Type Here to Get Search Results !

 


INTI SARI KITAB AQIDAH WASITHIYYAH


• SIAPA SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH?

“Beliau ialah alim, al-‘Allamah ‘yang sangat paham tentang agamaʼ, Syaikhul Islam, Taqiyyud-Din Ahmad bin Abdil Halim bin Abdis Salam bin Taimiyyah. Beliau lahir di Harran [sekarang masuk wilayah Turki] pada tanggal 10 Rabiʼul Awal tahun 661 H.

Keluarganya lalu berpindah ke Damaskus dan menetap di sana. Beliau ialah ulama besar dan tokoh yang memberikan pencerahan, pejuang di jalan Allah yang sangat populer. Beliau berjihad membela agama Allah dengan akal dan pikiran, dengan ilmu dan jasad. Argumentasi beliau kuat, sehingga tak seorang pun sanggup mematahkannya. 

Beliau tidak gentar terhadap celaan para pencela, jika telah terang kebenaran, tanpa ragu beliau menyuarakannya. Karena itulah, muncul beragam ujian dan siksaan dari para pemimpin dan tokoh di masanya, beliau dipenjara beberapa kali, bahkan beliau wafat dalam kondisi masih terpenjara di tahanan Damaskus pada tanggal 20 Syawwal tahun 728 H.”

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 3 

LEBIH DEKAT MENGENAL KITAB AL-AQIDAH AL-WASITHIYAH

“Al-Aqidah al-Wasithiyyah ialah kitab ringkas yang menghimpun aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah seputar nama-nama dan sifat-sifat Allah; tentang iman kepada Allah dan hari akhir; dan yang terkait hal-hal tersebut, seputar sikap dan perbuatan Ahlussunnah. 

Sebab ditulisnya kitab ini ialah saat salah satu qadhi di Wasith [sekarang masuk wilayah Irak] mengadu kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang banyaknya bid‘ah dan kesesatan di tengah manusia. 

Sehingga ia meminta kepada beliau untuk menuliskan suatu kitab aqidah ringkas yang menjelaskan tentang jalan Ahlussunnah Wal Jamaah yang terkait dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan lain-lain yang akan dijelaskan oleh beliau dalam kitab aqidah ini. Karenanya, kitab ini dinamakan dengan al-Aqidah al-Wasithiyyah.”

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 4

SIAPA AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH? 

“Ahlussunnah Wal Jamaah ialah orang-orang yang berjalan di atas jalan Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya dalam keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Mereka disebut dengan ‘Ahlussunnah Wal Jamaahʼ karena mereka berpegang teguh dengan sunnah dan bersatu di atas sunnah.”

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 4


POKOK KEYAKINAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

“Prinsip keyakinan Ahlussunnah ialah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk. 
  • Beriman kepada Allah artinya:
  1. Meyakini keberadaan-Nya;
  2. Rububiyah-Nya [bahwa Dia yang mencipta, mengatur alam semesta, memberi rezeki];
  3. Uluhiyah-Nya [bahwa hanya Dia yang berhak disembah];
  4. Serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya. 
  • Beriman kepada para malaikat artinya meyakini:
  1. Bahwa mereka ada;
  2. Membenarkan nama-nama mereka yang diketahui, seperti Jibril;
  3. Beriman dengan sifat-sifat mereka yang sampai kepada kita, seperti sifat Jibril [yang memiliki 600 sayap, —pent];
  4. Beriman dengan amalan dan tugas mereka, seperti Jibril yang tugasnya menurunkan wahyu, dan Malik yang bertugas menjaga neraka. 
  • Beriman dengan kitab-kitab-Nya artinya:
  1. Meyakini bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Allah;
  2. Mempercayai semua berita yang ada di dalamnya;
  3. Mengimani nama-namanya yang sampai kepada kita, seperti Taurat, sedangkan nama-nama kitab suci yang tidak diketahui, maka kita beriman secara global;
  4. Dan menjalankan segala hukumnya yang belum dihapuskan.
  • Beriman kepada para rasul artinya:
  1. Meyakini kejujuran mereka dalam menyampaikan ajaran dari Allah;
  2. Mempercayai nama-nama mereka yang diterangkan (kepada kita), sedangkan nama-nama mereka yang tidak diketahui, maka kita beriman secara global;
  3. Membenarkan segala yang mereka kabarkan;
  4. Dan mengamalkan seluruh syariat mereka yang yang tidak dihapuskan. Seluruh syariat rasul terdahulu telah dihapuskan dan diganti dengan syariat Nabi Muhammad ﷺ. 
  • Beriman dengan adanya hari akhir artinya meyakini seluruh peristiwa setelah kematian yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ benar-benar terjadi. 
  • Beriman dengan takdir artinya meyakini bahwa segala peristiwa yang terjadi telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah.” 
📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 4-6

PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH

“Ahlussunnah dalam pembahasan nama dan sifat-sifat Allah adalah menetapkan seluruh nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya di dalam Al-Qurʼan dan yang Dia tetapkan melalui lisan Rasul-Nya ﷺ; tanpa berbuat tahrif, taʼthil, takyif, dan tamtsil.

[1] - Tahrif

Tahrif secara bahasa artinya merubah. Dan secara istilah: Merubah lafazh dalil atau mengubah makna (sebenarnya). 

Contoh tahrif (merubah lafazh), ialah merubah firman Allah ta‘ala, 

وَكَلَّمَ اللّٰهُ مُوْسٰى تَكْلِيْمًاۚ  

“Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung.” (Q.S. An-Nisaʼ: 164)

Lafazh (( اللّٰهُ )) diubah menjadi nashab [objek / اللَّهَ], sehingga maknanya pun berubah menjadi Nabi Musa berbicara kepada Allah, bukan Allah berfirman kepada Nabi Musa. 

Contoh tahrif dengan mengubah makna ialah merubah makna istiwa Allah di atas Arasy yang asalnya bermakna tinggi dan menetap; kepada makna “menguasai dan memiliki”, dengan maksud menolak makna istiwa yang sebenarnya. 

[2] - Taʼthil

Secara bahasa taʼthil artinya meninggalkan dan melepaskan. Sedangkan secara istilah, taʼthil ialah mengingkari nama-nama dan sifat Allah. 

Ada taʼthil secara menyeluruh, seperti perbuatan Jahmiyah; dan ada taʼthil juzʼiy (sebagian), seperti perbuatan al-Asy‘ariyyah yang hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah, terkumpul dalam perkataan mereka, ‘Hidup, ilmu, kuasa, dan firman-Nya — iradah (kehendak), mendengar, dan melihatʼ

[3 & 4] - Takyif dan Tamtsil; Serta Perbedaan Keduanya 
  • Takyif artinya menetapkan ‘bentukʼ suatu sifat Allah, seperti orang yang mengatakan, ‘Istiwa Allah di atas Arasy-Nya itu seperti ini!ʼ
  • Sedangkan tamtsil ialah menyamakan (sifat Allah) dengan sesuatu, seperti perkataan, ‘Tangan Allah seperti tangan manusiaʼ. 
Perbedaannya: Tamtsil ialah menyamakan sifat dengan sesuatu yang sama, sedangkan takyif ialah menyebutkan suatu sifat tanpa terkait dengan yang semakna. 

