Type Here to Get Search Results !

 


BEKAL SEBELUM RAMADHAN: KEUTAMAAN RAMADHAN


Definisi Puasa

Secara Bahasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan ash-shiyam yang maknanya secara bahasa adalah al-imsak (menahan diri).([1]) Hal ini sebagaimana dalam firman Allah ﷻ,

﴿فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًاۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا﴾

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)

Makna lafal “shauman” pada ayat di atas adalah menahan diri untuk berbicara.([2])

Secara Istilah

Secara istilah syariat, puasa adalah beribadah kepada Allah ﷻ dengan menahan diri dari makan dan minum dan segala yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.([3])
_____

Footnote:

([1]) Lihat: Maqayis al-Lughah (3/323).

([2]) Lihat: Tafsir ath-Thabari (15/519).

([3]) Lihat: Syarh al-Mumti’ (6/298).

Sumber Pertama

Sejarah Puasa

Ketika puasa pertama kali diwajibkan kepada umat Islam, maka tidak seperti puasa kita pada saat ini. Menurut pendapat yang kuat, ada beberapa tahapan-tahapan model puasa sejak disyariatkannya hingga saat ini, di antaranya:

Tahapan pertama: Wajib puasa Asyura (10 Muharam). Dahulu, hukum puasa Asyura wajib, bahkan orang Yahudi juga berpuasa pada waktu itu. Dalam riwayat Ibnu Abbas, ketika Nabi Muhammad ﷺ memasuki kota Madinah, beliau ﷺ mendapati orang-orang Yahudi berpuasa. Maka ketika ditanyakan sebabnya, orang-orang Yahudi berkata,

هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ

“Ini adalah hari yang agung, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Firaun. Lalu Nabi Musa berpuasa sebagai wujud syukur kepada Allah.”

Mendengar hal itu, maka Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa beliau dan umat Islam lebih utama mengikuti Nabi Musa n daripada orang-orang Yahudi. Maka, pada hari itu (hari Asyura) Nabi Muhammad ﷺ berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.([1])

Tahapan kedua: Puasa Ramadhan diwajibkan. Setelah syariat wajibnya puasa Asyura, maka tahapan selanjutnya adalah diwajibkannya puasa Ramadhan. Hal ini berdasarkan firman Allah ﷻ,

﴿فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾

“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Namun, ketika itu berlaku aturan batas akhir makan dan menggauli istri adalah setelah shalat isya atau sebelum tidur. Sehingga, apabila ada seseorang yang telah berbuka di awal malam, kemudian tertidur, lalu kemudian terbangun di tengah malam, maka ia sudah tidak boleh lagi makan hingga magrib berikutnya.

Tentunya, puasa ketika itu menjadi amalan yang cukup berat, sampai-sampai suatu kejadian menimpa salah seorang sahabat, yaitu Qais bin Shirma h. Qais bin Shirma al-Anshari bekerja di siang hari sementara dia sedang berpuasa. Ketika pulang, ia tidak mendapati makanan di rumahnya untuk berbuka. Istrinya pun berusaha keluar mencari makanan. Qais bin Shirma pun menunggu, namun karena kelelahan maka ia pun tertidur. Karena aturan ketika itu tidak boleh lagi makan apabila telah tidur, maka ia pun kembali berpuasa esok hari tanpa berbuka. Ketika kembali bekerja keesokan harinya, ia pun akhirnya pingsan. Ketika sampai kabar tersebut kepada Nabi Muhammad ﷺ, maka turunlah firman Allah ﷻ,

﴿أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ﴾

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)([2]).

Tahapan ketiga: Berubahnya aturan puasa. Setelah turunnya sebagian firman Allah ﷻ dalam surah Al-Baqarah ayat ke-187 tersebut, maka berubahlah aturan puasa. Aturan tersebut berbunyi bahwa batas akhir waktu berhubungan dengan pasangan, makan, minum di bulan Ramadhan adalah sebelum terbit fajar, dan itulah yang berlaku hingga saat ini dan seterusnya.
______

Footnote:

([1]) HR. Bukhari No. 3997.

([2]) Lihat: Shahih al-Bukhari No. 1915.

