Type Here to Get Search Results !

 


SALAH KAPRAH PELAKU TERORISME


Salah Kaprah Pelaku Terorisme Berkedok Jihad

Dalam artikel ini, akan kita bahas dengan ringkas beberapa syubhat (pemahaman yang salah kaprah) yang menjadi latar belakang sebagian orang melakukan terorisme berkedok jihad. Dengan harapan –musta’inan billah– tidak ada lagi orang-orang yang terjerumus pada terorisme karena pemahaman yang keliru.

Salah kaprah: “Bom bunuh diri adalah jihad”
Bagaimana mungkin bom bunuh diri adalah jihad, padahal bunuh diri itu dilarang dalam Islam dan termasuk dosa besar?

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa: 29-30)

Dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ومَن قَتَلَ نَفْسَهُ بشيءٍ في الدُّنْيا عُذِّبَ به يَومَ القِيامَةِ

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, dia akan di adzab dengan hal itu di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 6105, Muslim no. 110).

Bahkan sebagian ulama memandang perbuatan bunuh diri adalah kekufuran (walaupun ini pendapat yang lemah), karena melihat zahir dari beberapa dalil. Di antaranya, dari Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘ahu, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

كانَ فِيمَن كانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ به جُرْحٌ، فَجَزِعَ، فأخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بهَا يَدَهُ، فَما رَقَأَ الدَّمُ حتَّى مَاتَ، قالَ اللَّهُ تَعَالَى: بَادَرَنِي عَبْدِي بنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عليه الجَنَّةَ

“Dahulu ada seorang lelaki yang terluka, dia putus asa lalu mengambil sebilah pisau dan memotong tangannya. Darahnya terus mengalir hingga dia mati. Allah Ta’ala berfirman, ”Hamba-Ku mendahului-Ku dengan dirinya, maka Aku haramkan baginya surga” (HR. Bukhari no. 3463, Muslim no. 113).

Namun yang tepat, orang yang bunuh diri itu tidak keluar dari Islam, namun mereka terjerumus dalam kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari Islam.

‘Ala kulli haal, tidak mungkin perbuatan yang parah dan dosa besar seperti ini malah dianggap jihad?!

Adapun amalan istisyhad (mencari status syahid) ini dilakukan dalam perang dan jihad yang syar’i, bukan dalam kondisi aman. Dan istisyhad yang dilakukan para salaf terdahulu bukan dengan bunuh diri, namun dengan menerjang musuh walaupun musuh dalam jumlah besar. Oleh karena itu, aksi bom bunuh diri dalam perang dan jihad yang syar’i pun dilarang oleh mayoritas ulama kibar Ahlussunnah seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syekh Shalih Al Fauzan, Syekh Shalih Alu Syekh dan selain mereka -semoga Allah merahmati mereka-.

Syekh Abdullah bin Jibrin menjelaskan, “Baik ia adalah mu’ahhad dari kalangan Yahudi, Nasrani atau golongan orang kafir selain mereka. Perjanjian dengan mereka semua wajib ditepati dan tidak boleh memberikan gangguan kepada mereka hingga mereka kembali ke negeri mereka.

Dan apa yang terjadi beberapa waktu lalu, berupa aksi pengeboman yang menyebabkan banyak korban jiwa serta korban luka-luka, tidak ragu lagi ini merupakan kejahatan yang mengerikan. Dan pengeboman ini menyebabkan korban jiwa dan korban luka dari orang-orang yang dijamin keamanannya serta juga kaum muslimin yang ada di tempat-tempat tersebut. Dan ini tidak ragu lagi merupakan pengkhianatan, dan merupakan gangguan terhadap orang-orang yang dijamin keamanannya serta membahayakan mereka. Orang-orang yang melakukan perbuatan ini adalah orang-orang mujrim (jahat). Keyakinan mereka bahwasanya perbuatan ini adalah jihad dengan alasan bahwa orang-orang yang ada di tempat tersebut adalah orang kafir dan halal darahnya, kami katakan, “ini adalah sebuah kesalahan.” Tidak diperbolehkan memerangi mereka, dan perang tidak terjadi kecuali setelah memberikan pemberitahuan perang kepada pihak kuffar dan setelah sepakat untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (QS. Al Anfal: 58).

