Type Here to Get Search Results !

 


SUAMI SEJATI #6


“Diantara Kesalahan Suami: Memukul Istri Tanpa Aturan”
  • Memukul istri tanpa aturan
Syaikh Abdurrazaq Al-Abbad menjelaskan bahwa sebagian suami yang masih awam menyangka bahwa menampkan kekuatannya kepada sang istri sehingga menjadikannya takut adalah metode yang terbaik untuk mendidik sang istri. Oleh karenanya, ada sebagian orang tatkala malam pertama langsung memukul istrinya agar istrinya tahu kekuatannya dan takut kepadanya di kemudian hari. Sebagian lagi ada yang di malam pertama mendatangkan ayam jantan dan dinampakkan di hadapan istrinya lalu dengan sekali genggaman maka iapun mematahkan leher ayam jantan tersebut. Hal ini tidak lain adalah untuk menakut-nakuti istrinya.  [Sebagaimana yang beliau sampaikan dalam syarah kitab “Al-Kabaair” karya Adz-Dzhabi di masjid Al-Qiblatain di kota Nabi pada pagi hari tanggal 7 Juni 2006]

Sebagian suami langsung memukul istrinya jika melakukan kesalahan. Memang benar bahwasanya Islam membolehkan untuk memukul istri sebagaimana firman Allah

وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 4:34)

Dan sebagian suami yang suka memukuli istrinya selalu mengulang-ngulang ayat ini, seakan-akan mereka berkata kami sedang menjalankan perintah Allah.

Namun janganlah dipahami dari ayat ini bahwasanya memukul wanita itu adalah wajib, bahkan yang terbaik adalah tidak memukul mereka.

Ibnul ‘Arobi berkata, “Atho’ berkata, “Janganlah sang suami memukul istrinya, meskipun jika ia memerintah istrinya dan melarangnya ia tidak taat, akan tetapi hendaknya ia marah kepada istrinya” [Ahkamul Qur’an I/536]

Berkata Al-Qodhi, “Ini diantara fakihnya ‘Atho’…ia mengetahui bahwasanya perintah untuk memukul dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan diwajibkan)” [Ahkamul Qur’an I/536]

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

لاَ تَضْرِبُوْا إِمَاءَ اللهِ!! فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيِسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ

“Janganlah kalian memukul para wanita (istri-istri kalian[1])!”. Lalu Umarpun datang menemui Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan berkata, “Para istri berani dan membangkang suami-suami mereka !!”, maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam pun memberi keringanan untuk memukul mereka, maka para istripun dipukul. Para istripun banyak yang berdatangan menemui istri-istri Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam (para ummahatul mukminin) mengeluhkan tentang suami mereka. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam pun berkata, “Sungguh para istri banyak yang telah mendatangi istri-istri Muhammad shallallahu ‘alihi wa sallam mengeluhkan tentang suami-suami mereka, mereka itu (para suami yang memukul) bukanlah yang terbaik diantara kalian” [HR Abi Dawud II/245 no 2146, Ibnu Majah no 1985 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dari hadits sahabat Abdullah bin Abi Dzubab]

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, 

لَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ 

“Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” [HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/208 no 2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553 dari Shohabiah Ummu Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq. 

Imam Asy-Syafi’I berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul” merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah mubah (dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang telah dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam, maka kami suka jika seorang suami tidak memukul istrinya tatkala mulut istrinya lancang kepadanya atau yang semisalnya” [Al-Umm V/194]

Beliau juga berkata, “Jika seandainya sang suami tidak memukul maka hal ini lebih aku sukai karena sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam “Orang-orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul”” [[1] Al-Umm VI/145]

Berkata Ibnu Hajar, “Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan baik” [Fathul Bari IX/304]

Jika seorang suami memilih untuk memukul istrinya dalam rangka mendidiknya maka diperbolehkan dalam syari’at, namun syari’at tatkala membolehkan hal ini bukan berarti membolehkannya tanpa kaidah dan syarat. Oleh karena itu pemukulan tidak boleh dilakukan kecuali mengikuti kaidah-kaidah yang dibenarkan, diantaranya

–          Sang istri memang benar-benar bersalah (bermaksiat) menurut syari’at

Karena sebagian suami memerintahkan istrinya untuk melakukan perkara yang diharamkan oleh Allah, tatkala sang istri menolak untuk mentaatinya maka iapun memukulnya, ia menyangka apa yang dilakukannya adalah boleh. Dalam kondisi seperti ini berarti sang suami telah mengumpulkan dua kesalahan, yang pertama ia telah memerintahkan istrinya untuk berbuat perkara yang haram, dan yang kedua ia telah melakukan pemukulan yang tidak sesuai dengan kaidah syari’at.

–          Bahwasanya sang suami telah menasehatinya dan telah menghajr (menjauhinya) dari tempat tidur namun tetap tidak bermanfaat. [Sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir I/493]

Berkata Ibnul ‘Arobi, “Termasuk yang paling bagus yang pernah aku dengar tentang tafsiran ayat ini adalah perkataan Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Ia (sang suami) menasehati sang istri maka jika ia menerima nasehat (maka tercapailah maksud). Namun jika ia tidak menerima nasehat maka sang suami menghajrnya. Jika ia berubah (maka tercapailah maksud) namun jika ia tidak berubah maka sang suami memukulnya. Jika ia berubah (maka tercapailah maksud), namun jika ia tidak berubah maka sang suami mengutus seoarang hakim dari keluarganya dan seorang hakim dari keluarga istrinya, lalu keduanya melihat permasalahan darimanakah timbulnya mudhorot. (Dan jika tidak bisa lagi perbaikan antara mereka berdua), maka tatkala itu dipisahlah keduanya” [Ahkamul Qur’an I/535]

–          Pukulan harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh para istri biasanya merupakan kesalahan yang ringan dan tidak terus-terusan. Kesalahan seperti ini tidaklah menjadikan sang istri berhak untuk dipukul.