Sumber Kedua

Baca juga: Cara Berburu Lailatul Qadar

Hikmah Disyariatkannya Puasa

Allah ﷻ telah menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa dalam firman-Nya,

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183)

Puasa adalah sarana yang dapat mengantarkan seorang mukmin menuju ketakwaan. Puasa juga merupakan salah satu sebab yang paling agung yang dapat membantu seorang hamba untuk menjalankan perintah-perintah agamanya. Para ulama s telah menyebutkan beberapa hikmah disyariatkannya puasa, di antaranya:
  •     Puasa merupakan sarana untuk meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. Hal ini dikarenakan jika nafsu terbiasa menahan hal-hal yang dihalalkan demi mengharap rida Allah ﷻ dan takut akan siksa-Nya yang pedih, maka ia akan lebih bisa untuk menahan dari hal-hal yang diharamkan. Inilah kenapa puasa dapat menjadi sebab untuk menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah ﷻ.
  •     Dalam puasa, hawa nafsu dikalahkan. Hal ini dikarenakan ketika jiwa selalu merasa kenyang ia akan memicu datangnya syahwat, sebaliknya ketika ia merasa lapar maka ia akan mencegah munculnya syahwat. Nabi ﷺ bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).”([1])
  •     Puasa mendatangkan sifat belas kasih dan simpati bagi orang miskin. Jika orang yang berpuasa merasakan sakitnya menahan lapar pada suatu waktu, maka ia mengingatnya pada setiap kondisinya. Sehingga ia pun akan berbelas kasih dan berbuat ihsan kepada orang-orang miskin.
  •     Selama puasa, setan dikalahkan dan dilemahkan, sehingga kemaksiatan berkurang darinya. Hal ini dikarenakan setan berjalan mengikuti peredaran darah manusia, maka dengan berpuasa seseorang akan mempersempit ruang gerak setan pada dirinya. Ibnu Taimiyah r berkata,

فَإِنَّ مَجَارِيَ الشَّيَاطِينِ الَّذِي هُوَ الدَّمُ ضَاقَتْ وَإِذَا ضَاقَتْ انْبَعَثَتْ الْقُلُوبُ إلَى فِعْلِ الْخَيْرَاتِ الَّتِي بِهَا تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَإِلَى تَرْكِ الْمُنْكَرَاتِ

“Sesungguhnya darah yang merupakan tempat berjalannya setan  akan menyempit (karena sebab puasa-pent), dan apabila telah menyempit maka hati akan senantiasa bangkit untuk mengerjakan perkara-perkara kebajikan yang dengannya pintu surga akan terbuka dan kemungkaran akan ditinggalkan”([2])
  •     Seorang yang berpuasa akan melatih dirinya untuk senantiasa selalu merasa diawasi oleh Allah ﷻ. Maka ia pun akan meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya karena ia selalu merasa Allah ﷻ selalu mengawasinya.
  •     Dalam puasa terdapat nilai zuhud terhadap kehidupan dunia dan segala keindahannya. Puasa mengajak seseorang untuk lebih fokus dengan kehidupan akhirat dan segala yang dijanjikan oleh Allah ﷻ.
  •     Puasa mengajarkan seorang mukmin untuk terbiasa mengerjakan berbagai ketaatan.
___________

Footnote:

([1]) HR. Bukhari no. 5066

([2]) Majmu’ al-Fatawa (25/246)

Sumber Ketiga

Baca juga: Rahasia Lailatul Qadar

Keutamaan Ramadan

Bulan Ramadan adalah bulan untuk berpuasa, shalat, dan membaca Al-Qur’an. Suatu bulan yang penuh dengan ampunan dan pembebasan dari api neraka. Dibulan tersebut pintu-pintu surga dibukakan, pintu-pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu, dilipatkannya amalan kebajikan, dikabulkannya doa, dan diangkatnya derajat.

Berkaca kepada sikap para salaf terhadap bulan Ramadan, maka kita akan jumpai mereka memiliki perhatian yang besar terhadap bulan Ramadan. Hal ini terlihat dari riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali r dalam kitabnya Lathaif al-Ma’rif, bahwasanya para salaf dahulu selama setengah tahun berdoa untuk bisa bertemu dengan bulan Ramadan dan setengah tahunnya berdoa agar amalnya di bulan Ramadan diterima oleh Allah ﷻ([1]).

