Segala puji hanya milik Allah saja. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi pilihan, kepada keluarga, para shahabat, dan orang yang mengikuti petunjuk mereka. Amma ba`du:
Sudah diketahui bahwa keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat tergantung pada mengikuti kebenaran dan menapaki jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ketika semua mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan sekelompok orang menuntut agar julukan yang mulia ini dikembalikan kepadanya, dengan alasan bahwa julukan ini telah dirampas dari mereka sejak sekian abad, maka menjadi kewajiban ulama untuk menjelaskan asal muasal istilah dan julukan ini, serta menjelaskan batasan-batasan dan karakteristiknya yang hakiki.
Dalam artikel ini akan dijelaskan sebagian karakteristik dan tanda-tanda Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Di dalamnya terdapat barometer yang dapat membantu seorang muslim mengenal siapakah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, lalu ia dapat meniti jalan mereka, berjalan dijalur mereka dan berpegang teguh dengan manhaj mereka, agar ia bisa masuk dalam golongan mereka.
Tulisan ini bukan untuk membahas tuntas keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mengingat pembahasan tersebut telah ada dalam kitab-kitab aqidah.
Tapi maksudnya adalah mengetahui perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan kelompok lainnya, dan apa keistimewaan mereka dibanding yang lainnya.
Yang dimaksud as-Sunnah disini adalah:
Pedoman yang diwariksan oleh Nabi -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam- berupa ilmu, amal, keyakinan, petunjuk dan prilaku. Jadi, as-Sunnah adalah semua yang dibawa oleh Nabi -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam-.
Adapun yang dimaksud dengan Jama’ah yang disandingkan dengan as-Sunnah adalah para shahabat Rasulullah -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam- dan orang yang mengikuti mereka dengan baik serta berjalan di atas manhaj dan petunjuk mereka.
Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang paling bersungguh-sungguh mengikuti Nabi -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam-, mengetahui berbagai kondisi beliau dan paling banyak kesesuaiannya dengan manhaj para sahabatnya radhiyallāhu`anhum.
Ini tidak berarti siapa saja yang mengklaim dirinya berada di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau menamakan kelompoknya dengan istilah salafi atau Jama’ah Ahlul Hadits atau Atsar, bahwa faktanya seperti itu.
Yang menjadi acuan adalah manhaj (metode), mengikutinya dan berpegang teguh dengannya, bukan nama dan popularitas julukan tersebut.
Soal klaim, semua pihak dapat melakukannya. Akan tetapi klaim tersebut tidak sah dan tidak dibenarkan penisbatannya kepada seseorang kecuali dengan merealisasikan ciri-ciri dan karakteristik berikut:
Inilah yang akan menjadi pembeda antara orang yang memenuhi kriteria julukan tersebut dan siapa yang hanya sekedar mengaku padahal dia sama sekali kosong dari kriterianya. Saya telah membagi karakteristi tersebut dalam beberapa point agar mudah dipahami, dimengerti dan diaplikasikan in syā Allāh Ta`āla:
Sumber akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kitab Allah -Ta`āla- dan Sunnah Rasul-Nya -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam- dan apa yang diyakini oleh Salafus Shalih dan yang mereka pahami dari nas-nas dua wahyu (Al-Qur’an dan as-Sunnah).
Mereka tidak mendahulukan akal, penerawangan (kasysyaf), perasaan, dan tidak juga mimpi-mimpi atas naql (Al-Qur’an dan Sunnah). Mereka juga tidak mendahulukan perkataan syaikh atau wali atas firman Allah Subhānahu wa Ta`āla dan sabda Rasulullah Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyandarkan keyakinannya pada orang tertentu, juga tidak kepada kelompok tertentu, tetapi mereka menyandarkannya kepada as-Sunnah dan ulama salaf. Mereka tidak menyandarkan kepada Asy`ari, Maturidi, Jahm, Ja`d, Zaid maupun Ubaid. Mereka juga tidak menyandarkan diri kepada Mu`tazilah, Murji`ah, dan Qadariyah. Akan tetapi menyandarkan diri kepada as-Sunnah dan para shahabat:(Seperti sabda Nabi -Shallalāhu ‘Alaihi Wa Sallam) “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak menyandarkan prilaku dan penyucian jiwa kepada seseorang, juga tidak kepada suatu tarekat. Mereka tidak menyandarkan diri pada Jailāni, Rifā`i, Qādiri, dan Tījāni. Tidak pula menyandarkan diri kepada tarekat Naqsyabandiyah, `Alawiyah, Syādziliyah, maupun tarekat yang lain. Akan tetapi, prilaku mereka, penyucian jiwa dan akhlak mereka sumbernya adalah sosok yang mengatakan:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”
Dan orang yang akhlaknya adalah al-Qur’an (yaitu Rasulullah) -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam-.