–          Tujuan dari pemukulan adalah untuk mengobati[2] bukan untuk menghina sang istri apalagi untuk melepaskan dendam yang telah terpendam. Apalagi yang sangat disayangkan sebagian suami memukul istrinya dihadapan anak-anaknya sehingga anak-anakpun belajar jadi berani terhadap ibunya atau timbul hal-hal yang lain yang merupakan penyakit psikologi pada anak-anak. Dan bayangkanlah wahai para pembaca yang budiman..bagaimanakah perasaan seorang wanita yang selalu dipukul oleh suaminya apalagi dihadapan anak-anaknya…???

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “…Kemudian hal ini juga memberi pengaruh terhadap anak-anak. Anak-anak jika melihat percekcokan yang terjadi antara ayah dan ibunya maka mereka akan merasa sakit dan terganggu, dan jika mereka melihat kasih sayang antara ayah dan ibunya maka mereka akan riang gembira…” [Asy-Syarhul Mumti’ XII/382]

Betapa banyak anak-anak yang akhirnya tidak terawat dan menjadi anak-anak jalanan dikarenakan cekcok yang terjadi antara kedua orang tua mereka.

–          Menjauhi pemukulan terhadap tempat-tempat yang rawan seperti perut, kepala, dada, dan wajah[3]. Kebanyakan suami yang tukang memukul istri jika marah maka mereka akan mengambil apa saja yang ada di dekat mereka untuk dihantamkan kepada istri mereka. Terkadang mereka mengambil panci, atau piring, atau gelas, dan terkadang sesuatu dari besi…. Dan terkadang benda-benda itu dihantamkan ke wajah wanita…???. Padahal Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam melarang memukul wajah secara mutlak, bahkan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam melarang memukul wajah hewan.

عَنْ جَابِرٌ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الضَّرْبِ فِي الْوَجْهِ وَعَنِ الْوَسْمِ فِي الْوَجْهِ

Dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang memukul di wajah dan memberi alamat (dengan menggores) di wajah” [HR Muslim III/1673 no 2116]

Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun pemukulan di wajah maka dilarang pada seluruhnya…, pada manusia, keledai, kuda, unta, begol, kambing, dan yang lainnya. Akan tetapi pada manusia lebih terlarang lagi karena wajah manusia tempat terkumpulnya keindahan padahal wajah itu lembut (halus) yang mudah nampak bekas pemukulan. Terkadang bekas tersebut menjadikan wajah menjadi jelek atau bahkan terkadang mengganggu panca indra yang lain”. [Al-Minhaj syarh Shahih Muslim XIV/97]

Jika Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang memukul wajah hewan, maka bagaimanakah dengan memukul wajah manusia..??, bagaimana lagi jika wajah seorang wanita??. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang secara khusus untuk memukul wajah istri

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مَا حَقُّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ؟ قَالَ أَن يُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمَ وَأَنْ يَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَى وَلاَ يَضْرِبَ الْوَجْهَ وَلاَ يُقَبِّحَ وَلاَ يَهْجُرَ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

Seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, “Apa hak seorang wanita terhadap suaminya?”, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Memberi makan kepadanya jika ia maka, memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian, dan tidak memukul wajahnya, tidak menjelekannya[4], serta tidak meng-hajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah” [HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah. Ibnu Hajar menyatakan hadits ini bisa dijadikan hujjah (Al-Fath IX/301). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.]

Bagaimana dengan suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang ada ditangannya…???. Ini menunjukan lemahnya agama dan pendeknya akal sang suami.

–          Pemukulan tidak boleh sampai mematahkan tulang, tidak sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah[5]. Pemukulan terhadap istri adalah obat maka harus diperhatikan jenis pemukulannya, kapan dilakukan pemukulan tersebut, bagaimana cara pemukulan tersebut, dan ukuran pemukulan tersebut

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ فَإِنَْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Dan merupakan hak kalian agar mereka (istri-istri kalian) untuk tidak membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian[6], dan jika mereka melakukan maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” [HR Muslim II/890 no 1218]

Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, “Jika perkara yang besar ini (yaitu sang istri memasukan seorang lelaki ke dalam rumahnya tanpa izin suami-pen) dan sang wanita hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka bagaimana lagi dengan bentuk-bentuk ketidaktaatan istri yang lain (yang lebih ringan)??, maka (tentunya) lebih utama untuk tidak dipukul hingga membekas…” [Asy-Syarhul Mumti’ XII/444]

Berkata Ibnul ‘Arobi, “ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di badan berupa darah maupun patah” [Ahkamul Qur’an I/535]

Yang sangat menyedihkan sebagian suami yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan…???

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

لاَ يَجْلِدْ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ

“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk (memukul)[7] istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari” [HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855 dari hadits Abdullah bin Zam’ah]

Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu) kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri” [Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009]

Peringatan :

Barangsiapa yang berbuat aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya.

Allah berfirman

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 4:34)

Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat sewenang-wenang terhadap wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka” [Tafsir Ibnu Katsir I/493]


“Kesabaran Karena Allah Mendatangkan Banyak Kebaikan”

Sesungguhnya perceraian merupakan hal yang menyakitkan, apalagi jika ternyata sang wanita dicerai dengan tanpa hak yang benar, hal ini benar-benar merupakan perkara yang menyakitkan hatinya. Seakan-akan ia telah gagal dalam hidupnya.