• Hukum Empat Perbuatan di Atas Seluruhnya haram. 

Dan sebagiannya termasuk perbuatan kekafiran atau kesyirikan. Karena itulah, Ahlussunnah Wal Jamaah berlepas diri dari empat perbuatan tersebut.”

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 6-7

Jika Membaca Dalil Tentang Nama dan Sifat-sifat Allah 

“Wajib diyakini sesuai lahiriahnya; sekaligus menetapkan hakikatnya bagi Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Hal ini didasari dengan dua alasan:
  1. Memalingkannya dari lahiriah dalil berarti menyelisihi metode Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. 
  2. Mengarahkan maknanya sebagai majas sama dengan berbicara atas nama Allah tanpa ilmu; dan hukumnya haram.”
📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 8
  • NAMA-NAMA ALLAH TIDAK TERBATAS 
“Nama-nama Allah tidak terbatas dengan jumlah tertentu, berdasarkan doa yang diucapkan oleh Rasulullah ﷺ, 

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ

‘Aku mohon kepada-Mu dengan perantara semua nama milik-Mu yang Engkau namakan sendiri, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada seseorang dari hamba-Mu, atau Engkau rahasiakan dalam ilmu gaib di sisi-Mu.ʼ¹

Yang Allah rahasiakan dalam ilmu-Nya, maka tidak ada cara untuk membatasi dan mengetahui seluruhnya. 

Mengkompromikan riwayat ini dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ yang lain,

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

‘Allah mempunyai 99 nama, siapa yang meng-ihsha'nya, maka ia masuk surga.ʼ²

Makna hadits ini ialah ada 99 nama Allah yang memiliki kekhususan bagi orang yang meng-ihsha'nya akan masuk surga. 

Hal ini tidak menafikan bahwa Allah memiliki nama-nama yang lain di luar dari 99 nama tersebut. Sebagai perbandingan, seumpama engkau mengatakan ‘Aku memiliki 50 perisai yang ku siapkan untuk jihad.ʼ

Hal ini tentu tidak menafikan jika engkau masih memiliki perisai-perisai lainnya [yang bukan untuk jihad]. 

Makna -Ihshaʼ- terhadap nama-nama Allah ialah seseorang mengetahui lafazh dan maknanya; lalu beribadah kepada Allah dengan kandungannya.” 

¹ SHAHIH (Shahih at-Targhib, 1822) H.R. Ahmad (3712) dan al-Hakim (1/519). 

² H.R. Al-Bukhari (7392) dan Muslim (2677).
  • BAGAIMANA IMAN YANG SEMPURNA DENGAN NAMA-NAMA ALLAH? 
“Jika nama tersebut:

[1] Muta‘addi ‘memerlukan keberadaan objekʼ, maka iman yang sempurna dengan nama (Allah) tersebut ialah dengan:
  1. Menetapkan nama itu;
  2. Meyakini sifat yang dikandungnya;
  3. Dan meyakini adanya atsar ‘konsekuensiʼ dari nama tersebut. 
Contohnya: Nama Allah (( الرَّحِيمُ / Yang Maha Penyayang )). Maka (iman yang sempurna dengan nama Allah ini) ialah:
  1. Engkau menetapkan nama ((الرَّحِيمُ)) ini (sebagai nama Allah);
  2. Meyakini sifat yang dikandungnya, yaitu kasih sayang;
  3. Dan menetapkan konsekuensinya, yaitu Allah merahmati hamba-hamba-Nya dengan kasih sayang tersebut. 
[2] Lazim ‘tidak memerlukan objek/sasaranʼ, maka iman yang sempurna dengan nama (Allah) tersebut ialah dengan:
  1. Menetapkan nama itu;
  2. Dan meyakini sifat yang dikandungnya. 
Contohnya: Nama Allah (( الْحَيُّ / Yang Mahahidup )). Maka (iman yang sempurna dengan nama Allah ini) ialah:
  1. Engkau menetapkan nama ((الْحَيُّ)) ini (sebagai nama Allah);
  2. Meyakini sifat yang dikandungnya, yaitu kehidupan [yakin Allah Mahahidup, —pent].”
📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 9-10
  • ILHAD (PENYIMPANGAN) DALAM PEMBAHASAN NAMA-NAMA ALLAH
“Ilhad (الإلحاد) secara bahasa (Arab) artinya (مَيل) penyimpangan. 

Dalam tinjauan istilah ilhad artinya penolakan terhadap sesuatu yang wajib diyakini atau yang harus diamalkan. 

▫️ Ada perbuatan ilhad (yang dilakukan manusia) pada nama-nama Allah.

Allah ta‘ala berfirman, 

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ 

“Dan tinggalkanlah orang-orang yang (ilhad) menyalahartikan nama-nama-Nya.” (Q.S. Al-Aʼraf: 180)

▫️ Dan ada pula perbuatan ilhad pada ayat-ayat Allah. 

Allah ta‘ala berfirman, 

اِنَّ الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَاۗ 

“Sesungguhnya orang-orang yang (ilhad) mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami.” (Q.S. Fushshilat: 40)
  • ILHAD (PENYIMPANGAN) NAMA-NAMA ALLAH ADA 4 BENTUK:
  1.     Mengingkari salah satu nama Allah atau mengingkari sifat Allah yang terkandung pada nama-Nya. Seperti perbuatan kaum Jahmiyah [kaum yang mengatakan Allah tidak memiliki nama dan sifat, —pent]. 
  2.     Menamai Allah dengan nama yang tidak ditetapkan oleh-Nya. Seperti perbuatan kaum Nasrani yang menamai Allah dengan ‘Bapakʼ. 
  3.     Meyakini bahwa Nama-nama Allah menunjukkan bahwa Allah serupa dengan makhluk, seperti yang dilakukan oleh kaum Musyabbihah [kaum yang berkeyakinan bahwa sifat Allah serupa dengan makhluk-Nya, —pent]. 
  4.     Membuat pecahan kata dari Nama Allah untuk dijadikan sebagai nama berhala. Seperti perbuatan kaum musyrikin yang membuat nama ‘Uzza [untuk berhala mereka, —pent], yang berasal dari (Nama Allah) (الْعَزِيزُ / al-‘Aziiz). 
  • SEDANGKAN ILHAD (MENGINGKARI) AYAT-AYAT ALLAH ADA 2 BENTUK:
  • Pertama: Mengingkari ayat-ayat kauni (tanda kekuasaan Allah di alam semesta) / makhluk ciptaan-Nya.
Yakni mengingkari bahwa Allah satu-satunya yang menciptakan dan mengaturnya. Orang yang ilhad dalam ayat kauni meyakini: 

