Rasulullah ﷺ bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?”([7])

Jika seorang wanita suci dari haid atau nifas di tengah hari Ramadan, apakah wajib baginya untuk berpuasa pada hari tersebut?

Para ulama bersilang pendapat tentang masalah ini, sebagian ulama memandang bahwa ia harus berpuasa di hari tersebut([8]), dan sebagian ulama lainnya berpendapat tidak wajib berpuasa.([9])

Wallahu a’lam, pendapat yang benar adalah tidak wajib baginya untuk berpuasa. Alasannya karena tidak ada dalil yang mewajibkan wanita dalam keadaan tersebut untuk berpuasa. Selain itu, jika ia diwajibkan berpuasa, lantas apa faedah dari puasa tersebut sementara ia wajib melakukan qada’ di hari lain nantinya.

Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Utsaimin Beliau r mengatakan,

لأن هذه المرأة يباح لها الفطر أول النهار إباحة مطلقة، فاليوم في حقها ليس يوماً محترماً، ولا تستفيد من إلزامها بالإِمساك إلا التعب

“Hal ini karena wanita ini dibolehkan baginya untuk tidak berpuasa di awal hari secara mutlak. Maka hari tersebut bukanlah hari yang muhtaram (diagungkan) baginya. Tidak ada faedah bagi wanita tersebut jika mewajibkannya untuk berpuasa (pada hari itu) kecuali hanya letih.”([10])

    Tamyiz

Maksudnya adalah seorang anak yang belum mencapai balig namun ia telah bisa membedakan hal-hal yang baik dan buruk.([11])

Seorang anak yang berada dalam kondisi ini tidak diwajibkan berpuasa. Namun, jika ia berpuasa, maka puasanya sah. Hal ini karena niatnya sah, sebagaimana ketika ia berniat untuk shalat.

Dari sini, maka mayoritas ahli fikih berpendapat disunahkan bagi orang tua untuk memerintahkan anaknya yang telah mumayyiz untuk berpuasa.([12])

    Berakal

Tidak sah puasa seorang yang kehilangan akal. Hal ini karena puasa membutuhkan imsak (menahan diri dari pembatal puasa) dengan niat. Sedangkan orang yang kehilangan akal tidak bisa berniat. Karenanya, para ulama sepakat bahwa puasa orang gila tidak sah.([13])

Dengan landasan ini, maka para ulama juga menetapkan bahwa seseorang yang pingsan sehari penuh atau bahkan berhari-hari, maka tidak sah puasanya.([14]) Hal ini karena puasa membutuhkan niat, dan orang yang tidak sadar seharian penuh tidak bisa dikatakan sebagai orang yang berpuasa dengan niatnya.

Adapun jika seseorang telah berniat di malam hari untuk berpuasa, kemudian ia kehilangan akalnya disebabkan gila, kesurupan, atau pingsan, kemudian ia kembali tersadar sebelum terbenamnya matahari meski hanya sebentar, maka puasanya sah. Hal ini karena puasanya tadi berasaskan niat yang sah.([15])

Apakah orang yang tidur sehari penuh disamakan dengan orang yang pingsan sehari penuh yang mana puasanya tidak sah? Jawabannya tidak. Berbeda orang yang tidur sehari penuh dan pingsan sehari penuh. Orang yang tidur sehari penuh puasanya sah, sebab orang yang tidur kesadarannya tidak sepenuhnya hilang. Karenanya, jika ia dibangunkan, maka ia akan bangun. Ini tidak terjadi pada orang yang pingsan. Maka mengiaskan pingsan dengan tidur adalah suatu kesalahan.([16])

Kesimpulan:

    Orang yang tidak berniat bagaimana pun kondisinya, pingsan ataupun tidak pingsan, maka puasanya tidak sah.

    Orang yang berniat puasa kemudian kehilangan akal, seperti gila, pingsan, kesurupan, atau yang lainnya, maka ada dua kondisi:
  • Pertama: Jika ia tersadar di sebagian hari meski hanya sebentar, maka puasanya sah.
  • Kedua: Jika ia tidak tersadar meski hanya sebentar, maka puasanya tidak sah.
    Orang yang berniat puasa, lalu tidur sehari penuh, maka puasanya sah.

    Niat

Para ahli fikih sepakat bahwa puasa tidak sah tanpa niat. Bahkan, hal ini dinyatakan oleh sebagian ulama sebagai perkara yang ijmak.([17])

Terdapat beberapa hal yang perlu untuk kita perhatikan berkaitan dengan niat puasa:

    Pertama: waktu niat berpuasa

Sebelum membahas ini, maka perlu kita ketahui bahwa puasa terbagi menjadi dua, yaitu puasa sunnah dan puasa wajib. Hal ini karena niat antara keduanya berbeda.

    Puasa sunnah

Puasa sunnah sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa sunnah mutlak dan puasa sunnah muqayyad.([18])

Puasa sunnah mutlak artinya seseorang boleh berpuasa pada hari apa saja selama bukan di hari-hari yang terlarang untuk berpuasa. Adapun hari-hari terlarang untuk berpuasa seperti pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dan hari-hari tasyrik, maka tidak dibenarkan.