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا

“Dan pecahnya tulang rusuk (wanita) adalah menceraikannya.” [HR Muslim II/1091 no 1468]

Berkata Syaikh Abdullah Ali Bassaam, “Perumpamaan cerai dengan pecahnya tulang rusuk merupakan perumpaan yang sangat mengena. Pada keduanya (perceraian dan pecahnya tulang) ada banyak kesamaan jika ditinjau dari sisi keduanya sangat menyakitkan dan sulitnya untuk menyambung kembali dan penyembuhannya, serta terkadang bisa kembali menyambung namun tulang tersebut tidak kembali sebagaimana sedia kala” [Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maram IV/445]

Perceraian merupakan perkara yang sangat disukai oleh Iblis.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ نِعْمَ أَنْتَ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut)[1] kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (orang yang ia goda -pent) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat engkau” [HR Muslim IV/2167 no 2813]

Iblis sangat bangga dengan keberhasilan anak buahnya yang telah menyebabkan terjadinya perceraian. Syaikh As-Sa’di berkata, “Padahal kecintaan yang terjalin diantara pasangan suami istri (sangatlah kuat) tidak bisa disamakan dengan rasa cinta yang ada pada selain keduanya karena Allah telah berfirman tentang pasangan suami istri وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ((Dan Allah menjadikan diantara kalian rasa cinta dan kasih sayang))” [Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan I/61]

Oleh karena itu tatkala Allah berfirman

وَاتَّبَعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَـكِنَّ الشَّيْاطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُواْ لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْاْ بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُواْ يَعْلَمُونَ

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. 2:102)

Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwasanya yang dipelajari oleh mereka dari Harut dan Marut hanyalah ((apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya)) dan tidak menyebutkan perkara yang lain. Padahal sihir berpengaruh pada hubungan-hubungan yang lain diantara manusia. Hal ini disebabkan jika cinta yang sangat kuat yang terjalin antara suami istri bisa dirusak dengan sihir maka bentuk-bentuk kecintaan yang lain lebih mudah lagi untuk dirusak dengan sihir. Oleh karena itu Allah berfirman setelahnya ((Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun)). [At-Tafsiir Al-Kabiir III/200]

Berkata Al-Munaawi, “Hadits ini menunjukan akan susuatu yang sangat menakutkan tentang pencelaan terhadap perceraian. Hal ini merupakan tujuan terbesar Iblis yang terlaknat karena perceraian mengakibatkan terputusnya keturunan. Dan bersendiriannya anak keturunan Nabi Adam (tanpa istri atau tanpa suami) akan menjerumuskan mereka ke perbuatan zina yang termasuk dosa-dosa besar yang paling besar menimbulkan kerusakan dan yang paling menyulitkan” [Faidhul Qodiir II/408]

Oleh karena itu jika memang sang istri telah dinasehati dengan melalui tahapan-tahapan yang dianjurkan dan tetap tidak bisa berubah maka hendaknya seorang suami bersabar sebelum dia menempuh jalan yang terakhir yaitu cerai

Allah berfirman

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً

Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An Nisaa: 19)

Berkata Ibnul Jauzi, “Ayat ini menganjurkan untuk menahan istri (tidak menceraikannya) meskipun sang suami membencinya. Dan ayat ini mengingatkan dua perkara, yang pertama bahwasanya seorang manusia tidak mengetahui mana-mana saja tempat kebaikan. Betapa banyak perkara yang dibenci kemudian membawa kebaikan dan betapa banyak perkara yang dipuji kemudian menjadi perkara yang dicela. Perkara yang kedua bahwasanya seseorang hampir-hampir tidak bisa menemukan sesuatu yang disukainya tanpa disertai dengan sesuatu yang dibencinya, oleh karena itu hendaknya ia bersabar atas apa yang dibencinya karena perkara yang dicintainya. [Zaadul Masiir II/42]

Berkata Az-Zamakhsyari Al-Mu’tazili, “Janganlah kalian menceraikannya karena hanya sekedar jiwa kalian tidak menyukainya, karena terkadang jiwa itu membenci sesuatu yang lebih baik bagi agamanya dan lebih terpuji serta lebih dekat kepada kebaikan, dan terkadang jiwa itu menyukai sebaliknya. Oleh karena itu hendaknya yang diperhatikan adalah sebab-sebab kebaikan” [Al-Kassyaaf I/522]

Berkata Al-Qodhi Abu Muhammad, “Dan diantara kefasihan Al-Qur’an yaitu adanya faedah keumuman pada kalimat شَيْئاً (sesuatu), karena hal ini (Allah menjadikan kebaikan) berlaku pada setiap apa yang dibenci oleh seseorang yang menjadikannya bersabar atas kebencian tersebut, lalu iapun bersabar dengan baik karena akhirnya (akibatnya) adalah kebaikan, jika ia bersabar karena menginginkan wajah Allah” [Al-Muharror Al-Wajiiz II/28]

Berkata Mujahid, “Mungkin saja Allah menjadikan kebaikan yang banyak di balik kebencian tersebut” [Ad-Dur Al-Mantsur II/465]

Dalam ayat ini Allah menjanjikan bahwa barang siapa yang bersabar menghadapi istrinya yang ia benci (selama istrinya tidak berzina) maka niscaya Allah akan menganugrahkan kepadanya banyak kebaikan dibalik kesabarannya dengan catatan kesabarannya tersebut karena mengharapkan wajah Allah.

Berkata Al-Qurthubi, “Jika kalian membencinya karena buruknya akhlaknya namun ia tidak melakukan perzinahan atau membangkang suami maka keadaan seperti ini dianjurkan agar sang suami bersabar, mungkin saja akhirnya Allah akan menganugrahinya dari istrinya tersebut anak-anak yang sholeh” [Tafsir Al-Qurthubi V/98, demikian juga perkataan Ibnul Arobi (Ahkamul Qur’an I/468)]

Ibnu Abbas berkata, “Yaitu sang suami bersikap lembut kepadanya lalu Allah memberikan rezki kepadanya seorang anak dari wanita tersebut, lalu Allah menjadikan banyak kebaikan pada anak tersebut” [Ad-Dur Al-Mantsur II/465]

Bisa jadi juga kebencian yang ia lihat dari istrinya adalah di awal-awal pernikahan, namun jika setelah beberapa tahun mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga maka akan nampaklah kasih sayang istrinya kepadanya dan ketaatannya kepadanya di kemudian hari.

