MUQADIMAH
[Resensi Kitab: Ushulus Sunnah Karya Al-Humaidy]
Ilmu tentang akidah yang benar adalah kebutuhan mendasar bagi umat Islam. Kalau di masa Nabi dan para Sahabat, kaum muslimin berada dalam akidah yang satu. Dibimbing langsung oleh guru terbaik, yaitu Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.
Kesatuan akidah dalam bimbingan Sunnah terus terpelihara meski Nabi telah meninggal dunia, digantikan secara berurutan oleh pemimpin terbaik setelahnya, yaitu Abu Bakr dan Umar. Saat Umar meninggal dunia, pintu fitnah mulai terbuka.
Fitnah pertama yang terjadi pada umat Islam adalah saat terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Benih-benih penyimpangan akidah sudah mulai tumbuh.
Secara bertahap, bermunculanlah berbagai aliran baru yang berbeda jauh dari akidah murni yang diyakini Nabi dan para Sahabat. Muncul akidah Khawarij, Syiah Rafidhah, Qodariyyah, dan berbagai akidah menyimpang lainnya.
Alhamdulillah, para Ulama Ahlussunnah tampil memberikan penjelasan kepada umat tentang akidah yang benar. Sebagian dari para Ulama tersebut meringkas dan merangkum intisari akidah yang benar yang sesuai dengan pemahaman Nabi dan para Sahabatnya.
Salah satu Ulama tersebut adalah al-Imam al-Humaidy. Nama beliau adalah : Abdullah bin az-Zubair bin Isa al-Qurasyi al-Makkiy. Kuniahnya adalah Abu Bakr. Beliau meninggal di tahun 219 Hijriyah. Beliau adalah salah satu guru al-Imam al-Bukhari, penulis Shahih al-Bukhari. Beliau juga menyertai perjalanan safar al-Imam asy-Syafii menuju Mesir dan banyak mengambil faidah darinya.
Al-Imam Ahmad memuji beliau dengan pernyataan:
الْحُمَيْدِي عِنْدَنَا إِمَامٌ
Al-Humaidiy di sisi kami adalah seorang Imam (Siyaar A’laamin Nubalaa’ (10/617))
Al-Imam al-Humaidiy menyusun sebuah risalah berjudul Ushulus Sunnah. Kitab Ushulus Sunnah karya beliau ini adalah ringkasan dan rangkuman akidah Ahlussunnah. Poin-poin yang disoroti terutama adalah pada bagian akidah yang banyak menyimpang di masa itu.
Pembahasan awal dalam kitab Ushulus Sunnah ini adalah tentang takdir. Beliau menyatakan:
السُنَّةُ : أَنْ يُؤْمِنَ الرَّجُلُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، حُلْوِهِ وَمُرِّهِ، وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ, وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَهُ، وَأَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ قَضَاءٌ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Sunnah (yang sesuai dengan bimbingan Nabi, pent) adalah seseorang beriman terhadap takdir baik dan buruknya, manis maupun pahit, dan ia mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan terluput darinya dan apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.
Hal itu seluruhnya adalah qodho’ (ketetapan) dari Allah Azza Wa Jalla
Selanjutnya, beliau mengemukakan definisi iman yang benar:
وَأَنَّ الْإِيْمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ, يَزِيْدُ وَيَنْقُصُ, وَلاَ يَنْفَعُ قَوْلٌ إِلَّا بِعَمَلٍ, وَلاَ عَمَلٌ وَقَوْلٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ، وَلاَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ بِنِيَّةٍ إِلاَّ بِسُنَّةٍ
Sesungguhnya iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang. Tidaklah ucapan bermanfaat kecuali dengan amalan. Amal dan ucapan tidak bermanfaat kecuali dengan niat. Tidak pula bermanfaat ucapan dan amal yang disertai niat kecuali dengan Sunnah (meneladani Rasulullah shollallahu alaihi wasallam)
Pembahasan-pembahasan akidah berikutnya dalam kitab tersebut adalah:
- Sikap memuliakan dengan mendoakan rahmat dan ampunan bagi para Sahabat Nabi. Tidak boleh mencela para Sahabat Nabi.
