Surat
Al-Hasyr adalah surat madaniyyah dengan kesepakatan para ulama([1]) dan
surat ini berkisah tentang pengusiran Bani Nadhir dari kota Madinah
dimana mereka terusir dari kota Madinah ke Khaibar. Adapun penamaan
surat ini maka para ulama menjelaskan bahwa surat ini memiliki dua nama
yaitu Surat Al-Hasyr dan Surat Bani Nadhir. Demikianlah Ibnu Abbas yang
menamakan surat ini dengan nama yang kedua tersebut dimana beliau
berkata:
قُلْ سُوْرَةُ النَّضِيْرِ
“Katakanlah Surat (Bani) Nadhir” ([2])
“Al-Hasyr”
sendiri maknanya adalah pengusiran dan surat ini dinamakan demikian
karena memang menceritakan tentang pengusiran Yahudi Bani Nadhir.
Keutamaan surat ini terdapat dalam beberapa hadits, di antaranya adalah riwayat Ibnu Abbas:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ:
“مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْحَشْرِ لَمْ يَبْقَ جَنَّةٌ وَلَا نَارٌ وَلَا
عَرْشٌ وَلَا كُرْسِيٌّ وَلَا حِجَابٌ وَلَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ
وَالْأَرَضُوْنَ السَّبْعُ وَالْهَوَامُّ وَالرِّيْحُ وَالطَّيْرُ
وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَالْجِبَالُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
وَالْمَلَائِكَةُ إِلَّا صَلَّوْا عَلَيْهِ وَاسْتَغْفَرُوْا لَهُ فَإِنْ
مَاتَ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ لَيْلَتِهِ مَاتَ شَهِيْدًا”
Dari
Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda : “Barangsiapa yang membaca
surat Al-Hasyr maka tidaklah tersisa satu makhluk pun, baik surga,
neraka, arsy, kursiy, hijab, langit yang tujuh, bumi yang tujuh,
serangga-serangga, angin, burung-burung, pepohonan, hewan-hewan,
gunung-gunung, matahari, bulan dan para malaikat melainkan semuanya akan
bershalawat kepadanya dan memintakan ampunan baginya dan jika ia
meninggal pada hari itu atau pada malam itu niscaya akan dituliskan
baginya sebagai mati syahid”([3])
Namun hadits ini adalah hadits yang dha’if. Demikian pula ada hadits dha’if yang lainnya dari Anas bin Malik:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: “مَنْ قَرَأَ آخِرَ سُوْرَةِ الْحَشْرِ ” لَوْ أَنْزَلْنَا
هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ …” إِلَى آخِرِهَا- فَمَاتَ مِنْ لَيْلَتِهِ
مَاتَ شَهِيْدًا”
Dari
Anas bin Malik, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda: “ Barangsiapa yang membaca
akhir dari surat Al-Hasyr dari ayat “Seandainya Kami turunkan Al-Quran
ini kepada gunung…” hingga akhir surat lalu ia mati pada hari tersebut
maka ia mati dalam keadaan syahid”([4]),
Demikian juga dalam hadits dho’if yang lain Nabi ﷺ juga bersabda:
“مَنْ
قَالَ حِينَ يُصْبِحُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ
الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ وَقَرَأَ ثَلَاثَ آيَاتٍ مِنْ
آخِرِ سُورَةِ الْحَشْرِ وَكَّلَ اللَّهُ بِهِ سَبْعِينَ الْفَ مَلَكٍ
يُصَلُّونَ عَلَيْهِ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنْ مَاتَ فِي يَوْمِهِ مَاتَ
شَهِيدًا وَمَنْ قَرَأَهَا حِينَ يُمْسِي فَكَذَلِكَ”
“Barangsiapa
yang mengucapkan ketika di pagi hari sebanyak tiga kali: “Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari
godaan syetan yang terkutuk lalu membaca tiga ayat terakhir Surat
Al-Hasyr maka Allah akan mewakilkan untuknya tujuh puluh ribu malaikat
yang bershalawat (berdoa) untuknya hingga sore hari dan jika ia
meninggal pada hari itu maka meninggal dalam keadaan mati syahid, dan
barangsiapa yang membaca ketika sore hari juga akan mendapatkan balasan
demikian”([5])
Oleh
karena itu semua dalil yang berbicara tentang keutamaan membaca Surat
Al-Hasyr semuanya adalah hadits yang dha’if. Akan tetapi secara umum
surat ini tetap dikatakan mulia karena ia merupakan bagian dari
ayat-ayat Al-Quran dan berlaku baginya keumuman hadits Nabi ﷺ:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa
yang membaca satu huruf dari Al-Quran maka ia akan mendapatkan satu
kebaikan dan satu kebaikan dilipat-gandakan menjadi sepuluh
kebaikan…”.([6])
dapun
sebab nuzul dari ayat ini adalah tentang kisah pengusiran Bani Nadhir,
Nabi ﷺ ketika datang ke Madinah disana telah ada 3 suku besar dari
kalangan Yahudi: Yang pertama adalah Bani Qainuqa’, yang kedua adalah
Bani Nadhir dan yang ketiga adalah Bani Quraizhah yang mereka merupakan
Yahudi yang berbeda jalur keturunan, sebagaimana telah diketahui bahwa
Yahudi memiliki dua belas “Asbath” yakni jalur keturunan dan di
antaranya adalah Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah namun
mereka semua sama-sama merupakan keturunan Yahudi. Barangkali ada yang
bertanya-tanya mengapa mereka tidak bergabung saja? Maka jawabannya
memang mereka tidak bergabung karena mereka berbeda suku namun tetap
mereka sama-sama keturunan Yahudi.
Tatkala
Nabi ﷺ datang ke kota Madinah maka Nabi ﷺ membuat perjanjian dengan
Yahudi yang dikenal sebagai “Watsiqatul-Madinah” atau disebut juga
sebagai Piagam kota Madinah yang di dalam piagam tersebut terdapat
kesepakatan antara penduduk kota Madinah yang isinya menyatakan
kesepakatan mereka baik itu kaum muslimin, kaum musyrikin maupun kaum
Yahudi untuk membela negeri tersebut. Jika ada yang menyerang dari luar
maka mereka harus bersama-sama berinfak dan berjuang untuk melawan musuh
tersebut dan mempertahankan kota tersebut. Hal ini disepakati oleh
semuanya termasuk orang-orang Yahudi sehingga Nabi ﷺ hidup bersama
orang-orang Yahudi dengan menghormati kondisi mereka, para orang Yahudi
pun tetap menjalankan ibadah mereka sebagai orang Yahudi dan tidak
diganggu oleh Nabi ﷺ dan beliau hanya mendakwahkan mereka agar mereka
masuk Islam namun beliau tidak pernah melarang mereka untuk beribadah
sesuai dengan ajaran agama mereka.