Berkata Ad-Dhohhak, “Jika terjadi pertengkaran antara seseorang dan istrinya maka janganlah ia bersegera untuk mencerainya, hendaknya ia bersabar terhadapnya, mungkin Allah akan menampakkan dari istrinya apa yang disukainya” [Ad-Dur Al-Mantsur II/465]

Berkata Al-Alusi, “… atau kasih sayang yang nampak setelah kebencian” [Ruuhul Ma’ani IV/243]

Kemudian hendaknya sang suami merenungkan bahwa tidaklah musibah menimpanya kecuali karena kamaksiatan yang dilakukannya, kemudian musibah tersebut akan menjadi penghapus dosa-dosanya. Dan bisa jadi istri yang dibencinya itu merupakan musibah yang menimpanya karena maksiat yang dilakukannya. Jika ia tidak sabar dengan musibah tersebut bisa jadi Allah akan memberikan kepada dia musibah lain yang lebih berat baginya.

Berkata Ibnul Arobi, “…Syaikh Abu Muhammad bin Abi Zaid memiliki kedudukan yang tinggi dalam ilmu dan agama. Ia memiliki istri yang buruk akhlaknya dan tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya dengan baik, bahkan ia menyakiti Syaikh dengan perkataan-perkataannya. Orang-orangpun menegur Syaikh tentang kelakuan istrinya namun ia meneruskan kesabarannya. Syaikh berkata, “Aku adalah seorang lelaki yang telah dikarunai nikmat yang sempurna oleh Allah berupa kesehatan tubuh, ilmu, dan budak-budakku, mungkin saja istriku itu diutus (untukku) sebagai hukuman bagiku karena (kurangnya) agamaku, dan aku takut jika aku mencerainya maka akan turun hukuman lain yang lebih parah” [Ahkamul Qur’an I/468-469]

Faedah :

Ibnul Arobi juga berkata, “Pada ayat ini terdapat dalil akan dibencinya cerai” [Ahkamul Qur’an IV/469]


“Adab Jimak (Berhubungan Badan)”

Berikut ini penulis nukilkan beberapa perkara yang penting yang berkaitan dengan adab tatkala berjimak yang penulis ringkas dari beberapa fatwa ulama dengan menyebutkan sumber fatwa-fatwa tersebut

–          Hendaknya membaca doa sebelum berhubungan dengan istri.

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang kau anugrahkan kepada kami” [HR Al-Bukhari I/65 no 141 dan Muslim II/1058 no 1434]

Doa ini disunnahkan bagi sang lelaki adapaun sang wanita jika hendak membaca doa ini maka tidak mengapa karena asal dalam hukum adalah tidak adanya pengkhususan hukum terhadap lelaki atau wanita. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/357 no 17998).

Syaikh utsaimin berkata, ((Karena terkadang syaitan ikut serta bersama seseorang tatkala menjimaki istrinya sehingga ikut menikmati istrinya. Oleh karena itu Allah berfirman

وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ (الإسراء : 64 )

Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak (QS. 17:64)

Berkata sebagian Ulama, “Ikut sertanya syaitan dalam anak-anak adalah jika seseorang tidak menyebut nama Allah tatkala hendak menjimaki istrinya maka terkadang syaitan ikut serta menikmati istrinya”)) [Asy-Syarhul Mumti’ XII/416]

Berkata Syaikh Alu Bassaam, “Hadits ini merupakan dalil bahwa syaitan tidak meninggalkan seorang bani Adam. Ia selalu menyertainya dan mengikuti gerak-geriknya untuk mendapatkan kesempatan untuk menggoda dan menyesatkannya semaksimal mungkin. Akan tetapi seorang yang cerdik adalah yang tidak memberikan peluang kepada syaitan yaitu dengan berdzikir kepada Allah.” [Taudhihul Ahkaam IV/458]

–          Boleh bagi keduanya untuk bertelanjang karena boleh bagi keduanya untuk melihat dan menyentuh seluruh tubuh pasangannya, namun sebaiknya untuk menutup tubuh mereka berdua (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/359 no 2892 dan XIX/361 no 4250 dan XIX/361 no 4624, Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/416)

–          Hendaknya sang suami sebelum menjimaki istrinya melakukan pemanasan untuk menggairahkan syahwat istrinya seperti ciuman, sentuhan, dan yang lainnya, sehingga keduanya sama-sama bangkit syahwatnya. Karena hal ini akan menambah keledzatan. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dala Asy-Syarhul Mumti’ XII/415)

–          Boleh bagi keduanya untuk berbicara sedikit tatkala sedang berjimak terutama perkataan-perkataan yang menggairahkan syahwat. Bahkan terkadang perkataan-perkataan yang seperti ini dituntut. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/416)

–          Terlarang bagi  sang suami untuk mencabut dzakarnya dari vagina istrinya sebelum istrinya mencapai kepuasan (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/417)

–          Boleh bagi sang suami untuk menikmati (meletakkan dzakarnya) ke seluruh bagian tubuh sang istri, baik dari depan maupun dari belakang, bahkan boleh baginya untuk meletakkan dzakarnya diantara belahan dua pantat istrinya selama tidak masuk dalam lingkaran dubur. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/351 no 6905 dan XIX/352 no 7310)

–          Boleh bagi seorang suami untuk menjimaki istrinya lebih dari sekali dalam satu malam tanpa mandi atau wudhu, namun sebaiknya berwudhu sebelum mengulangi jimaknya karena akan menjadikannya lebih bersemangat. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/349 no 13748). Namun disunnahkannya wudhu ini hanya berlaku bagi sang lelaki karena dialah yang diperintahkan untuk melakukannya dan bukan sang wanita. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/350 no 18911)

–          Boleh (dan tidak makruh) bagi sang suami untuk mengisap payudara istrinya, dan jika air susu istrinya sampai masuk ke lambungnya maka tidak menjadikannya haram (anak persusuan). (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/351 no 6657)

–          Boleh bagi suami untuk menjimaki istrinya yang sedang hamil kapan saja waktu kehamilannya selama tidak menimbulkan bahaya. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/353 no 18371)