- Penegasan bahwa al-Quran adalah Kalam (Firman) Allah, bukan makhluk.
- Keyakinan bahwa kaum beriman akan melihat Allah di akhirat nanti (setelah kematian).
- Keimanan terhadap Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah
- Keyakinan bahwa Allah beristiwa’ di atas Arsy.
- Menyelisihi pemahaman khawarij yang langsung memvonis pelaku dosa besar secara otomatis kafir. Ahlussunnah tidak demikian.
Demikianlah pokok pembahasan yang dimuat dalam kitab Ushulus Sunnah karya al-Humaidiy tersebut. Ada 2 pembahasan tentang takdir dan definisi keimanan, kemudian ditambah 6 pokok bahasan itu, sehingga total adalah 8 pembahasan inti.
Bagi para penuntut ilmu yang ingin mengkaji kitab tersebut, hendaknya merujuk pada syarh (penjelasan) para Ulama Ahlussunnah terhadap kitab tersebut baik berupa audio maupun kitab tertulis. Salah satu syarh yang merinci penjelasan dalam Ushulus Sunnah adalah karya Syaikh Ubaid al-Jabiriy –salah seorang Ulama Madinah – berjudul: Fathu Dzil Jalaali wal Minnah fi Syarh Ushulis Sunnah. Kitab tersebut adalah salah satu kitab yang direkomendasikan untuk menemani para pembaca dalam memahami kitab Ushulus Sunnah karya al-Humaidiy.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kaum muslimin kepada akidah yang benar sesuai pemahaman Nabi dan para Sahabatnya ridhwanullaahi alaihim ajma’in..
Ditulis Oleh: Abu Utsman Kharisman
Sumber: https://itishom.org/
Simak Kajian: Kitab Al-Ushul As-Sunnah Imam Humaidi
KITAB USHUL AS-SUNNAH AL-HUMAIDI
Daftar Isi
- Iman Kepada Takdir
- Iman Ucapan dan Perbuatan yang Bisa Bertambah dan Berkurang
- Memuji Seluruh Shahabat
- Al-Qur’an Kalamullah
- Pendapat Sufyan tentang Iman
- Ru’yah di Hari Kiamat
- Menetapkan Sifat Allah
- Perbedaan Ahlus Sunnah dengan Khawarij; Dosa besar tidak membatalkan iman dan Menyikapi yang Meninggalkan 5 Rukun Uslam
- Risalah selesai. Walhamdulillah
Imam Al-Humaidi Rahimahullah berkata:
1. IMAN KEPADA TAKDIR
* السُّنَّةُ عِنْدَنَا: أَنْ يُؤْمِنَ الرَّجُلُ بِالقَدَرِ: خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، حُلْوِهِ وَمُرِّهِ.
Prinsip Sunnah (Aqidah) menurut kami (para Ahli Hadits) adalah beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit.
* وَأَنْ يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ، وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ.
Meyakini bahwa apa saja yang (ditulis dalam takdir) akan menimpanya, tidak akan meleset darinya; dan apa yang (tertulis dalam takdir) meleset darinya, tidak akan menimpanya.
* وَأَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ قَضَاءٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ.
Semua itu merupakan takdir dari Allah Azza wa Jalla.
2. IMAN MERUPAKAN UCAPAN DAN PERBUATAN, BISA BERTAMBAH DAN BERKURANG
* وَأَنَّ الإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ.
Imam merupakan ucapan dan perbuatan.
* يَزِيدُ وَيَنْقُصُ.
Bisa bertambah dan berkurang.
* وَلَا يَنْفَعُ قَوْلٌ إِلَّا بِعَمَلٍ، وَلَا عَمَلٌ وَقَوْلٌ إِلَّا بِنِيَّةٍ، وَلَا قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إِلَّا بِسُنَّةٍ.