Waktu niat puasa sunnah

Niat puasa sunnah bisa dilakukan setelah terbit fajar, hanya saja pahala puasa baru terhitung sejak ia mulai berniat, dan inilah pendapat mayoritas ulama.([19]) Hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Aisyah i berkata meriwayatkan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ عَلَيَّ قَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ؟، فَإِذَا قُلْنَا: لَا، قَالَ: إِنِّي صَائِمٌ

“Rasulullah ﷺ apabila menemuiku, beliau mengatakan, ‘Apakah kalian memiliki makanan?’ Apabila kami mengatakan ‘Tidak’, maka beliau berkata, ‘Kalau begitu aku berpuasa’.”([20])

Tidak hanya Nabi Muhammad ﷺ, demikian pula yang dilakukan oleh beberapa sahabat yang lain seperti Abu Darda’, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Huzhaifdah j, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya.([21])

Sebagaimana telah kita sebutkan bahwasanya pahala puasa baru mulai dihitung sejak niat puasa dilakukan.([22]) Hal ini berasaskan kaidah dan hadits yang menyebutkan,

إِنَّمَا ‌الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

“Amalan-amalan itu tergantung niat.”([23])

Meskipun boleh berniat di siang hari, namun terdapat syarat untuk sahnya puasa sunnah tersebut, yaitu belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga ia berniat.

    Puasa wajib

Ada empat jenis puasa yang wajib, yaitu:
  1.     Puasa Ramadan
  2.     Puasa qada, yaitu puasa yang diwajibkan atas seseorang karena meninggalkan puasa dibulan Ramadan
  3.     Puasa nazar, yaitu puasa yang wajib bagi seseorang karena ia telah mewajibkan dirinya sendiri untuk berpuasa.
  4.     Puasa kafarat, yaitu puasa yang wajib bagi seseorang karena telah melakukan kesalahan.
Waktu niat puasa wajib

Berbeda dengan puasa sunnah, niat seseorang yang ingin puasa wajib sudah harus ada sebelum terbit fajar atau azan subuh. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barang siapa yang tidak memasang niat berpuasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.”([24])

Misal, seseorang ingin melakukan puasa qada pada esok hari. Namun, di malam hari ia masih ragu apakah ia harus mengqada puasanya besok atau di hari yang lain. Lalu ia pun tertidur dengan keraguan tersebut, maka apabila ia bangun dan sudah azan subuh (terbit fajar), dan jika ia berpuasa maka puasanya tidak sah. Namun, apabila ia terbangun sebelum azan subuh, dan ia tegas untuk berpuasa, maka puasanya sah.

    Kedua: Memperbarui niat puasa

Sebagian dari kita sangat mungkin untuk lupa berniat puasa esok hari, sementara kita tahu bahwa niat puasa wajib harus ditegaskan sebelum terbit fajar. Maka, bolehkah seseorang berniat satu kali saja di awal bulan Ramadan dengan niat puasa satu bulan Ramadan?

Tentunya, yang lebih utama adalah seseorang setiap malam berniat puasa untuk esok harinya. Namun, dalam masalah ini para ulama pun ikhtilaf. Ada yang mengatakan tidak boleh, karena setiap hari puasa yang satu tidak berkaitan dengan puasa yang lain, sehingga harus berniat untuk setiap harinya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.([25])

Namun, sebagian ulama mazhab Maliki menyebutkan bahwa boleh dan sudah cukup seseorang berniat “Saya ingin puasa satu bulan.([26]) Pendapat ini juga merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Utsaimin r.([27])

Alasan pendapat ini adalah karena puasa Ramadan adalah satu kesatuan ibadah, sehingga satu niat pun cukup untuk mewakili semuanya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

شَهْرَانِ لاَ يَنْقُصَانِ، شَهْرَا عِيدٍ: رَمَضَانُ، وَذُو الحَجَّةِ

“Ada dua bulan yang tidak akan kurang dalam bulan (sama bilangan harinya) yaitu bulan Ramadan dan Dzulhijjah.”([28])

Hadits ini memberi isyarat bahwasanya Ramadan itu satu kesatuan, sehingga boleh seseorang berniat satu kali untuk berpuasa satu bulan Ramadan.([29])

Selain itu, orang yang berniat di awal bulan Ramadan untuk berpuasa sebulan penuh, meski niatnya tersebut tidak ada secara hakikat di setiap malam Ramadan namun secara hukum niat itu ada. Hal ini karena secara asal, niat tersebut tidak terputus. Karenanya, apabila suatu hari niat tersebut terputus karena uzur seperti sakit atau safar, maka jika ia ingin kembali berpuasa ia harus memperbarui niatnya. ([30])

Inilah pendapat yang penulis lebih condong kepadanya. Namun, sikap yang lebih hati-hati adalah seseorang berniat setiap malam sebelum puasa keesokan harinya. Wallahu A’lam.

    Ketiga: Apakah niat harus dilafalkan?

Sebagian ulama dari mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa dianjurkan untuk melafalkan niat puasa sebagai upaya untuk mengukuhkan niat tersebut.([31]) Namun, pendapat yang benar, tidak perlu bagi kita untuk melafalkan niat puasa tersebut. Karena, tanpa melafalkannya pun, seseorang yang menyetel alarm untuk membangunkannya sahur sudah bisa menunjukkan bahwa ia telah berniat untuk berpuasa esok hari, dan Allah ﷻ Maha Mengetahui isi hati kita.