–          Tidak mengapa bagi suami dan istri untuk berjimak dihadapan bayi yang masih dalam persusuan karena ia tidak mengerti, adapun anak kecil yang sudah berumur tiga tahun atau empat tahun yang bisa mengungkapkan apa yang dilihatnya maka hal ini dilarang. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/418)

–          Tidak boleh menjimaki sang istri di kemaluannya tatkala ia sedang haid dan nifas

Sebagaimana firman Allah

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة : 222 )

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222)

(Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/396)

–          Namun  boleh mencumbui atau menjimaki istri yang sedang haid dibagian mana saja dari tubuh sang istri yang penting bukan dikemaluan  atau dubur. Karena hukum asal dalam berjimak adalah halal. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda

اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلاَّ النِّكَاح

“Lakukanlah segala perkara kecuali nikah (yaitu kecuali menjimaki kemaluan istri yang sedang hadih)” [ HR Muslim I/246 no 302](Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/397)

–          Disunnahkan bagi sang istri yang sedang haid untuk memakai sarung untuk menutup kemualuannya tatkala sang suami sedang mencumbuinya. Dan diantara hikmahnya adalah bisa jadi sang suami melihat darah haid atau mencium bau yang kurang sedap sehingga mempengaruhi perasaannya. (Atau bisa jadi syahwatnya terlalu tinggi hingga akhirnya nekat untuk menjimaki kemaluan istrinya yang sedang haidh-pen) (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/398)

–          Diharamkan untuk menjimaki istri melalui duburnya

Allah berfirman

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة : 223 )

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223)

Dan dubur bukanlah tempat bercocok tanam bagi sang suami. Dan banyak hadits yang menyatakan keharaman menjimaki istri di dubur.

Selain itu qiyas juga menunjukan akan haramnya menjimaki istri di duburnya. Tai itu lebih kotor dan lebih menjijikan daripada darah haid, maka jika jimak ditempat keluarnya darah haid diharamkan karena ada darah haidh maka jimak ditempat keluarnya tai lebih diharamkan lagi. (Kemudian juga bahwa diharamkan jimak di tempat haidh padahal itu hukumnya sementara saja hingga berhenti darah haidh maka terlebih lagi diharamkan jimak di dubur karena dubur senantiasa dan selalu merupakan tempat kotoran-pen). Selain itu jimak di dubur seperti homoseksual, oleh karena itu sebagian ulama menamakan jimak di dubur dengan nama homoseksual kecil. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/399)

Faedah:

Syaikh Alu Bassaam berkata, “Pada ayat di atas (QS. 2:223) terdapat dorongan dan motivasi untuk melakukan jimak karena Allah menyebutnya sebagai “bercocok tanam”. Karena berocok tanam akan membuahkan hasil yang bermanfaat serta buah-buahan yang baik. Maka demikianlah juga dengan jimak yang menyebabkan banyaknya keturunan dan memperbanyak barisan kaum muslimin dan mewujudkan bangganya Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam akan banyaknya pengikutnya di hadapan para nabi yang lain pada hari kiamat kelak” [Taudhihul Ahkaam IV/456]

–          Dilarang bagi keduanya untuk menceritakan kepada orang lain tentang jimak yang telah mereka lakukan. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dala Asy-Syarhul Mumti’ XII/419)

–          Dilarang bagi keduanya untuk memotret jimak yang mereka lakukan meskipun dijaga dan tidak diperlihatkan kepada orang lain (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/367 no 22959)


“Hukum Mengkonsumsi Obat Anti Hamil”

Sesungguhnya banyak anak merupakan perkara yang dituntut oleh syari’at. Dan disyariatkannya nikah adalah untuk menjaga diri dari perbuatan zina dan untuk memperbanyak keturunan. [Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/298 no 3205]

عن مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ “إِنِّي أَصَبْتُ امرأةً ذاتَ حَسَبِ وجمالِ وإنها لا تَلِدُ أَفَأَتَزَوَّجُهَا؟”، قال: “لا”. ثم أتاه الثانية فنهاه ثم أتاه الثالثة فقال: “تََزَوَجُوْا الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ

Dari Ma’qil bin Yasar berkata, “Datang seorang pria kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan berkata, “Aku menemukan seorang wanita yang cantik dan memiliki martabat tinggi namun ia mandul apakah aku menikahinya?”, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menjawab, “Jangan !”, kemudian pria itu datang menemui Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam kedua kalinya dan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tetap melarangnya, kemudian ia menemui Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam yang ketiga kalinya maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan umat-umat yang lain” [HR Abu Dawud 2/220 no 2050 dan ini adalah lafalnya, Ibnu Hibban 9/363,364, An-Nasaai 6/65, berkata Syaikh Al-Albani , “Hasan Shahih”]

عن أنس بن مالك قال كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيْدًا وَيَقُوْلُ تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرُ الْأَنْبِيَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata, “Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat ”[1]

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, ((Sesungguhnya banyaknya umat merupakan kejayaan bagi umat tersebut. Waspadalah kalian terhadap perkataan para sekularisme yang berkata, “Banyaknya umat mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran”. Bahkan jumlah yang banyak merupakan kemuliaan yang Allah karuniakan kepada bani Israil sebagaimana dalam firmanNya,

وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيراً

Dan Kami jadikan kelompok yang lebih besar. (QS. 17:6)

Dan nabi Syu’aib mengingatkan kaumnya dengan karunia ini, beliau berkata

وَاذْكُرُواْ إِذْ كُنتُمْ قَلِيلاً فَكَثَّرَكُمْ

Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. (QS. 7:86)

Maka banyaknya umat merupakan kejayaan, terutama jika bumi tempat mereka tinggal subur dan penuh dengan kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan untuk perindustrian. Banyaknya penduduk sama sekali bukanlah merupakan sebab kemiskinan dan pengangguran.

