Type Here to Get Search Results !

 


TANDA BESAR KIAMAT # 1: AL-MAHDI:

   

PASAL PERTAMA

Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil 

Pada akhir zaman akan keluar seorang laki-laki dari kalangan Ahlul Bait, Allah akan mengokohkan agama Islam dengannya, dia akan menjadi pemimpin selama tujuh tahun. Bumi akan dipenuhi dengan keadilan sebagaimana sebelum-nya dipenuhi dengan kezhaliman. Semua umat merasakan kenikmatan pada masanya dengan kenikmatan yang belum dirasakan sebelumnya; bumi me-ngeluarkan berbagai tumbuhan, langit menurunkan hujan, dan harta akan dilimpahkan tanpa batas. 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada masanya, buah-buahan sangat melimpah, banyak tanaman tumbuh subur, harta melimpah, pemerintahan kuat, agama tegak, musuh tunduk, dan kebaikan langgeng di hari-harinya.”[1] 

1. Nama dan Sifatnya 

Nama laki-laki tersebut seperti nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan nama bapak-nya seperti nama bapak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka nama beliau adalah Muhammad -atau Ahmad- bin ‘Abdillah. Beliau berasal dari keturunan Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dari keturunan al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma. Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang al-Mahdi, “Dia adalah Muhammad bin ‘Abdillah al-‘Alawi, al-Fathimi, al-Hasani.”[2] 

Dan sifatnya yang diterangkan dalam riwayat bahwa beliau memiliki dahi yang lebar, dan hidung yang mancung. 

2. Tempat Keluarnya 

Al-Mahdi akan keluar dari arah timur. Diterangkan dalam hadits, dari Tsauban Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَقْتَتِلُ عِنْدَ كَنْزِكُمْ ثَلاَثَةٌ؛ كُلُّهُمْ اِبْنُ خَلِيْفَةٍ، ثُمَّ لاَ يَصِيْرُ إِلَـى وَاحِدٍ مِنْهُمْ، ثُمَّ تَطْلُعُ الرَّايَاتُ السُّوْدُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ، فَيَقْتُلُوْنَكُمْ قِتْلاً لَمْ يَقْتُلْهُ قَوْمٌ… (ثُمَّ ذكر شَيْئًا لاَ أَحْفَظُهُ، فَقَالَ:) فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ؛ فَبَايِعُوْهُ، وَلَوْ حَبْوًا عَلَى الثَّلْجِ؛ فَإِنَّهُ خَلِيْفَةُ اللهِ اَلْمَهْدِيُّ. 

“Ada tiga orang yang akan saling membunuh di sisi simpanan kalian; mereka semua adalah putera khalifah, kemudian tidak akan kembali ke salah seorang dari mereka. Akhirnya muncullah bendera-bendera hitam dari arah timur, lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu kaum pun… (lalu beliau menutur-kan sesuatu yang tidak aku fahami, kemudian beliau berkata:) Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dia! Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia adalah khalifah Allah al-Mahdi.”[3] 

Ibnu Katsir rahimahulah berkata, “Yang dimaksud dengan simpanan pada redaksi tersebut adalah simpanan Ka’bah. Tiga orang dari putera-putera khalifah akan saling membunuh di sisinya untuk memperebutkannya hingga tiba akhir zaman. Kemudian keluarlah al-Mahdi dan beliau datang dari arah timur, bukan dari Sardab Samira sebagaimana dikatakan oleh orang-orang bodoh dari kalangan Rafidhah bahwa al-Mahdi saat ini ada di dalamnya, dan mereka sedang menunggu kemunculannya di akhir zaman. Ini adalah satu bentuk kebohongan, keterbelakangan yang sangat nampak, dan kehebatan tipu daya syaitan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu, juga bukti dari al-Qur-an, as-Sunnah, akal sehat, dan anggapan yang benar. 

Beliau pun berkata, “Beliau didukung oleh orang-orang dari timur yang menolongnya, menegakkan kekuasaannya, memperkuat sendi-sendinya, dan bendera mereka saat itu pun berwarna hitam, yang melambangkan ketenangan, sebagaimana bendera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berwarna hitam dengan sebutan al-‘Uqaab.” 

Sampai perkataan beliau, “Dan maksud dari pernyataan bahwa al-Mahdi yang dipuji lagi dijanjikan keberadaannya di akhir zaman, asal munculnya adalah dari arah timur. Dan dia akan dibai’at di Masjidil Haram (dekat Ka’bah), sebagaimana ditunjukan oleh sebagian hadits.”[4] 

3. Dalil-Dalil dari as-Sunnah Yang Menunjukkan Akan Kedatangan al-Mahdi 

3. Dalil-Dalil dari as-Sunnah yang Menunjukkan Akan Kedatangannya Telah diriwayatkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan akan munculnya al-Mahdi. Di antara hadits-hadits ini ada yang khusus menyebutkan tentang al-Mahdi, ada juga yang hanya menyebutkan sifat-sifatnya.[1] Di sini kami akan menjelaskan sebagian hadits-haditsnya, dan hal itu sudah cukup dalam menetapkan kemunculannya pada akhir zaman sebagai tanda dari tanda-tanda Kiamat. 

a. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَخْرُجُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِـي الْمَهْدِيُّ؛ يُسْقِيْهِ اللهُ الْغَيْثَ، وَتُخْرِجُ اْلأَرْضُ نَبَاتَهَا، وَيُعْطِى الْمَالَ صِحَاحًا، وَتَكْثُرُ الْمَاشِيَةُ، وَتَعْظُمُ اْلأُمَّةُ، يَعِيْشُ سَبْعًا أَوْ ثَمَانِيًا (يَعْنِي: حِجَجًا). 

“Pada akhir umatku akan keluar al-Mahdi. Allah menurunkan hujan kepadanya, bumi mengeluarkan tumbuhannya, harta akan dibagikan secara merata, binatang ternak melimpah dan umat menjadi mulia, dia akan hidup selama tujuh atau delapan (yakni, musim haji).”[2] 

b. Dan darinya (Abu Sa’id) Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

أُبَشِّرُكُمْ بِالْمَهْدِيِّ؛ يُبْعَثُ عَلَـى اخْتِلاَفٍ مِنَ النَّاسِ وَزَلاَزِلَ، فَيَمْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ جُوْرًا وَظُلْمًا، يُرْضِـى عَنْهُ سَاكِنُ السَّمَاءِ وَسَاكِنُ اْلأَرْضِ، يَقْسِمُ الْمَالَ صِحَاحًا. 

"Aku berikan kabar gembira kepada kalian dengan al-Mahdi, yang diutus saat manusia berselisih dengan banyaknya keguncangan. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan kelaliman dan kezhaliman sebelumnya. Penduduk langit dan penduduk bumi meridhainya, ia akan membagikan harta dengan cara shihaah (merata).’ 

Seseorang bertanya kepada beliau, ‘Apakah shihaah itu?’ Beliau menjawab, ‘Dengan merata di antara manusia.’” Beliau bersabda: 

وَيَمْلأُ اللهُ قُلُوْبَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غِنًـى، وَيَسَعُهُمْ عَدْلُهُ، حَتَّى يَأْمُرَ مُنَادِيًا، فَيُنَادِيْ، فَيَقُوْلُ: مَنْ لَهُ فِـي مَالٍ حَاجَةٌ؟ فَمَا يَقُوْمُ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ رَجَلٌ، فَيَقُوْلُ: اِئْتِ السَّدَّانَ -يَعْنِي: الْخَازِنَ-، فَقُلْ لَهُ: إِنَّ الْمَهْدِيَّ يَأْمُرُكَ أَنْ تُعْطِيْنِيْ مَالاً. فَيَقُوْلُ لَهُ: اِحْثِ، حَتَّـى إِذَا حَجَرَهُ وَأَبْرَزَهُ؛ نَدِمَ، فَيَقُوْلُ: كُنْتُ أَجْشَعَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ نَفْسًا، أَوْ عَجِزَ عَنِّي مَا وَسِعَهُمْ؟ قَالَ: فَيَرُدُّهُ، فَلاَ يُقْبَلُ مِنْهُ فَيُقَالُ لَهُ: إِنَّا لاَ نَاْخُذُ شَيْئًا أَعْطَيْنَاهُ، فَيَكُوْنُ كَذَلِكَ سَبْعَ سِنِيْنَ أو ثَمَانِ سِنِيْنَ أَوْتِسْعَ سِنِيْنَ، ثُمَّ لاَ خَيْرَ فِي الْعَيْشِ بَعْدَهُ أَوْ قَالَ: ثُمَّ لاَ خَيْرَ فِي الْحَيَاةِ بَعْدَهُ. 