Ucapan tidak bermanfaat tanpa amal; amal dan ucapan tidak bermanfaat tanpa niat (ikhlas); dan ucapan, amal, dan niat tidak bermanfaat tanpa Sunnah (ittiba).
3. MEMUJI SELURUH SHAHABAT
* وَالتَّرَحُّمُ عَلَى أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ ﷺ كُلِّهِمْ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ قَالَ: ﵟوَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِﵞ [الحشر: 10]، فَلَنْ يُؤْمِنَ إِلَّا بِالِاسْتِغْفَارِ لَهُمْ.
(Termasuk prinsip Aqidah kami adalah) mendoakan ampun atas seluruh para Sahabat Muhammad ﷺ, karena Allah Azza wa Jalla berfirman: “Orang-orang yang datang setelah para Sahabat berdoa: ‘Wahai Rob kami, ampunilah kami dan sahabat-sahabat kami yang telah mendahului kami beriman (yakni Sahabat).’” (QS. Al-Hasyr: 10). Maka, tidak dianggap beriman kecuali memohonkan ampunan untuk mereka.
* فَمَنْ سَبَّهُمْ أَوْ تَنَقَّصَهُمْ أَوْ أَحَدًا مِنْهُمْ، فَلَيْسَ عَلَى السُّنَّةِ ، وَلَيْسَ لَهُ فِي الفَيءِ حَقٌّ.
Siapa yang memaki mereka atau merendahkan mereka semua, bahkan meskipun seorang Sahabat saja, maka ia tidak di atas Sunnah (Aqidah yang benar), dan ia tidak mendapatkan bagian harta fai[1] sedikitpun.
* أَخْبَرَنَا بِذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ؛ أَنَّهُ قَالَ: «قَسَمَ اللَّهُ تَعَالَى الفَيءَ، فَقَالَ: ﵟلِلۡفُقَرَآءِ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡﵞ [الحشر: 8]، ثُمَّ قَالَ: ﵟوَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِﵞ [الحشر: 10] ؛ فَمَنْ لَمْ يَقُلْ هَذَا لَهُمْ؛ فَلَيْسَ مِمَّنْ جُعِلَ لَهُ الفَيءَ».
Tidak hanya satu orang (dari perawi tsiqoh) yang mengabarkan kepada kami dari Malik bin Anas bahwa ia berkata: “Allah telah menentukan bagian fai dalam firman-Nya: ‘Yaitu untuk orang-orang fakir Muhajirin yang terusir dari kampung halamannya (Makkah),’ (QS. Al-Hasyr: 8) lalu Allah berfirman: ‘Orang-orang yang datang setelah mereka (para Sahabat) berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah kami dan saudara kami yang telah mendahului kami beriman (yakni para Sahabat),’ (QS. Al-Hasyr: 10). Maka, siapa yang tidak mendoakan mereka, ia tidak layak mendapatkan harta fai.”
4. AL-QUR’AN KALAMULLAH
* وَالقُرْآنُ: كَلَامُ اللهِ.
Al-Quran adalah Kalamullah.
* سَمِعْتُ سُفْيَانَ يَقُولُ: «القُرْآنُ كَلَامُ اللهِ، وَمَنْ قَالَ مَخْلُوقٌ؛ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، لَمْ نَسْمَعْ أَحَدًا يَقُولُ هَذَا».
Aku mendengar Sufyan bin Uyainah berkata: “Al-Qur’an adalah Kalamullah, dan siapa yang mengatakan makhluk maka ia seorang ahli bid’ah, dan kami tidak pernah mendengarkan seorang pun (dari Ahlus Sunnah) yang berpendapat demikian (makhluk).”
5. PENDAPAT SUFYAN TENTANG DEFINISI IMAN
* وَسَمِعْتُ سُفْيَانَ يَقُولُ: «الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، وَيَزِيدُ وَيَنْقُصُ»، فَقَالَ لَهُ أَخُوهُ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُيَيْنَةَ: «يَا أَبَا مُحَمَّدٍ؛ لَا تَقُلْ يَنْقُصْ»، فَغَضِبَ؛ وَقَالَ: «اسْكُتْ يَا صَبِيُّ؛ بَلْ حَتَّى لَا يَبْقَى مِنْهُ شَيءٌ».