Nabi
ﷺ berinteraksi dengan mereka, berjual-beli dengan mereka. Bahkan disana
terdapat pasar yang bernama Pasar Bani Qainuqa’, dan biasa terjadi
jual-beli disana dengan kaum muslimin. Hiduplah orang-orang Yahudi
disana berdampingan dengan kaum muslimin di kota Madinah, namun akhirnya
mereka yakni orang-orang Yahudi tersebut berkhianat. Dan yang pertama
kali berkhianat adalah Bani Qainuqa’, dimana mereka berkhianat dan
membatalkan perjanjian damai dengan Nabi ﷺ sehingga mereka diusir dari
kota Madinah oleh Rasulullah ﷺ sehingga merekalah yang pertama keluar
dari kota Madinah.
Pada
tahun 2 Hijriyah terjadi perang Badar dan ketika itu kaum muslimin
menang sehingga orang-orang Yahudi semakin percaya bahwa dia inilah Nabi
yang kita tunggu-tunggu kehadirannya, buktinya adalah beliau berhasil
memenangkan perang Badar karena alasan Yahudi tinggal di kota Madinah
adalah karena mereka menunggu kedatangan Nabi yang terakhir, mereka
sengaja tinggal di kota tersebut karena telah mengetahui hal ini, Allah
berfirman tentang keadaan mereka:
يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
“Mereka (orang-orang Yahudi) mengenalinya (Nabiﷺ) sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri” QS Al-Baqarah: 146.
Maka
orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan yang
mendetail tentang Nabi ﷺ seperti pengetahuan terhadap anak sendiri
saking mendetailnya pengetahuan mereka. Bahkan mereka telah mengetahui
dimana Nabi tersebut akan berhijrah sehingga mereka memilih kota Madinah
sambil menunggu kedatangan Nabi terakhir untuk berhijrah. Namun ketika
Nabi ﷺ telah berhijrah kesana, mereka tidak beriman kepada Nabi ﷺ karena
ternyata Muhammad bukan dari kalangan Bani Isra’il dan ternyata beliau
berasal dari bangsa Arab sementara orang-orang Yahudi adalah orang-orang
yang fanatik dengan suku mereka, sedangkan keyakinan mereka adalah
mereka saja suku yang diakui oleh Allah Ta’ala, adapun orang-orang
selain mereka maka tidak ada yang diakui oleh Allah Ta’ala dan akan
memasuki neraka Jahanam, seperti inilah keyakinan orang-orang Yahudi.
Maka ketika keluar seorang Nabi terakhir tersebut mereka terpukul karena
ternyata Nabi terakhir tersebut dari bangsa Arab.
Setelah
selesai perang Badar yang dimenangkan oleh Nabi ﷺ maka Yahudi semakin
yakin bahwa ini adalah Nabi yang ditunggu-tunggu namun tetap saja mereka
tidak mau beriman. Ketika terjadi perang Uhud pada tahun ke 3 Hijriyah
dimana Nabi ﷺ dan kaum muslimin mengalami kekalahan bahkan sampai 72
orang Sahabat yang mati syahid di jalan Allah maka banyak orang-orang
Yahudi yang mulai berani menggangu Nabi ﷺ, pikir mereka sebagaimana
Muhammad bisa kalah dari suku Quraisy maka ada kemungkinan kita bisa
mengalahkannya bahkan memang pernah terjadi di kalangan Nabi-Nabi Bani
Isra’il terdahulu ada yang berhasil dibunuh, Allah sebutkan dalam
Al-Quran di antara keburukan orang-orang Yahudi:
وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Dan mereka (Yahudi) membunuh para Nabi dengan tanpa hak” QS An-Nisa: 155.
Jikalau ada Nabi yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka maka mereka akan membunuh Nabi tersebut.
أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
Apakah
setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang
tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa
orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain)
kamu bunuh (QS Al-Baqoroh : 87)
Begitu
pula dengan Nabi Muhammad ﷺ, meksipun yahudi mengetahui bahwa beliau
memang Nabi terakhir akan tetapi masih ada kemungkinan dia kalah dan ada
kemungkinan ia mati meskipun Yahudi memang benar-benar telah mengetahui
bahwa ia adalah Nabi. Demikianlah spekulasi orang-orang Yahudi, mereka
berpikir bahwa beliau memang Nabi namun masih ada kemungkinan kalah
buktinya adalah beliau kalah pada perang Uhud, dan mungkin saja mereka
berhasil membunuhnya karena nyatanya di antara Nabi-nabi terdahulu ada
juga Nabi-nabi yang berhasil dibunuh. Adapun perkara akhirat maka itu
nanti urusan mereka dengan Allah, pokoknya mereka tidak mau beriman
dengan Nabi ini. Orang-orang Yahudi memiliki keyakinan bahwa mereka
pasti masuk surga walaupun tanpa beriman dengan Muhammad ﷺ dan hasad
mereka sungguh luar biasa kepada kaum muslimin.
Ummul
mukminin Shofiyyah binti Huyay radhiallahu ánhaa (yang ayah beliau
Huyay bin Akthob adalah kepala suku bani Nadhiir) pernah berkata:
وَسَمِعْتُ
عَمِّي أَبَا يَاسِرٍ، وَهُوَ يَقُولُ لِأَبِي حُيَيِّ بْنِ أَخْطَبَ:
أَهُوَ هُوَ؟ قَالَ: نَعَمْ وَاَللَّهِ، قَالَ: أَتَعْرِفُهُ وَتُثْبِتُهُ؟
قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَا فِي نَفْسِكَ مِنْهُ؟ قَالَ: عَدَاوَتُهُ
وَاَللَّهِ مَا بَقِيتُ
“Dan
aku mendengar Abu Yasir pamanku berkata kepada Huyay bin Akhthob,
“Apakah Muhammad itu adalah nabi yang kita tunggu-tunggu?”. Ayahku
berkata, “Iya, demi Allah”. Pamanku berkata, “Apakah engkau sudah
mengenalnya dan sudah memastikannya?”. Ayahku berkata, “Iya”. Pamanku
berkata, “Bagaimana sikapmu terhadapnya?”. Ayahku berkata, “Memusuhinya,
demi Allah selama hidupku” ([7])
Maka
orang-orang Yahudi mulai berani mengganggu Nabi ﷺ hingga terjadi suatu
kejadian “Bi`ir Ma’unah” (sumur Ma’unah) tatkala ada 70 orang Sahabat
yang dipanggil untuk mengajar Al-Quran ternyata yang memanggil tersebut
berkhianat dan berujung para Sahabat yang dipanggil tersebut akhirnya
dibunuh.