Bahkan kita katakan, tidak melafalkan niat puasa lebih mendekati sunnah, karena tidak ditemukan satu riwayat pun bahwa Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat j melafalkan niat. Ibnu Taimiyah r berkata,

وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafalkan dengan lisannya, maka niatnya sudah cukup berdasarkan kesepakatan para ulama.”([32])

    Keempat: Memantapkan niat pada puasa wajib

Barang siapa yang ragu-ragu dalam niat puasa wajib, seperti mengatakan pada dirinya, “Besok saya puasa ataukah tidak?” Kemudian ia tetap bersama keraguan tersebut hingga esok hari dan ternyata ia berpuasa pada hari tersebut, maka puasanya tidak sah dan wajib baginya qada’. Hal ini karena orang ini masih ragu dengan niatnya, dan niat butuh pada pemantapan.([33]) Ini adalah pendapat jumhur ulama.([34])
_____

Footnote:

([1]) Syarh an-Nawawi ‘Ala Muslim (1/198).
([2]) HR. Ahmad No. 940 dan dinyatakan sahih oleh al-Arnauth.
([3]) HR. Ibnu Hibban No. 142 dan dinyatakan sahih oleh al-Arnauth.
([4]) Lihat: Maratib al-Ijma’ hlm. 39.
([5]) Tabyin al-Haqaiq (2/5).
([6]) Lihat: At-Tamhid (22/107).
([7]) HR. Bukhari No. 1951.
([8]) Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan Hanbali. [Lihat: Tabyin al-Haqaiq (1/340) dan al-Inshaf (3/200-201)].
([9]) Ini adalah pendapat mazhab Maliki, Syafi’i, dan riwayat dari Imam Ahmad. [Lihat: Al-Kafi (1/340), al-Majmu’ (6/257), asy-Syarh al-Kabir (3/62)].
([10]) Asy-Syarh al-Mumti’ (4/ 381).
([11]) Lihat: Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (14/32)
([12]) Lihat: Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (27/28).
([13]) Lihat: Bidayah al-Mujtahid (2/46).
([14]) Lihat: Al-Majmu’ (6/346).
([15]) Lihat: As-Salsabil Fi Syarh ad-Dalil (4/41).
([16]) Lihat: As-Salsabil Fi Syarh ad-Dalil (4/42).
([17]) Lihat: Al-Mughni (3/109).
([18]) Lihat: Asy-Syarh al-Mumti’ (6/458).
([19]) Lihat: Al-Mughni (3/113).
([20]) HR. Abu Daud No. 2455, dinyatakan hasan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([21]) Imam Bukhari meriwayatkan tentang ini dengan sighah ta’liq dalam Shahih Bukhari sebelum hadits No. 1924.
([22]) Lihat: Asy-Syarh al-Mumti’ (6/360).
([23]) HR. Bukhari No. 6689 dan HR. Muslim No. 1907.
([24]) HR. An-Nasai No. 2331, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa’ No. 914.
([25]) Lihat: Al-Mabsuth (3/66), al-Majmu’ (6/302), al-Inshaf (3/209).
([26]) Lihat: Asy-Syarh al-Kabir (1/521).
([27]) Lihat: Asy-Syrah al-Mumti’ (6/356).
([28]) HR. Bukhari No. 1912.
([29]) Lihat: Fath al-Bari (4/126).
([30]) Lihat: Asy-Syrah al-Mumti’ (6/356).
([31]) Lihat: Hasyiah ath-Thahtawi hlm. 352.
([32]) Majmu’ al-Fatawa (18/262).
([33]) Lihat: Asy-Syrah al-Mumti’ (6/358).
([34]) Lihat: Hasyiah ad-Dusuki (1/520), al-Majmu’ (6/298), al-Iqna’ (1/309).



Pembatal-Pembatal Puasa

Pembatal-pembatal puasa adalah segala hal yang dilarang bagi seorang yang berpuasa. Jika segala hal tersebut dilanggar, maka puasa menjadi batal.

  1. Makan dan minum

Para ulama sepakat bahwa barang siapa yang dengan sengaja makan dan minum sementara ia sadar bahwa ia sedang berpuasa, maka puasanya tersebut batal.([1]) Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,

﴿وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ﴾

“Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Di dalam hadits qudsi, Allah ﷻ berfirman,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku.”([2])

Adapun seseorang makan dan minum di hari puasanya karena benar-benar lupa, maka hal tersebut tidak membatalkan puasanya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

Barang siapa yang makan dan minum karena lupa, sedangkan ia puasa, maka hendaklah diteruskannya puasanya itu, karena Allah telah memberinya makan dan minum.”([3])

  1. Jimak

Para ulama sepakat bahwa barang siapa yang melakukan jimak di siang hari Ramadan (dengan sengaja) maka puasanya batal.([4])

Secara singkat, jimak adalah memasukkan kepala zakar ke kemaluan wanita. Ketika hal ini telah terjadi, maka jimak telah terjadi meskipun tidak terjadi ejakulasi. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

لا نعلم بين أهلِ العلم خلافًا في أنَّ من جامَعَ في الفرجِ، فأنزَلَ أو لم يُنزِل, أو دونَ الفَرجِ فأنزَلَ؛ أنه يَفسُدُ صَومُه إذا كان عامدًا

“Aku tidak tahu terjadi ikhtilaf di kalangan ahli ilmu bahwa barang siapa yang melakukan jimak secara sengaja di kemaluan, baik terjadi ejakulasi ataupun tidak, atau juga bahkan melakukan jimak di selain kemaluan, maka puasanya batal.”([5])

Konsekuensi dari jimak adalah puasa lelaki dan wanita menjadi batal, sehingga wajib bagi mereka untuk qada’. Selain itu wajib bagi mereka untuk membayar kafarat. Kafarat tersebut secara urutan, yaitu dengan memerdekakan budak, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, kemudian jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin.([6])

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,

بيْنَما نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، إذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يا رَسولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: ما لَكَ؟ قَالَ: وقَعْتُ علَى امْرَأَتي وأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَهلْ تَسْتَطِيعُ أنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، قَالَ: لَا، فَقَالَ: فَهلْ تَجِدُ إطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا. قَالَ: لَا، قَالَ: فَمَكَثَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَبيْنَا نَحْنُ علَى ذلكَ أُتِيَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – والعَرَقُ المِكْتَلُ – قَالَ: أيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ: أنَا، قَالَ: خُذْهَا، فَتَصَدَّقْ به فَقَالَ الرَّجُلُ: أعَلَى أفْقَرَ مِنِّي يا رَسولَ اللَّهِ؟ فَوَاللَّهِ ما بيْنَ لَابَتَيْهَا – يُرِيدُ الحَرَّتَيْنِ – أهْلُ بَيْتٍ أفْقَرُ مِن أهْلِ بَيْتِي، فَضَحِكَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ حتَّى بَدَتْ أنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: أطْعِمْهُ أهْلَكَ