“Dan Allah memenuhi hati umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekayaan (rasa puas), meliputi mereka dengan keadilannya, sehingga dia memerintah seorang penyeru, maka penyeru itu berkata, ‘Siapakah yang memerlukan harta?’ Lalu tidak seorang pun berdiri kecuali satu orang. Dia (al-Mahdi) berkata, ‘Temuilah penjaga (gudang harta) dan katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya al-Mahdi memerintahkan mu untuk memberikan harta kepadaku.’ Kemudian dia (penjaga) berkata kepadanya, ‘Ambillah sedikit!’ Sehingga ketika dia telah menyimpan di pangkuannya dan menampak-kannya, dia menyesal dan berkata, ‘Aku adalah umat Muhammad yang jiwanya paling rakus, atau aku tidak mampu mencapai apa yang mereka capai?’” Beliau berkata, “Lalu dia mengembalikannya dan harta itu tidak diterima, maka para penjaga gudang harta berkata padanya, ‘Sesungguhnya kami tidak menerima apa-apa yang telah kami berikan.’ Demikian-lah yang akan terus terjadi selama tujuh tahun atau delapan tahun atau sembilan tahun, kemudian tidak ada lagi kehidupan yang baik setelah itu.” Atau beliau berkata, “Kemudian tidak ada lagi hidup yang baik se-telahnya.”[3] 

Hadits ini menunjukkan bahwa setelah kematian al-Mahdi akan muncul kejelekan dan berbagai fitnah besar. 

c. Diriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

اَلْمَهْدِيُّ مِنَّا أَهْلَ الْبَيْتِ، يُصْلِحُهُ اللهُ فِيْ لَيْلَةٍ. 

Al-Mahdi dari keturunan kami; Ahlul Bait, Allah akan memperbaikinya dalam satu malam.’”[4] 

Ibnu Katsir berkata, “Maknanya adalah memberikan taubat, memberikan taufik kepadanya, mengilhaminya, dan membimbingnya padahal sebelumnya tidak demikian.”[5] 

d. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Baca Juga Pasal Pertama : Hadits Tidak Ada Al-Mahdi Kecuali ‘Isa Bin Maryam Dan Bantahannya 

اَلْمَهْدِيُّ مِنِّي، أَجْلَى الْجَبْهَةِ، أَقْنَى اْلأَنْفِ، يَمْلأُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَجُوْرًا، يَمْلِكُ سَبْعَ سِنِيْنَ. 

‘Al-Mahdi dari keturunanku, dahinya lebar, hidungnya mancung. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana bumi telah dipenuhi dengan kezhaliman dan kelaliman sebelumnya. Dia akan berkuasa selama tujuh tahun.’”[6] 

e. Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

اَلْمَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِيْ، مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ.

‘Al-Mahdi berasal dari Ahlul Baitku, dari keturunan Fathimah.’”[7] 

f. Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ، فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمْ اَلْمَهْدِيُّ: تَعَالَ صَلِّ بِنَا، فَيَقُوْلُ: لاَ؛ إِنَّ بَعْضَهُمْ أَمِيْرُ بَعْضٍ؛ تَكْرِمَةَ اللهِ هَذِهِ اْلأُمَّةَ. ‘

‘Isa bin Maryam turun, lalu pemimpin mereka, al-Mahdi berkata, ‘Shalatlah mengimami kami!’ Dia berkata, ‘Tidak, sesungguhnya sebagian dari kalian adalah pemimpin bagi sebagian yang lainnya, sebagai suatu kemuliaan yang Allah berikan kepada umat ini.’”[8] 

g. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

مِنَّا الَّذيْ يُصَلِّي عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ خَلْفَهُ. 

‘Orang yang menjadi imam bagi ‘Isa bin Maryam di dalam shalatnya adalah dari golongan kami.’”[9] 

h. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda: 

لاَ تَذْهَبُ أَوْ لاَ تَنْقَضِي الدُّنْيَا حَتَّى يُمْلِكَ الْعَرَبُ رَجَلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ، يُوَاطِىءُ اِسْمُهُ اِسْمِيْ. 

‘Dunia tidak akan hilang atau tidak akan lenyap hingga seseorang dari Ahlul Baitku menguasai bangsa Arab, namanya sama dengan namaku.”[10] 

Dalam satu riwayat: 

يُوَاطِىءُ اِسْمُهُ اِسْمِيْ وَاسْمُ أَبِيْهِ اِسْمَ أَبِيْ. 

“Namanya sama dengan namaku dan nama bapaknya sama dengan nama bapakku.”[11] [Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] 

4. Dalam Shahiih al-Bukhari Dan Shahiih Muslim Yang Memiliki Keterkaitan al-Mahdi

Sebagian Hadits Dalam Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim yang Memiliki Keterkaitan dengan al-Mahdi 

a. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا نَزَلَ اِبْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ، وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ؟ 

‘Bagaimanakah keadaan kalian ketika putera Maryam turun di tengah kalian, sedangkan imam kalian dari kalangan kalian?!’”[1] 

b. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ، ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. قال: فَيَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ، فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمْ: تَعَالَ صَلِّ لَنَا فَيَقُوْلُ: لاَ؛ إِنَّ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ أُمْرَاءُ؛ تَكْرِمَةَ اللهِ هَذِهِ اْلأُمَّةَ. 

‘Senantiasa sekelompok dari umatku berjuang di atas kebenaran, mereka akan tetap ada sampai hari Kiamat.’ Beliau bersabda, ‘Lalu ‘Isa bin Maryam turun, pemimpin mereka berkata, ‘Kemarilah, shalatlah meng-imami kami.’ Lalu dia berkata, ‘Tidak, sesungguhnya sebagian dari kalian adalah pemimpin bagi sebagian yang lainnya sebagai kemuliaan yang Allah berikan kepada umat ini.’”[2] 

c. Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثِي اْلَمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا. 

‘Di akhir umatku akan ada seorang khalifah yang akan membagi-bagikan harta dengan kedua tangannya tanpa ada yang dapat menghitungnya.’” Al-Jurairi[3] -salah seorang perawinya- berkata: 

قُلْتُ لأَبِيْ نَضْرَةَ وَأَبِي الْعَلاَءِ: أَتَرَيَانِ أَنَّهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدَالْعَزِيْزِ؟ فَقَالاَ: لاَ. 

“Aku berkata kepada Abu Nadhrah[4] dan Abil ‘Ala,[5] ‘Apakah kalian berpendapat bahwa ia adalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’”[6] Hadits-hadits yang terdapat dalam ash-Shahiihain ini menunjukkan dua hal: 

Pertama, bahwa ketika ‘Isa bin Maryam Alaihissallam turun dari langit, maka orang yang akan mengatur urusan kaum muslimin adalah seorang laki-laki dari kalangan mereka. Kedua, bahwa kehadiran pemimpin mereka untuk melakukan shalat, dan mengimami kaum muslimin, serta permohonannya kepada Nabi ‘Isa agar maju menjadi imam bagi shalat mereka, semua ini menunjukkan keshalihan pemimpin tersebut dan keadaannya yang berada di dalam petunjuk (hidayah). Hadits tersebut walaupun tidak mengandung penyebutan yang jelas dengan kata al-Mahdi, namun hadits tersebut menunjukkan kepada seorang laki-laki shalih yang menjadi imam bagi kaum muslimin saat itu. Telah diriwayatkan berbagai hadits di dalam kitab-kitab as-Sunan, Musnad dan selainnya yang memberikan penafsiran terhadap hadits-hadits yang ada di dalam ash-Shahiihain, dan menunjukkan bahwa laki-laki shalih tersebut bernama Muhammad bin ‘Abdillah, yang dijuluki dengan al-Mahdi, sedangkan as-Sunnah saling menafsirkan satu sama lainnya. 