Sebagaimana mereka tidak membedakan diri dari umat dalam pokok agama dengan satu nama selain nama as-Sunnah wal Jama’ah, maka mereka juga tidak membedakan diri dalam hal perilaku dan penyucian jiwa dengan satu nama selain nama as-Sunnah wa al-Jama’ah.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah beribadah kepada Allah sebagaimana Dia perintahkan dengan khusyu` dan penuh kerendahan. Mereka tidak membuat-buat bid`ah dalam ibadah-ibadah dari diri mereka sendiri sesuai hawa nafsu mereka, pun juga tidak dari orang lain. Mereka tidak beribadah dengan menampar muka, tidak pula dengan menabuh gendang, menari-nari dan berlenggak-lenggok.
- Ahlus-Sunnah wal Jama’ah tidak mengalihkan ibadahnya kepada selain Allah -Ta`āla- seperti: berdoa, memohon bantuan, menyembelih (hewan), nazar, dan ibadah-ibadah lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kelompok dan golongan yang menyimpang dari jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah menganjurkan ziarah kubur, karena ziarah kubur dapat mengingatkan pada akhirat, untuk memberikan salam kepada penghuninya dan mendoakannya. Bukan bertujuan meminta berkah pada kuburan, berdoa memohon kepada penghuninya, bukan pada Allah -Ta`āla, meminta bantuan kepadanya, mengusap-usap kuburan, thawaf mengelilinginya, menyembelih (hewan) di sisinya dan yang semacam itu.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan semua sifat milik Allah –’Azza wa Jalla- yang telah Dia tetapkan untuk diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam- tanpa ta’thīl (meniadakan) dan tanpa ta`wīl (mengalihkannya kepada makna lain). Sedangkan kelompok selain mereka menafikan sifat-sifat Allah atau menetapkan sebagiannya dan menta’wilkan sebagian lainnya.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang. Mereka tidak mengeluarkan amal perbuatan dari hakikat iman seperti kelompok Murji`ah, tidak juga mengkafirkan ahli kiblat hanya karena sekedar berbuat maksiat dan dosa besar seperti kelompok Khawarij.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan orang yang berbeda pandangan dengan mereka dari kelompok lain hanya karena berbeda pendapat dengan mereka, kecuali kelompok-kelompok yang sepakat meyakini pokok-pokok kekufuran seperti sekte Isma’iliyah dan Nushairiyah.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah berlepas diri dari orang-orang kafir, atheis, musyrik dan orang murtad, memusuhi dan membenci mereka. Sebaliknya, Ahlus Sunnah mencintai orang-orang mukmin, loyal pada mereka dan menolong mereka sesuai dengan kadar iman dan amal shalih yang mereka miliki.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencintai para sahabat Rasulullah -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam-, memandang mereka semua adil (dapat diterima periwayatannya) dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai mereka, mencintai keluarga Nabi -Shallallāhu ‘Alaihi wa Sallam- dan istri-istri beliau adalah para ibunda kaum mukminin. Mereka berlepas diri dan memusuhi orang yang menghina mereka. Juga berlepas diri dari orang yang mengkultuskan mereka dan mengangkat mereka di atas kedudukan manusia atau menganggap mereka maksum (terjaga dari dosa).