Ketika
itu ada 1 orang yang sempat lolos dari pembunuhan tersebut yaitu ‘Amr
bin Umayyah Adh-Dhamariy, beliau berhasil kabur dan kembali ke kota
Madinah. Ketika di perjalanan ia bertemu dengan dua orang kafir dari
Bani ‘Amr atau Bani ‘Amir dan kedua orang kafir ini telah memiliki
perjanjian damai dengan Nabi ﷺ. Akhirnya sahabat tersebut bertemu dengan
dua orang kafir ini, maka ketika kedua orang kafir ini tertidur ia
membunuh keduanya karena ia menyangka bahwa kedua orang ini termasuk
dari golongan orang-orang yang telah membunuh 70 Sahabat tadi.
Lalu
sahabat ini sampai di kota Madinah, ia pun melaporkan kejadian tersebut
kepada Nabi ﷺ bahwasanya dia telah membunuh dua orang kafir namun Nabi ﷺ
kemudian menegur sahabat tersebut bahwasanya kedua orang tersebut telah
memiliki perjanjian damai dengan beliau dan tidak boleh untuk dibunuh
karena meskipun mereka kafir akan tetapi mereka dari golongan kafir
“mu’aahad” yang tidak boleh dibunuh yakni orang kafir yang telah
memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin, adapun kafir yang boleh
dibunuh hanyalah kafir “harbiy”.
Akhirnya
Nabi ﷺ memutuskan untuk membayar diyat dua orang kafir yang terbunuh
tersebut. Kabar wafatnya dua orang kafir tersebut sampai kepada suku
mereka. Ketika Nabi ﷺ ingin membayarkan diyatnya sedangkan beliau dalam
keadaan tidak memiliki harta, maka Nabi ﷺ ingin agar Bani Nadhir
membantu membayarkan diyat dua orang yang terbunuh tadi. Hal ini karena
keadaan Bani Nadhir yang memiliki banyak harta, bahkan mereka memiliki
beberapa benteng dan mereka pun memiliki banyak kebun kurma. Lalu Nabi ﷺ
pun menemui Bani Nadhir untuk meminta bantuan. Akan tetapi ketika Nabi ﷺ
hendak datang kepada mereka untuk meminta bantuan dalam membayar diyat,
orang-orang Yahudi tersebut ternyata sebalumnya telah rapat dan mereka
bersepakat untuk membunuh Nabi ﷺ dengan cara menyiapkan satu orang untuk
membawa “rahaa” (yakni alat untuk menggiling gandum yang terbuat dari
batu). Orang tersebut dipersiapkan di bagian atas rumah untuk
melemparkan “rahaa” (batu penggilingan) ke arah Nabi ﷺ sehingga beliau
mati. Lalu datanglah Nabi ﷺ namun rencana busuk pembunuhan tersebut
digagalkan oleh Jibril, sehingga Nabi ﷺ pun tidak jadi meminta bantuan
dari mereka bahkan beliau bersiap untuk menyerang mereka karena mereka
telah membatalkan perjanjian dengan rencana pembunuhan tersebut.
Lalu
Nabi ﷺ datang menyerang mereka dengan membawa pasukan lengkap. Ketika
Nabi ﷺ datang mereka ketakutan dan masuk ke dalam benteng-benteng mereka
dan mereka ingin kembali berdamai dengan Nabi ﷺ, namun ternyata Nabi ﷺ
memberikan mereka tempo selama sepuluh hari agar mereka keluar, jikalau
mereka tidak keluar maka mereka akan diperangi. Ketika mereka telah
bersikap untuk keluar dari kota Madinah, datanglah orang-orang munafik
yang diketuai oleh Abdullah bin Ubay bin Salul menemui orang-orang
Yahudi dan membujuk mereka agar tidak keluar dari kota Madinah dan
mengatakan bahwa orang-orang munafik ini berjumlah sekitar dua ribu
orang atau bahkan lebih. Orang-orang munafik berjanji akan membantu
mereka dan mereka mengajak untuk melawan Nabi ﷺ dan pasukannnya. Kaum
munafik berkata, “Jikalau kalian berperang niscaya kami akan perang
bersama kalian dan kalaulah kalian terusir maka kami pun akan ikut
terusir bersama kalian”. Demikian bujuk orang-orang munafik dan
perkataan orang-orang munafik ini Allah abadikan di akhir Surat Al-Hasyr
dimana mereka berkata manis di hadapan orang-orang Yahudi. Ketika
orang-orang Yahudi mendengar janji yang diucapkan oleh orang-orang
munafik maka orang-orang Yahudi pun bertahan di kota Madinah dan mereka
bersikap untuk perang. Mulailah terjadi awal peperangan antara Yahudi
melawan Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ mulai menyerang mereka dengan membakar
kebun-kebun kurma orang Yahudi dan mereka pun menjadi ketakutan.
Akhirnya mereka menyerah dengan cara mengirimkan surat kepada Nabi ﷺ dan
urunglah terjadi peperangan karena memang Allah lemparkan rasa takut di
dalam diri mereka di awal peperangan sehingga Nabi ﷺ pun mengusir
mereka. Karenanya surat yang menceritakan peristiwa ini disebut dengan
al-Hasyr, karena “al-Hasyr” artinya adalah pengusiran.
Intinya
Yahudi (bani Nadhiir) pun akhirnya terusir dari kota Madinah, sebagian
mereka mengungsi ke Syam dan sebagian lagi pergi ke Khaibar. Di antara
yang pergi ke Khaibar adalah Huyay bin Akhthob yang merupakan ayah dari
Shafiyyah sekaligus pemimpin dari bani Nadhiir. Karenanya Shofiyyah
disebutkan dalam biografi beliau dengan Shafiyyah bintu Huyay
An-Nadhiriyyah yang menunjukkan bahwa beliau dari kabilah Bani Nadhir.
Ketika
mereka keluar dari kota Madinah Nabi ﷺ mengizinkan mereka untuk membawa
barang-barang mereka yang bisa dibawa satu ekor unta. Mereka
diperbolehkan untuk membawa apa saja apakah berwujud emas atau perak
atau benda-benda lainnya selain senjata. Dan tiap keluarga hanya
diperbolehkan membawa bawaan (pikulan) satu ekor unta. Saat pengusiran
tersebut mereka membawa apa yang bisa dibawa bahkan mereka membongkar
rumah-rumah mereka agar bisa dibawa kayu-kayunya bersama mereka dan
membuat rumah yang baru dan mereka pikulkan di atas unta-unta mereka dan
mereka pun pergi meninggalkan kota Madinah. Inilah sebab nuzul dari
Surat Al-Hasyr yang maknanya adalah “Pengusiran” karena berisi tentang
pengusiran Bani Nadhir dari kota Madinah dan dinamakan juga sebagai
Surat Bani Nadhir. ([8])
Allah Ta’ala berfirman:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Telah
bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS Al-Hasyr: 1.