Namun yang sangat disayangkan sebagian orang sengaja memilih wanita yang mandul, wanita yang seperti ini lebih disukai oleh mereka daripada wanita yang subur. Mereka berusaha agar istri-istri mereka tidak melahirkan kecuali setelah empat atau lima tahun setelah pernikahan, dan yang semisalnya. Ini merupakan kesalahan karena hal ini menyelisihi tujuan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam. Terkadang mereka berkata, “Jika engkau merawat anak yang banyak maka engkau akan kesulitan”, maka kita katakan, “Jika kalian berprasangka baik kepada Allah maka Allah akan menolong kalian”.

Mereka juga terkadang berkata, “Harta milik kami hanya sedikit”, maka kita katakan kepada mereka,

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. 11:6)

Dan terkadang seseorang melihat bahwa rezekinya dilapangkan jika ia memperoleh seorang anak. Seorang pedagang yang aku percayai pernah berkata, “Semenjak aku menikah Allah membukakan pintu rezeki bagiku. Tatkala aku kelahiran anakku si fulan maka dibukakan bagiku pintu rezeki yang lain”. Dan ini jelas diketahui bersama karena Allah berfirman

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya (QS. 11:6)

Allah juga berfirman

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ (الأنعام : 151 )

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka (QS. 6:151)

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءاً كَبِيراً (الإسراء : 31 )

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. (QS. 17:31)

Allah juga berfirman

إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. (QS. 24:32)

Intinya bahwasanya pernyataan bahwa banyaknya anak merupakan sebab kemiskinan merupkan pernyataan yang keliru…)) [Asy-Syarhul Mumti’ XII/18]

Berikut ini beberapa perkara yang berkaitan dengan permasalahan ini

–  Membatasi kelahiran anak –tanpa ada kondisi darurat- hukumnya adalah haram karena bertentangan dengan tujuan syari’at dan tujuan nikah yaitu untuk menjaga diri dan memperbanyak keturunan, serta menunjukkan sikap berburuk sangka kepada Allah yang luas rizki-Nya bagi orang yang membatasi kelahiran karena takut miskin. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/298 no 3205)

–  Ada perbedaan antara membatasi kelahiran dengan mengatur angka kelahiran. Membatasi angka kelahiran maksudnya adalah memberhentikan kelahiran hingga pada jumlah tertentu. Misalnya hingga dua anak cukup, atau tiga, atau lima, dengan alasan untuk menjaga ekonomi keluarga atau karena benci dengan jumlah anak yang banyak. Adapun pengaturan angka kelahiran melakukan sebuah amalan (misalnya mengkonsumsi obat anti hamil) dalam rangka menunda kehamilan hingga waktu tertentu hingga sang wanita kembali kekuatannya dan semangatnya kemudian kembali hamil dan meninggalkan penggunaan obat anti hamil. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/299 no 5040)

Dalil-dalil akan bolehnya pengaturan kelahiran karena ada kebutuhan diantaranya:

Dahulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum mereka malakukan ‘azal di zaman Nabi. Dan tidak diragukan lagi bahwa ‘azal biasanya mencegah kehamilan (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/18).
Firman Allah

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. 22:78)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

"Tidak boleh menimbulkan bahaya (pada diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (orang lain)."

(Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/294 no 443)

–   Pengaturan kelahiran diperbolehkan jika karena kebutuhan seperti seorang wanita yang proses melahirkannya tidak normal sehingga harus melakukan operasi untuk mengeluarkan sang anak, atau karena ada kemaslahatan tertentu yang dipandang oleh kedua pasangan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/307). Demikian juga misalnya karena kondisi tubuh sang wanita yang kurang sehat atau kurus misalnya sehingga dikhawatirkan akan sakit jika sering melahirkan maka tidak mengapa. Adapun mengkonsumsi obat anti hamil dengan niat agar tubuh sang wanita tetap cantik maka hal ini tidak diperbolehkan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/293 no 443)

–    Boleh bagi seorang wanita mengkonsumsi obat anti hamil pada masa menyusui anaknya dikarenakan kawatir ada bahaya yang menimpa sang anak atau sang wanita itu sendiri (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/321 no 3843)

–   Adapun menggunakan obat anti hamil dengan alasan untuk mendidik anak maka ini tidak diperbolehkan (Fatwa Syaikh Bin Baaz dalam Majmu’ fataawa wa maqoolaat mutanawwi’ah XXI/193)

Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya, “Seorang lelaki memiliki delapan anak dari dua orang istri dan dia semangat untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan pendidikan Islami. Dia berkata, “Sesungguhnya keburukan yang banyak timbul di zaman ini menjadikan seseorang benar-benar berjihad dalam mendidik anak-anak, dan butuh memiliki kesabaran yang tinggi”. Apakah boleh penggunaan obat anti hamil atau yang lainnya untuk memberhentikan proses kehamilan dalam jangka waktu tertentu, atau tidak boleh?”

Maka Al-Lajnah Ad-Daimah menjawab, “Masa depan adalah perkara yang gaib dan tidak ada yang mengetahui yang gaib melainkan Allah. Seseorang tidak tahu manakah dari anak-anaknya yang baik. Apakah anak-anaknya yang ia telah berusaha mendidiknya dengan baik ataukah anak-anaknya yang akan dikaruniai oleh Allah setelah itu baik putra maupun putri??. Maka wajib bagi seorang muslim untuk bertawakal kepada Allah dan menyerahkan segara urusannya kepada Allah dan janganlah dia dan istrinya mengkonsumsi sesuatu yang mencegah kehamilan seperti suntikan atau pil atau minuman tertentu dan yang semisalnya. Bisa jadi Allah menganugerahkan kepadanya di masa mendatang anak-anak yang menyebabkan ia mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dan bisa jadi Allah melapangkan rizkinya karena tawakalnya kepada-Nya. Bisa jadi Allah menganugerahkan kepadanya anak-anak (di masa mendatang) yang seluruhnya memberi manfaat kepadanya baik di dunia maupun di akhirat serta Allah menjaga mereka dari fitnah dan kejelekan-kejelekan para hamba…”. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/301 no 2114)