[A] bahwa ada selain Allah yang sendirian dalam menciptakan seluruh makhluk atau sebagiannya; atau 

[B] ia meyakini bahwa ada yang menyertai atau menolong Allah dalam penciptaan makhluk. 
  • Kedua: Mengingkari ayat-ayat syar'i, yaitu wahyu yang diturunkan kepada para nabi. Bentuk ilhad (mengingkarinya) ialah merubah ayatnya, mendustakannya, atau dengan menyelisihi kandungannya.”
📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 11-12

Dan dimaklumi dari ayat-ayat di atas bahwa perbuatan ilhad hukumnya haram
  • Lawan ilhad (penyimpangan) ialah istiqamah (lurus). Istiqamah dalam pembahasan nama dan sifat Allah ialah seperti penjelasan di BAG. 5, yaitu, 
“Menetapkan seluruh nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya di dalam Al-Qurʼan dan yang Dia tetapkan melalui lisan Rasul-Nya ﷺ; tanpa berbuat tahrif, taʼthil, takyif, dan tamtsil.”
  • Kandungan Surah al-Ikhlas
“Surah al-Ikhlas, 

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ ﴿١

1. Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.

اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ ﴿٢

2. Allah tempat meminta segala sesuatu.

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ ﴿٣

3. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ﴿٤

4. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. Al-Ikhlas: 1-4)

Surah ini dinamai dengan “Al-Ikhlas” karena Allah menjadikan isinya ikhlas/khusus tentang-Nya. Allah hanya menyebutkan tentang nama dan sifat-Nya dalam surah ini. Alasan berikutnya, karena surah al-Ikhlas adalah takhlish (menyelamatkan) pembacanya dari kesyirikan dan perbuatan taʼthil. 

Penyebab turunnya ayat-ayat ini ialah ketika orang-orang musyrik berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ, ‘Sebutkan nasab Tuhan-mu kepada kami! Dari mana Dia berasal?ʼ

Shahih dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ, bahwa surah al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Qurʼan. Karena kandungan Al-Qurʼan ialah:

1. Menjelaskan tentang Allah. 
2. Mengabarkan tentang makhluk-Nya. 
3. Penjelasan hukum-hukum, yaitu perintah dan larangan. 

Dan surah al-Ikhlas menyebutkan jenis pertama, yaitu menjelaskan tentang Allah. 

Nama Allah yang ada dalam surah ini ialah: Allah, Al-Ahad, dan Ash-Shomad. 
  1. Allah: Dzat yang disembah dengan penuh cinta dan pengagungan. 
  2. Al-Ahad: Yang Maha Esa, tidak memiliki sekutu dan tandingan. 
  3. Ash-Shamad: Dzat yang sempurna seluruh sifat-Nya, yang seluruh makhluk perlu kepada-Nya. 
Dari nama-nama Allah ini, terkandung beberapa sifat Allah:
  1. Al-Uluhiyyah (yang berhak disembah). 
  2. Al-Ahadiyyah (yang Maha Esa). 
  3. Ash-Shamadiyyah. 
  4. Dia tidak beranak, karena Dia tidak memerlukan anak dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. 
  5. Dia tidak diperanakkan, karena Dialah Dzat yang menciptakan segala sesuatu. Dialah Al-Awwal, yang tidak ada apa pun sebelum-Nya. 
  6. Tidak ada yang setara dengan-Nya, yakni tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam sifat, sebab tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, karena sifat-Nya yang Maha Sempurna.”
📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 13-14.
  • Mengenal Allah Melalui Nama-nama dan Sifat-Nya dalam Ayat Kursi 
Ayat Kursi ialah firman Allah ta‘ala,

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ  لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ 

“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.” (Q.S. Al-Baqarah: 255)

Ayat ini disebut dengan Ayat Kursi karena di dalamnya ada penyebutan ‘Kursiʼ. 

Ayat Kursi ialah ayat teragung dalam Al-Qurʼan. Siapa yang membacanya di malam hari, maka ia mendapatkan penjagaan dari Allah; dan setan tidak akan mendekatinya sampai waktu subuh.

Dalam ayat ini terdapat beberapa Nama Allah:
  1. Allah. Dan maknanya telah lewat.
  2. Al-Hayyu [Mahahidup]. 
  3. Al-Qoyyum [Yang terus mengurusi (makhluk-Nya)]. 
  4. Al-‘Alii [Mahatinggi]. 
  5. Al-‘Azhiim [Mahabesar]. 
Al-Hayyu artinya Dzat pemilik kehidupan yang sempurna, padanya ada sifat yang paling sempurna, kehidupan yang tidak diawali dengan ‘Tidak adaʼ dan tidak akan pernah binasa. 

Al-Qoyyum artinya Dzat yang berdiri sendiri dan Dia mengatur seluruh makhluk-Nya. Dia tidak perlu kepada apa pun; sedang seluruh makhluk perlu kepada-Nya. 

Al-‘Alii artinya Dzat yang Mahatinggi Dzat-Nya di atas segala sesuatu. Yang Mahatinggi sifat-sifat-Nya yang sempurna, tanpa aib dan kekurangan. 

Al-‘Azhiim artinya Dzat pemilik kemuliaan dan kebesaran.”

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 14-15.
  • Sifat-sifat Allah yang Disebutkan Dalam Ayat Kursi
“Dalam ayat kursi terdapat penjelasan tentang sifat-sifat Allah, ada lima sifat yang terkandung dalam lima nama-Nya yang telah disebutkan, [sifat-sifat lainnya]:

6. Keesaan Allah dalam uluhiyah [hanya Dia yang berhak disembah]. 

7. Tidur dan mengantuk ialah mustahil bagi Allah; karena kehidupan dan sifat Qayyum-Nya yang sempurna. 

8. Hanya Allah pemilik segala sesuatu. 

لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ

“Milik-Nya segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi.” 

9. Keagungan dan kekuasaan-Nya Maha Sempurna, karena itu, tidak ada yang bisa memberi syafaat di hadapan-Nya kecuali setelah mendapat izin-Nya. 

10. Ilmu-Nya sempurna dan meliputi segala sesuatu. 

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ

“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka” 

Artinya segala hal yang sekarang dan akan datang. 

وَمَا خَلْفَهُمْۚ

“dan apa yang di belakang mereka” 

Yaitu seluruh peristiwa yang telah terjadi. 

11. [Bahwa Dia memiliki sifat] berkehendak. 

12. Kekuasaan Allah ialah kekuasaan yang sempurna, dapat dilihat dari betapa besar makhluk-Nya. 

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ

“Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.” 