“Ketika kami sedang duduk bermajelis bersama Nabi ﷺ tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, binasalah aku’. Beliau bertanya, ‘Ada apa denganmu?’ Orang itu menjawab, ‘Aku telah berhubungan dengan istriku sedangkan aku sedang berpuasa.’  Maka Rasulullah ﷺ bertanya, ‘Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak.’ Lalu Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak.’ Lalu Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak.’ Sejenak Nabi ﷺ terdiam. Ketika kami masih dalam keadaan tadi, Nabi ﷺ diberikan satu keranjang berisi kurma, lalu Beliau bertanya, ‘Mana orang yang bertanya tadi?’ Orang itu menjawab, ‘Aku.’ Maka Beliau berkata, ‘Ambillah kurma ini lalu bersedekahlah dengannya.’ Orang itu berkata, ‘Apakah diberikan kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal di antara dua perbatasan, (yang dia maksud adalah dua gurun pasir), yang lebih fakir daripada keluargaku.’ Mendengar itu Nabi ﷺ menjadi tertawa hingga tampak gigi seri Beliau. Kemudian Beliau berkata, ‘Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini.’”([7])

  1. Istimna’

Istimna’ adalah mengeluarkan mani karena menuruti hawa nafsu dengan cara selain jimak, ([8])  seperti mencium, meraba, atau yang lainnya, dan ia pun tahu bahwa maninya akan keluar dengan perbuatan tersebut.

Ulama sepakat bahwa barang siapa yang melakukan istimna’ di siang hari Ramadan, maka puasanya batal dan wajib baginya untuk qada’.([9]) Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

فَصْلٌ: وَلَوْ اسْتَمْنَى بِيَدِهِ فَقَدْ فَعَلَ مُحَرَّمًا، وَلَا يَفْسُدُ صَوْمُهُ بِهِ إلَّا أَنْ يُنْزِلَ، فَإِنْ أَنْزَلَ فَسَدَ صَوْمُهُ

“Pasal: seandainya seseorang istimna’ dengan tangannya maka sungguh dia telah melakukan hal yang haram. Perbuatannya ini tidaklah membatalkan puasa kecuali jika keluar maninya, jika keluar maka puasanya batal”([10])

Dalil akan hal ini adalah firman Allah ﷻ dalam hadits qudsi,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku.”([11])

Adapun seseorang yang maninya keluar tanpa keinginannya, maka para ulama sepakat bahwa puasa orang ini tetap sah. Hal ini karena keluarnya mani tersebut bukan atas dasar keinginannya. Permasalahan ini seperti halnya seseorang yang makan dan minum di bulan Ramadan karena lupa. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

أَوْ تُقَبِّلُهُ امْرَأَةٌ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ فَيُنْزِلُ، أَوْ مَا أَشْبَهَ هَذَا، فَلَا يَفْسُدُ صَوْمُهُ، لَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا

“Atau seperti seseorang yang dicium oleh wanita tanpa keinginannya kemudian air maninya pun keluar, atau yang semisalnya, maka puasanya tidak batal. Kami tidak mengetahui terjadi khilaf di kalangan para ulama atas masalah ini.” ([12])

  1. Muntah dengan sengaja

Barang siapa dengan sengaja melakukan hal-hal yang dapat membuat dirinya muntah, baik itu dengan memasukkan tangannya ke dalam mulutnya atau mencium hal-hal yang dapat menimbulkan muntah di siang hari Ramadan, maka puasanya batal dan wajib baginya untuk qada’.

Adapun jika seseorang muntah bukan atas dasar kehendaknya, seperti muntah karena sakit, maka puasanya tidak batal. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قيءٌ وهو صَائِمٌ، فليسَ عليهِ قَضَاءٌ، وإن استقاء فَلْيَقْضِ

“Barang siapa yang muntah dengan tidak sengaja sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qada’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka baginya qada’.”([13])

  1. Haid dan nifas

Jika seorang wanita mengalami haid atau nifas di hari Ramadan, baik itu di awal, tengah, ataupun di akhir hari, maka otomatis puasanya batal. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah seorang wanita bila dia sedang haid dia tidak shalat dan puasa?”([14])

  1. Murtad

Para ulama sepakat bahwa orang yang murtad dalam keadaan berpuasa, maka puasanya tersebut batal. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

لا نعلَمُ بين أهل العِلم خلافًا في أنَّ مَن ارتدَّ عن الإسلامِ في أثناء الصَّوم، أنَّه يَفسُدُ صَومُه

“Kami tidak mengetahui terjadi ikhtilaf di antara ahli ilmu bahwa barang siapa yang murtad dari Islam saat berpuasa, maka puasanya tersebut menjadi batal.”([15])

______

Footnote:

([1]) Lihat: Al-Mughni (3/119) dan Maratib al-Ijma’ hlm. 39.
([2]) HR. Bukhari No. 1894.
([3]) HR. Muslim No. 1155.
([4]) Lihat: Maratib al-Ijma’ hlm. 39.
([5]) Al-Mughni (3/134).
([7]) HR. Bukhari No. 1936.
([8]) Lihat: Mughni al-Muhtaj (1/430).
([9]) Lihat: Tuhfah al-Fuqaha’ (1/358), Syarh Mukhtashar Khalil (2/253), dan Al-Majmu’ (6/322).
([10]) Al-Mughni (3/128).
([11]) HR. Bukhari No. 1894.
([12]) Al-Mughni (4/364-365).
([13]) HR. Abu Daud No. 2380 dan dinyatakan sahih oleh al-Arnauth.
([14]) HR. Bukhari No. 1951.
([15]) Al-Mughni (3/133).