Hal yang mendasari sikap para salaf tersebut tidak lain karena mereka paham betul tentang keutamaan dan kemuliaan Ramadan, sehingga mereka benar-benar bersemangat ingin berjumpa dengan bulan Ramadan, serta memaksimalkan waktu mereka di bulan Ramadan.

Demikianlah, apabila seseorang benar-benar serius untuk menyambut bulan Ramadan, maka sejauh itu pula Allah ﷻ akan memberi taufik kepadanya agar mengisi bulan Ramadan dengan semaksimal mungkin. Adapun bagi orang yang menyambut bulan Ramadan hanya sebagai rutinitas tahunan, maka tentu sikapnya akan biasa-biasa saja. Namun ingatlah bahwasanya Allah ﷻ Maha Mengetahui hamba-hamba-Nya, sehingga Allah ﷻ pasti Maha Adil dalam memberikan balasan atas apa yang diusahakan oleh masing-masing hambanya di bulan Ramadan, baik bagi yang serius ataupun yang tidak serius.

Tentunya, kita tidak ingin menjadi orang yang biasa-biasa saja tatkala mendapati bulan Ramadan. Kita tentu ingin mengikuti jejak para salaf yang sangat luar biasa ketika di bulan Ramadan. Oleh karena itu, kita perlu untuk membahas fikih yang berkaitan dengan bulan Ramadan dan keutamaan-keutamaannya, sehingga kita bisa berpuasa dan beribadah dengan maksimal sebagaimana para salaf dahulu.
Keutamaan bulan Ramadan

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan keutamaan dari bulan Ramadan. Di antaranya:

    Ramadan adalah bulan berkah

Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,

أَتَاكُمْ رَمَضَانَ، شَهْرٌ مبارَكٌ

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah.”([2])

Keberkahan, secara istilah maknanya adalah kebaikan yang banyak dan menetap.([3]) Maka, ketika Nabi Muhammad ﷺ menyifati bulan Ramadan dengan bulan yang penuh berkah, artinya kebaikan di bulan Ramadan sangatlah banyak.

    Pahala amalan dilipatgandakan

Jika dikatakan bahwa bulan Ramadan memiliki banyak kebaikan, maka di antara kebaikannya adalah pahala yang dilipatgandakan secara kualitas dan kuantitas. Inilah yang disepakati oleh para ulama meskipun syariat tidak menyebutkan secara pasti berapa kali lipat penggandaannya.

Di antara hal yang menunjukkan bahwa pahala di bulan Ramadan dilipatgandakan, seperti berumrah di bulan Ramadan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

إِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي

“Sesungguhnya umrah di bulan Ramadan sebanding dengan haji atau seperti haji bersamaku.”([4])

Demikian pula dengan malam lailatulqadar, di mana Allah ﷻ berfirman,

﴿لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ﴾

“Lailatulqadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar: 3)

Dalil di atas ini menunjukkan bahwasanya pahala di bulan Ramadan dilipatgandakan. Terlebih lagi, Nabi Muhammad ﷺ lebih banyak beramal dan beribadah di bulan Ramadan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Ibnu Abbas menuturkan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالخَيْرِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ

“Nabi ﷺ adalah orang yang paling dermawan dalam segala kebaikan. Dan kedermawanan beliau yang paling baik (puncaknya) adalah saat bulan Ramadan.”([5])

Oleh karena itu, setiap kita sudah seharusnya memperbanyak ibadah di bulan Ramadan. Tasbih, berinfak, membaca Al-Qur’an, dan berumrah di bulan Ramadan tidak akan sama nilainya jika dilakukan di selain bulan Ramadan.

    Puasa adalah ibadah khusus bagi Allah ﷻ

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ bersabda, bahwasanya Allah ﷻ berfirman,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya.”([6])

Terdapat khilaf yang kuat di kalangan para ulama tentang firman Allah ﷻ “kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk Aku”. Al-Hafizh Ibnu Hajar r menyebutkan dalam kitabnya Fath al-Bari sekitar sembilan pendapat tentang sebab puasa menjadi spesial di sisi Allah ﷻ([7]). Namun, ada dua pendapat yang kuat dalam hal ini, yaitu:

Pendapat pertama: Karena puasa tidak dimasuki oleh riya’. Berbeda dengan ibadah yang lain, seseorang tidaklah diketahui ia berpuasa kecuali ia menceritakannya. Adapun ibadah selain puasa, terlihat dengan kasat mata apabila dilakukan. Dari sini, pintu riya’ untuk masuk kepada puasa sangatlah kecil, sehingga ini menjadikan puasa bernilai besar di sisi Allah ﷻ apabila seseorang melakukannya ikhlas karena-Nya.