Aku mendengar Sufyan bin Uyainah berkata: “Iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” Lalu saudaranya bernama Ibrohim bin Uyainah berkata: “Wahai Abu Muhammad, jangan mengatakan berkurang.” Sufyan marah dan berkata: “Diamlah wahai bocah, bahkan sampai tidak tersisa sedikitpun.”
6. MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT
* وَالإِقْرَارُ بِالرُّؤْيَةِ بَعْدَ المَوْتِ.
(Termasuk prinsip Aqidah kami adalah) menetapkan melihat Allah setelah wafat.
7. MENETAPKAN SIFAT ALLAH
* وَمَا نَطَقَ بِهِ القُرْآنُ وَالحَدِيثُ مِثْلُ: ﵟوَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ يَدُ ٱللَّهِ مَغۡلُولَةٌۚ غُلَّتۡ أَيۡدِيهِمۡﵞ [المائدة: 64] وَمِثْلُ: ﵟوَٱلسَّمَٰوَٰتُ مَطۡوِيَّـٰتُۢ بِيَمِينِهِۦۚﵞ [الزمر: 67] وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِنَ القُرْآنِ وَالحَدِيثِ، لَا نَزِيدُ فِيهِ وَلَا نُفَسِّرُهُ، نَقِفُ عَلَى مَا وَقَفَ عَلَيْهِ القُرْآنُ وَالسُّنَّةُ.
(Termasuk prinsip Aqidah kami adalah menetapkan) sifat-sifat yang dibicarakan Al-Quran dan hadits shohih, seperti firman Allah: “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Tangan Allah terbelenggu,’ bahkan tangan mereka yang terbelenggu dan mereka dilaknat atas ucapan mereka itu, akan tetapi tangan Allah terbentang.” (QS. Al-Maidah: 64). Juga seperti firman Allah: “Langit (pada hari Kiamat) dilipat dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67). Begitu juga ayat dan hadits shohih lainnya yang mirip ini, kami tidak menambahnya dan tidak menafsirkannya, kami berhenti di mana Qur’an dan Sunnah berhenti.
* وَنَقُولُ: ﵟٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰﵞ [طه: 5].
Kami berpendapat: “Allah Yang Maha Pemurah tinggi di atas Arsy.” (QS. Thoha: 5)
* وَمَنْ زَعَمَ غَيْرَ هَذَا؛ فَهُوَ مُعَطِّلٌ جَهْمِيٌّ .
Siapa yang berpendapat selain keyakinan ini, maka ia seorang Muathilah Jahmiyyah.
8. DOSA BESAR TIDAK MEMBATALKAN IMAN
* وَأَلَّا نَقُولَ كَمَا قَالَتِ الخَوَارِجُ: مَنْ أَصَابَ كَبِيرَةٌ فَقَدْ كَفَرَ.
Kami tidak berpendapat seperti pendapatnya Khowarij yang mengatakan: “Siapa yang melakukan dosa besar maka ia kafir.”
وَلَا تَكْفِيرَ بِشَيءٍ مِنَ الذُّنُوبِ، وَإِنَّمَا الكُفْرُ فِي تَرْكِ الخَمْسِ الَّتِي قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ﷺ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ البَيْتِ».
Dosa-dosa besar apapun tidak sampai menyebabkan kafir. Akan tetapi menjadi kafir jika meninggalkan lima perkara yang disabdakan Rosulullah ﷺ: “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat lā ilāha illallāh dan muhammad rosūlullāh, menegakkan sholat, menunaikan zakat, puasa Romadhon, dan haji ke Ka’bah.”