13. Ilmu, kekuasaan, penjagaan, dan rahmat-Nya; berada dalam puncak kesempurnaan. Berdasarkan firman-Nya, 

وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ

“Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya” 

Artinya, sama sekali tidak membuat-Nya kepayahan atau kesulitan.”

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 15-16.
  • Makna “Kursi” Allah
“Kursi Allah ialah tempat Dia meletakkan Kedua Kaki-Nya. Kursi Allah ialah salah satu makhluk yang terbesar, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, 

ﻣَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕُ ﺍﻟﺴَّﺒْﻊُ وَالْأَرَضُونَ السَّبْعُ بِالنِّسْبَةِ ﻟِلْكُرْسِيّ ﺇِﻻَّ ﻛَﺤَﻠَﻘَﺔٍ أُلْقِيَتْ فِي ﻓَﻼَﺓٍ مِنَ الْأَرْضِ، ﻭَإِنَّ ﻓَﻀْﻞَ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜُﺮْﺳِﻲِّ ﻛَﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟْﻔَﻼَﺓِ ﻋَﻠَﻰ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﺤَﻠَﻘَﺔِ

“Tidaklah tujuh langit dan tujuh lapis bumi dibandingkan dengan kursi (Allah) kecuali seperti cincin yang dilemparkan di padang pasir; dan besarnya Arasy dibandingkan kursi adalah seperti besarnya padang pasir dibandingkan dengan cincin tadi.”¹

Ini membuktikan kebesaran Allah Al-Khaliq [Sang Pencipta] subhanahu wa ta‘ala. 

Kursi Allah bukan Arasy, karena kursi ialah tempat kedua kaki Allah.²[³] Sedangkan Arasy ialah tempat beristiwaʼ Allah.³ Sebab dalam dalil dibedakan antara Arasy dan kursi.”

¹ Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah [Kitab al-‘Arsy, 58], Ibnu Jarir [Jamiʼ al-Bayan, 5/399 —Cet. Ahmad Syakir], al-Baihaqi [Al-Asmaʼ wash Shifat, 862]; dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani [Ash-Shahihah, 109].
² Ini tafsiran dari ulama umat ini, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah [Kitab al-‘Arsy, 61]; dan al-Hakim [2/282], beliau berkata, “Riwayat ini sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya meriwayatkannya.”; dan disepakati oleh adz-Dzahabi. 
³ Dan perlu selalu diingat kembali pembahasan “Prinsip Ahlussunnah wal Jamaah Terhadap Nama dan Sifat-sifat Allah” [https://t.me/nasehatetam/5745]. 

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 16-17.
  • Makna Nama Allah “الْاَوَّلُ / Al-Awwal”, “الْاٰخِرُ / Al-Aakhir”, “الظَّاهِرُ / Azh-Zhoohir”, dan “الْبَاطِنُ / Al-Baathin” 
“Makna firman Allah ta‘ala, 

هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ 

“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Hadid: 3)

Empat Nama Allah yang ada dalam ayat ini diterangkan maknanya oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.¹
  1. Al-Awwal (Yang Awal) artinya Dzat yang tidak ada sesuatu apa pun sebelum-Nya. 
  2. Al-Aakhir (Yang Akhir) artinya Dzat yang tidak ada apa pun lagi setelah-Nya [Dia kekal selamanya]. 
  3. Azh-Zhoohir artinya Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang lebih jelas dari-Nya. 
  4. Dan Al-Baathin ialah Dzat yang tidak ada sesuatu apa pun yang samar bagi-Nya. 
Firman-Nya, 

وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ 

“dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Artinya: Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, secara umum dan terperinci.”

¹ H.R. Muslim (2713).

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 17.

📝 Faedah
  1. Maka nama Al-Awwal dan Al-Aakhir menunjukkan bahwa Allah ada tanpa awalan (azali) dan Dia kekal selamanya (abadi). Sedangkan nama Azh-Zhoohir dan Al-Baathin menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi sekaligus Dia Maha Dekat (Dia mengetahui segala sesuatu). [Lihat: Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah lil ‘Utsaimin (1/182) dan Qamus al-Asmaʼ al-Husna wash Shifat al-‘Ula (hlm. 21)].
  2. Allah ada tanpa didahului dengan tidak ada. Berbeda dengan makhluk; semua makhluk didahului dengan ketiadaan sebelum Allah menciptakannya, kita semua yang ada saat ini sebelumnya tidak ada lalu Allah cipta sehingga kita ada. Sedangkan Allah ada tanpa awalan. Inilah arti sifat azali Allah. 
Allah Mengetahui Segala Sesuatu 
“Ilmu artinya mengetahui sesuatu persis dengan kenyataannya. Ilmu Allah ta‘ala sempurna dan meliputi segala sesuatu secara global dan detail. 

Salah satu dalil bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu (secara menyeluruh) ialah firman-Nya, 

وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisaʼ: 176) 

Dan dalil bahwa ilmu Allah meliputi segala hal secara terperinci ialah firman-Nya, 

۞ وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ  

“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Al-An‘am: 59)

Dalil bahwa Allah mengetahui keadaan seluruh makhluk-Nya ada dalam firman-Nya, 

وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ

“Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 283)

۞ وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Hud: 6)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 18.

Ilmu tentang Gaib Hanya Diketahui oleh Allah 

Kunci-kunci yang gaib maksudnya ilmu-ilmu yang tersembunyi (tentang suatu hal). Itulah yang dimaksud dalam firman Allah ta‘ala, 

اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Al-Khabir (Maha Mengenal).” (Q.S. Luqman: 34)

Al-Khabir artinya Dzat yang mengetahui semua yang tersembunyi.”

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 18.

  • Sifat Allah (al-Qudrah / Kuasa)
“Qudrah ‘Kuasaʼ artinya mampu melakukan sesuatu tanpa lemah sedikit pun. Kuasa Allah meliputi segala sesuatu. Dasarnya ialah firman Allah ta‘ala, 

وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 

“Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah: 284)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 19.

  • Sifat Kekuatan bagi Allah 
“Sifat al-Quwwah / kekuatan artinya kemampuan melakukan sesuatu tanpa lemah sedikit pun. Dalilnya ialah firman Allah ta‘ala, 

اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ 

“Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi al-Matiin ‘Sangat Kokohʼ.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 58)

Al-Matiin maknanya yang sangat kuat.”

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 19.

  • Sifat Hikmah Allah dan  Makna Nama-Nya (( الْحَكِيمُ )). 
“Hikmah artinya menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya secara tepat atau sempurna. 