Maka tidak boleh memerangi mereka yang dijamin keamanannya, demi kemaslahatan. Bahkan dengan memerangi mereka akan timbul mafsadah syar’iyyah, yaitu kaum Muslimin dituduh sembarangan sebagai kaum pengkhianat atau dituduh sebagai kaum teroris” (Sumber: web ibn-jebreen.com fatwa nomor 5318).
  • Salah kaprah: “Membunuh non muslim di negeri kaum muslimin adalah jihad”
Jihad itu ibadah yang agung. Oleh karena itu, yang namanya ibadah harus dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jihad yang tidak sesuai dengan tuntunan, maka sejatinya bukanlah jihad yang syar’i. Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu pernah berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,

أرأيت رجلا خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فقتل أيدخل الجنة؟ فقال أبو موسى: نعم. فقال له حذيفة: لا. إن خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فأصاب أمر الله فقتل دخل الجنة

“Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap ridha Allah, lalu terbunuh, ia akan masuk surga?” Abu Musa menjawab, ‘Ya’. Hudzaifah lalu berkata kepadanya, ‘Tidak demikian. Jika ia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap ridha Allah dan menaati aturan Allah, lalu terbunuh, barulah ia masuk surga‘” (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya, sanadnya sahih).

Maka jihad yang syar’i itu ada aturan-aturannya. Dan salah satu tuntunan jihad adalah dilakukan bersama ulil amri (pemerintah). Disebutkan dalam matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah karya Imam Ath-Thahawi,

والحج والجهاد ماضيان مع أولي الأمر من المسلمين‏:‏ برهم وفاجرهم

“Haji dan jihad itu terus ada (sampai hari kiamat). Dilakukan bersama ulil amri kaum Muslimin, baik mereka orang salih maupun orang fajir (ahli maksiat)”.

Sehingga yang dilakukan para teroris tersebut, berupa aksi-aksi individu atau kelompok saja, tentu tidak bisa disebut sebagai jihad yang syar’i.

Juga di antara ketentuan jihad adalah tidak boleh membunuh non Muslim yang sudah ada perjanjian untuk hidup rukun dan dijamin keamanannya oleh kaum Muslimin. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَن قَتَلَ مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها تُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium wangi surga. Padahal wanginya tercium dari jarak 40 tahun” (HR. Bukhari no. 3166).

Dan secara umum tidak boleh berbuat zalim walaupun kepada non Muslim. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، وَإِنْ كَانَ كَافِرًا، فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ

“Waspadalah terhadap doa orang yang terzalimi, walaupun ia kafir. Karena tidak ada hijab antara ia dengan Allah” (HR. Ahmad no. 12549, disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 767).

Juga di antara ketentuan jihad lainnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah: tidak boleh membunuh wanita, tidak boleh membunuh anak-anak, tidak boleh menghancurkan gereja, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Yang andaikan aksi-aksi para teroris tersebut dianggap jihad yang syar’i (walaupun hakikatnya bukan), ternyata malah melanggar ketentuan-ketentuan ini. Allahul musta’an.
  • Salah kaprah: “Membunuh polisi dan pejabat pemerintah di negeri kaum muslimin adalah jihad”
Bagaimana mana mungkin seperti ini dikatakan jihad ketika ternyata yang dibunuh oleh para teroris itu adalah sesama kaum muslimin juga?!