* فَأَمَّا ثَلَاثٌ مِنْهَا فَلَا يُنَاظَرُ تَارِكُهُ: مَنْ لَمْ يَتَشَهَّدْ، وَلَمْ يُصَلِّ، وَلَمْ يَصُمْ؛ لِأَنَّهُ لَا يُؤَخَّرُ شَيءٌ مِنْ هَذَا عَنْ وَقْتِهِ، وَلَا يُجْزِئُ مَنْ قَضَاهُ بَعْدَ تَفْرِيطِهِ فِيهِ عَامِدًا عَنْ وَقْتِهِ.
Adapun tiga pertama, tidak ada perselisihan pendapat tentang orang yang meninggalkannya (bahwa ia kafir), yaitu [1] siapa yang tidak bersyahadat, [2] tidak sholat, dan [3] tidak puasa, karena waktu pelaksanaan perkara ini tidak boleh ditunda, dan tidak sah orang yang menqodhonya setelah meremehkan waktu pelaksanaannya dengan sengaja.
* فَأَمَّا الزَّكَاةُ فَمَتَى مَا أَدَّاهَا أَجْزَأَتْ عَنْهُ وَكَانَ آثِمًا فِي الحَبْسِ.
Adapun zakat, kapan pun ia menunaikannya maka sah, tetapi ia berdosa jika menahannya.
* وَأَمَّا الحَجُّ فَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ، وَوَجَدَ السَّبِيلَ إِلَيْهِ؛ وَجَبَ عَلَيْهِ.
Adapun haji, siapa yang sudah terkena wajib haji dan mampu menempuh jalannya, maka menjadi wajib baginya.
وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِي عَامِهِ ذَلِكَ حَتَّى لَا يَكُونَ لَهُ مِنْهُ بُدٌّ.
Dia tidak wajib menunaikan haji pada tahun tertentu kecuali memang harus melaksanakannya.
مَتَى أَدَّاهُ كَانَ مُؤَدِّيًا، وَلَمْ يَكُنْ آثِمًا فِي تَأْخِيرِهِ إِذَا أَدَّاهُ، كَمَا كَانَ آثِمًا فِي الزَّكَاةِ، لِأَنَّ الزَّكَاةَ حَقٌّ لِمُسْلِمِينَ مَسَاكِينَ حَبَسَهُ عَلَيْهِمْ؛ فَكَانَ آثِمًا حَتَّى وَصَلَ إِلَيْهِمْ، وَأَمَّا الحَجُّ فَكَانَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ إِذَا أَدَّاهُ فَقَدْ أَدَى.
Kapan pun ia melaksanakannya, maka ia dianggap telah melaksanakannya, dan ia tidak berdosa jika menunda melaksanakannya, tidak sebagaimana dengan zakat, ia berdosa menundanya, karena zakat adalah hak kaum Muslimin yang miskin. Ia berdosa sampai harta itu sampai kepada mereka. Adapun haji, maka ia berkaitan antara dirinya dengan Allah, jika sudah dikerjakan maka ia sudah gugur kewajibannya.
وَإِنْ هُوَ مَاتَ وَهُوَ وَاجِدٌ مُسْتَطِيعٌ وَلَمْ يَحُجَّ، سَأَلَ الرَّجْعَةَ إِلَى الدُّنْيَا أَنْ يَحُجَّ.
Jika ia mati belum haji, padahal ia mapan dan mampu, maka kelak ia akan meminta dikembalikan ke dunia untuk berhaji.
وَيَجِبُ لِأَهْلِهِ أَنْ يَحُجُّوا عَنْهُ، وَنَرْجُو أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مُؤَدِّيًا عَنْهُ؛ كَمَا لَوْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقُضِيَ عَنْهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.
Keluarganya wajib menghajikannya, dan kami berharap hal itu menggugurkan kewajibannya, sebagaimana jika ia menanggung hutang lalu dilunasi oleh keluarganya sepeninggalnya.
[1] Fai dan ghonimah sama-sama harta rampasan perang, bedanya jika didapatkan tanpa peperangan, seperti musuh kabur, maka ia benama fai.
Sumber: https://www.terjemahmatan.com/