Di antara hadits-hadits yang menunjukkan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ، فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمُ الْمَهْدِيُّ… 

"Isa bin Maryam akan turun, sementara pemimpin mereka al-Mahdi berkata….’”[7] Hadits ini menunjukkan bahwa pemimpin tersebut adalah pemimpin yang disebutkan dalam Shahiih Muslim yang meminta kepada Nabi ‘Isa Alaihissallam agar maju untuk menjadi imam dalam shalat; namanya adalah al-Mahdi. Syaikh Shiddiq Hasan Khan menyebutkan hadits yang banyak tentang al-Mahdi di dalam kitabnya al-Idza’ah. Beliau menjadikan hadits Jabir yang disebutkan di dalam riwayat Muslim di bagian akhir, kemudian beliau berkata, “Di dalamnya tidak ada ungkapan al-Mahdi, akan tetapi tidak ada makna lain di atas hadits tersebut dan hadits yang semisalnya selain al-Mahdi yang dinanti-kan, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits terdahulu juga atsar yang banyak.”[8] 

5. Kemutawatiran Hadits-Hadits Tentang al-Mahdi 

Hadits-hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya juga yang tidak kami nukil pada pembahasan ini -khawatir terlalu panjang- menunjukkan bahwa hadits-hadits yang menerangkan al-Mahdi memiliki derajat mutawatir ma’nawi (mutawatir secara makna) dan hal itu telah dinyatakan oleh para imam. Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan sebagian pernyataan mereka. 

a. Al-Hafizh Abul Hasan al-Abari berkata, “Khabar-khabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang al-Mahdi telah mencapai derajat mutawatir, sesungguhnya dia dari kalangan Ahlul Bait. Dia berkuasa selama tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan, dan Nabi ‘Isa Alaihissallam akan turun lalu membantunya untuk membunuh Dajjal. Dia (al-Mahdi) mengimami shalat umat Islam, dan Nabi ‘Isa shalat di belakangnya.” [1]

b. Muhammad al-Barzanzi rahimahullah[2] dalam kitabnya al-Isyaa’ah li Asyraathis Saa’ah berkata, “Bab ketiga tentang tanda-tanda besar Kiamat yang ber-lanjut dengan kedatangan Kiamat, dan hal itu banyak sekali, di antaranya adalah al-Mahdi, sebagai tanda yang pertama. Dan ketahuilah bahwa hadits-hadits yang menjelaskannya dengan berbagai redaksi yang berbeda hampir-hampir tidak tidak dapat dihitung.”[3] Beliau pun berkata, “Engkau telah mengetahui tentang hadits-hadits yang menjelaskan akan keluarnya al-Mahdi, dan sesungguhnya beliau dari keturunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari putera Fathimah di mana telah mencapai batasan mutawatir ma’nawi, (mutawatir secara makna). Maka tidak ada alasan lagi untuk mengingkarinya.”[4] 

c. Al-‘Allamah Muhammad as-Safarini rahimahullah [5] berkata, “Telah banyak riwayat yang menerangkan keluarnya -al-Mahdi-, hingga mencapai derajat mutawatir secara makna. Dan hal itu telah tersebar di antara para ulama Sunnah, sehingga diperhitungkan sebagai prinsip ‘aqidah mereka.” Kemudian beliau menuturkan beberapa hadits juga atsar yang menjelaskan keluarnya al-Mahdi, dan nama sebagian Sahabat yang meriwayatkannya, lalu beliau berkata, “Telah diriwayatkan dari kalangan Sahabat yang telah disebutkan namanya dan yang tidak disebutkan Radhiyallahu anhum dengan beberapa riwayat yang beragam, juga dari para Tabi’in setelah mereka. Semuanya memberikan faidah adanya ilmu yang qath’i (pasti), maka beriman akan keluarnya al-Mahdi adalah wajib sebagaimana ditetapkan oleh para ulama, dan dibukukan dalam ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah.”[6] 

d. Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits-hadits mutawatir tentang kedatangan al-Mahdi al-Muntazhar yang mungkin dijadikan sebagai landasan, ada lima puluh hadits. Di antaranya ada yang shahih, hasan, dan dha’if yang mencapai puluhan, maka semuanya tidak diragukan dan tanpa ada kesamaran merupakan hadits mutawatir, bahkan dianggap tepat mensifati dengan mutawatir beberapa riwayat yang kurang dari jumlah lima puluh riwayat berdasarkan semua istilah yang ada dalam ilmu hadits. Adapun atsar para Sahabat yang menjelaskan kedatangan al-Mahdi, maka hal itu banyak sekali, semuanya memiliki hukum marfu’, karena tidak ada ruang ijtihad dalam masalah seperti ini.”[7] 

e. Shiddiq Hasan rahimahullah [8] berkata, “Hadits-hadits yang ada tentang -al-Mahdi- dengan riwayatnya yang beragam adalah sangat banyak, mencapai derajat mutawatir. Hadits-hadits tersebut ada di dalam kitab-kitab as-Sunan juga kitab-kitab Islam lainnya berupa kitab-kitab Mu’jam dan Musnad.”[9] 

f. Syaikh Muhammad bin Ja’far al-Kattani rahimahullah [10] berkata, “Kesimpulannya bahwa hadits-hadits yang menerangkan tentang al-Mahdi al-Muntazhar adalah mutawatir, demikian pula yang menjelaskan tentang Dajjal dan yang menjelaskan tentang turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam.”[11] 

6. Beberapa Ulama yang Menulis Kitab Khusus Tentang al-Mahdi Selain kitab-kitab hadits yang masyhur, seperti Sunan yang empat juga kitab-kitab Musnad, seperti Musnad Ahmad, Musnad al-Bazzar, Musnad Abu Ya’la, Musnad al-Harits bin Abi Usamah, Mustadrak al-Hakim, Mushannaf Ibni Abi Syaibah, Shahiih Ibni Khuzaimah, dan selainnya yang di dalamnya menjelaskan al-Mahdi. Sekelompok ulama telah menulis tentang al-Mahdi al-Muntazhar secara khusus di dalam beberapa karya tulis yang di dalamnya menuturkan beberapa hadits tentangnya, di antara karya tulis tersebut adalah: 

a. Al-Hafizh Abu Bakar bin Abi Khaitsamah rahimahullah[12] mengumpulkan be-berapa hadits tentang al-Mahdi, sebagaimana hal itu diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya yang dinukil dari as-Suhaili.[13] 

b. As-Suyuthi menulis satu juz dengan judul al-‘Urful Wardi fi Akhbaaril Mahdi dicetak bersama kitab al-Haawi lil Fataawaa’.[14] 

c. Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam kitabnya an-Nihaayah/ al-Fitan wal Malaahim, beliau menulis satu juz khusus tentang al-Mahdi.[15] 

d. Demikian pula ‘Ali al-Muttaqa al-Hindi rahimahullah[16] memiliki satu risalah khu-sus tentang hal ihwal al-Mahdi.[17] 

e. Ibnu Hajar al-Makki rahimahullah [18] memiliki sebuah karya tulis yang diberi judul al-Qaulul Mukhtashar fii ‘Alaamatil Mahdi al-Muntazhar.[19] 

f. Al-Mulla ‘Ali al-Qari rahimahullah [20] menulis sebuah buku yang diberi judul al-Masyrabul Wardi fii Madzhabil Mahdi.[21] 

g. Mar’i bin Yusuf al-Hanbali rahimahullah [22] menulis kitab Fawaa-idul Fikr fii Zhu-huuril Muntazhar.[23] 

h. Asy-Syaukani rahimahullah menulis sebuah kitab dengan judul at-Taudhiih fii Tawaaturi maa Jaa-a fil Mahdil Muntazhar wad Dajjal wal Masiih.[24] 

Shiddiq Hasan berkata, “Sayyid al-‘Allamah Badrul Millah al-Munir Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Yamani rahimahullah [25] telah mengumpulkan hadits-hadits yang menunjukkan keluarnya al-Mahdi dari keluarga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia akan muncul pada akhir zaman.”[26] 

7. Orang-Orang yang Mengingkari Hadits-Hadits Tentang al-Mahdi dan Bantahan Terhadap Mereka Telah kami ungkapkan sebelumnya hadits-hadits shahih yang merupakan dalil secara qath’i akan kemunculan al-Mahdi di akhir zaman sebagai seorang hakim dan pemimpin yang adil. Demikian pula kami telah menukil beberapa pendapat ulama yang mengungkapkan secara jelas bahwa hadits tentang al-Mahdi adalah mutawatir, juga sebagian karya tulis yang disusun oleh para ulama tentangnya. 

Di antara hal yang sangat disayangkan bahwa ada sebagian penulis[1] di zaman sekarang ini mengingkari kemunculan al-Mahdi. Mereka mensifati berbagai hadits tentangnya dengan kontradiktif dan kebathilan (tidak benar), dan sesungguhnya al-Mahdi hanyalah cerita bohong yang dibuat oleh kaum Syi’ah, kemudian masuk ke dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. 