Dalil bahwa Allah bersifat hikmah ialah firman-Nya, 

وَهُوَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْحَكِيمُ

“Dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Al-Hakim)” (Q.S. At-Tahrim: 2)
  • Nama (( الْحَكِيمُ )) memiliki dua makna:
  1. Bermakna Dzul Hikmah (pemilik sifat hikmah). Artinya tidak ada suatu perkara pun yang Allah perintahkan serta tidak ada suatu makhluk pun yang Allah ciptakan; melainkan itu pasti ada hikmahnya. Dan tidak ada suatu perkara pun yang dilarang oleh Allah melainkan pasti terkandung hikmah di dalamnya. 
  2. Bermakna Al-Hikmah (( الْحَاكِمُ )); artinya Allah  memutuskan segala perkara yang Dia kehendaki dan tidak ada yang bisa menentang keputusan-Nya.”
Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 19-20.

Dua Jenis Hikmah Allah 
“Hikmah Allah terbagi menjadi dua:

Hikmah syar‘iyyah dan hikmah kauniyyah

1. Hikmah syar‘iyyah terletak pada segala aturan syariat. Yaitu wahyu yang dibawa oleh para Rasul. 

Jadi artinya, seluruh aturan syariat ada dalam puncak kesempurnaan dan maslahat.

2. Hikmah kauniyyah ialah hikmah Allah yang ada pada kaun, yakni segala yang Allah ciptakan dan tetapkan. 

Maka maknanya, segala sesuatu yang Allah ciptakan ada dalam puncak kesempurnaan dan maslahat.” 

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 20.

  • Sifat Ar-Rizqu bagi Allah
Sifat Ar-Rizqu (الرِّزْقُ) adalah pemberian rezeki yang bermanfaat kepada makhluk-Nya.

Dalil dari sifat ini adalah firman Allah,

إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلْقُوَّةِ ٱلْمَتِينُ

“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 58)

۞ وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا

“Dan tidak ada satu makhluk pun yang melata di bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya,” (Q.S. Hud: 6)

Rezeki Allah ada dua macam:

1. Rezeki yang bersifat umum. 

Yaitu rezeki yang diperlukan tubuh berupa makanan dan semisalnya. Rezeki jenis ini diberikan untuk seluruh makhluk.

2. Rezeki khusus.

Yaitu rezeki (pemberian Allah) yang berkaitan dengan kemaslahatan kalbu; seperti iman, ilmu agama, dan amal saleh. 

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 20-21.

  • Al-Masyii‘ah (مَشِيئَةُ اللّٰهِ) / Kehendak Allah 
Sifat al-Masyii‘ah maknanya ialah:
Kehendak Allah yang kauni (yang pasti terjadi pada alam semesta). 

Sifat kehendak Allah terkait pada:

1. Perbuatan Allah.

Dalilnya firman Allah ta'ala,

وَلَوْ شِئْنَا لَءَاتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَىٰهَا

“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan petunjuk kepada tiap-tiap jiwa.” (Q.S. As-Sajdah: 13)

2. Perbuatan para hamba. 

Dalilnya firman Allah ta‘ala,

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ

“Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan mengerjakannya” (Q.S. al-An'am: 112)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 21.

  • Sifat (إرَادَةُ اللّٰه / Keinginan) bagi Allah
Al-Iradah termasuk salah satu sifat Allah. Iradah ‘kehendakʼ Allah terbagi menjadi dua:

1. Iradah Kauniyah. 

Yaitu sifat Iraadah yang berkaitan dengan al-Masyii'ah (Kehendak Allah yang pasti terjadi pada alam semesta).

Dalilnya adalah firman Allah ta‘ala,

فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهْدِيَهُۥ يَشْرَحْ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَٰمِ

“Barang siapa yang Allah menghendaki memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” (Q.S. Al-An'am: 125)

2. Iradah Syar'iyyah

Yakni sifat Iraadah yang berkaitan dengan sifat al-Mahabbah (Kehendak Allah pada hal-hal yang Dia cintai). 

Dalilnya adalah firman Allah ta‘ala,

وَٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ

“Dan Allah hendak menerima taubat kalian.” (Q.S. An-Nisa: 27)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 21-22. 

  • Perbedaan antara Iradah Kauniyah dan Syar'iyah
a. Iradah [kehendak Allah] yang Kauniyah pasti terjadi sesuai dengan yang Allah kehendaki. Baik itu hal yang Allah cintai maupun yang tidak Allah cintai.

b. Iradah Syar'iyah tidak pasti terjadi. Iradah [kehendak Allah] jenis ini khusus pada hal-hal yang Allah cintai. 

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 22.

--» Catatan:

Terkadang, kedua jenis Iradah di atas terjadi bersamaan pada diri seseorang. 

Contoh: ketika seorang mukmin melaksanakan ketaatan. 

Dilihat dari sisi 'ketaatan' itu sendiri, maka itulah Iradah Syar'iyah. Sedangkan 'terlaksananya' ketaatan tersebut, maka itulah Iradah Kauniyah. 

📔 Lihat: Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, karya Syaikh Khalil Harras hlm. 107. 
  • Sifat Cinta (المَحَبَّة) bagi Allah
Cinta merupakan salah satu sifat fi'liyyah bagi Allah (perbuatan Allah yang pasti terjadi saat Allah menghendaki).

Dalilnya adalah firman Allah,

فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ

"Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (Q.S. Al-Maʼidah: 54)

Dan firman Allah,

وَهُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلْوَدُودُ

"Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Buruj: 14)
  1. Makna al-Wuddu (الوُدُّ) adalah cinta yang tulus.
Sifat cinta bagi Allah tidak boleh dimaknakan sebagai: 'pemberian pahala'. Lantaran memaknainya demikian tidak sesuai dengan lafaz zhahir-nya, juga tidak sejalan dengan pemahaman salaf. Di samping juga tidak ada dalilnya.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 22.

  • Sifat Ampunan (المَغفِرَة) Allah
Dalil tentang ditetapkannya sifat Ampunan dan Rahmat bagi Allah adalah firman-Nya,

وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

"Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. An-Nisaʼ: 96) 

Ampunan Allah (المَغفِرَة) maknanya ialah Dia menutupi dosa hamba dan memaafkannya.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 22.

  • Sifat Rahmat (الرَّحمَةُ) bagi Allah
Konsekuensi sifat rahmat (الرَّحمَةُ) adalah kebaikan dan kenikmatan yang Allah berikan kepada makhluk. 

Rahmat Allah ada dua:

1. Rahmat Allah yang umum. Rahmat yang dirasakan seluruh mahluk. Dalilnya adalah firman Allah,

وَرَحْمَتِى وَسِعَتْ كُلَّ شَىْءٍ

 "Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu." (Q.S. Al-A'raf: 156)

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا

"Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu," (Q.S. Ghafir: 7)

2. Rahmat Allah yang khusus. Rahmat ini hanya diberikan kepada kaum mukminin. Dalilnya adalah firman Allah,

وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

"Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman." (Q.S. Al-Ahzab: 43)

Rahmat Allah tidak boleh dimaknakan sebagai 'kebaikan'. Sebab pemaknaan tersebut menyelisihi tekstual, ijmak salaf, juga tidak ada dalil yang memaknai demikian.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 23.