Sumber Keempat

Hal-Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa

1. Makan dan minum dalam keadaan lupa

Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Barang siapa yang lupa sedang ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” ([1])

2. Jimak dalam keadaan lupa

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa terdapat tiga pendapat ulama berkaitan masalah ini:

  • Pertama: Tidak wajib mengqada dan tidak wajib membayar kafarat. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah([2]) dan Imam Syafi’i([3]).
  • Kedua: Harus mengqada saja. Ini adalah pendapat Imam Malik.([4])
  • Ketiga: Harus mengqada dan kafarat. Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Ahmad.([5])

Syaikhul Islam merajihkan pendapat pertama.([6]) Dan inilah pendapat yang kami pilih. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:

    Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَلَا كَفَّارَةَ

“Barang siapa berbuka di bulan Ramadan karena lupa maka tidak ada qada dan kafarat baginya.” ([7])

Dalam hadits ini disebutkan secara umum “Barang siapa berbuka”, dan jimak termasuk salah satu yang membuat orang berbuka dari puasanya. ([8])

    Kias terhadap orang yang makan dan minum karena lupa.([9])

3. Ihtilam/mimpi basah

Ihtilam adalah sesuatu yang tidak mampu seseorang untuk menghindarinya. Juga kita ketahui bahwasanya Allah ﷻ tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Allah ﷻ berfirman,

﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dengan demikian, para ulama memfatwakan bahwa ihtilam tidak menyebabkan puasa seseorang menjadi batal. Al-Mawardi mengatakan hal ini sebagai ijmak,

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُ وَأَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّهُ إنْ احْتَلَمَ فِي اللَّيْلِ وَأَمْكَنَهُ الِاغْتِسَالُ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَمْ يَغْتَسِلْ وَأَصْبَحَ جُنُبًا بِالِاحْتِلَامِ أَوْ احْتَلَمَ فِي النَّهَارِ فَصَوْمُهُ صَحِيحٌ

“Al-Mawardi dan lainnya berkata, ‘Umat telah ijmak/sepakat bahwa seseorang jika ihtilam di waktu malam, dan memungkinkannya untuk mandi namun dia tidak mandi, sehingga dia menjadi seorang yang junub di waktu pagi, atau dia ihtilam di waktu siang, maka puasanya sah.” ([10])

4. Menelan apa yang ada di sela gigi

Ibnul Mundzir berkata,

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَن لا شيءَ علَى الصَّائمِ فِيْمَا يَزْدَرِدُهُ مِمَا يَجْرِيْ مَعَ الرِّيْقِ مِمَا بَيْنَ أَسْنَانِه، فِيْمَا لَا يَقْدِرُ عَلَى الامْتِنَاعِ مِنْهُ

“Para ulama ijmak/sepakat bahwa tidak mengapa bagi orang yang berpuasa terhadap sesuatu di sela giginya yang tertelan bersama air liur, di mana dia tidak mampu untuk menghindarinya.” ([11])

5. Muntah

Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ , وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

“Barang siapa yang sengaja menjadikan dirinya muntah, maka wajib mengqada puasanya. Dan barang siapa yang muntah tanpa disengaja maka tidak wajib qada baginya.” ([12])

6. Menelan air liur

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

لا يُفَطِّرُ ابْتِلاعُ الرِّيقِ إذا لم يَجْمَعْه، بغيرِ خِلافٍ نَعْلَمُه؛ لأنَّه لا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ منه، أشْبَهَ غُبارَ الطّرِيقِ.

“Menelan air liur yang tidak dikumpulkan tidak membatalkan puasa tanpa ada ikhtilaf berdasarkan sepengetahuan kami. Hal ini dikarenakan tidak mungkin untuk menghindarinya, seperti debu yang beterbangan di jalan.” ([13])

7. Masuknya debu dan semisalnya ke tenggorokan

An-Nawawi rahimahullah berkata,

اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّهُ لَوْ طَارَتْ ذُبَابَةٌ فَدَخَلَتْ جَوْفَهُ أَوْ وَصَلَ إلَيْهِ غُبَارُ الطَّرِيقِ أَوْ غَرْبَلَةُ الدَّقِيقِ بِغَيْرِ تَعَمُّدٍ لَمْ يُفْطِرْ

“Ulama mazhab kami sepakat bahwa jika ada lalat, debu, dan butiran tepung masuk ke dalam tubuh tanpa sengaja, maka ini tidak membatalkan.” ([14])

Al-Buhuti berkata,

وَلَا إنْ طَارَ إلَى حَلْقِهِ ذُبَابٌ أَوْ غُبَارُ طَرِيقٍ أَوْ نَخْلِ نَحْوِ دَقِيقٍ أَوْ دُخَانٍ بِلَا قَصْدٍ لِعَدَمِ إمْكَانِ الْحِرْزِ مِنْهُ … لَمْ يَفْسُدْ صَوْمُهَا

“Begitu juga jika ada lalat, debu, serangga sebesar tepung, atau asap yang terbang masuk ke dalam tenggorokannya tanpa sengaja karena dia tidak bisa menghindarinya, maka hal ini tidak membatalkan puasa.” ([15])

____

Footnote:

([1]) HR. Bukhari No. 6669 dan Muslim No. 1155.

([2]) Lihat: Al-Binayah Syarh al-Bidayah (4/35).

([3]) Lihat: Al-Majmu’ (6/324).