Para penulis tersebut telah terpengaruh dengan pendapat yang telah masyhur dari Ibnu Khaldun, seorang ahli sejarah rahimahullah,[2] di mana beliau telah mendha’ifkan hadits-hadits tentang al-Mahdi. Padahal Ibnu Khaldun bukanlah pakar di bidang ini sehingga pendapatnya dalam menshahihkan dan mendha’ifkan hadits bisa diterima. Sungguh pun demikian beliau telah berkata -setelah menuturkan hadits yang banyak tentang al-Mahdi, dan melemahkan sebagian besar sanadnya-, “Inilah beberapa hadits yang ditakhrij oleh para al-Imam tentang al-Mahdi, yang akan keluar di akhir zaman, yaitu: -sebagaimana kamu lihat- hadits-hadits tersebut tidak terlepas dari kritikan kecuali sedikit sekali atau lebih sedikit.”[3] 

Ungkapan beliau menunjukkan adanya sedikit hadits yang selamat dari kritikan. Kami katakan: Seandainya ada satu hadits saja yang shahih, maka hal itu sudah cukup sebagai hujjah bagi adanya al-Mahdi. Bagaimana (mungkin) sementara hadits-hadits tersebut shahih bahkan mutawatir?! 

Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata sebagai bantahan terhadap pendapat Ibnu Khaldun, “Sesungguhnya Ibnu Khaldun tidak memahami benar perkataan para ahli hadits ‘al-Jarhu Muqaddamun ‘alat Ta’dil,’ dan seandainya saja dia menelaah perkataan para pakar hadits dan pemahamannya, niscaya dia tidak akan pernah mengatakan apa-apa yang telah dia katakan. Mungkin pula sebenarnya dia telah membaca dan mengetahuinya, akan tetapi melemahkan hadits al-Mahdi karena keadaan politik yang menekannya saat itu.”[4] 

Kemudian beliau menjelaskan bahwa apa yang ditulis oleh Ibnu Khaldun di dalam pembahasan ini tentang al-Mahdi dipenuhi dengan kekeliruan dalam nama-nama perawi dan penukilan/penyebutan illah-illahnya (cacat hadits). Beliau memakluminya karena hal itu bisa saja bersumber dari para penulis dan karena kelalaian orang-orang yang menshahihkannya, wallahu a’lam. 

Di sini kami akan menjelaskan secara ringkas apa-apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha tentang al-Mahdi. Hal itu merupakan contoh bagi yang lainnya dari para pengingkar hadits tentang al-Mahdi. Beliau rahimahullah berkata, “Adapun tentang kontradiksi di dalam hadits-hadits tentang al-Mahdi, maka hal itu sangat kuat dan sangat nampak. Demikian pula menyatukan berbagai riwayat tentangnya lebih sulit, dan orang-orang yang mengingkarinya lebih banyak. Begitu juga kerancuan yang ada di dalamnya lebih jelas, karena itulah Imam al-Bukhari dan Muslim tidak menyebutkan sedikit pun tentangnya di dalam kitab Shahiih keduanya. Dan hal itu (penyebutan riwayat tentang Mahdi) merupakan sumber (pendorong) kerusakan dan fitnah yang paling besar di masyarakat muslim.”[5] 

Selanjutnya beliau menuturkan berbagai contoh kontradiksi di dalam hadits tentang al-Mahdi -menurut sangkaannya- di antaranya perkataan beliau, “Sesungguhnya riwayat yang paling masyhur tentang namanya dan nama bapaknya menurut Ahlus Sunnah adalah Muhammad bin ‘Abdillah, dan di dalam riwayat yang lain Ahmad bin ‘Abdillah. Sementara Syi’ah Imamiyyah sepakat bahwa namanya adalah Muhammad bin al-Hasan al-‘Askari. Keduanya (Muhammad dan al-Hasan) adalah urutan kesebelas dan kedua dua belas dari para imam mereka yang mereka anggap maksum (suci dari dosa). Mereka memberi julukan al-Hujjah, al-Qa-im dan al-Muntazhar…. Sementara al-Kisa-niyyah[6] menyangka bahwa al-Mahdi adalah Muhammad bin al-Hanafiyyah (keturunan ‘Ali Radhiyallahu anhu dari isteri beliau selain Fathimah), dan sesungguhnya dia masih hidup serta bermukim di gunung radhawa….[7] 

Beliau pun berkata, “Yang masyhur dari nasabnya bahwa dia adalah keturunan Ali dan Fathimah dari anaknya al-Hasan, sementara di sebagian riwayat dari keturunan al-Husain, sesuai dengan perkataan Syi’ah al-Imamiyyah, dan ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa dia dari keturunan al-’Abbas.”[8] 

Kemudian beliau menuturkan bahwa banyak cerita Israailiyat (yang bersumber dari bani Israil) yang telah masuk ke dalam kitab-kitab hadits; “Demikian pula sesungguhnya orang-orang yang fanatik terhadap keturunan ‘Ali, ‘Abbas dan Persia memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membuat hadits palsu tentang al-Mahdi, setiap kelompok mengaku bahwa dia (al-Mahdi) berasal dari kelompoknya, sementara kaum Yahudi dan orang Persia telah menyebarluaskan riwayat-riwayat ini dengan tujuan mengelabui kaum muslimin, sehingga mereka bersandar kepada kedatangan al-Mahdi yang akan diberikan pertolongan oleh Allah untuk menegakkan agama ini, dan menyebarkan keadilan ke seluruh alam.”[9] 

Adapun jawaban atas pernyataan-pernyataan Syaikh Rasyid Ridha ini bahwa berbagai riwayat yang menjelaskan keluarnya al-Mahdi adalah shahih bahkan mutawatir secara makna, sebagaimana sebagian haditsnya telah kami sebutkan, juga para ulama yang secara jelas menyebutkan keshahihan hadits juga kemutawatirannya. Adapun pengakuan bahwa asy-Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) tidak memasukkan sedikit pun hadits tentang al-Mahdi, maka kami katakan: Sesungguhnya seluruh Sunnah tidak termaktub di dalam ash-Shahiihain saja, bahkan di dalam kitab lainnya ada banyak hadits shahih; baik di dalam kitab-kitab as-Sunan, Musnad, Mu’jam dan yang lainnya dari kitab-kitab hadits. 

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Bukhari dan Muslim tidak memaksakan diri untuk meriwayatkan seluruh hadits yang dihukumi shahih, bahkan keduanya telah menshahihkan hadits-hadits yang tidak ada di dalam kitab Shahiih keduanya, sebagaimana dinukil oleh at-Tirmidzi juga yang lainnya dari al-Bukhari tentang penshahihan hadits-hadits yang tidak ada di kitabnya tetapi ada di dalam as-Sunan dan yang lainnya.”[10] 

Adapun tentang keadaan hadits yang telah dimasuki dengan banyak cerita israiliyyat dan sebagiannya adalah hadits palsu yang dibuat kaum Syi’ah juga yang lainnya dari golongan yang fanatik, maka sesungguhnya hal ini benar adanya. Akan tetapi para imam di bidang hadits telah menjelaskan yang shahih dari selainnya. Mereka telah menulis kitab-kitab tentang hadits-hadits palsu, menjelaskan riwayat-riwayat yang lemah, bahkan meletakkan kaidah-kaidah yang sangat teliti dalam menghukumi para perawi hadits, sehingga tidak tersisa seorang ahli bid’ah dan pendusta pun melainkan mereka jelaskan jati dirinya. Maka Allah-lah yang telah menjaga as-Sunnah dari perbuatan orang yang sia-sia, dari perbuatan merubah orang-orang yang melewati batas, dan dari sikap meniru orang-orang yang berlaku sesat, dan ini merupakan penjagaan dari Allah atas agama ini. 

Dan jika memang ada riwayat maudhu’ (palsu) tentang al-Mahdi akibat sikap fanatik kesukuan, maka sesungguhnya hal itu tidak menjadikan kita meninggalkan berbagai riwayat shahih tentangnya. Sementara berbagai riwayat shahih telah menjelaskan namanya dan nama bapaknya, lalu jika ada manusia yang menentukan seseorang dan mengaku bahwa ia adalah al-Mahdi tanpa didukung dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskannya, maka sesungguhnya hal itu tidak menjadikan pengingakaran terhadap al-Mahdi yang disebutkan di dalam hadits. 