Padahal membunuh sesama muslim itu adalah dosa yang sangat besar. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

سِبابُ المسلِمِ فُسوقٌ ، و قتالُه كُفرٌ

“Mencela seorang Muslim itu kefasikan, dan membunuh seorang Muslim itu kekufuran” (HR. Bukhari no. 48, Muslim no. 64).

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

لَزَوالُ الدُّنيا أهْوَنُ علَى اللَّهِ مِن قتلِ رجلٍ مسلمٍ

“Hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim” (HR. At Tirmdzi no. 1395, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

Dan para teroris tersebut mungkin menganggap orang yang mereka bunuh telah kafir keluar dari Islam. Maka ini juga bentuk penyimpangan. Yaitu bermudah-mudahan dalam menjatuhkan vonis kafir kepada sesama muslim. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan agar kita waspada terhadap perbuatan seperti ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Apabila seseorang bermudahan mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim), “Wahai kafir”, maka status kafir itu akan kembali kepada salah satunya” (HR. Bukhari no. 312, Muslim no. 60).

Masalah takfir (vonis kafir) itu masalah berat. Sehingga para ulama mengatakan: “salah ketika tidak mengkafirkan orang yang kafir, itu lebih ringan daripada salah memvonis kafir orang yang tidak kafir”.

Demikian juga masalah berhukum dengan selain hukum Allah. Kita sepakat bahwa tidak boleh berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala. Namun tidak semua orang yang melakukannya itu kafir keluar dari Islam, dan juga bukan berarti itu dibolehkan. Namun ada rinciannya yang disebutkan para ulama dalam kitab-kitab akidah. Menggeneralisir semuanya kafir, polisi kafir, pejabat kafir, PNS kafir, karena berhukum dengan selain hukum Allah ini adalah pemahaman yang keliru. Syekh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah mengatakan,

فمسألة الحكم بغير ما أنزل الله مسألة عظيمة وفيها تفصيل كما ذكر أهل التفسير فلا يطلق الكفر على كل من حكم بغير ما أنزل الله بل يفصل في هذا

“Masalah berhukum dengan selain hukum Allah, ini adalah masalah yang besar. Dan di dalamnya ada rincian, sebagaimana disebutkan para ulama tafsir. Tidak boleh menggeneralisir semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Namun seharusnya merinci hal ini” (Syarah Nawaqidhul Islam).

Selain itu juga, andaikan kita benarkan asumsi mereka, bahwa yang diperangi tersebut kafir keluar dari Islam, maka tidak semua orang kafir itu boleh diperangi atau dibunuh. Sebagaimana sudah disebutkan di atas.



  • Salah kaprah: “semua orang kafir halal darahnya"
Ini keliru dalam memahami hadis,

كلُّ المسلمِ على المسلمِ حرامٌ مالُهُ وعِرْضُهُ ودَمُهُ

“Terhadap sesama Muslim, haram hartanya, kehormatannya, dan darahnya” (HR. Ibnu Majah no. 3192, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah. Asal hadis ini dalam Shahihain).

Para ulama ketika mensyarah hadis ini, mereka menjelaskan bahwa maknanya adalah terlarangnya menzalimi sesama Muslim dalam masalah harta, kehormatan, dan darah.

Bukankah mafhum mukhalafah hadis ini menunjukkan bahwa orang kafir halal darahnya? Benar, namun terdapat banyak nash yang menunjukkan terlarangnya membunuh orang kafir tanpa hak. Maka nash (dalil tegas) lebih kita dahulukan dari pada mafhum mukhalafah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

“Janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan hak” (QS. Al An’am: 151).

As-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

وهي النفس المسلمة من ذكر وأنثى ، صغير وكبير ، بَر وفاجر ، والكافرة التي قد عصمت بالعهد والميثاق

“Maksudnya adalah dilarang membunuh jiwa seorang Muslim, baik laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa, orang salih maupun orang fajir, dan juga dilarang membunuh orang kafir yang dijaga jiwanya dengan adanya perjanjian dan kesepakatan” (Tafsir As-Sa’di, hal. 257).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

من قتل مُعاهَدًا لم يَرَحْ رائحةَ الجنَّةِ ، وإنَّ ريحَها توجدُ من مسيرةِ أربعين عامًا

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (yang ada perjanjian hidup rukun dengan kaum Muslimin), dia tidak akan mencium wangi surga. Padahal wanginya tercium dari jarak 40 tahun” (HR. Bukhari no. 3166).