([4]) Lihat: Al-Kafi Fi Fiqhi al-Madinah (1/343)

([5]) Lihat: Bidayah al-Abid, hlm. 65.

([6]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (25/226).

([7]) HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 3521. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil (4/87).

([8]) Lihat: Subul as-Salam (2/160).

([9]) Lihat: Fath al-Bari (4/156).

([10]) Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/308).

([11]) Al-Ijmak, Ibnul Mundzir, hlm. 49.

([12]) HR. Daruquthni dalam Sunannya No. 2273. Dinyatakan sahih oleh al-Arnauth dalam Takhrij Sunan ad-Druquthni.

([13]) Syarh al-Kabir (7/475).

([14]) Al-Majmu’ Syahr al-Muhdzdzab (6/327).

([15]) Syarh Muntaha al-Iradat (1/482).

Sumber Kelima

Bersedekah di Bulan Ramadan

Bersedekah adalah amalan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالخَيْرِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ

“Nabi ﷺ adalah orang yang paling dermawan dalam segala kebaikan. Dan kedermawanan beliau yang paling baik (puncaknya) adalah saat bulan Ramadan.”([1])

Bersedekah dan amalan-amalan kebaikan lainnya sangat ditekankan untuk dikerjakan di setiap waktu pada bulan Ramadan. Terlebih lagi pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadan([2]). Siapa yang ragu akan kedermawanan Nabi Muhammad ﷺ? Tidak ada! Sampai-sampai orang Arab badui berkata kepada kaumnya ketika diberi sebuah pemberian oleh Nabi Muhammad ﷺ,

يَا قَوْمِ أَسْلِمُوا، فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِي عَطَاءً لَا يَخْشَى الْفَاقَةَ

“Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad apabila telah memberi maka ia memberi tanpa takut miskin sama sekali’.”([3])

Lihat pula ketika beliau ﷺ baru kembali dari perang Hunain, kemudian seseorang menyudutkan beliau  untuk meminta sesuatu, hingga selendang beliau terjatuh. Maka ketika itu Nabi Muhammad ﷺ berkata,

أَعْطُونِي رِدَائِي، فَلَوْ كَانَ عَدَدُ هَذِهِ العِضَاهِ نَعَمًا، لَقَسَمْتُهُ بَيْنَكُمْ، ثُمَّ لاَ تَجِدُونِي بَخِيلًا، وَلاَ كَذُوبًا، وَلاَ جَبَانًا

“Berikan selendangku. Seandainya aku memiliki banyak pohon berduri ini([4]) sebagai harta maka aku bagikan kepada kalian, lalu kalian tidak akan mendapati aku sebagai orang yang pelit, dusta atau pengecut.”([5])

Lihat pula kisah ketika Nabi Muhammad ﷺ diberikan oleh seorang wanita pakaian yang bagus lantaran melihat beliau ﷺ mengenakan pakaian yang lusuh. Perawi menyebutkan bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ memakainya karena butuh. Namun, hanya sebentar saja beliau memakainya, kemudian datang seseorang memintanya pakaian yang dikenakannya tersebut. Maka beliau ﷺ pun memberikan pakaian tersebut kepadanya dengan penuh kegembiraan.([6])

Demikianlah kedermawanan Nabi Muhammad ﷺ, yang bahkan di bulan Ramadan jauh lebih dermawan lagi. Mengapa dikatakan puncak kedermawanan Nabi Muhammad ﷺ pada bulan Ramadan? Tidak lain karena beliau menyadari bahwasanya pahala di bulan Ramadan berlipat ganda. Maka tidak heran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu sampai mengatakan,

فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ

“Sungguh Rasulullah ﷺ jauh lebih baik daripada angin yang berhembus.”([7])

Kita ketahui bahwa angin sifatnya cepat dan mudah tersebar. Maka demikianlah yang Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ingin gambarkan tentang Nabi Muhammad ﷺ, bahwasanya beliau apabila berbuat baik sangat cepat mudah tersebar kebaikan beliau.

Oleh karena itu, kesempatan bagi setiap muslim pada saat bertemu dengan bulan Ramadan, hendaknya dimanfaatkan dengan baik. Bersedekahlah tanpa banyak perhitungan di bulan Ramadan ini, karena kapan lagi bisa bersedekah dengan pahala yang berlipat ganda? Bahkan penulis bisa katakan, tidak mengapa kita perhitungan dalam bersedekah di selain bulan Ramadan, namun tidak dibulan Ramadan ini, karena Ramadan ini waktunya terbatas.
______

Footnote:

([1]) HR. Bukhari No. 1902.

([2]) Lihat: Al-Majmu’ (6/376).

([3]) HR. Muslim No. 2312.

([4]) Lihat: Syarh Shahih al-Bukhari, Ibnu Batthal (5/35).

([5]) HR. Bukhari No. 3148.

([6]) Lihat: Shahih al-Bukhari No. 1277 (2/78).

([7]) HR. Bukhari No. 6.

Sumber Keenam

Memperbanyak Membaca Al-Qur’an Di Bulan Ramadhan

Membaca Al-Qur’an

Di antara amalan yang tidak perlu menggunakan biaya adalah membaca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan adalah amalan yang spesial, karena Ramadan memang bulannya Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman,

﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ﴾

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)

Pada bulan Ramadan Nabi Muhammad ﷺ fokus membaca Al-Qur’an, dan bahkan Jibril n pun khusus turun di bulan Ramadan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad ﷺ. Para sahabat pun fokus membaca Al-Qur’an sampai ada di antara mereka yang bisa khatam Al-Qur’an dalam satu hari.