Kemudian sesungguhnya al-Mahdi yang sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan seseorang yang mempropagandakannya, akan tetapi Allah-lah yang akan menampakkannya jika Dia menghendaki, dan manusia akan mengenalnya dengan berbagai tanda yang menunjukkannya. Adapun sangkaan adanya kontradiksi riwayat-riwayat yang ada, maka hal itu ada di beberapa riwayat yang tidak shahih, adapun hadits-hadits shahih sama sekali tidak me-ngandung kontradiksi. Hanya milik Allah-lah segala puji. 

Demikian pula tentang penyelisihan Syi’ah terhadap Ahlus Sunnah (dalam masalah al-Mahdi) tidak perlu dihiraukan, sebab penentu yang adil adalah al-Kitab juga as-Sunnah yang shahih, sementara berbagai cerita dusta dari orang-orang Syi’ah dan berbagai kebathilan mereka, maka tidak boleh dijadikan acuan untuk menolak hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika berbicara tentang al-Mahdi, “Adapun kaum Rafidhah Imamiyyah, maka sesungguhnya mereka memiliki pendapat yang keempat, yaitu bahwa al-Mahdi adalah Muhammad bin al-Hasan al-‘Askari al-Muntazhar, dari keturunan al-Husain bin ‘Ali, bukan dari keturunan al-Hasan, dialah yang selalu hadir di setiap negeri tetapi tidak nampak dari pandangan, yang mewariskan tongkat dan yang akan mengakhiri, masuk ke 

Sardab Samura (gua) ketika masih kecil lebih dari lima ratus tahun yang lalu, setelah itu tidak ada satu pun mata yang bisa melihatnya dan tidak diketahui lagi tentangnya dengan kabar maupun bukti. Mereka (orang Syi’ah) senantiasa menunggunya sampai hari ini!! Mereka menempatkan seekor kuda di pintu Sardab (goa), dan berseru agar dia keluar kepada mereka dengan berkata, “Keluarlah wahai tuan kami! Keluarlah wahai tuan kami!” lalu mereka kembali dengan kehampaan. Inilah kebiasaan yang mereka lakukan dan sungguh indah ucapan seseorang yang berkata: 

مَا آنَ لِلسَّرْدَابِ أَنْ يَلِدَ الَّذِيْ كَلَّمْتُمُوْهُ بِجَهْلِكُمْ مَا آنَا؟ فَعَلَى عُقُوْلِكُمُ الْعَـفَاءُ فَإِنَّكُمْ ثَلَّثْتُـمُ الْعَنْقََاءَ وَالْغَيْلاَنَـا 

Sardab tidak akan pernah melahirkan apa-apa yang kalian seru dengan kebodohan kalian ia tidak akan datang. Pada otak kalian ada debu (yang menutup) Kalian telah menjadikan bencana dan tipu daya yang ketiga Mereka telah mempermalukan diri mereka dan menjadi bahan tertawaan bagi manusia, setiap orang yang berakal pasti akan mengejek mereka.[11]

Hadits Tidak Ada Al-Mahdi Kecuali ‘Isa Bin Maryam Dan Bantahannya 

Pasal Pertama AL-MAHDI Oleh Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil 

8. Hadits لاَ مَهْدِيُّ إِلاَّ عِيْسَـى بْنُ مَرْيَمَ (Tidak Ada al-Mahdi Kecuali ‘Isa bin Maryam) dan Bantahannya Sebagian orang yang mengingkari hadits-hadits tentang al-Mahdi berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, juga al-Hakim dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

لاَ يَزْدَادُ اْلأَمْرُ إِلاَّ شِدَّةً، وَلاَ الدُّنْيَا إِلاَّ إِدْبَارًا، وَلاَ النَّاسُ إِلاَّ شُحًّا، وَلاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ عَلَى شِرَارِ النَّاسِ، وَلاَ الْمَهْدِيُّ إِلاَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ. 

“Suatu urusan tidak akan bertambah melainkan akan semakin sulit, dunia semakin mundur, dan manusia semakin kikir, tidaklah Kiamat terjadi kecuali kepada manusia yang paling buruk, dan tidak ada al-Mahdi kecuali ‘Isa bin Maryam.” [1] 

Jawaban atas pernyataan mereka bahwa hadits tersebut adalah dha’if, karena semuanya bersumber kepada Muhammad bin Khalid al-Jundi. 

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya, “Al-Azdi berkata, ‘Dia adalah munkarul hadits.’ Abu ‘Abdillah al-Hakim berkata, ‘Dia majhul.’” Saya (adz-Dzahabi) katakan, “Haditsnya, ‘Tidak ada al-Mahdi kecuali ‘Isa bin Maryam’ adalah khabar yang munkar, diriwayatkan oleh Ibnu Majah.” [2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Hadits ini dha’if, Abu Muhammad bin al-Walid al-Baghdadi dan yang lainnya telah menjadikannya sebagai sandaran, sementara hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai san-daran. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Yunus, dari asy-Syafi’i, asy-Syafi’i meriwayatkannya dari seseorang, dari penduduk Yaman yang bernama Muhammad bin Khalid al-Jundi, padahal dia adalah orang yang tidak bisa dijadikan hujjah, dan hadits ini tidak termaktub di dalam Musnad asy-Syafi’i. Ada juga yang mengatakan, ‘Sesungguhnya asy-Syafi’i tidak mendengarnya dari al-Jundi, dan Yunus tidak mendengarnya dari asy-Syafi’i.’” [3] 

Dan Apakah Dia Sudah Ada Pada Zaman Nabi ? Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dia seorang perawi yang majhul (tidak dikenal).” [4]

Pendapat itu telah ditentang oleh al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya hadits tersebut terkenal dari Muhammad bin Khalid al-Jundi ash-Shan’ani, guru asy-Syafi’i dan lebih dari satu orang yang meriwayatkan darinya. Dia bukanlah seorang perawi yang majhul (tidak dikenal) sebagaimana disangka oleh al-Hakim. Bahkan telah diriwayatkan dari Ibnu Ma’in bahwa ia telah mentsiqahkannya. Akan tetapi sebagian perawi ada yang meriwayatkannya dari beliau, dari Aban bin Abi ‘Iyasy dari al-Hasan al-Bashri secara mursal. Hal itu diungkapkan oleh guru kami (al-Mizzi) dalam kitab at-Tahdziib dari sebagian mereka bahwa beliau bermimpi melihat asy-Syafi’i berbicara, ‘Yunus bin Abdil ‘A’la ash-Shadafi telah berdusta atas namaku, hadits ini bukan riwayatku.’” Saya (Ibnu Katsir) katakan, “Yunus bin Abdil ‘A’la ash-Shadafi termasuk orang-orang yang tsiqah, tidak bisa dituduh dengan hanya berdasarkan mimpi, dan hadits ini bagi orang awam bertentangan dengan hadits-hadits yang telah kami sebutkan tentang penetapan al-Mahdi selain ‘Isa bin Maryam, baik sebelum turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam ke bumi -sebagaimana hal itu lebih kuat, wallaahu a’lam- atau setelahnya. Dan apabila kita fahami dengan seksama, maka keduanya sama sekali tidak bertentangan, bahkan yang dimaksud dengan hal itu bahwa al-Mahdi sebenar-benarnya al-Mahdi adalah ‘Isa bin Maryam, akan tetapi hal itu tidak menafikan adanya al-Mahdi yang lainnya, wallaahu a’lam.” [6] 

Abu ‘Abdillah al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Dimungkinkan bahwa yang dimaksud dari sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dan tidak ada al-Mahdi kecuali ‘Isa’ adalah tidak ada al-Mahdi yang sempurna, yang maksum kecuali ‘Isa. Dengan pemahaman tersebut maka berbagai hadits bisa disatukan dan hilang pertentangan karenanya.” [7]

Kami katakan: Seandainya hadits tersebut benar-benar tetap, maka tidak bisa mengalahkan banyak hadits yang tetap tentang al-Mahdi, yang semuanya lebih shahih secara sanad daripada hadits yang dipertentangkan oleh para ulama tentang shahih dan tidaknya, wallaahu a’lam. 