Pendapat kedua: Karena pahala puasa tidak terbatas. Ketika Allah ﷻ mengatakan “dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya”, ini menunjukkan bahwasanya pahala puasa spesial dan tidak sebagaimana ibadah yang lainnya. Oleh karenanya, dalam sebuah riwayat yang lain Nabi Muhammad r bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah ﷻ berfirman, ‘Selain puasa, karena puasa itu adalah bagi-Ku dan Akulah yang akan memberinya pahala. Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku’.”([8])

Hal ini juga diperkuat dengan firman Allah ﷻ,

﴿إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ﴾

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Kita tentu tahu bahwasanya dalam berpuasa ada tiga model kesabaran, yaitu sabar menjalankan ketaatan, sabar meninggalkan maksiat, dan sabar dalam menghadapi ujian. Maka, orang yang berpuasa pasti ia bersabar, dan Allah ﷻ menyiapkan pahala tanpa batas bagi orang yang bersabar.

    Puasa menjadi penggugur dosa

Dalil akan hal ini banyak, di antaranya seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Shalat lima waktu dan shalat Jumat ke Jumat berikutnya, dan Ramadan ke Ramadan berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya apabila dia menjauhi dosa besar.”([9])

Demikian pula sabda Nabi Muhammad ﷺ dalam Shahih al-Bukhari,

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَارِهِ، تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ

“Fitnah (dosa) seseorang berkaitan dengan keluarganya, harta, anak dan tetangganya, akan terhapus oleh shalat, puasa, dan sedekah.”([10])

Demikian pula sabda Nabi Muhammad ﷺ yang sangat populer,

مَن صَامَ رَمَضَانَ، إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ.

“Barang siapa berpuasa Ramadan dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”([11])

Puasa akan menjadi amalan yang bisa menggugurkan dosa-dosa seseorang apabila ia benar-benar meyakini bahwasanya puasa adalah syariat dari Allah ﷻ serta yakin bahwasanya Allah ﷻ akan memberikan pahala dan ganjaran atas puasa yang ia lakukan.

    Orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu ar-Rayyan

Di surga, ada satu pintu khusus bernama pintu ar-Rayyan, yang dikhususkan bagi orang-orang yang berpuasa. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

فِي الجَنَّةِ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابٍ، فِيهَا بَابٌ يُسَمَّى الرَّيَّانَ، لاَ يَدْخُلُهُ إِلَّا الصَّائِمُونَ

“Di surga ada delapan pintu, di antaranya ada pintu yang disebut dengan ar-Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa.”([12])

Kata الرَّيَّانُ artinya adalah hilang dahaganya. Allah ﷻ tidak menamakan pintu surga tersebut dengan pintu puasa karena seakan-akan di surga masih ada puasa. Oleh karenanya dinamakan ar-Rayyan karena di surga tidak ada lagi puasa. ([13])

    Dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka

Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ

“Apabila telah datang bulan Ramadan, dibukakan pintu-pintu surga, dan ditutup pintu-pintu neraka jahanam.”([14])

Dalam riwayat yang lain,

إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ

“Apabila bulan Ramadan datang, maka pintu-pintu langit dibuka sedangkan pintu-pintu jahanam ditutup.”([15])

Dalam riwayat yang lain,

إِذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ

“Apabila Ramadan telah tiba, maka pintu-pintu rahmat akan dibuka, lalu pintu-pintu neraka ditutup.”([16])

Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama terkait makna hadits-hadits di atas. Di antara tafsir para ulama adalah ketika seseorang beribadah di bulan Ramadan, maka pintu-pintu langit terbuka sehingga amal sangat mudah untuk diterima. ([17]) Sebagaimana firman Allah ﷻ,

﴿إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ﴾

“Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)

Di antara tafsiran lain yaitu seseorang dimudahkan untuk masuk surga dengan beramal saleh di bulan Ramadan. ([18]) Kabar dibukanya pintu surga merupakan kabar gembira bagi setiap orang agar bersemangat beramal dengan sebanyak-banyaknya di bulan Ramadan.