Pada awal surat ini, Allah menyebutkan bahwa segala sesuatu yang ada
di langit dan di bumi bertasbih mensucikan Allah karena Dia lah
satu-satunya Tuhan yang mengatur alam semesta sehingga Dia satu-satunya
Zat yang berhak untuk ditasbih dan disucikan, kemudian Allah berfirman:
…وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“…Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Oleh karena itu tidak
ada yang bisa lepas dari penguasaan Allah dan tidak ada yang bisa lepas
dari pengaturan Allah. Jikalau Allah berkehendak maka pasti akan
terjadi. Akan tetapi Dia Maha Kuasa sekaligus Maha Bijaksana yang
bermakna Kekuatan dan Keuasaan Allah tersebut lantas tidak menjadikan
Allah melakukan perbuatan yang tidak benar dan semua yang Allah putuskan
melainkan pasti ada hikmah dibalik itu semua, lain hal nya dengan
manusia jika memiliki kekuatan mayoritasnya adalah tidak memiliki sifat
bijaksana. Adakalanya seseorang memiliki power dan kekuatan namun itu
menjadikannya tidak baik dalam melakukan tindakan dan tidak bijaksana.
Keadaan sebaliknya ada juga orang yang memiliki sifat bijaksana namun
tidak memiliki kekuatan maka ini pun kurang manfaatnya maka
kebijaksanaannya tersebut hanyalah untuk dirinya dan tidak bisa
diterapkan untuk orang lain. Adapun Allah maka Dia mencakup semua sifat
terpuji tersebut Dia Maha Kuat, Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Pada
ayat ini Allah mengisyaratkan bahwa apa yang Allah putuskan atas Bani
Nadhir itu adalah keputusan yang terbaik dan itu keputusan yang amat
bijak.
Setelah Allah memuji Diri-Nya, Dia melanjutkan:
هُوَ
الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ
دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا
أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ
مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Dialah
yang mengeluarkan orang-orang kafir dari ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwasanya
benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah;
maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan
tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.” QS Al-Hasyr: 2.
Firman
Allah “orang-orang kafir dari ahli kitab” mengisyaratkan bahwa orang
kafir ada banyak jenisnya, ada jenis orang-orang kafir dari kalangan
Ahli Kitab, seperti Yahudi dan Nasrani, ada orang-orang kafir dari
kalangan musyrikin dan ada juga jenis orang-orang kafir dari kalangan
“Dahriyyin” atau Atheis. Hal ini karena sebab kekufuran ada banyak, ada
orang yang terhitung kufur karena kesyirikan, ada yang kufur karena
sebab tidak beriman kepada Nabi ﷺ seperti orang-orang Yahudi. Orang
Yahudi tidak dikenal dengan mempertuhankan Nabi Musa, tidak sebagaimana
Nasrani yang mereka mempertuhankan Nabi Isa namun di sisi lain lain,
sebagian orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwasanya Uzair adalah anak
Allah akan tetapi secara umum, orang-orang Yahudi mereka berdo`anya
adalah kepada Allah, lain halnya dengan Nasrani yang mereka meminta
hajat mereka kepada Nabi Isa. Orang Yahudi walaupun juga terdapat
kesyirikan akan tetapi dalam berdo`a mereka tetap arahkan kepada Allah
semata, hanya saja mereka tetap dihukumi kafir adalah dengan sebab
mereka tidak mau beriman kepada kenabian Nabi Muhammad ﷺ
Oleh
karena itu hingga hari ini masih cukup banyak “muwahhidun” dari
kalangan Nasrani, pernah ada seorang teman kandidat Doktor asal Amerika
dan ia menulis Disertasi nya dengan tema:
الْمُوَحِّدُوْنَ مِنَ النَّصَارى
“Orang
-orang yang bertauhid dari kalangan Nasrani” yaitu mereka yang beriman
bahwasanya Tuhan itu adalah Allah Ta’ala dan Nabi Isa bukanlah anak
Tuhan, beliau adalah utusan Allah sebagaimana utusan-utusan yang lain.
Akan tetapi mereka ini tidak beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan inilah
titik masalahnya, mereka bertauhid tetapi mereka tidak beriman kepada
Rasulullah ﷺ, maka tetap dihukumi kafir karena orang yang tidak beriman
dengan Nabi ﷺ memang dihukumi kafir sebagaimana dalam hadts yang shahih:
“وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ”
“Demi
Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat
ini yang mendengar tentang diriku apakah ia Yahudi atau Nasrani kemudian
ia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa
kecuali pastilah ia termasuk penghuni api neraka”.([9])
Oleh
karena itu dengan diutusnya Nabi ﷺ maka seluruh syari’at sebelumnya
menjadi mansukh (terhapus). Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa yang
diusir adalah orang-orang kafir dari kalangan Ahlu Kitab dan ini terjadi
di kota Madinah pada tahun ke 4 Hijriyyah karena surat ini adalah surat
madaniyyah, Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ
“Dialah
yang mengeluarkan orang-orang kafir dari Ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama…”, Ahli Kitab
yang dimaksud di ayat ini adalah Yahudi Bani Nadhir, adapun keterangan
“pada pengusiran yang pertama” sebagian ulama menjelaskan bahwasanya ini
menunjukkan mereka akan diusir untuk yang kedua kali, yang ketiga kali
dan seterusnya dan pertama kali mereka diusir adalah pengusiran dari
kota Madinah dimana mereka menunggu kedatangan Nabi terakhir disana
bahkan sampai membuat benteng-benteng ternyata penghujungnya mereka pun
diusir ke Khaibar oleh Rasulullah ﷺ dan sebagian mereka ke negeri Syam.
([10])
Kemudian
pada tahun 7 Hijriyyah terjadi pengusiran yang kedua, Nabi ﷺ usir
mereka dari kota Khaibar dan terjadi lagi pengusiran yang ketiga yang
dilakukan oleh Umar bin Khatthab yang beliau mengeluarkan seluruh Yahudi
dari Jazirah Arab ([11]) dan ini ditunjukkan oleh Firman Allah:
لِأَوَّلِ الحَشْرِ
“…pada pengusiran yang pertama” menunjukkan akan adanya pengusiran-pengusiran berikutnya yang akan mereka alami.