Di anjurkan untuk memperbanyak membaca al-Qur’an, dzikir dan amalan kebaikan lainnya pada saat pertengahan bulan Ramadan. Amalan ini sangat dianjurkan, karena pahala amal kebaikan akan dilipatgandakan pada bulan yang mulia ini. ([1])

Oleh karena itu, bacalah Al-Qur’an. Bagi kita yang bekerja di siang harinya, jika ada waktu senggang maka bacalah Al-Qur’an tanpa harus merasa malu dengan orang-orang di sekitar. Bagi yang sedang bersafar, bacalah Al-Qur’an. Demikian pula di malam hari di bulan Ramadan hendaknya kita tidak lepas dari membaca Al-Qur’an. Ingatlah sabda Nabi Muhammad ﷺ,

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ

“Bacalah Al-Quran, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberikan syafaat bagi orang yang membacanya.”([2])

Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ

“Puasa dan Al-Qur’an kelak pada hari kiamat akan memberi syafaat kepada seorang hamba. Puasa berkata, ‘Duhai Rabb, aku telah menahannya dari makanan dan nafsu syahwat di siang hari, maka izinkanlah aku memberi syafaat kepadanya’. Dan Al-Qur’an berkata, ‘Aku telah menahannya dari tidur di malam hari, maka izinkanlah aku memberi syafaat kepadanya’. Maka mereka berdua (puasa dan Al-Qur’an) pun akhirnya memberi syafaat kepadanya.”([3])

Namun, kita tentunya harus realistis terhadap kemampuan diri kita, tetapi tidak pula bermalas-malasan. Kita perlu untuk menetapkan target selama di bulan Ramadan ini agar kita bisa optimal dalam membaca Al-Qur’an.
_______

Footnote:

([1]) Lihat: Syarh an-Nawawi Ala Muslim (15/69).

Disebutkan bahwa Imam Malik r meninggalkan majelis haditsnya pada saat bulan Ramadan dan memilih untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Begitu juga dengan Imam asy-Syafi’i, yang mana beliau membaca Al-Qur’an selama sehari mampu menghatamkan 60 kali. [Lihat: Kassyaf al-Qina’ (2/332)]

([2]) HR. Muslim No. 804.

([3]) HR. Ahmad No. 6626 (2/174), dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih at-Targhib No. 1429.

Sumber Ketujuh

Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa

    Berlebihan dalam istinsyaq saat berwudhu.

Rasulullah ﷺ bersabda,

أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Sempurnakanlah wudu dan bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq, kecuali engkau dalam keadaan berpuasa.” ([1])

Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama mengatakan makruhnya berlebihan dalam istinsyaq. ([2])

    Mencium pasangan

Dalam membahas masalah ini, maka harus dibedakan  antara orang yang mudah bangkit syahwatnya dengan orang yang bisa menjaga syahwatnya. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ melakukannya sebagaimana diriwayatkan Aisyah i,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

“Rasulullah ﷺ menciumku saat beliau sedang berpuasa. Beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dari pada kalian.” ([3])

Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ mengizinkan dan melarang sahabat untuk melakukannya. Dari Abu Hurairah h,

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ، «فَرَخَّصَ لَهُ»، وَأَتَاهُ آخَرُ، فَسَأَلَهُ، «فَنَهَاهُ»، فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ، وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ

“Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan orang yang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” ([4])

Hadits ini menunjukkan bahwasanya perbedaan kondisi seseorang memberikan pengaruh terhadap perbedaan hukum. Oleh karenanya, para ulama juga membedakan hukumnya tergantung kondisi seseorang. Ibnu Qudamah rahimahullah,  berkata,

فَإِنَّ الْمُقَبِّلَ إذَا كَانَ ذَا شَهْوَةٍ مُفْرِطَةٍ، بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ إذَا قَبَّلَ أَنْزَلَ، لَمْ تَحِلَّ لَهُ الْقُبْلَةُ؛ لِأَنَّهَا مُفْسِدَةٌ لِصَوْمِهِ، فَحَرُمَتْ، كَالْأَكْلِ.

“Sesungguhnya orang yang mencium jika memiliki syahwat yang sangat besar, di mana dia yakin jika ia mencium akan membuat maninya keluar, maka tidak halal baginya untuk mencium pasangannya. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut membuat puasanya rusak/batal, sehingga diharamkan seperti makan.”

Kemudian beliau berkata,

وَإِنْ كَانَ ذَا شَهْوَةٍ، لَكِنَّهُ لَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ ذَلِكَ، كُرِهَ لَهُ التَّقْبِيلُ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُ صَوْمَهُ لِلْفِطْرِ، وَلَا يَأْمَنُ عَلَيْهِ الْفَسَادُ

“Jika dia memiliki syahwat, namun dia meyakini tidak akan terjadi hal tersebut. Dalam kondisi ini mencium hukumnya makruh karena dia bisa membuat puasanya batal, dan dia tidak bisa aman darinya.”([5])

Imam Nawawi juga menyatakan hal yang sama, beliau rahimahullah berkata,

ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا كَرَاهَتُهَا لِمَنْ حَرَّكَتْ شَهْوَتَهُ وَلَا تُكْرَهُ لِغَيْرِهِ وَالْأَوْلَى تَرْكُهَا فَإِنْ قَبَّلَ مَنْ تُحَرِّكُ شَهْوَتَهُ وَلَمْ يُنْزِلْ لَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ

“Kami telah sebutkan dalam mazhab kami bahwasanya mencium hukumnya makruh bagi orang yang syahwatnya dapat bangkit dikarenakan mencium. Adapun orang yang syahwatnya tidak bangkit maka tidak makruh. Yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut. Seandainya seseorang yang mencium kemudian syahwatnya bangkit namun tidak menyebabkan maninya keluar maka puasanya tidak batal.” ([6])

    Wishal ([7])

    Banyak tidur di siang hari. ([8])

Orang yang banyak tidur puasanya sah dan mendapatkan pahala. Akan tetapi, dia telah kehilangan banyak pahala karena telah menyia-nyiakan waktunya dan tidak menjaga ibadah puasanya dengan berzikir, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lainnya. ([9])

    Mencicipi makanan.

Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk mencicipi makanan jika memang dibutuhkan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,

لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ، مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Tidak mengapa mencicipi cuka atau yang lainnya selama tidak sampai ke tenggorokannya, dan dia dalam keadaan berpuasa.” ([10])

Adapun jika mencicipinya tanpa ada kebutuhan, maka ini dimakruhkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ulama mazhab Hanabilah,

وَيُكْرَهُ ذَوْقُ طَعَامٍ بِلاَ حَاجِةٍ

“Dimakruhkan mencicipi makanan tanpa adanya kebutuhan.” ([11])

    Mengumpulkan air liur lalu menelannya

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

ويُكْرَهُ للصّائِمِ جَمْعُ رِيقِه وابْتِلاعُه؛ لإِمْكانِ التَّحَرُّزِ منه. فإن جَمَعَه ثم ابْتَلَعَه قَصْدًا، لم يُفَطِّرْه؛ لأنَّه يَصِلُ إلى جَوْفِه مِن مَعِدَتِه

“Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa mengumpulkan air liur dan menelannya.  Hal ini dikarenakan memungkinkan bagi seseorang untuk menghindarinya. Namun, jika ia mengumpulkan air liurnya kemudian dengan sengaja menelannya maka hal ini tidak membatalkan puasanya. Dikarenakan air liur yang masuk ke dalam tubuhnya adalah sesuatu yang berasal dari lambungnya.” ([12])

Permasalahan: Bersiwak setelah zawal

Sebagian ulama mengatakan makruhnya siwak setelah zawal.([13]) Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah ﷺ,

إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتَاكُوا بِالْغَدَاةِ وَلَا تَسْتَاكُوا بِالْعَشِيِّ فَإِنَّ الصَّائِمَ إِذَا يَبِسَتْ شَفَتَاهُ كَانَ لَهُ نُورٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jika engkau sedang puasa, bersiwaklah di pagi hari dan jangan bersiwak di siang hari([14]). Karena orang yang puasa itu jika kering dua bibirnya akan mendapat cahaya di hari kiamat.” ([15])

Sebagian ulama lain memandang bahwa bersiwak disyariatkan setiap waktu. ([16])Adapun hadits pelarangan bersiwak di siang hari dihukumi para ulama sebagai hadits lemah sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Terlebih lagi dalil tersebut bertentangan dengan keumuman dalil lain yang sahih, yaitu sabda Rasulullah ﷺ,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Sekiranya tidak memberatkan ummatku atau manusia, niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali hendak shalat.” ([17])

Dalam riwayat lain,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ

“Sekiranya tidak memberatkan ummatku niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali wudu.” ([18])

Syekh as-Sindi berkata,

وَفِيهِ دلَالَةٌ عَلَى أَنَّه لَا مَانِعَ مِنْ إِيجَابِ السِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ إِلَّا مَا يَخَافُ مِنْ لُزُومِ الْمَشَقَّةِ عَلَى النَّاسِ وَيلْزمُ مِنْهُ أَن يكونَ الصَّوْمُ غيرَ مَانعٍ مِنْ ذَلِك

“Dalam hadits ini terdapat dalil  bahwa tidak ada penghalang dari kewajiban bersiwak setiap shalat kecuali khawatir dari memberatkan terhadap manusia. Hal ini berkonsekuensi puasa bukanlah penghalang dari kewajiban tersebut.” ([19])
______

Footnote:

([1]) HR. Ibnu Majah No. 407. Dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([2]) Lihat: Al-Mughni (1/34).
([3]) HR. Muslim No. 1106.
([4]) HR. Abu Daud No. 2387.
([5]) Al-Mughni (3/127).
([6]) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/355).
([7]) Lihat: Mawahib al-Jalil Fi Syarh Mukhtashar (1/78).
([8]) Lihat: Mawahib al-Jalil Fi Syarh Mukhtashar (1/78).
([9]) Lihat: Fatawa Nur Ala ad-Darb (16/45).
([10]) HR. Ibnu Abu Syaibah No. 9277. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam kitabnya Irwa al-Ghalil No. 937.
([11]) Zad al-Mustaqni’ Fi Ikhtishar al-Muqni’, hlm 83.
([12]) Syarh al-Kabir (7/475).
([13]) Ini adalah pendapat mazhab Hanabilah [Lihat: Al-Hidayah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad (1/160) dan Syafi’iyah [Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab (6/377)].
([14]) الْعَشِيِّ adalah waktu di antara zawal hingga terbenamnya matahari. Disebutkan juga maknanya adalah waktu setelah Asar. [Lihat: At-Taisir Bisyarh al-Jami’ ash-Shaghir (1/113)].
([15]) HR. Thabrani No. 3696. Dinyatakan daif oleh al-Albani dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, hlm, 67.
([16]) Ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. [Lihat: Al-Mughni 1/72)].
([17]) HR. Bukhari No. 887.
([18]) HR. Bukhari (3/31).
([19]) Hasyiyah as-Sindi ‘Ala Sunan an-Nasai (1/12).

Baca artikel lebih banyak (tanpa video) di: https://bekalislam.firanda.com/

BEKAL RAMADHAN: Pertama Keutamaan Ramadhan || Kedua Niat Hingga Pembatal Puasa || Ketiga Waktu Berbuka Hingga Tarawih || Keempat Udzur, Qadha, Dan Fidyah

Sumber: https://bekalislam.firanda.com/

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.