Orang-orang kafir juga menjadi halal darahnya untuk ditumpahkan ketika ada hak untuk menumpahkan darahnya. Di antaranya ketika:

* perang melawan orang kafir di medan perang

* melakukan pembunuhan, maka ia di-qishash

* melakukan zina, maka ia dirajam

* melakukan jinayah (kriminal yang melukai orang), maka ia di-qishash

dan semisalnya.

Terlebih jika “orang kafir” di sini adalah kaum Muslimin yang dianggap kafir. Ini masuk dalam penyimpangan bermudahan dalam mengkafirkan sesama Muslim.

Bayangkan jika setiap orang bisa dengan mudah mengkafirkan orang lain (sesama Muslim), lalu dianggap halal darahnya, lalu boleh dibunuh, maka yang terjadi adalah kekacauan. Bisa jadi antar tetangga akan saling bunuh-membunuh dengan dalil ia sudah kafir!!



  • Salah kaprah dalam memahami dalil-dalil keutamaan jihad
Dalil-dalil keutamaan jihad dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat banyak sekali. Allah Ta’ala berfirman,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41).

Nabi shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda,

… رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ

“… Landasan dari segala perkara adalah Islam (tauhid), tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad fii sabiilillaah” (HR. At Tirmidzi no. 2616, Ibnu Majah no. 3973, disahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Riyadhis Shalihin, no. 1522).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ –تَبَارَكَ وَتَعَالَى-، فَإِنَّ الْـجِهَادَ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْـجَنَّةِ ، يُذْهِبُ اللهُ بِهِ مِنَ الْهَمِّ وَالْغَمِّ.

“Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Tabaaraka wa Ta’ala. Karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga. Allah akan menghilangkan kesedihan dan kesusahan dengan sebab jihad” (HR. Ahmad no. 22680, dihasankan Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).

Namun yang dimaksud dalam dalil-dalil tersebut adalah jihad syar’i. Bukan sembarangan jihad. Jihad yang syar’i lah yang pelakunya akan mendapatkan surga dan ampunan yang besar.

Betapa banyak hadis Nabi yang menyebutkan orang yang berjihad namun berakhir di neraka. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ,

“Sesungguhnya orang pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati karena istisyhad (mencari syahid) di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan yang dia dapatkan di dunia, lalu dia pun mengakuinya. Kemudian ditanya kepadanya, ‘Apa yang Engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang untuk-Mu Ya Allah, sampai-sampai aku mencari syahid’. Allah berkata kepadanya, ‘Engkau dusta! Engkau berjihad supaya dikatakan seorang yang pemberani. Dan itu telah dikatakan orang-orang’. Kemudian diperintahkan para Malaikat untuk menyeret orang itu atas wajahnya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka … “ (HR. Muslim no. 1905).

Dan hadis-hadis lainnya, yang menunjukkan tidak semua orang yang mengaku berjihad akan mendapatkan keutamaan jihad. Namun yang dimaksud adalah jihad yang syar’i yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ’anhu, dia berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,

أرأيت رجلا خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فقتل أيدخل الجنة؟ فقال أبو موسى: نعم. فقال له حذيفة: لا. إن خرج يضرب بسيفه يبتغي وجه الله فأصاب أمر الله فقتل دخل الجنة

“Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap rida Allah lalu terbunuh dia akan masuk surga? Abu Musa menjawab, ‘Ya’. Hudzaifah lalu berkata kepadanya, ‘Tidak demikian. Jika dia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap rida Allah dan menaati aturan Allah lalu terbunuh, barulah dia masuk surga‘” (HR. Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya, sanadnya sahih).