BACA SERIAL TANDA-TANDA KECIL KIAMAT:

  1. Tanda kecil Kiamat Bagian Pertama
  2. Tanda kecil Kiamat Bagian Kedua
  3. Tanda kecil Kiamat Bagian Ketiga
  4. Tanda kecil Kiamat Bagian Keempat
  5. Tanda kecil Kiamat Bagian Kelima
  6. Tanda kecil Kiamat Bagian Keenam
  7. Tanda kecil Kiamat Bagian Ketujuh
  8. Tanda kecil Kiamat Bagian Kedelapan

BACA SERIAL TANDA-TANDA BESAR KIAMAT:

  1. Tanda Besar Kiamat Al-Mahdi
  2. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Dajjal
  3. Tanda Besar Kiamat Turunnya nabi 'Isa 'Alaihissalam
  4. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Ya'juj wa Ma'juj
  5. Tanda Besar Kiamat Penenggelaman kedalam bumi
  6. Tanda Besar Kiamat Munculnya Asap
  7. Tanda Besar Kiamat Terbitnya Matahari dari barat
  8. Tanda Besar Kiamat Keluarnya Dabbah dari perut bumi
  9. Tanda Besar Kiamat Adanya Api dari Yaman yang mengumpulkan manusia

_________

Footnote 
[1]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/31) tahqiq Dr. Thaha Zaini. 

[2]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/29). 

[3]. Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan, bab Khuruujul Mahdi (II/1367), Mustadrak al-Hakim (IV/463-464), beliau berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat asy-Syaikhani.” Disepakati oleh adz-Dzahabi. Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah sanad yang kuat dan shahih.” An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/29) tahqiq Dr. Thaha Zaini. Al-Albani berkata, “Makna hadits ini shahih tanpa lafazh, فَإِنَّ فِيْهَا خَلِيْفَةُ اللهِ الْمَهْدِيُّ, Ibnu Majah telah meriwayatkannya dari jalan ‘Alqamah dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ seperti riwayat ‘Utsman yang kedua, dan sanadnya hasan, dan tidak didapatkan padanya ungkapan “Khalifatullah”. Tambahan ini tidak memiliki jalan yang tsabit (kuat) tidak pula memiliki riwayat yang dapat memperkuatnya, ia adalah tambahan yang munkar… dan di antara kemunkarannya bahwa di dalam hukum Islam tidak dibenarkan mengatakan “Khalifatullah”, karena ungkapan tersebut memberikan isyarat sesuatu yang tidak layak bagi Allah berupa kekurangan dan kelemahan.” Kemudian beliau menukil perkataan dari al-Fataawaa’ karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang di dalamnya terdapat bantahan bagi orang yang berkata bahwa Khalifah itu adalah khalifah dari Allah, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan khalifah, karena Allah adalah al-Hayy (Yang Maha-hidup), asy-Syahiid (Yang Mahamenyaksikan), al-Muhaimin (Yang Mahaperkasa), al-Qayyum (Yang Mahaberdiri sendiri), ar-Raqiib (Yang Maha Mengawasi), al-Hafiizh (Yang Mahamenjaga), dan al-Ghaniiy (Yang Mahakaya) atas semua alam. Dan sesungguhnya adanya khalifah ketika tidak adanya orang yang digantikan, dengan sebab kematian atau pergi, sementara Allah disucikan dari sifat seperti itu.” Lihat Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iifah wal Maudhuu’ah, (I/119-121, no. 85). 

[4]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/29-30).

_______ 

Footnote

[1]. Syaikh ‘Abdul ‘Alim bin ‘Abdil ‘Azhim telah melakukan penelitian berbagai pendapat tentang hadits-hadits al-Mahdi di dalam risalahnya yang berjudul al-Ahaadiits fil Mahdi fii Miizaanil Jarh wat Ta’diil untuk mendapatkan gelar S2. Beliau menyebutkan para imam yang meriwayatkannya, menyebutkan pendapat para ulama tentang sanad untuk setiap hadits, hukum atasnya, kemudian hasil yang didapatkannya. Maka siapa saja yang ingin mendapatkan penjelasan lebih luas, hendak-lah ia membaca risalah tersebut, karena ia adalah rujukan paling luas dalam pembicaraan tentang hadits-hadits al-Mahdi, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad di dalam Majallah al-Jaami’ah al-Islaamiyah (edisi 45/hal. 323). Kesimpulan dari yang beliau sebutkan adalah berupa hadits-hadits marfu’, demikian pula atsar-atsar dari para Sahabat dan yang lainnya sebanyak 336 riwayat. Di antaranya 32 hadits dan 11 atsar, semua-nya ada di antara shahih dan hasan, yang secara jelas menyebutkan kata al-Mahdi sebanyak 9 hadits dan 6 atsar, sementara selebihnya hanyalah menyebutkan sifat-sifat dan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa semuanya ada pada diri al-Mahdi. Banyak dari kalangan para Hafizh (ahli hadits) yang menshahihkan hadits-hadits al-Mahdi. Di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhaajus Sunnah fii Naqdhi Kalaamisy Syii’ah wal Qadariyyah (IV/211), al-‘Allamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Manaarul Muniif fish Shahiihi wadh Dha’iif (hal. 142 dan yang setelahnya), tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, dan dishahihkan pula oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitabnya an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/24-32) tahqiq Dr. Thaha Zaini, dan para ulama lainnya sebagaimana akan dijelaskan.

[2]. Mustadrak al-Hakim (IV/557-558), beliau berkata, “Sanad hadits ini shahih, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Al-Albani berkata, “Ini adalah sanad yang shahih, perawinya tsiqat.” Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (II/336, no. 711). Dan lihat Risalah ‘Abdul ‘Alim Ahaadiitsul Mahdi fii Miizaanil Jarh wat Ta’diil (hal. 127-128). 

[3]. Musnad Imam Ahmad (III/37, Muntakhab al-Kanz). Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya dengan banyak diringkas, dan diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad-sanadnya, Abu Ya’la dengan sangat diringkas dan para perawi keduanya tsiqat.” Majmaa’uz Zawaa-id (VII/313-314). Lihat ‘Aqidatu Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdil Muntazhar (hal. 177), karya Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad. 

[4]. Musnad Ahmad (II/58, no. 645), tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih,” dan Sunan Ibni Majah (II/1367). Dan hadits ini dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (VI/22, no. 6611). 

[5]. An-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim (I/29) tahqiq Dr. Thaha Zaini. 

[6]. Sunan Abi Dawud, kitab al-Mahdi (XI/375, no. 4265), dan Mustadrak al-Hakim (IV/557), beliau berkata, “Hadits ini shahih dengan syarat Muslim, akan tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Adz-Dzahabi berkata, “‘Imran (salah satu perawi hadits) lemah, dan Muslim tidak menjadikannya sebagai perawi.” Al-Mundziri mengomentari sanad Abu Dawud, “Di dalam sanadnya ada ‘Imran al-Qaththan, dia adalah Abul ‘Awam ‘Imran bin Dawir al-Qaththan al-Bashri. Al-Bukhari menjadikannya sebagai penguat, ‘Affan bin Muslim mentsiqatkannya, dan Yahya bin Sa’id al-Qaththan memujinya, sedangkan Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i melemahkannya.” Aunul Ma’buud (XI/375). Adz-Dzahabi berkata dalam al-Miizaan, “Ahmad berkata, ‘Aku berharap dia sebagai perawi yang haditsnya shalih (baik).’” Abu Dawud berkata, “Lemah.” Miizaanul I’tidaal (III/236). Ibnu Hajar mengomentarinya, “Shaduq Yuhammu, dan dituduh sebagai orang yang berpola pikir Khawarij.” Taqriibut Tahdziib (II/83). Ibnul Qayyim mengomentari sanad Abu Dawud, “Jayyid,” al-Manaarul Muniif (hal. 144) tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah. Al-Albani berkata, “Sanadnya hasan,” Shahiihul Jaami’ (VI/22-23, no. 6616). 

[7]. Sunan Abi Dawud (XI/373), dan Sunan Ibni Majah (II/1368). Al-Albani berkata dalam Shahiihul Jaami’, “Shahih.” (VI/22, no. 6610). Lihat Risalah ‘Abdul ‘Alim tentang al-Mahdi (hal. 160). 

[8]. HR. Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya, begitu juga diriwayatkan dalam al-Manaarul Muniif, karya Ibnul Qayyim (hal. 147-148), dan al-Haawi fil Fataawaa’, karya as-Suyuthi (II/64). Ibnul Qayyim berkata, “Ini adalah sanad yang jayyid.” Dishahihkan oleh ‘Abdul ‘Alim di dalam risalahnya tentang al-Mahdi (hal. 144). 