  • Sifat Ridha (الرِّضَا) bagi Allah
Konsekuensi sifat Ridha (الرِّضَا) adalah Allah mencintai dan berbuat baik kepada orang yang Dia ridai.

Dalilnya adalah firman Allah ta'ala,

رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ 

“Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (Q.S. Al-Maidah: 119)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 23.

  • Sifat Marah (الغَضَبُ) dan Murka (السُّخْطُ) bagi Allah
Konsekuensi sifat marah adalah Allah membenci dan menghukum orang yang Dia murkai. 

Dalil sifat marah (الغَضَبُ) adalah firman Allah,

وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُۥ

“Allah marah kepadanya, dan mengutukinya.” (Q.S. An-Nisaʼ: 93) 

Dalil sifat murka (السُّخْطُ) adalah firman Allah,

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱتَّبَعُوا۟ مَآ أَسْخَطَ ٱللَّهَ وَكَرِهُوا۟ رِضْوَٰنَهُۥ 

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya.” (Q.S. Muhammad: 28)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 23-24.

  • Sifat Tidak Suka (الكَرَاهَة) dan Benci (المَقْتُ) bagi Allah
Konsekuensi sifat 'Benci/Tidak Suka' adalah Allah menjauhi dan memusuhi sesuatu yang Dia benci. 

Dalil sifat 'Tidak Suka' (الكَرَاهَة) adalah firman Allah,

وَلَٰكِن كَرِهَ ٱللَّهُ ٱنۢبِعَاثَهُمْ

“Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka,” (Q.S. At-Taubah: 49) 

Sedangkan (المَقْتُ) maknanya lebih dari sekadar benci. Dalil sifat (المَقْتُ) adalah firman Allah,

كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ 

“Amat besar kebencian di sisi Allah ketika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (Q.S. (Ash Shaff: 3)

Sifat 'Tidak Suka' (الكَرَاهَة) dan 'Benci' (المَقْتُ) tidak boleh dimaknakan sebagai 'hukuman'. Sebab pemaknaan tersebut menyelisihi tekstual, ijmak salaf, juga tidak ada dalil yang memaknai demikian.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 24.
  • Tentang sifat (الأَسَف) bagi Allah
Sifat (الأَسَف) memiliki dua makna:

1. Bermakna (الغَضَبُ) ‘marahʼ. Jika yang dimaksud adalah makna ini, maka Allah bisa disifati dengannya. Dalilnya adalah firman Allah,

فَلَمَّآ ءَاسَفُونَا ٱنتَقَمْنَا مِنْهُمْ

“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka,” (Q.S. Az Zukhruf: 55) 

2. Bermakna (الحُزن) ‘sedihʼ. Makna ini tidak boleh diperuntukkan bagi Allah. Sebab kesedihan merupakan sifat kekurangan, sedangkan Allah Mahasuci dari segala kekurangan.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 24.
  • Sifat Datang (المَجِِيء/الإِتْيَانُ) bagi Allah
Datang (المَجِِيء/الإِتْيَانُ) merupakan salah satu sifat fi'liyyah bagi Allah yang wajib ditetapkan sesuai dengan keagungan-Nya.

Dalilnya adalah firman Allah,

وَجَآءَ رَبُّكَ وَٱلْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

“Dan datanglah Rabbmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (Q.S. Al Fajr: 22) 

هَلْ يَنظُرُونَ إِلَّآ أَن يَأْتِيَهُمُ ٱللَّهُ فِى ظُلَلٍ مِّنَ ٱلْغَمَامِ وَٱلْمَلَٰئِكَةُ 

“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan,” (Q.S. Al-Baqarah: 210) 

Tidaklah dibenarkan apabila sifat 'datang' bagi Allah dimaknakan sebagai 'datangnya perintah-Nya', lantaran pemaknaan tersebut menyelisihi tekstual, ijmak salaf, dan tidak ada dalil yang memaknai demikian.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 25.
  • Sifat Wajah (الوَجْه) bagi Allah
Wajah (الوَجْه) merupakan salah satu sifat dzatiyah bagi Allah yang wajib ditetapkan sesuai dengan keagungan-Nya.

Dalilnya adalah firman Allah,

وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو ٱلْجَلَٰلِ وَٱلْإِكْرَامِ

“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Ar-Rahman: 27) 

Makna (الجَلَال) adalah kebesaran.

Sedangkan (ٱلْإِكْرَامِ) adalah memberikan kemuliaan dan kehormatan kepada hamba-hamba-Nya yang taat.

Sifat Wajah bagi Allah tidak boleh dimaknakan sebagai 'pahala', lantaran pemaknaan tersebut menyelisihi tekstual, ijmak salaf, dan tidak ada dalil yang memaknai demikian.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 25.

  • Sifat Tangan bagi Allah
Kedua tangan Allah merupakan sifat dzatiyah yang wajib ditetapkan sesuai dengan keagungan-Nya. Allah membuka dan menutup kedua tanganNya sesuai yang Dia kehendaki.

Dalilnya adalah firman Allah,

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ

“Tetapi kedua tangan Allah terbuka.” (Q.S. Al-Ma'idah: 64) 

مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَىَّ

“Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Q.S. Shad: 75) 

Tangan Allah tidak boleh dimaknakan sebagai 'kekuatan', lantaran pemaknaan tersebut menyelisihi tekstual, ijmak salaf, dan tidak ada dalil yang memaknai demikian.

Ditambah, ayat di atas menyebutkan bilangan dua (kedua tangan). Sedangkan sifat 'kekuatan' bagi Allah tidak disifati dengan 'dua'.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 26.

  • Sifat Mata bagi Allah
Kedua mata Allah merupakan sifat dzatiyah yang wajib ditetapkan sesuai dengan keagungan-Nya. Allah melihat dan memandang dengan kedua mata-Nya.

Dalilnya adalah firman Allah,

وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِىٓ

“Dan supaya kamu diasuh di bawah penglihatan-Ku.” (Q.S. Thaha: 39) 

تَجْرِى بِأَعْيُنِنَا

“Yang berlayar di bawah penglihatan Kami.” (Q.S. Al-Qamar: 14) 

Sifat Mata bagi Allah tidak boleh dimaknakan sebagai 'ilmu' ataupun 'penglihatan tanpa mata'. Lantaran pemaknaan tersebut menyelisihi tekstual, ijmak salaf, dan tidak ada dalil yang memaknai demikian.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 26-27.

  • Sifat Pendengaran (السَّمْع) bagi Allah
Wajib menetapkan sifat pendengaran bagi Allah secara hakikatnya yang layak bagi Allah ta'ala.