  • Salah kaprah: “kalau saya berjihad maka saya bisa memberi syafa’at kepada keluarga saya”
Benar bahwa orang yang syahid dalam jihad dia akan bisa memberi syafa’at kepada keluarganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

للشهيدِ عندَ اللهِ ستُّ خصالٍ : يُغفرُ لهُ في أولِ دفعةٍ، ويَرى مقعدَهُ منَ الجنةِ، ويُجارُ منْ عذابِ القبرِ، ويأمنُ منَ الفزعِ الأكبرِ، ويُوضعُ على رأسِهِ تاجُ الوقارِ، الياقوتةُ منها خيرٌ منَ الدنيا وما فيها، ويُزوَّجُ اثنتينِ وسبعينَ زوجةً من الحورِ العينِ، ويُشفَّعُ في سبعينَ منْ أقاربِهِ

“Bagi orang yang mati syahid di sisi Allah ada enam keutamaan: (1) dia diampuni tatkala pertama kali darahnya muncrat; (2) dia melihat tempat duduknya di surga; (3) dia diselamatkan dari siksa kubur; (4) dia diamankan tatkala hari kebangkitan; (4) kepalanya diberi mahkota kewibawaan, satu berlian yang menempel di mahkota itu lebih baik dari pada dunia seisinya; (5) dia dinikahkan dengan 72 gadis dengan matanya yang gemulai; (6) dia diberi hak untuk memberi syafa’at kepada 70 orang dari kerabatnya” (HR. At Tirmidzi, no. 1663. Disahihkan Al-Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Namun yang dimaksud jihad di sini adalah jihad yang syar’i, bukan jihad yang serampangan sebagaimana sudah dijelaskan.

Dan seseorang tidak bisa seenak hati mengklaim akan dapat syafa’at dan mengklaim akan bisa memberi syafa’at. Karena syafa’at itu memiliki dua syarat, yaitu:
  • Pertama, orang yang memberi syafa’at, dia diizinkan oleh Allah.
  • Kedua, orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridai oleh Allah.
Allah Ta’ala berfirman,

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Siapa yang bisa memberi syafa’at di sisi Allah? Kecuali atas izin Allah” (QS. Al Baqarah: 255).

Allah Ta’ala juga berfirman,

يَوْمَئِذٍ لا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً

“Hari ini tidak akan manfaat syafa’at kecuali bagi orang yang diizinkan oleh Ar-Rahman dan bagi orang yang diridai perkataannya” (QS. Thaha: 109).

Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Muhammad bin Abdil Wahab dalam matan Al-Qawa’idul Arba’,

وَالشَّفَاعَةُ الْمُثْبَتَةُ: هِيَ الَّتِي تُطْلَبُ مِنَ اللهِ، وَالشَّافِعُ مُكَرَّمٌ بِالشَّفَاعَةِ، وَالْمَشْفُوعُ لَهُ مَنْ رَضِيَ اللهُ قَوْلَهُ وَعَمَلَهُ بَعْدَ الإِذْنِ

“Syafa’at yang benar adalah syafa’at yang diminta kepada Allah dan (syaratnya) orang yang memberi syafa’at ia dimuliakan oleh Allah untuk memberi syafa’at, dan orang yang diberi syafa’at adalah orang yang diridai perkataannya dan perbuatannya oleh Allah, jika memang Allah mengizinkan”.

Maka tidak semua orang yang mengaku berjihad itu bisa memberi syafa’at, kecuali jihadnya syar’i. Dan tidak semua keluarga mujahid mendapat syafa’at, kecuali mereka diridhai oleh Allah perkataannya dan perbuatannya.

Wallahu a’lam.

Penulis:  Yulian Purnama, S.Kom.  

Tags