[9]. HR. Abu Nu’aim dalam Akhbaarul Mahdi sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi di dalam al-Haawi (II/64), dan beliau memberikan lambang dengan dha’if, demikian pula al-Manawi dalam Faidhul Qadiir (VI/17). Al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (V/219, no. 5796). ‘Abdul ‘Alim berkata dalam risalahnya, “Sanadnya hasan dengan beberapa penguat.” (hal. 241). 

[10]. Musnad Ahmad (V/199, no. 485), tahqiq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih.” At-Tirmidzi (VI/485), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dan Sunan Abi Dawud (XI/371).

[11]. Sunan Abi Dawud (XI/370). Al-Albani berkata, “Shahih,” Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (V/70-71, no. 5180). Lihat Risaalah ‘Abdul ‘Alim fil Mahdi (hal. 202). Kedua riwayat ini semuanya berporos kepada ‘Ashim bin Abi an-Najwad, dia perawi tsiqah dengan haditsnya yang hasan. Imam Ahmad mengomentarinya, “Dia seorang yang shalih, dan aku memilih riwayat dari sahabat-sahabatnya,” Abu Hatim mengomentari beliau, “Ia terdaftar dalam catatanku sebagai orang yang jujur, haditsnya shalih, dan dia tidak disebut sebagai orang yang banyak hafal hadits dengan keadaan-nya itu.” Al-‘Uqaili berkata, “Tidak ada apa-apa pada dirinya kecuali hafalannya yang jelek,” ad-Daraquthni berkata, “Di dalam hafalannya ada kelemahan,” adz-Dzahabi berkata, “Beliau tsabit (bagus) dalam membaca (qira-ah), akan tetapi di dalam menyampaikan hadits beliau tidak demikian, beliau perawi jujur namun sering salah, haditsnya hasan.” Dan beliau berkata, “Ahmad dan Abu Zur’ah berkata, ‘Tsiqah,’” dia pun berkata, “Asy-Syaikhani meriwayatkannya, akan tetapi mengguna-kan penyerta yang lainnya, tidak menjadikannya sebagai landasan dan tidak pula diriwayatkan secara menyendiri.” Ibnu Hajar berkata, “Shaduq, beliau memiliki wahm (keragu-raguan), hujjah di dalam qira-ah.” Lihat Miizaanul I’tidaal (II/357), Taqriibut Tahdziib (I/383), dan ‘Aunul Ma’buud 

Sumber kedua

______ 

Footnote 

[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’, bab Nuzuulu ‘Isa bin Maryam Alaihissallam (VI/491), dan Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Nuzuulu ‘Isaa bin Maryam J Haakiman (II/193, Syarh an-Nawawi). 

[2]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Nuzuulu ‘Isa bin Maryam Haakiman (II/193-194, Syarh an-Nawawi). 

[3]. Beliau adalah Abu Mas’ud Sa’id bin Iyas al-Jurairi al-Bashri, seorang ahli hadits di Bashrah, tsiqah, dan mukhthalat (hafalannya kacau) 3 tahun sebelum dia wafat. Wafat pada tahun 144 H rahimahullah. Lihat Tahdziibut Tahdziib (IV/5-7). 

[4]. Beliau adalah al-Mundzir bin Malik bin Qith’ah al-‘Abadi al-Bashri, perawi tsiqah, beliau meriwayat-kan dari beberapa Sahabat. Wafat pada tahun 108 H rahimahullah. Lihat Tahdziibut Tahdziib (X/302-303). 

[5]. Beliau adalah Yazid bin ‘Abdillah bin asy-Syikhir al-‘Amiri, seorang Tabi’in, tsiqah, beliau meriwayatkan dari sekelompok Sahabat. Wafat pada tahun 108 H rahimahullah. Lihat Tahdziibut Tahdziib (XI/341). 

[6]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/38-39, Syarh an-Nawawi), dan diriwayat-kan pula oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah bab al-Mahdi (XV/86-87), tahqiq Syu’aib al-Arna-uth. Al-Baghawi berkata, “Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Muslim.” 

[7]. Telah dijelaskan takhrij hadits ini sebelumnya. [8]. ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdi al-Muntazhar (hal. 175-176), karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-Hammad, seorang dosen di Universitas Islam Madinah di Madinah al-Munawwarah, cet. I, th. 1402 H, cet. ar-Rasyid, Madinah, lihat al-Idza’aah (hal. 144).

Sumber ketiga

_______ 

Footnote 

[1]. Tahdziibul Kamaal fii Asmaa-ir Rijaal (III/1194), karya Abul Hajjaj Yusuf al-Mazzi, tulisan yang dicopy dari tulisan tangan Darul Kitab al-Mishriyyah, al-Manaarul Muniif (hal. 142), tahqiq ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, Fat-hul Baari (VI/493-494), al-Haawi lil Fataawaa’ di dalam juz al-‘Urful Wardi fi Akhbaaril Mahdi (II/85-86). Dan lihat pula kitab Aqiidatu Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdil Muntazhar (hal. 171-172), karya Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad. 

[2]. Beliau adalah Syaikh Muhammad bin ‘Abdirrasul bin ‘Abdissayyid al-Hasani al-Barzanzi, salah seorang ahli fiqih madzhab asy-Syafi’i, beliau memiliki keilmuan di bidang tafsir dan sastra, me-lakukan perjalanan ke Baghdad, Damaskus dan Mesir. Beliau menetap di Madinah, belajar, dan wafat di sana pada tahun 1103 H. Beliau memiliki beberapa karya tulis t. Lihat al-A’laam, karya az-Zarkali (VI/203-204). 

[3]. Al-Isyaa’ah (hal. 87). 

[4]. Al-Isyaa’ah (hal. 112). 

[5]. Beliau adalah al-‘Allamah Muhammad Salim as-Safarini, seorang ulama hadits, ushul fiqh dan sastra, juga seorang muhaqqiq. Dilahirkan di Safarin, perkampungan di Nablus. Beliau memiliki beberapa karya tulis, beliau memiliki sebuah mauzhumah (kumpulan sya’ir) tentang ‘aqidah juga syarahnya (penjelasannya) yang diberi nama Lawaami’ atau Lawaamih al-Anwaaril Bahiyyah wa Sawaati’il Asraar al-Atsariyyah al-Mudhii-ah li Syarhid Durratil Mudhii-ah fii ‘Uqdatil Firqatil Mardhiyyah, beliau menulis kitab Ghidaa-ul Albaab Syarh Manzhuumatul Aadaab dan kitab Nafatsaat Shadril Makmad juga Qurratu ‘Ainil Mas’ad Syarh Tsulaatsiyyat al-Imam Ahmad juga yang lainnya. Beliau t wafat pada tahun 1118 H di Nablus. Lihat biografinya dalam kitab al-A’laam, karya az-Zarkali (VI/14).

[6]. Lawaami’ul Anwaaril Bahiyyah (II/84), dan lihat kitab ‘Aqiidatu Ahlis Sunnah wal Atsar (hal. 174). 

[7]. Dari risalah asy-Syaukani yang diberi judul at-Taudhiih fii Tawaaturi ma Jaa-a fil Mahdi al-Muntazhar wad Dajjal wal Masiih, diungkapkan oleh Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya al-Idzaa’ah (hal. 113-114), al-Kattani juga menukil hal itu dari asy-Syaukani dalam kitabnya Nazhmul Mutanaatsir minal Hadiitsil Mutawaatir (hal. 145-146). Lihat pula kitab ‘Aqiidatu Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdil Muntazhar (hal. 173-174). 

[8]. Beliau adalah al-‘Allamah Muhammad Shiddiq Khan bin Hasan al-Husaini al-Bukhari al-Qanuji, pemilik beberapa karya tulis di bidang tafsir, hadits, fiqih dan ushul. Singgah di Bahwabal, menikah dengan ratunya di sana, dan wafat pada tahun 1307 H rahimahullah. Lihat al-A’laam (VI/167-168), karya az-Zarkali. 

[9]. Al-Idzaa’ah limaa Kaana wamaa Yakuunu bainai Yadayis Saa’ah (hal. 112). 

[10]. Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ja’far bin Idris al-Kattani al-Hasani al-Farisi, seorang pakar sejarah, ahli hadits yang dilahirkan di Persia, melakukan perjalanan ke Hijaz dan Damaskus, kemudian kembali ke Maghrib dan wafat di Faas t pada tahun 1345 H. Beliau memiliki banyak karya tulis. Lihat al-A’laam (VI/72-73). 