–    Disyaratkan obat anti hamil yang dikonsumsi oleh sang wanita tidak membahayakan semisal bahaya yang ingin dihindari. Karena bahaya tidak boleh ditolak dengan bahaya yang semisalnya. Penggunaan sebagian obat-obat anti hamil bisa mengakibatkan tidak teraturnya waktu haidh, atau merusak rahim, atau timbul tekanan dalam darah, atau bahaya-bahaya yang lainnya. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/294 no 443)

–   Sang wanita yang menggunakan obat anti hamil karena kebutuhan harus meminta idzin kepada suaminya. Dan jika memang kebutuhannya sesuai dengan syari’at maka wajib bagi sang suami untuk mengidzinkannya. Adapun jika kebutuhan tersebut tidak sesuai dengan syari’at maka wajib bagi sang suami untuk tidak mengidzinkannya. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah XIX/295 no 443)

Renungan penutup……

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Hendaknya seseorang tatkala bermuamalah dengan baik terhadap istrinya tidak hanya mengharapkan kebahagiaan di dunia saja berupa ketenangan dan kenikmatan. Akan tetapi hendaknya ia juga berniat untuk beribadah kepada Allah dengan menunaikan kewajiban-kewajibannya. Hal ini sering dilalaikan oleh kita. Banyak orang yang bersikap baik terhadap istrinya namun niatnya hanya untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangganya dengan sebaik mungkin namun mereka lupa untuk meniatkan amal mereka itu untuk beribadah kepada Allah. Ini sering dilupakan…dan syaitan berperan untuk menjadikan mereka lupa akan hal ini. Oleh karena itu hendaknya tatkala engkau bersikap baik terhadap istrimu hendaknya engkau berniat bahwasanya engkau sedang menjalankan perintah Allah

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (النساء : 19 )

Dan pergaullah mereka dengan baik. (QS. 4:19)”[Asy-Syarhul Mumti’ XII/383]

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

وَصَلَى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Selesai di tulis di kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Tulisan ini Berseri:

___
Daftar Pustaka

1.      Shahih Al-Bukhori, tahqiq DR Mushthofa Dib Al-Bagho, terbitan Dar Ibni Katsir

2.      Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdil Baqi, terbitan Dar Ihya At-Turots Al-‘Arobi

3.      Sunan Abu Dawud, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdilhamid, terbitan Darul Fikr

4.      Sunan At-Thirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir dan yang lainnya, Dar Ihya’ At-Turots, Beiruut

5.      Sunan Ibnu Majah, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baaqi, Darul Fikr

6.      Al-Ihsan fi taqriib Shahih Ibnu Hibban, karya al-Amin ‘Ala-uddin al-Farisi, tahqiq Syu’aib al-Arna-uth, cetakan kedua, Mu-assasah ar-Risalah.

7.      Al-Mustadrak ‘alas Shahihain, karya Abu ‘Abdillah al-Hakim an-Naisabuuri, tahqiq Musthafa ‘Abdul Qadir ‘Atha’, cetakan pertama, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.

8.      Musnad Imam Ahmad, terbitan Maimaniah

9.      Silsilah al-Ahadits as-Shahihah, Syaikh al-Abani, Maktabatul Ma’arif.

10.  Tafsir At-Thabari, Muhammad bin Jarir at-Thabari, Darul Fikr.

11.  Tafsir Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhmmad bin Abdillah Al-Anshori Al-Qurthubi, Dar As-Sya’b, Al-Qohiroh

Ruuhul M’aani, Abul Fadhl Al-Aluusii, Dar Ihyaa’ At-Tuorts Al-‘Arobi
Ad-Dur Al-Mantsur, Jalaluddin As-Suyuthi, Darul Fikr
Al-Kasysyaaf, karya Az-Zamkhsyari Al-Mu’tazili, tahqiq Abdurrozaq Al-Mahdi, Darul Ihyaa’ At-Turots Al-‘Arobi
At-Tafsiir Al-Kabiir, Fakhruddiin Ar-Roozi, cetakan pertama Darl Kutub Al-‘Ilmiyyah
Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi, Al-Maktab Al-Islami, cetakan ketiga
Al-Muharror Al-Wajiiz fi Tafsiir Al-Kitab Al-‘Aziz, Abdul Haq Al-Andalusi, tahqiq Abdus Salam Abdus Syafi Muhammad, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah cetakan pertama
Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr
Tafsir Al-Baghowi, tahqiq Kholid bin Abdurrahman Al-‘Ak, Darul Ma’rifah

20.  Taisir Al-Karimir Rohman, Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, cetakan pertama, Muassasah Ar-Risalah

21.  Adlwaa’ul Bayaan, Syaikh Muhammad Al-Amiin Asy-Syingqithy, tahqiq Maktab Al-Buhuts wad Dirosaat, Darul Fikr

Ahkamul Qur’an, Abu Bakar Ibnul ‘Arobi, tahqiq Muhammad Abdul Qodir ‘Atoo, Darul Fikr

23.  Fat-hul Bari, Ibnu Hajar, tahqiq Muhibbuddin Khathib, Darul Ma’rifah.

24.  ‘Umdatul Qori, karya Badruddin Muhammad bin Ahmad al-‘Aini (855 H), Daar Ihyaa’ at-Turats.

25.  Al-Minhaj syarh shahih Muslim, An-Nawawi, cetakan kedua, Dar Ihya’ At-Turots

26.  ‘Aunul Ma’bud, Syamsul Haqq al-Azhim Abadi, Darul Fikr.

Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mubarokfuri, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi
Nailul Author, karya As-Syaukani, Darul Jil Beiruth

29.  Faidhul Qodiir, Abdurro’uuf Al-Munaawii, cetakan pertama Maktabah Tijaariyah (Mesir)

Syarh Az-Zarqooni ‘Ala Muwattho’ Al-Imam Malik,, Muhammad bin Abdul Baaqi bin Yusuf Az-Zarqoni, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cetakan pertama
Mirqootul Mafatiih syarh Misykaatul Mashobiih, Ali bin Sulthoon Muhmaad Al-Qoori, tahqiq Jamal ‘Iitaani, cetakan pertama, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah
Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, Abdullah bin Abdirrahman Ali Bassaam, cetakan kedua
Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, Darul Fikr, cetakan pertama
Bada’i As-Shona’i, ‘Alauddin Al-Kisaai, Darul Kitab Al-‘Arobi, cetakan kedua
Al-Umm, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Darl Ma’rifah cetakan kedua
Kifaayatul Akhyaar, Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi’i, tahqiq Ali Abdul Hamid Baltaji, Darul Khoir cetakan pertama
Masyariqol Anwaar, Al-Qodhi ‘Iyaadh, Maktabah Al-‘Atiqoh
As-Siroh An-Nabawiah As-Shahihah, Doktor Akrom Dhiyaa’ Al-‘Umari, cetakan ke-5, Maktabah Al-‘Ubaikan
Al-Mau’idzoh Al-Hasanah fi Al-Akhlaq Al-Hasanah, Abdulmalik bin Ahmad Romadhoni
Al-Qoul Mufiid, Syaikh Ibnu Utsaimin
Adabuz Zifaaf, Syaikh Al-Albani

42.  Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Amirul Al-Jazzaar dan Anwaarul Baaz, Darul Wafa’ (dengan ihaalah kepada cetakan lama mu’tamad).

43.  Zadul Ma’ad fi Hady Khairil ‘Ibad, Ibnul Qayyim, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth, cetakan ke-14, Mu-assasah ar-Risalah.

44.  Al-Asaaliib Al-Mustambathoh min ta’aamul Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam ma’a Zaujaatihi wa Atsaaruha At-Tarbawiyah, Husain bin ‘Ali bin Maani’ Al-‘Umari, risalah ilmiah S2

45.  Al-Asaaliib An-Nabawiyah fi Mu’aalajati Al-Musykilaat Az-Zaujiyah, DR Abdus Samii’ Al-Aniis, cetakan pertama, Dar Ibnul Jauzi

46.  Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil buhuts Al-‘Ilmiyah wal ifta’. Disusun oleh Ahmad bin Abdurrozaaq Ad-Duwaisy, cetakan Riasah Idarotil buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’

47.  Majmu’ fatwa wa maqoolaat mutanawwi’ah, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, disusun oleh DR Muhammad Sa’ad Asy-Syuwai’ir, cetakan Riasah Idarotil buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’

48.  Majallah Al-Ashoolah no 46, terbitan Markaz Al-Imam Al-Albani

49.  Ceramah Syaikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulughul Maram, kitab An-Nikaah)

50.  Ceramah Syaikh Sholeh Fauzan Ali Fauzan (Syarh Bulughul Maram, kitab An-Nikaah)

51.  Ceramah Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad (Syarh Sunan Abu Dawud)

52.  Ceramah Syaikh Sulthon Al-‘Uwayyid yang berjudul Risalah ila Az-Zaujain

53.  Ceramah Syaikh Muhammad Mukhtaar As-Syinqithi yang berjudul Fiqhul Usroh

54.  Ceramah Syaikh Abu Ishaaq Al-Huwaini yang berjudul “Lailah fi bait An-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”

55.  Lisaanul ‘Arob, Ibnu Manzhur, cetakan pertama, Dar Shodir

[1] HR Ibnu Hibban 9/338. Berkata Ibnu Hajar, “Adapun hadits “Sesungguhnya aku berbangga dengan kalian” maka hadits tersebut shahih dari hadits Anas…dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dan disebutkan oleh Imam As-Syafi’i secara بلاغا (balagan) dari hadits Ibnu Umar dengan lafal تَنَاكَحُوْا تَكَاثَرُوْا فَإِنِّي أُبَاهِي بِكُمُ الأُمَمَ “Menikahlah dan beranak banyaklah kalian karena sesungguhnya aku berbangga dengan (jumlah) kalian”, dan dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Abu Umamah dengan lafal 

تَزَوَّجُوْا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَرُهْبَانِيَةِ النَّصَارَى 

“Menikahlah sesungguhnya aku memebanggakan (jumlah) kalian dihadapan umat-umat yang lain dan janganlah kalian seperti kerahiban orang-orang Nasrani…” (Fathul Bari 9/111). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no 1784.

____

Catatan kaki:

[1] ‘Aunul Ma’bud VI/129

[2] Lihat Al-Mughni VII/242

[3] Lihat Al-Mughni VII/242

[4] Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan “Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia mensifati kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya atau pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah Bulughul Maram kaset no 12)

[5] Lihat Al-Mughni VII/242 dan Al-Um V/194

[6] Inilah makna yang di pilih oleh Imam An-Nawawi (Al-Minhaj VIII/184)

[7] Dalam riwayat-riwyat dari jalan-jalan yang lain dengan lafal  لا يضرب“Janganlah memukul” sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar (Fathul Bari IX/303)
____

Catatan kaki:

[1] Sebagaimana dalam riwayat yang lain

Berkata ‘Ali Al-Qoori, “Yang benar adalah membawa makna hadits ini pada makna yang dzohir. Dengan demikian maka termasuk kesesatan dan kerusakan Iblis adalah kemampuannya untuk meletakkan singgasananya di atas air. Yaitu Allah menjadikannya mampu untuk melakukan hal ini untuk istidroj (membuatnya semakin sesat) agar ia tertipu karena merasa telah memiliki singgasana seperti singgasananya Allah yang disebutkan dalam surat Huud (ayat 7)  وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاء ((dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air)). Dan juga untuk menipu sebagian orang-orang tarikat yang bodoh tentang Allah sehingga menyangka bahwa Iblis adalah Ar-Rahman sebagaimana yang telah menimpa sebagian orang-orang sufi…dan hal ini didukung dengan kisah Ibnu Soyyad yang telah berkata kepada Nabi, “Aku melihat singgasana di atas air”, maka Nabi berkata, “Engkau telah melihat singgasananya Iblis”…” (Mirqootul Mafaatiih I/232)