    Setan dibelenggu

Di antara keutamaan bulan Ramadan adalah setan dibelenggu oleh Allah ﷻ. Hal ini diriwayatkan dalam banyak hadits, di antaranya seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

“Apabila Ramadan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”([19])

Bagaimana mengompromikan keterangan bahwasanya setan-setan dibelenggu sementara masih ada orang yang bermaksiat di bulan Ramadan? Maka ada beberapa jawaban:
  • Pertama: Yang dibelenggu hanyalah gembong (pemimpin) para setan, sehingga para anak buahnya masih bisa menggoda([20]). Namun, ini menjadi indikasi betapa lemahnya iman seseorang yang masih bisa tergoda di bulan Ramadan, karena ia bisa terjerumus maksiat hanya dengan godaan dari anak buah setan.
  • Kedua: Aktivitas setan terbatas.([21]) Artinya, setan tidak leluasa menggoda manusia sehingga akhirnya maksiat berkurang di bulan Ramadan.
  • Ketiga: Maksiat disebabkan pula oleh faktor internal, yaitu diri sendiri.([22]) Artinya, karena keburukan jiwa seseoranglah yang menjadikan masih terus bermaksiat meskipun di bulan Ramadan. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ dalam khutbahnya selalu menyebutkan,

وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا

“Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa kami.”

Demikian pula firman Allah ﷻ,

﴿إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي﴾

“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53)

Maka apabila jiwa seseorang selama sebelas bulan lamanya telah dibimbing oleh setan, maka ketika setan dibelenggu pun ia sudah bisa bermaksiat sendiri disebabkan keburukan jiwanya.

Oleh karenanya, ini tentu menjadi ujian bagi kita semua, karena meskipun setan dibelenggu, namun maksiat tetap bisa terjadi. Maka hendaknya kita terus waspada dan banyak berlindung kepada Allah ﷻ dari keburukan jiwa.

    Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum dari minyak kasturi

Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ المِسْكِ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada harumnya minyak kasturi.”([23])

Terdapat ikhtilaf di kalangan para ulama tentang apa maksud dari mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada minyak kasturi. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa maknanya adalah pahala yang didapatkan seseorang sangat besar, bahkan lebih baik daripada minyak kasturi. Sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa maknanya adalah orang yang berpuasa akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dengan bau mulut yang wangi. Hal ini sebagaimana orang yang mati syahid dibangkitkan dengan luka yang masih tampak dan darah yang baunya wangi. Pendapat kedua ini adalah pendapat yang lebih kuat.([24])

    Ada seruan khusus untuk bersemangat beribadah dan meninggalkan maksiat

Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,

إِذَا كَانَتْ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَنَادَى مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ

“Jika tiba waktu awal malam di bulan Ramadan maka setan-setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka. Pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup, lalu ada penyeru yang berseru, ‘Wahai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah’.”([25])

Seruan ini kita rasakan ketika bulan Ramadan telah tiba. Tatkala bulan Ramadan tiba, ada rasa semangat dan rasa gembira untuk beramal saleh di bulan Ramadan. Adapun rasa ingin bermaksiat seketika itu juga berkurang. Hal ini tidak lain karena adanya penyeru yang Nabi Muhammad ﷺ telah kabarkan dalam sabdanya tersebut.

    Ada kesempatan terbebas dari neraka di setiap malam bulan Ramadan

Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam (bulan Ramadan).”([26])

Artinya, di salah satu malam-malam bulan Ramadan ada kesempatan bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah agar kita dicatat oleh Allah ﷻ sebagai orang yang dibebaskan dari api neraka. Jika nama kita dicatat sebagai orang yang terbebas dari api neraka menandakan bahwa kita akan masuk surga dengan izin Allah ﷻ.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi maksiat di setiap hari bulan Ramadan. Apabila ternyata kita tidak tercatat di malam pertama, maka masih ada malam kedua dan seterusnya. Jadi, kesempatan kita sangat besar, tinggal apakah kita mau memanfaatkan kesempatan tersebut atau tidak.

Dari sini pula, kita perlu meluruskan hadits yang banyak dibawakan oleh para dai di tanah air kita, yang menyebutkan bahwasanya Ramadan terbagi menjadi tiga bagian,

وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

“Ramadan adalah bulan yang pertamanya adalah rahmat, pertengahan adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.”([27])

Hadits ini lemah dan bahkan dinilai munkar oleh sebagian ahli hadits. Hal ini dikarenakan hadits tersebut secara matan (konten) bertentangan dengan hadits sahih yang telah kita sebutkan di atas, dan juga sanadnya pun sendiri lemah.