- Dalam masalah fiqih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengikuti ijmak (kesepakatan ulama) dan apa yang ditunjukkan al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Mereka mengakui pendapat para shahabat, tabi`in, dan tabi`ut tabi`in. Juga mengikuti ulama besar umat Islam, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, dan generasi ulama setelahnya dari kalangan ulama fikih, serta para ulama yang diikuti karena mereka pengikut Sunnah serta mereka yang telah dikenal kebaikannya di dalam umat ini.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang umat Islam sama dalam masalah beban-beban syariat. Dalam pandangan mereka, tidak ada kelompok awam dan kelompok khusus, tidak juga super khusus. Tidak ada tingkatan Syariat dan Hakikat. Bagi mereka, agama adalah satu, syariatnya satu, bersumber dari satu Rabb, yang diturunkan kepada satu Nabi untuk seluruh manusia.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok moderat dan pertengahan dalam segala hal. Mereka moderat (tengah-tengah) antara mengkultuskan dan membenci, antara sikap berlebih-lebihan dan meremehkan, antara bermudah-mudah dan ekstrim.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah termasuk orang yang sangat menjaga persatuan dan kesatuan.
Diantara aqidah mereka adalah melakukan jihad, shalat Jum’at dan shalat Jama’ah di belakang setiap pemimpin (muslim), baik dia orang bertakwa atau pelaku maksiat. Mereka berpendapat sah shalat di belakang pelaku bid`ah dan kemaksiatan.
- Mereka adalah orang yang sangat senang bersatu dan paling benci pada perpecahan
Terkadang terjadi kesalahan dari orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), dan ia tidak memahami manhaj mereka dengan baik dan mempraktekkannnya.
Tidak setiap orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dapat mempraktikkan adab mereka dan meniti jalan mereka. Harapan besar untuk mendapatkan kemuliaan julukan ini menyebabkan dimasukkannya orang yang bukan bagian dari mereka.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah, di antara mereka terdapat orang alim, pakar fikih, khatib, para dai, penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran, dokter, insinyur, pedagang, pekerja, kaya dan miskin, hitam dan putih, serta orang Arab dan `Ajam (non-Arab).
Manhaj mereka tidak terbatas pada kelompok tertentu. Mereka tidak membeda-bedakan di antara tingkatan-tingkatan masyarakat, atau menjadikan ilmu, agama, nasab, dan kemuliaan dimonopoli oleh satu kelompok tertentu, tidak bisa disandang oleh selain mereka.
Mereka meyakini firman Allah -Ta`āla-:
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”[al-Hujurat/49: 13]
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah diantara mereka ada orang yang ahli ibadah yang zuhud, pelaku maksiat dan pelaku dosa besar.
Mereka tidak dijamin terlindung dari dosa dan kemaksiatan. Dosa dan kemaksiatan ini tidak mengeluarkan mereka dari ruang lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan terkadang mereka terjerumus dalam cabang-cabang bid’ah. Akan tetapi mereka cepat kembali padakebenaran jika telah mengetahuinya. Hal ini tidak mengeluarkan mereka dari keluarga Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
- Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengikuti kebenaran dan mengasihi sesama makhluk. Mereka membenci kemaksiatan namun bersikap lembut kepada pelakunya. Membenci bid’ah namun merasa kasihan dengan pelakunya.
Mereka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan inilah sebagian dariciri-ciri dan karakteristik mereka.
Saya memohon kepada Allah dengan karunia dan kemurahan-Nya untuk menjadikan kita termasuk golongan mereka dan menyatukan umat ini di atas ajaran yang dulu mereka bersatu.
[Disalin dari Siapakah Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Penulis Alawi bin Abdul Qādir As-Seggāf, Direktur Umum Yayasan Durar Saniyyah, 2 Żulḥijjah 1437H, Editor: Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2010 – 1431]
Referensi: https://almanhaj.or.id/
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna[1]. Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah “As-Sunnah” atau “Ahlus Sunnah” menurut petunjuk yang sesuai dengan i’tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : “….. Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata:
اِسْتَوصُوْابِآهْلِ السُّنَّةِ خَيْرًا فَاِنَّهُمْ غُرَبَاءُ
“Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba“[2]
Yang dimaksud “As-Sunnah” menurut para Imam yaitu : Thariqah (jalan hidup) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada di atasnya”. Yang selamat dari syubhat dan syahwat”, oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan : “Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk kedalam perutnya dari (makanan) yang halal”.[3]
Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta’akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i’tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan sahabat). Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai “As-Sunnah”. Menamakan masalah ini dengan “As-Sunnah” karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.[4]
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum.
Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan : “….. Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para sahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah”.[5]
Kata “Ahlus-Sunnah” mempunyai dua makna:
- Mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
- Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa sallam dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan: ”Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan : Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi’dah dan hadits mereka tidak di ambil”.[6]
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya :”Siapakah Ahlus Sunnah itu ? Ia menjawab : Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli”.[7]
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang dihadapan Ahlul Bid’ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa’ wal Bida’ dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji’ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu ‘anhum.
AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i’tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama’ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama’ah.[8]
Para ulama berselisih tentang perintah berjama’ah ini dalam beberapa pendapat:[9]
- Jama’ah itu adalah As-Sawadul A’dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.
- Para Imam Mujtahid
- Para Sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum.
- Jama’ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
- Jama’ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna:
- Bahwa jama’ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara’, maka wajib melazimi jama’ah ini dan haram menentang jama’ah ini dan amirnya.
- Bahwa jama’ah yang Ahlus Sunnah melakukan i’tiba’ dan meninggalkan ibtida’ (bid’ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama’ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma’ atau As-Sawadul A’dzam.[10]
Syaikhul Islam mengatakan: “Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama’ah karena jama’ah itu adalah ijtima’ (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama’ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma’ merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’).[11]
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa’ wal Bida’. Contohnya : Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta’ala:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram“. [Ali-Imran/3 : 106].
“Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa’ wa Dhalalah”.[12]
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : “Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do’akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.[13]
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukan atas luasnya i’tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
ASY’ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH
Asy’ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab Salaf “Ahlus Sunnah wa Jama’ah” adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu As’ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.
Az-Zubaidi mengatakan: “Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah”.[14]
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan :”Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama’ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi”. [15]
Al-Ayji mengatakan :”Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang mereka : “Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para sahabatku berada diatasnya”. Mereka itu adalah Asy’ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.[16]
Hasan Ayyub mengatakan : “Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid”.[17]
Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini :
- Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid’ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
- Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar’i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i’tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.
Penulis: Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi
(Terjemahan dari majalah Al-Bayan No. 78 Shafar 1415H/Juli 1994 oleh Ibrahim Said).
_______
Footnote:
[1] Lihat Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah I/3804 Oleh Syaikh Abdur Rahman Al-Mahmud dan kitab Mafhum Ahlis Sunnah wal Jama’ah Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i dalam “Syarhus-Sunnah” No. 49
[3] Lihat : Al-Lalika’i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8:1034
[4] Kasyful Karriyyah 19-20
[5] Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107
[6] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15.
[7] Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr
[8] Lihat : Wujubu Luzuumil Jama’ah wa Dzamit Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi.
[9] Al-I’tisham 2:260-265.
[10] Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya’irah 1:17
[11] Majmu al-Fatawa 3:175
[12] Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137. As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63
[13] Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i dalam Syarhus Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9
[14] Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6
[15] Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah hal.3
[16] Al-Mawaqif hal. 429
[17] Lihat : Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I’tiqadat Firaqil Muslimin idal Musyrikin hal. 150
Baca juga: KITAB-KITAB AQIDAH ULAMA SALAF
- Ushulus-Sunnah karya imam Humaidy
- Ushulus-Sunnah karya imam Ahmad bin Hanbal
- Syarhus-Sunnah karya imam Muzanni
- Aqidah Ar-Raziyain karya Abu Hatim ar-Razy dan Abu Zur'ah ar-Razy
- Lum'atul i'tiqad karya imam ibnu Qudamah al-Maqdisi
- Aqidah Washitiysh karya Syakhul Islam Ibnu Taimiyah
Notes: Dua kitab terakhir adalah karya ulama Khalaf, tetapi semua isi KITAB-KITAB ini sama dalam ushulnya, bertentangan dengan aqidah Asy'ariyah.
Referensi: https://almanhaj.or.id/