Dalilnya adalah firman Allah,

وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

“Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 137) 

Sifat (السَّمعُ) 'pendengaran' Allah memiliki dua makna:

1. Mengabulkan doa, yang merupakan sifat fi'liyyah bagi Allah. Dalilnya adalah firman Allah,

إِنَّ رَبِّى لَسَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ

“Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Mendengar (mengabulkan) doa.” (Q.S. Shad: 75) 

2. Mendengar secara hakiki, yang merupakan sifat dzatiyah bagi Allah. Dalilnya adalah firman Allah,

قَدْ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوْلَ ٱلَّتِى تُجَٰدِلُكَ فِى زَوْجِهَا

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya.” (Q.S. Al-Mujadilah: 1) 

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 26.
  • Sifat Penglihatan (الرُّؤيَة) bagi Allah
Penglihatan (الرُّؤيَة) adalah sifat dzatiyah yang wajib ditetapkan secara hakikatnya yang layak bagi Allah ta'ala.

Sifat penglihatan Allah ada dua:

1. Bermakna melihat secara hakiki. 

Dalilnya adalah firman Allah,

إِنَّنِى مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَىٰ

“Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat” (Q.S. Thaha: 46)

وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

“Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Q.S. Shad: 75) 

2. Bermakna العِلمُ (mengetahui). 

Dalilnya adalah firman Allah,

إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُۥ بَعِيدًا وَنَرَىٰهُ قَرِيبًا

“Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi).” (Q.S. Al-Ma'arij: 6-7)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 29-30

  • Sifat Makar (المَكرُ) bagi Allah
Sifat Makar bagi Allah hanya boleh ditetapkan secara muqayyad (dikaitkan dengan lafal/keadaan tertentu). Sebab, apabila ditetapkan secara mutlak maka akan menyiratkan makna yang terpuji dan juga makna tercela. Sedangkan Allah Mahasuci dari segala sifat yang tercela.

Dalilnya adalah firman Allah,

وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ ٱللَّهُ  وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَٰكِرِينَ

“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (Q.S. Al-Anfal: 30)

Yang semakna dengan (المَكْرُ) adalah (الكَيْدُ), dalilnya adalah firman Allah,

إِنَّهُم يَكيدونَ كَيدًا وَأَكيدُ كَيدًا

“Sungguh, mereka (orang-orang kafir) merencanakan tipu daya yang jahat, Dan Aku pun membuat rencana (tipu daya) yang jitu.” (Q.S. Ath-Thaariq: 15-16)

Tipu daya atau makar menjadi sifat terpuji manakala dilakukan dalam rangka menampakkan kebenaran ataupun menolak kebatilan. Adapun selain itu maka tercela.

Kemudian, sifat makar ini tidak boleh dijadikan sebagai nama Allah; misal (المَاكِرُ) 'Dzat Pembuat makar'. Sebab seluruh nama Allah adalah Husna (terbaik dan terindah), tidak mengandung kekurangan apapun dari segala sisi.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 30

  • Sifat Maaf (العَفُوّ) bagi Allah
Al-'Afuw (العَفُوّ) adalah memaafkan kesalahan orang lain. Yang ini merupakan salah satu dari nama Allah Azza wa Jalla. 

Dalilnya adalah firman Allah,

وَكَانَ ٱللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا

“Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Q.S. An-Nisa: 99) 

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 31

  • Sifat (العُلُوّ) 'Ketinggian' Allah
Makna Al-'Uluw (العُلُوّ) adalah ketinggian. 

Sifat ketinggian Allah ada tiga:

1. Tinggi Dzat-Nya (عُلُوُّ الذَّات). Yakni Dzat Allah Maha tinggi di atas makhluk-Nya.

2. Tinggi Kedudukan-Nya (عُلُوُّ القَدرِ). Yakni Allah memiliki kedudukan yang sangat tinggi, tidak satu makhluk pun yang menyamainya. Dan tidak ada kekurangan sedikit pun pada kemuliaan Allah.

3. Tinggi Kekuasaan-Nya (عُلُوُّ القَهْرِ). Yakni Allah menguasai seluruh makhluk-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang keluar dari kekuasaan Allah.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 34

Dalil tentang (العُلُوّ) 'Ketinggian' Allah [Dari Al-Qur'an, hadits Nabi ﷺ, Ijmak Salaf, Akal, dan Fitrah]

a. Al-Qur'an

Allah ta‘ala berfirman,

وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ

“Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. Al-Baqarah: 255)

b. Hadits

Nabi ﷺ bersabda,

رَبَّنَا اللَّهُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ

“Yaa Allah, Rabb kami yang berada di langit.” (HR. Ahmad: 2/20 dan Abu Dawud: 3892)

c. Ijmak Salaf

Ulama salaf telah sepakat menetapkan sifat ketinggian bagi Allah. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyelisihinya. 

d. Akal/logika

Sifat ketinggian merupakan sifat kesempurnaan bagi Allah, sedang Allah disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan. Sehingga wajib menetapkan sifat ketinggian bagi Allah ta'ala.

e. Fitrah/naluri

Secara naluri, manusia mengimani sifat ketinggian Allah. Oleh karenanya, ketika seseorang memanjatkan doa “Wahai Rabbku?” maka kalbunya mengarah ke atas, bukan ke arah selainnya.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 36

  • Sifat Istiwa Allah di atas 'Arsy
Maksud dari sifat Istiwa (الاستِوَاء) adalah Allah tinggi dan bersemayam di atas Arsy-Nya. 

Ulama salaf telah menjelaskan bahwa lafaz Istiwa (الاستِوَاء) memiliki makna sebagai berikut:

1. Tinggi (العُلُوّ).
2. Bersamayam (الاستِقرَار).
3. Naik (الصُّعود).
4. Meninggi (الارتِفَاع).

Dalil dari sifat Istiwa adalah,

ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ

“Ar-Rahman -Dzat yang Maha Pemurah- bersemayam di atas 'Arsy.” (Q.S Thaha: 5) 

--» Istawa (استَوَى) tidak boleh dimaknakan dengan Istaula (اسْتَولَى) "menguasai", karena beberapa alasan:

1. Menyelisihi tekstual.
2. Bertentangan dengan penafsiran salaf.
3. Akan menyeret kepada konsekuensi yang batil.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 36-37

  • Apa itu 'Arasy?
Secara bahasa, 'Arasy bermakna singgasana khusus untuk raja. Adapun secara Syar'i, Arasy adalah tempat Allah ber-Istiwa. (https://t.me/nasehatetam/7249) 

'Arasy adalah ciptaan Allah yang paling besar. 