Maka dari itu, yang benar bahwasanya seluruh malam di bulan Ramadan adalah kesempatan untuk terbebas dari api neraka. Kemudian, tiga perkara tersebut asalnya saling berkaitan dan tidak terpisahkan, karena yang namanya orang yang dirahmati maka pasti diampuni, dan orang yang diampuni maka pasti terbebas dari api neraka.

Melihat beberapa keutamaan bulan Ramadan ini, maka tentu menjadikan kita termotivasi untuk beribadah dengan semaksimal mungkin di bulan Ramadan. Terlebih lagi ketika kita menyadari bahwasanya masing-masing kita memiliki dosa yang begitu banyak, maka motivasi kita untuk bisa mendapatkan ampunan di bulan Ramadan menjadi sangat besar.

Oleh karena itu, ketika Allah ﷻ telah memberikan kepada seseorang seluruh kesempatan untuk mendapatkan seluruh keutamaan bulan Ramadan, kemudian ternyata ia masuk ke bulan Ramadan hingga selesai namun tidak mendapatkan ampunan, maka sungguh ia adalah orang yang celaka. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,

قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ: آمِينَ

“Jibril berkata, ‘Celaka seorang hamba yang memasuki bulan Ramadan namun ia tidak diampuni’. Maka aku berkata, ‘Aamiin’.”([28])

Kenapa dia merugi? Karena ia tidak menggunakan kesempatannya dengan sebaik mungkin. Ia menyia-nyiakan waktunya selama di bulan Ramadan, ia tidak beribadah dengan baik, dan ia tidak bersemangat. Padahal, Allah ﷻ telah mengondisikan Ramadan dengan sedemikian rupa, namun ia tidak diampuni. Dengan demikian, ia adalah orang yang celaka.
_______

Footnote:

([1]) Lihat: Lathaif al-Ma’rif, karya Ibnu Rajab al-Hanbali (hlm. 148).
([2]) HR. Nasai No. 2106, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([3]) Lihat: Futuh al-Ghaib (11/166).
([4]) HR. Bukhari No. 1863.
([5]) HR. Bukhari No. 1902.
([6]) HR. Bukhari No. 1904.
([7]) Lihat: Fath al-Bari (4/107)
([8]) HR. Muslim No. 1151.
([9]) HR. Muslim No. 233.
([10]) HR. Bukhari No. 1895.
([11]) HR. Bukhari No. 2014 dan HR. Muslim No. 760.
([12]) HR. Bukhari No. 3257.
([13]) Lihat: Kasyf al-Musykil Karya Ibnul Jauzi (3/391-392).
([14]) HR. Bukhari No. 3277.
([15]) HR. Bukhari No. 1899.
([16]) HR. Muslim No. 1079.
([17]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (25/246)
([18]) Lihat: Al-Minhaj (7/188).
([19]) HR. Bukhari No. 1899 dan HR. Muslim No. 1079.
([20]) Lihat: Fath al-Bari (4/114).
([21]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (25/246)
([22]) Lihat: Al-Mufhim Lima Usykila Min Talkhis Kitab Muslim (3/136).
([23]) HR. Bukhari No. 1904.
([24]) Lihat: Fath al-Bari (4/105-106).
([25]) HR. Ibnu Majah No. 1642, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([26]) HR. Ibnu Majah No. 1642, HR. Tirmizi No. 682, dan yang lainnya, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([27]) HR. Ibnu Khuzaimah No. 1887, al-A’zhami mengatakan dalam ta’liqnya bahwa sanad hadits ini dha’if. Syekh al-Albani juga mendha’ifkannya dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah Wa al-Maudhu’ah (2/263), bahkan beliau mengatakan hadits ini munkar.
([28]) HR. Bukhari No. 646 dalam al-Adab al-Mufrad (hlm. 225), dinyatakan hasan shahih oleh Syekh al-Albani.