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:
مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا
“…kalian
tidak akan menyangka bahwasanya mereka akan terusir…”, yakni pengusiran
ini tidak pernah terbetik dalam hati-hati kaum muslimin karena Bani
Nadhir adalah suku yang hebat dalam peperangan ditambah mereka memiliki
persenjataan lengkap serta benteng yang banyak, ditambah lagi mereka
adalah orang-orang kaya yang memegang perekonomian, merekalah yang
menguasai kebun-kebun kurma di Madinah. Sebagaimana dijelaskan dalam
kisah Salman Al-Farisiy dimana ketika ia sampai di kota Madinah maka ia
bekerja kepada orang Yahudi yang ia memiliki kebun kurma, oleh karena
itu kondisi saat itu perekonomian dipegang kendalinya oleh orang-orang
Yahudi, mereka menguasai pasar, mereka memiliki kebun-kebun kurma serta
persenjataan yang banyak dan mereka pun memiliki benteng di kota
Madinah, sebagian ulama katakan mereka memiliki 4 benteng([12]),
sebagian mengatakan memiliki 6 benteng([13]), sehingga sama sekali tidak
terbetik di hati kaum mukminin bahwasanya orang-orang Yahudi suatu saat
akan meninggalkan negeri mereka, oleh karena itu Allah katakan :
“…kalian tidak akan menyangka bahwasanya mereka akan terusir…” karena
setiap orang yang datang atau lahir di Madinah maka akan melihat apa
yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi dan mereka memiliki segalanya dan
Allah pun jelaskan keadaan orang-orang Yahudi:
وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ
“…Dan merekapun menyangka bahwasanya benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari Allah…”
Banyak
manusia yang seperti ini, dimana mereka terlalu percaya diri akan
kemampuan mereka, kekuatan ilmu mereka, ekonomi yang mereka kendalikan,
sehingga membuat mereka lupa akan Yang Maha Kuasa kemudian Allah
jatuhkan mereka dan ini sungguh banyak terjadi.
Lalu Allah melanjutkan:
فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا
“…maka
Allah mendatangkan kepada mereka (bencana) dari arah yang tidak mereka
sangka-sangka…”, mereka tidak menyangka bahwasanya mereka akan terusir
karena secara perhitungan mereka mengira tidak akan mungkin dikalahkan
oleh kaum muslimin karena mereka memiliki segalanya bahkan memiliki
benteng-benteng, persenjataan yang lebih lengkap sehingga mereka tidak
akan menyangka bahwa mereka akan terusir, begitu pula kaum muslimin pun
tidak menyangka demikian, maka ini adalah sesuatu yang di luar dugaan
mereka.
Di
dalam peristiwa ini terdapat peringatan bagi kita agar jangan terlalu
percaya diri akan kemampuan kita sendiri namun dengan tetap meyakini
bahwa di balik itu semua terdapat Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa, seorang
muslim adalah orang yang berdo`a lalu berusaha kemudian menyerahkan
urusannya dengan tawakal kepada Allah, sebagaimana yang Allah firmankan:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“…jika
kalian telah bertekad kuat maka tawakkal lah kepada Allah…”QS Ali
Imran: 159, adapun jika telah bertawakkal kepada Allah maka silakan
tumbuhkan rasa percaya diri tersebut, yang rasa percaya diri tersebut
bukanlah semata karena diri kita sendiri akan tetapi karena Allah
Ta’ala, adapun seseorang jika terlalu percaya diri akan dirinya sendiri
maka ia akan terkena penyakit “ghurur” atau terpedaya akan dirinya
sendiri, maka inilah yang berbahaya. Seperti orang yang percaya diri
dengan ekonominya, percaya diri dengan kekuatan dirinya, percaya diri
dengan kecerdasannya sehingga itu semua membuatnya lupa akan Allah
Ta’ala. Jika telah sampai tingkat ini maka adakalanya seseorang terkena
musibah dari titik yang ia percaya diri akan keunggulan yang ia miliki
tersebut, sebagaimana yang terjadi pada orang-orang Yahudi dimana mereka
percaya diri akan kekuatan yang mereka miliki namun ternyata mereka
sampai terusir.
Lalu Allah melanjutkan:
وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ
“Dan
Allah melemparkan ketakutan di dalam hati mereka”, ketika orang-orang
Yahudi mendengar bahwasanya Nabi ﷺ akan menyerang mereka maka mereka
ketakutan padahal secara kekuatan peperangan mereka unggul, mereka
memiliki benteng-benteng, persenjataan banyak dan pasukan yang banyak
akan tetapi mereka ketakutan. Persiapan sehebat apapun namun jika telah
diliputi oleh ketakutan maka semua itu tidak ada gunanya, sebagaimana
orang yang berbadan besar namun jika telah ditimpa rasa takut maka itu
menjadi percuma, begitu pula dalam kasus ini Allah kirimkan tentaranya
berupa rasa takut di dalam hati mereka sehingga mereka pun ketakutan.
Kemudian Allah lanjutkan:
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“…mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin…”, yakni akhirnya mereka diserang oleh kaum muslimin
sehingga orang-orang Yahudi merusak rumah-rumah mereka sendiri dengan
tangan-tangan mereka dan juga tangan-tangan kaum mukminin, adapun
mengapa mereka merusak rumah-rumah mereka sendiri maka para ulama Tafsir
berbeda pendapat tentang hal ini menjadi beberapa pendapat:
- Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk melarikan diri maka ketika kaum muslimin menyerang dari arah depan maka mereka merusak rumah mereka dari arah belakang untuk bisa lari, maka maksudnya mereka merusak rumah mereka dalam rangka kabur dan melarikan diri, ini penafsiran sebagian ulama.
- Kedua, sebagian ulama menafsirkan bahwa mereka merusak rumah mereka dalam rangka menutup jalan kaum muslimin ketika masuk ke kampung mereka sehingga bagian yang dirusak tersebut menjadi rintangan di jalan kaum muslimin, ini penafsiran sebagian ulama.
- Ketiga, sebagian ada yang berpendapat bahwa mereka merusak rumah-rumah mereka untuk mengambil bagian kayu yang mereka inginkan dari rumah tersebut agar bisa membangun kembali rumah dengan kayu tersebut. Kayu di kala itu memang benda yang berharga sehingga mereka bisa membuat rumah dari kayu-kayu yang bagus tersebut. Sekaligus tentu saja mereka tidak ingin jikalau mereka pergi rumah-rumah yang bagus tersebut kemudian ditempati oleh kaum muslimin dalam keadaan bagus, maka menurut mereka lebih baik merusak rumah-rumah mereka sendiri daripada nantinya dipakai dan dinikmati oleh kaum muslimin. Hal ini karena hasadnya mereka terhadap kaum muslimin yang begitu besar sehingga tidak ingin jika nanti rumah-rumah mereka ditempati oleh kaum muslimin maka lebih baik dihancurkan dan mereka pikul kayu-kayu yang bisa dibawa di unta-unta mereka lalu pergi, dan inilah pendapat yang lebih tepat. ([14])
Allah berfirman:
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ
“…mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin…”, yakni kaum mukminin ketika mendapati
rumah-rumahnya telah dirusak maka kaum mukminin melanjutkan perusakan
rumah yang memang sudah rusak tersebut karena memang sudah tidak
bermanfaat dan tidak bisa ditempati maka lebih baik untuk dihancurkan
seluruhnya.
Kemudian Allah tutup ayat ini:
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“…Maka ambillah (dari kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang berakal”.