[11]. Nazhmul Mutanaatsir minal Hadiitsil Mutawaatir (hal. 147), karya Syaikh Muhammad bin Ja’far al-Kattani. 

[12]. Beliau adalah al-Hafizh al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin Abi Khaitsamah. Ayahnya adalah Zuhair bin Harb, seorang hafizh dan salah seorang guru Imam Muslim. Abu Bakar mengambil ilmu dari Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in, beliau juga seorang periwayat tentang adab. Beliau memiliki kitab at-Taarikhul Kabiir, adz-Dzahabi berkata tentangnya, “Aku tidak mengenal orang yang lebih banyak ilmu daripadanya,” wafat pada tahun 279 H rahimahullah. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (XI/492-493), Tadzkiratul Huffaazh (II/596), dan Thabaqaat al-Hanaabilah (I/44). 

[13]. Lihat Taariikh Ibni Khaldun, Muqaddimah (hal. 556).

[14]. Al-Haawi lil Fataawaa’ (II/57). [15]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/30) tahqiq Dr. Thaha Zaini. 

[16]. Beliau adalah ‘Ali bin Husamuddin al-Hindi. Beliau adalah salah seorang yang menyibukkan dirinya dengan hadits, tinggal di Makkah dan wafat pada tahun 975 H rahimahullah. Lihat Syadzaaratudz Dzahab (VIII/379), dan al-A’laam (IV/271). 

[17]. Lihat al-Isyaa’ah li Asyraathis Saa’ah (hal. 121). 

[18]. Beliau adalah Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar al-Haitsami, seorang ahli fiqih madzhab Syafi’i, penulis beberapa karya tulis, wafat di Makkah pada tahun 973 H, ada juga yang mengatakan pada tahun 984 H rahimahullah. Lihat Syadzaaratudz Dzahab (VIII/370), dan al-A’laam (I/234). 

[19]. Lihat al-Isyaa’ah (hal. 105), Lawaami’ul Anwaar (II/72), dan Risaalah ‘Abdil ‘Alim fil Mahdi (hal. 43). 

[20]. Beliau adalah ‘Ali bin Sulthan Muhammad Nuruddin al-Harawi. Ahli fiqih madzhab Hanafi. Tinggal di Makkah dan wafat di sana pada tahun 1014 H rahimahullah. Beliau memiliki beberapa karya tulis. Lihat al-A’laam (V/12). 

[21]. Al-Isyaa’ah (hal. 113). 

[22]. Beliau adalah Mar’i bin Yusuf al-Kirmi al-Maqdisi, seorang ahli sejarah dan pembesar ahli fiqih. Beliau memiliki karya tulis kurang lebih tujuh puluh kitab. Wafat di Kairo pada tahun 1033 H rahimahullah. Lihat al-A’laam (VII/203). 

[23]. Lawaami’ul Anwaar (II/76), dan al-Idzaa’ah (hal. 147-148). 

[24]. Lihat al-Idzaa’ah (hal. 113). 

[25]. Beliau adalah Muhammad bin Isma’il bin Shalah bin Muhammad al-Hasani al-Kahlani kemudian ash-Shan’ani, penulis kitab Subulus Salaam Syarh Buluughil Maraam. Beliau memiliki beberapa karya tulis, wafat di Shan’a pada tahun 1182 H rahimahullah. Lihat al-A’laam (VI/38). 

[26]. Al-Idzaa’ah (hal. 114).

Sumber keempat

_______ 

Footnote 

[1]. Di antara tokoh mereka adalah Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsiirnya al-Manaar (IX/ 499-504), Muhammad Farid Wajdi dalam kitabnya Daa-irah Ma’aarifil Qarnil ‘Isyriin (X/480), Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islaam (III/237-241), ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman dalam ta’liqnya terhadap kitab Tuhfatul Ahwadzi (VI/474), Muhammad ‘Abdullah ‘Annan dalam kitabnya Mawaaqif Haasimah fii Taarikhil Islaam (hal. 359-364), Muhammad Fahim Abu ‘Ubayyah dalam ta’liqnya terhadap kitab an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim, karya Ibnu Katsir (I/37), ‘Abdul Karim Khatib dalam kitabnya al-Masiih fil Qur-aan wat Taurah wal Injiil (hal. 539), dan yang terakhir Syaikh ‘Abdullah bin Zaid Aal Mahmud dalam kitabnya La Mahdiyya Yuntazharu ba’dar Rasuul Shallallahu ‘alaihi wa sallam Khairil Basyar. Semuanya telah dibantah oleh Syaikh Muhammad ‘Abdul Muhsin bin Muhammad al-‘Abbad dalam kitabnya yang bermutu ar-Radd ‘alaa Man Kadzaba bil Ahaadiitsish Shahiihah al-Waaridah fil Mahdi, khususnya sebagai bantahan bagi risalah Syaikh Ibnu Mahmud, di mana beliau menjelaskan bahwa di dalam risalah tersebut ada sisi kebenarannya. Maka semoga Allah membalasnya atas kebaikan yang beliau lakukan untuk Islam juga kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan. 

[2]. Beliau adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Khaldun Abu Zaid, Waliyuddin al-Hadhrami al-Isybili, terkenal dengan kitabnya al-‘Ibar wa Diiwaanil Mubtada wal Khabar fi Taariikhil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar dicetak dalam tujuh jilid, yang pertama adalah al-Muqaddimah. Beliau pun memiliki beberapa karya tulis dan sya’ir. Beliau dibesarkan di Tunisia, melakukan per-jalanan ke Mesir, dan menduduki jabatan sebagai hakim di sana, wafat di Kairo pada tahun 808 H rahimahullah. Lihat Syadzaraatudz Dzahab (VII/76-77), dan al-A’laam (III/330). 

[3]. Muqaddimah Taariikh Ibni Khaldun, (I/574). 

[4]. Ta’liq (komentar) Syaikh Ahmad Syakir untuk kitab Musnad Imam Ahmad (V/197-198). 

[5]. Tafsiir al-Manaar (IX/499). 

[6]. Al-Kisaniyyah adalah salah satu sekte dari Syi’ah Rafidhah. Mereka adalah pengikut al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid ats-Tsaqafi sang pendusta. Dia menisbatkan dirinya kepada Kaisan maula (budak) ‘Ali Radhiyallahu anhu. Ada juga yang mengatakan bahwa Kaisan adalah julukan bagi Muhammad al-Hanafiyyah. Lihat al-Farqu bainal Firaq (hal. 38), tahqiq Syaikh Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid. 

[7]. Tafsiir al-Manaar (IX/501). 

[8]. Tafsiir al-Manaar (IX/501). 

[9]. Lihat Tafsiir al-Manaar (IX/501-504). 

[10]. Al-Baa’itsul Hatsiits Syarh Ikhtishaar ‘Uluumil Hadiits li Ibni Katsir (hal. 25), karya Ahmad Syakir, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah. 

[11]. Al-Manaarul Muniif (hal. 152-153).

Sumber kelima

______

Footnote

[1]. Sunan Ibni Majah (II/1340-1341) dan Mustadrak al-Hakim (IV/441-442). Al-Hakim berkata, “Lalu aku menuturkan illah hadits yang telah sampai kepadaku ini sebagai suatu yang dianggap aneh, akan tetapi tidak dijadikan sebagai hujjah di dalam kitabku al-Mustadrak ‘alasy Syaikhaini c, karena yang lebih tepat untuk diungkapkan pada pembahasan ini adalah hadits Sufyan… dari ‘Ashim bin Bahdalah, dari Zirrin bin Hubais, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidaklah hari-hari dan malam akan lenyap hingga dia berkuasa (lalu beliau menuturkan hadits sampai akhirnya, sebagaimana telah diungkapkan). 

[2]. Miizaanul I’tidaal (III/535). 

[3]. Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah (IV/211). [4]. Taqriibut Tahdziib (II/157).

[5]. Tahdziibul Kamaal fii Asmaa-ir Rijaal (III/1193-1194), karya Abul Hajjaj al-Mizzi. 

[6]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/32) tahqiq Dr. Thaha Zaini.

[7]. At-Tadzkirah fii Ahwaalil Mautaa’ wa Umuuril Aakhirah (hal. 617).

Sumber: https://almanhaj.or.id/

Tags