Sumber Keempat

Berpuasa dengan (Ihtisab)  Sungguh-sungguh Mengharap Pahala

Selain berpuasa di bulan Ramadan dalam rangka menjalankan kewajiban yang Allah ﷻ tetapkan kepada hamba-Nya. Namun, hendaknya puasa yang dilakukan bukan sekadar puasa rutinitas belaka, akan tetapi hendaknya disertai dengan ihtisab (mengharap pahala), karena Nabi Muhammad ﷺ mengatakan,

مَن صَامَ رَمَضَانَ، إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ.

“Barang siapa berpuasa Ramadan dengan iman dan ihstisab (mengharap pahala) maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”([1])

Karena sejatinya tujuan dari puasa adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Al-Khattabi berkata tentang ihtisab,

أَنْ يَصُومَهُ عَلَى مَعْنَى الرَّغْبَةِ فِي ثَوَابِهِ طَيِّبَةً نَفْسُهُ بِذَلِكَ غَيْرَ مُسْتَثْقِلٍ لِصِيَامِهِ وَلَا مُسْتَطِيلٍ لِأَيَّامِهِ

“Ihtisab ialah ia berpuasa sesuai dengan makna ingin mendapat pahala, berpuasa dengan jiwa yang senang, tidak merasa berat terhadap puasanya, dan tidak merasa bahwa harinya begitu panjang.”([2])

Tentunya, berpuasa dengan disertai ihtisab berdasarkan makna di atas tidaklah mudah, karena betapa banyak orang yang berpuasa namun menganggapnya seperti menahan lapar dan dahaga pada umumnya.

Agar seseorang bisa menghadirkan ihtisab dalam puasanya, maka hendaknya ia senantiasa mengingat keutamaan-keutamaan puasa dan bulan Ramadan secara umum, dan juga mengingat dosa-dosa yang begitu banyak sehingga berharap dengan puasa tersebut dosanya akan diampuni oleh Allah ﷻ. Dengan begitu, kita pun akan bisa semangat dalam berpuasa.


_______

Footnote:

([1]) HR. Bukhari No. 2014 dan HR. Muslim No. 760.

([2]) Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4/115).

Sumber Kelima

Shalat Malam (qiyamullail) dengan Ihtisab 

Sebagaimana dengan puasa, Nabi Muhammad ﷺ juga mensyaratkan agar seseorang berihtisab ketika melakukan shalat malam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”([1])

Para ulama menjelaskan hadits ini merupakan anjuran bagi setiap orang untuk menghidupkan malam-malam puasanya dengan shalat([2]). Hendaknya setiap hamba menyadari bahwa setiap langkah kaki yang digunakan menuju masjid untuk shalat malam menjadikan pemberat timbangan amal kebaikannya serta menjadi penghapus dosa-dosanya. Dengan begitu, ia akan terus semangat dan ihtisab dalam menunaikan shalat malam.

Terkhusus di malam lailatulqadar, hendaknya jauh lebih bersemangat lagi, karena Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,

مَن قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang shalat malam di lailatulqadar dengan iman dan rasa harap pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”([3])

Karena tidak ada yang mengetahui kapan malam lailatul qadar itu, dan pendapat yang lebih kuat bahwasanya malam lailatul qadar itu berpindah-pindah dari satu Ramadan ke Ramadan berikutnya([4]). Maka, sudah seharusnya setiap orang bersemangat dan fokus beribadah di seluruh malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Ingatlah, apabila seseorang mendapati malam lailatulqadar namun tidak beribadah, maka sesungguhnya ia benar-benar terhalangi dari banyak kebaikan, karena Allah ﷻ sendiri yang mengatakan,

﴿لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍ﴾

“lailatulqadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadar: 3)

Karya: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA
Tema: Bekal Puasa

Baca artikel lebih banyak (tanpa video) di: https://bekalislam.firanda.com/

BEKAL RAMADHAN: Pertama Keutamaan Ramadhan || Kedua Niat Hingga Pembatal Puasa || Ketiga Waktu Berbuka Hingga Tarawih || Keempat Udzur, Qadha, Dan Fidyah

______

Footnote:

([1]) HR. Bukhari No. 37.

([2]) Lihat: Syarh an-Nawawi Ala Muslim (6/40).

([3]) HR. Bukhari No. 1901.

([4]) Lihat: Fath al-Qadir, li al-Kamal bin al-Humam  (2/390), Hasyiyah ad-Dasuki  (1/550-551), al-Majmu’ (6/450) dan al-Inshaf (3/354).

Sumber: https://bekalislam.firanda.com/