Nabi ﷺ bersabda,

ﻣَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕُ ﺍﻟﺴَّﺒْﻊُ وَالْأَرَضُونَ السَّبْعُ بِالنِّسْبَةِ ﻟِلْكُرْسِيّ ﺇِﻻَّ ﻛَﺤَﻠَﻘَﺔٍ أُلْقِيَتْ فِي ﻓَﻼَﺓٍ مِنَ الْأَرْضِ، ﻭَإِنَّ ﻓَﻀْﻞَ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜُﺮْﺳِﻲِّ ﻛَﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟْﻔَﻼَﺓِ ﻋَﻠَﻰ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﺤَﻠَﻘَﺔِ

“Tujuh lapis langit dibandingkan dengan ‘Kursiʼ, hanyalah seperti cincin yang dilemparkan ke tengah gurun pasir. Sedangkan luasnya Arsy dibandingkan dengan Kursi ibarat luasnya gurun pasir dibandingkan dengan cincin itu.” 
(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-'Arasy: 58, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah: 109)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 37
  • Kebersamaan Allah (مَعِيَّة اللّٰه)
Secara bahasa, al-ma'iyyah bermakna menyertai dan membersamai

Sifat al-ma'iyyah 'kebersamaan' Allah ada dua:

1. Yang bersifat umum

Yakni Allah membersamai seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ

“Dan Allah bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Q.S. Al-Hadid: 57)

Konsekuensi al-ma'iyyah jenis ini adalah: Allah meliputi seluruh makhluk-Nya dari sisi ilmu (mengetahui), menguasai, dan mengurusi.

2. Yang bersifat khusus

Yakni kebersamaan Allah yang khusus pada para rasul dan pengikutnya. Sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوا۟ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. An-Nahl: 128)

Konsekuensi dari al-ma'iyyah jenis ini -di samping Allah meliputi mereka- adalah: Allah memberikan bantuan dan pertolongan kepada mereka.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 37-38

Mengkompromikan antara Kebersamaan dan Ketinggian Allah

Mengkompromikan antara ketinggian Allah dan kebersamaan-Nya dengan makhluk adalah sebagai berikut:

1. Ditinjau dari realitas kehidupan nyata, hal itu biasa terjadi. Contoh, ketika kita mengucapkan "Aku berjalan diiringi rembulan". Padahal nyatanya bulan berada di langit (ketinggian).

2. Taruhlah, apabila hal itu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka tidaklah demikian pada Dzat al-Khalik. Sebab, tidak satu pun yang serupa dengan Allah. Dialah Dzat yang meliputi segala sesuatu.

Kebersamaan Allah tidak boleh dimaknakan bahwa Dzat-Nya bersama mahkluk di setiap tempat. Lantaran penafsiran tersebut:

1. Bertentangan dengan sifat ketinggian Allah. Sedangkan sifat ketinggian Allah merupakan sifat dzatiyah yang tak mungkin terpisah dari Dzat-Nya.

2. Menyelisihi penafsiran salaf.

3. Akan menyeret kepada konsekuensi yang batil.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 38-39

  • Penjelasan tentang Allah فِي السَّمَاءِ "Di langit"
Maksud dari lafazh فِي السَّمَاءِ adalah علَى السَّمَاء "Di atas langit". 

Sehingga huruf jar (فِي) di sini maknanya adalah (علَى) "Di atas", sebagaimana dalam firman Allah,

قُلْ سِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ

“Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi”. maksudnya adalah di atas muka bumi. 
(Q.S. Al-An'am: 11)

Meskipun kata فِي di sini juga bisa bermakna zharaf "di/pada". 

Sedangkan makna السَّمَاء adalah العُلُوّ "ketinggian". 

Dengan demikian maknanya 'Allah berada di atas/ketinggian'. Allah berfirman,

أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً

“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit.” (yakni dari atas) (Q.S. Ar-Ra'd: 17)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 39

  • Akidah Ahlussunah tentang Kalamullah
Ahlussunah meyakini bahwa Allah memiliki sifat al-Kalam (berbicara). Sifat Kalam Allah selalu melekat pada Dzat Allah. Dia berbicara secara hakiki, yang terdiri dari suara yang tidak serupa dengan suara makhluk. Juga tersusun dari huruf-huruf. 

Allah berbicara sesuai dengan kehendak-Nya; apa pun, kapan pun, dan bagaimanapun caranya. 

Dalil-dalil tentang Kalamullah sangatlah banyak, di antaranya adalah,

 وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan sebenarnya.” (Q.S. An-Nisa: 164)

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berfirman (langsung) kepadanya,” (Q.S. Al-A'raf: 143)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 39

  • Dalil-dalil tentang Kalamullah
1. Dalil bahwa Kalamullah bersuara,

وَنَٰدَيْنَٰهُ مِن جَانِبِ ٱلطُّورِ ٱلْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَٰهُ نَجِيًّا

“Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” (Q.S. Maryam: 52)

2. Dalil bahwa Kalamullah tersusun dari huruf-huruf,

وَقُلْنَا يَٰـَٔادَمُ ٱسْكُنْ أَنتَ وَزَوْجُكَ ٱلْجَنَّةَ

“Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini” (Q.S. Al-Baqarah: 35)

Jelas, firman Allah ini adalah berupa kalimat yang tersusun dari huruf-huruf. 

3. Dalil bahwa Allah berbicara sesuai dengan kehendak-Nya,

وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berfirman (langsung) kepadanya,” (QS. Al-A'raf: 143)

Di sini, Allah berbicara kepada Musa setelah Musa datang.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 40-41

Akidah Ahlussunah tentang Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah Kalamullah, yang diturunkan, bukan makhluk, berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.

1. Dalil bahwa Al-Qur'an adalah Kalamullah,

وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ٱسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ

“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,” maksudnya adalah Al-Qur'an. (Q.S. At-Taubah: 6)

2. Dalil bahwa Al-Qur'an diturunkan,

وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ مُبَارَكٌ فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. Al-An'am: 155)

3. Dalil bahwa Al-Qur'an bukanlah makhluk,

أَلَا لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلْأَمْرُ  

“Ingatlah, mahkluk (ciptaan) dan perintah hanyalah hak Allah.” (Q.S. Al-A'raf: 54)

Dalam ayat ini Allah membedakan antara makhluk dan perintah. Sedangkan Al-Qur'an termasuk perintah Allah. 

"Berasal dari Allah" maksudnya adalah bahwa Allah yang pertama kali berbicara dengannya. 

"Akan kembali kepada-Nya" Yakni pada akhir zaman Al-Qur'an akan diangkat dari lembaran mushaf dan dada manusia.

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 41-42

  • Mengenal Sunnah Nabi ﷺ
  • Secara bahasa, As-Sunnah (السُّنَّة) bermakna metode. 
Adapun Sunnah Nabi maknanya ialah syariat yang beliau bawa; yang meliputi ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Baik berupa perintah ataupun berita yang beliau sampaikan.

▪️ Mengimani segala yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sama wajibnya dengan mengimani isi kandungan Al-Qur'an. Baik dalam pembahasan Asma dan Sifat Allah, ataupun selainnya. Allah berfirman,

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (Q.S. Al-Hasyr: 7)

Allah berfirman,

مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ  

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (Q.S. An-Nisa: 80)

📔 Syaikh al-‘Utsaimin, Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyyah hlm. 42

Tags