Para
ulama berdalil dengan ayat ini bahwasanya Qiyas adalah hujjah dalam
Ushul Fiqh karena Allah memerintahkan untuk mengambil pelajaran dari
kisah ini untuk mengambil hukum dan dibandingkan dari kejadian-kejadian
yang mirip dengan kejadian ini([15]), dimana Allah mampu menaklukkan
suatu kaum padahal mereka begitu kuat dan kokoh namun mereka bisa takluk
tanpa diduga sama sekali dan itu mungkin saja terjadi jika Allah telah
berkehendak demikian, sebagai buktinya adalah Bani Nadhir yang mereka
memiliki kekuatan fisik yang luar biasa baik senjata, benteng maupun
pasukan yang banyak dan mereka juga dikenal sebagai ahli berperang namun
Allah bisa kalahkan mereka tanpa ada peperangan sama sekali dengan cara
Allah lemparkan rasa takut pada mereka, sehingga akhirnya mereka keluar
dari negeri mereka sendiri. Maka hal serupa bisa saja terjadi pada
peristiwa-peristiwa yang lain.
Allah kemudian melanjutkan:
وَلَوْلَا أَنْ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَلَاءَ لَعَذَّبَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابُ النَّارِ
“Dan
kalaulah bukan karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka
(dari Madinah) niscaya Allah benar-benar akan mengazab mereka di dunia.
Dan bagi mereka di akhirat azab neraka.” QS Al-Hasyr: 3
Dalam
ayat ini Allah menjelaskan bahwa mereka memang telah ditakdirkan untuk
keluar dari kota Madinah, terusir seluruhnya dari kota Madinah dari
negerinya sendiri. Allah pun menyatakan kalaulah mereka tidak terusir
niscaya mereka akan disiksa dengan siksaan yang lain maka pengusiran
tersebut adalah hal yang ringan dibandingkan siksaan yang lain yang akan
mereka terima jika mereka tidak terusir, sebagaimana dirasakan oleh
Bani Quraizhah.
Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya bahwa orang-orang Yahudi ada tiga suku:
Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah, adapun Bani Qainuqa’ maka
juga diusir karena melanggar perjanjian, begitu pulan Bani Nadhir pun
terusir namun masih boleh untuk membawa barang-barang mereka sendiri,
mereka boleh membawa emas-emas mereka, perak-perak dan seluruh perhiasan
mereka bahkan kayu-kayu rumah mereka, semua itu dipersilahkan oleh Nabi
ﷺ selama masih bisa dibawa oleh satu unta per keluarga, maka itu adalah
pengusiran yang masih ada unsur kebaikan di dalamnya padahal secara
hukum asal Nabi ﷺ boleh untuk membunuh mereka karena mereka terlebih
dahulu yang berupaya untuk membunuh Nabi ﷺ, mereka terusir karena mereka
berusaha membunuh nabi ﷺ dengan cara melemparkan batu penggilingan
kepada Nabi ﷺ. Dengan sebeb ini tentu memperbolehkan bagi beliau untuk
membunuh mereka, namun beliau tidak melakukan hal tersebut dan lebih
memilih untuk membiarkan mereka pergi dengan membawa barang-barang
mereka.
Lain
halnya dengan suku yang ketiga yakni Bani Quraizhah yang juga mengalami
pengusiran namun mengalami nasib yang lebih tragis, dan mereka
mengalami pembunuhan pada tahun ke 5 Hijriyah ketika terjadi perang
Khandaq, Nabi ﷺ tidak membiarkan mereka pergi begitu saja ketika mereka
melakukan pengkhianatan akan tetapi beliau membunuh para lelaki mereka
karena mereka melakukan pengkhianatan di waktu-waktu genting dimana
orang kafir Quraisy datang membawa sepuluh ribu pasukan, maka ketika itu
Nabi ﷺ khawatir akan serangan dari luar, ternyata dari dalam kota
Madinah terdapat sekitar tujuh ratus orang Yahudi Madinah yang ingin
berkhianat sedangkan kaum muslimin sedang lemah dan hanya berjumlah
sekitar dua ribu pasukan yang berhadapan dengan sepuluh ribu pasukan
kafir musyrikin.
Oleh
karena itu setelah selesainya perang Ahzab atau perang Khandaq ini dan
tentara kafir yang berjumlah sepuluh ribu pasukan tadi kabur kembali
maka lalu Nabi ﷺ balik menyerang Bani Quraizhah yang kisahnya termaktub
dalam Sirah Nabi ﷺ. Untuk kali ini, Nabi ﷺ bunuh para lelaki di antara
mereka karena mereka hendak membasmi kaum muslimin hanya saja mereka
terlanjur kalah, seandainya saja pasukan kafir yang berjumlah sepuluh
ribu tersebut berhasil masuk ke kota Madinah niscaya kaum muslimin akan
binasa seluruhnya, oleh karena itu balasan mereka lebih keras daripada
Yahudi sebelumnya yakni mereka dihukum bunuh. Oleh karena itu Allah
berfirman: “Dan kalaulah bukan karena Allah telah menetapkan pengusiran
terhadap mereka (dari Madinah) niscaya Allah benar-benar akan mengazab
mereka di dunia…” yakni bisa saja mereka terbunuh sebagaimana
saudara-saudara mereka dari kalangan Bani Quraizhah kalaulah mereka
tidak terusir dari Madinah([16]), Yang uniknya ketika Bani Nadhir
terusir dari kota Madinah maka Yahudi Bani Quraizhah yang ada di kota
Madinah berlepas tangan dan tidak membantu sama sekali padahal mereka
memiliki hubungan darah karena sama-sama keturunan Yahudi. Adapun Bani
Nadhir maka mereka seluruhnya merupakan keturunan Nabi Harun akan tetapi
mereka kufur kepada Allah Ta’ala padahal mereka adalah keturunan yang
mulia([17]), oleh karena itu ketika ada orang yang mencela Shafiyyah
maka Nabi ﷺ menghibur Shafiyyah dan mengatakan kepadanya bahwasanya dia
adalah keturunan Nabi Harun dan suaminya adalah Nabi Muhammad ﷺ maka
sungguh ia tidak memiliki kekurangan. ([18])
Adapun
Bani Quraizhah mereka terbunuh pada tahun berikutnya pada tahun ke 5
Hijriyah, oleh karena itu Allah mengatakan seandainya saja mereka tidak
jadi terusir dari kota Madinah niscaya mereka akan merasakan azab yang
lain di dunia berupa pembunuhan dan bukan hanya itu saja namun ditambah
dengan firman-Nya:
وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابُ النَّارِ
“Dan bagi mereka di akhirat azab neraka”,
Maka
kalian wahai Bani Nadhir siksaan untuk kalian bukan hanya berupa
pengusiran saja akan tetapi azab Jahanam telah menunggu kalian di
akhirat kelak yang lebih pedih yaitu azab neraka Jahannam.
Mengapa Bani Nadhir sampai diberi azab seperti ini? Allah jawab pada ayat selanjutnya:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِّ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah menentang Allah
dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. QS Al-Hasyr: 4
Makna dari kata:
الْمُشَاقَّةُ
“Pertentangan
atau oposisi” terhadap Allah dan Rasul-Nya, seakan-akan secara Bahasa
Arab mereka berada di شِقٍّ (satu sisi) sedangkan Allah dan Rasul-Nya
berada di شِقٍّ آخَرَ (sisi yang lain) sehingga maknanya adalah mereka
ini senantiasa oposisi terhadap Allah dan Rasul-Nya, tanpa henti
menentang Allah dan Rasul-Nya oleh karena itu mereka berhak untuk diusir
dan juga berhak atas neraka Jahanam di akhirat kelak.
Allah melanjutkan:
وَمَنْ يُشَاقِّ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“…dan
barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya”, dan tidak ada yang mengetahui hakikat pasti
dari azab Allah kecuali Allah Ta’ala, oleh karena itu di ayat yang lain
Allah menegaskan:
لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ * وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ
“Tidak
ada seorang pun yang mengazab sebagaimana azab-Nya, dan tidak ada
seorang pun yang membelenggu sebagaimana belenggu-Nya”. QS Al-Fajr:
25-26
Seandainya
di dunia ini seseorang ingin berimajinasi berbagai macam bentuk siksaan
maka tetap azab Allah adalah azab yang lebih pedih daripada semuanya
itu, oleh karena itu Allah tutup dengan ayat ini:
فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“…sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”,
Maka
perkara pengusiran mereka yang mereka alami di dunia ini sungguhlah
teramat ringan dibandingkan dengan azab yang pedih yang menunggu mereka.
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
“Apa
saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau
yang kamu biarkan berdiri di atas akarnya maka (semua itu) adalah dengan
izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada
orang-orang fasik”.QS Al-Hasyr:5
Ketika
Nabi ﷺ menyerang Bani Nadhir, beliau perintahkan sebagian Sahabat untuk
membakar sebagian pohon-pohon kurma yang itu merupakan sumber
perekonomian mereka, pohonnya ditebang lalu dibakar, ditebang lagi lalu
dibakar lagi yang bertujuan untuk membuat mereka ketakutan karena
ternyata sumber penghidupan mereka dibakar oleh kaum muslimin sehingga
mereka semakin takut. Nabi ﷺ sengaja memerintahkan untuk dibakar agar
membuat mereka semakin takut. Ketika Nabi ﷺ melakukan pembakaran
tersebut maka orang-orang Yahudi protes kepada beliau dan berkata
bahwasanya Nabi-Nabi terdahulu tidak ada yang melakukan pembakaran
seperti ini, bukankah engkau diutus untuk mengadakan perbaikan di muka
bumi namun mengapa engkau melakukan perusakan maka ketika mereka berkata
seperti itu. Nabi ﷺ menjadi tertegun dan memang mereka memiliki
pengetahuan tentang Nabi-Nabi terdahulu. Yaitu Nabi-Nabi sebelumnya yang
telah diutus tidak ada satupun yang melakukan perusakan, mereka
(Yahudi) berkata kepada Nabi, “Mengapa engkau melakukannya sedangkan
nabi-nabi sebelumnya tidak ada yang melakukan hal seperti ini padahal
engkau diutus untuk melakukan kebaikan namun mengapa engkau membakar
pohon-pohon kurma milik kami yang merupakan sumber ekonomi kami?”,
demikian protes kaum Yahudi([19]). Lalu Allah menurunkan ayat ini:
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ
“Apa
saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau
yang kamu biarkan berdiri di atas akarnya maka (semua itu) adalah dengan
izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada
orang-orang fasik”
Kata لِيْنَة
dalam bahasa Arab makna asalnya adalah “lembut” namun yang dimaksud
dalam ayat ini adalah pohon kurma yang mengisyaratkan bahwa di zaman
dahulu jika seseorang memiliki pohon kurma maka sesungguhnya ia berada
dalam hidup yang nyaman sehingga tidak perlu takut akan kelaparan karena
ia bisa memakan kurma tersebut dan tidak perlu takut akan kemiskinan
karena ia juga bisa menjual kurmanya oleh karena itu disebut sebagai لِيْنَةٌ
dalam Bahasa Arab yang memiliki makna “kelembutan” dan “kenyamanan”
bagi orang yang memiliki pohon kurma, dari sisi makanan yang enak dan ia
juga bisa kembali menjualnya sehingga membeli makanan lainnya dan
manfaat lainnya, oleh karena itu pohon kurma disebut dengan لِيْنَة.
Maka dalam ayat ini Allah membela Nabi-Nya ﷺ dengan firman-Nya:
مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ
“Apa
saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau
yang kamu biarkan berdiri di atas akarnya maka (semua itu) adalah dengan
izin Allah”, yakni Allah Ta’ala membenarkan ijtihad Nabi ﷺ tersebut
untuk membakar pohon-pohon kurma karena pembakaran ini ada tujuannya
yaitu membuat orang-orang Yahudi ketakutan dan bertekuk lutut, maka
perbuatan tersebut memiliki tujuan walaupun memang yang demikian ini
bukanlah kebiasaan Nabi ﷺ untuk melakukannya, beliau bukanlah orang yang
suka membuat kerusakan di muka bumi hanya saja perbuatan ini dapat
membuat perekonomian Yahudi dilemahkan oleh karena itu Nabi ﷺ
melakukannya. Sebagian dari pohon-pohon kurma tersebut dibiarkan oleh
Nabi ﷺ karena nanti itu akan diambil oleh kaum muslimin setelah
kepergian Yahudi dari negeri mereka oleh karena itu tidak dibakar
seluruhnya oleh Nabi ﷺ namun beliau hanya membakar sebagiannya saja.
Seolah dalam ayat ini Allah ingin membela Nabi-Nya dengan berkata,
“Apakah engkau ingin membakar pohon-pohon kurma tersebut, wahai Muhammad
atau engkau biarkan maka semuanya itu telah aku izinkan” dan juga di
antara tujuannya adalah sebagaimana yang Allah tutup dalam firman-Nya:
وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ
“… dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik…”
Yaitu,
semua itu agar menjadikan orang-orang Yahudi tersebut terpukul,
merasakan sakit hati dengan pohon-pohon kurma mereka dibakar sehingga
tidak ada artinya lagi bagi mereka untuk bersikeras tinggal di tempat
tersebut karena tidak ada lagi harta mereka dan sumber ekonomi mereka
karena telah dibakar dan inilah di antara strategi perang Nabi ﷺ.
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:
وَمَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ
مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى
مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Apa
yang Allah berikan sebagai fai’ kepada RasulNya dari harta orang-orang
Yahudi Bani an-Nadhir, kalian tidak menyerangnya dengan pasukan berkuda
dan berunta untuk mendapatkannya, tetapi Allah menjadikan RasulNya
berkuasa atas siapa yang Dia kehendaki dari musuh-musuhNya, lalu mereka
menyerah tanpa perang. Harta fai’ adalah harta orang-orang kafir yang
diambil tanpa perang. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, tidak ada
sesuatu pun yang melemahkan–Nya”.QS Al-Hasyr:
Kata أَفَاءَ berasal dari kata الْفَيْئ
yang maknanya adalah “kembali” artinya Allah mengembalikan harta Allah
yang ada pada Bani Nadhir lalu dikembalikan kepada Rasulullah ﷺ.
Ini
merupakan dalil bahwa harta hakikatnya adalah milik Allah. Allah hanya
menitipkan amanah kepada kita untuk mengurus harta tersebut. Karenanya
harta yang ada di tangan kita biasanya sebelumnya berada di tangan orang
lain terlebih dahulu kemudian berpindah ke tangan kita, seperti harta
si penjual yang sebelumnya ada di tangan si pembeli atau seperti harta
si anak yang tadinya berasal dari orang tuanya. Karenanya harta yang
kita miliki tersebut akan berpindah ke tangan orang lain apakah dengan
akad jual-beli, dengan memberikan, menghadiahkan, atau diwariskan kepada
ahli waris sepeninggal kita, atau cara perpindahan harta lainnya.
Karena itu Allah berfirman:
وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“…dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya, maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.QS
Al-Hadid: 7.
Semua
harta yang kita miliki hakikatnya bukan milik kita, lalu Allah yang
menjadikan kita menguasainya dan memegangnya, dan suatu saat akan kita
gunakan kembali dan berpindah ke tangan orang lain seperti ke tangan
ahli waris sepeninggal kita. Oleh karena itu Allah berfirman kepada
Rasul-Nya:
وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ…
“Dan
harta yang Allah kembalikan kepada Rasul-Nya…”, yakni harta tersebut
Allah ambil dari Bani Nadhir lalu dikembalikan kepada Rasul-Nya
مِنْهُمْ …
“Dari mereka” yakni dari Bani Nadhir
فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ
“…kalian
tidak menyerangnya dengan pasukan berkuda dan berunta untuk
mendapatkannya…” maka Allah yang sebenarnya menjadikan mereka kalah dan
Allah yang membuat mereka takut tanpa ada peperangan sama sekali kecuali
hanya di awal-awal saja terdapat perlawanan namun kemudian mereka
menyerah tanpa ada pertempuran pedang beradu dengan pedang. Ketika itu
kaum muslimin pergi ke pemukiman Bani Nadhiir tanpa perlu menaiki
kuda-kuda karena jarak antara Masjid Nabawi ke sana hanya 2 mil saja
atau sekitar 3,6 kilometer. Nabi ﷺ dan para Sahabat pergi ke sana tanpa
menaiki kuda tidak pula unta kecuali di sebagian riwayat ada yang
menyebutkan Nabi ﷺ menaiki unta, sebagian riwayat menyebutkan bahwa
beliau menaiki keledai. Inti dari ayat ini, Allah menyebutkan bahwa
harta tersebut Allah berikan kepada kalian tanpa ada perjuangan keras
dari kalian bahkan kalian tidak perlu memacu kuda yang cepat dan tidak
pula perlu menunggangi unta. ([20]
Allah melanjutkan:
وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ
“Akan
tetapi Allah berikan kekuasaan kepada rasul-Nya atas siapa saja yang
Allah kehendaki dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Yakni Allah menangkan kaum muslimin tanpa ada perjuangan dan tanpa ada peperangan.
Setelah itu Allah berfirman:
مَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa
saja harta rampasan (fai`i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya”.QS Al-Hasyr: 7
Nabi ﷺ menguasai tanah Bani Nadhir tersebut dengan cara “fai`i”
sebagaimana dikemudian hari juga beliau menguasai tanah Fadak dan tanah
Bani Quraizhah juga dengan cara “fai`i”. Terdapat perbedaan antara harta
“fai`i” dengan “ghanimah”. Ghanimah adalah harta rampasan perang
setelah melalui peperangan dengan musuh. Musuh tersebut akhirnya kalah,
baik mati ataupun pun kabur, maka harta yang mereka tinggalkan tersebut
disebut dengan “ghanimah” ([21]). Adapun “fai`i” maka itu adalah harta
musuh yang diperoleh setelah mereka kabur tanpa ada peperangan terlebih
dahulu. Hukum keduanya berbeda.
Adapun perkara “ghanimah” maka Allah telah berfirman tentang hal ini:
وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ
وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ
كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ
“Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang,
maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil, jika kamu beriman kepada
Allah…”.QS Al-Anfal:41.
Dalam
ayat Al-Anfal tersebut ghanimah dibagi 5 bagian, bagian 20% untuk Allah
dan Rasul-Nya yang kemudian dibagikan untuk kerabat Nabi ﷺ anak-anak
yatim, fakir miskin dan ibnus-sabil sedangkan sisanya 80 % dibagi-bagi
antara para pahlawan dan para mujahid di jalan Allah maka inilah
pembagian ghanimah.
Adapun
harta “fai`i” maka berbeda, para mujahid tidak mendapatkan bagian ini,
ini adalah hak seluruhnya bagi Nabi ﷺ dan beliau memiliki kebebasan
penuh untuk membagi-bagikannya karena harta “fai`i” diperoleh tanpa ada
peperangan sama sekali oleh karena itu berbeda hukumnya. ([22])
Adapun وَلِذِيْ القُرْبَى
“Kaum karib kerabat” disini maksudnya adalah karib kerabat Nabi ﷺ yakni
Ahli bait dari kalangan Bani Hasyim([23]) namun Nabi ﷺ tidak bagikan
kepada Bani Abdi Manaf walaupun secara nasab aslinya mereka Ahli bait
Nabi ﷺ akan tetapi ketika terjadi pemboikotan terhadap Nabi ﷺ di kota
Mekkah oleh orang-orang kafir Quraisy, mereka (Bani Abdi Manaf) tidak
membela Nabi ﷺ dan yang membela Nabi ﷺ hanyalah Bani Hasyim. Walaupun
Bani Hasyim kafir ketika itu namun mereka tetap membela Nabi ﷺ ketika
terjadi pengepungan tersebut selama 3 tahun. ([24])
Ketika
diboikot tersebut, Nabi ﷺ berlindung di suatu tempat bernama “Syi’b Abu
Thalib” yang itu merupakan wilayah tanah milik Abu Thalib yang berada
di antara gunung-gunung yang semuanya bernaung disana, seluruh kaum
muslimin yang ada termasuk Bani Hasyim. Bani Hasyim tersebut aslinya
adalah dari kaum musyrikin namun karena sama dengan Nabi ﷺ dari suku
Bani Hasyim maka mereka membela Nabi ﷺ padahal mereka kafir dan di
antaranya adalah Abu Thalib, oleh karena itu setelah mereka masuk Islam
maka mereka dinamakan Ahli bait Nabi ﷺ.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan وَلِذِيْ القُرْبَى
“Kaum karib kerabat” pada ayat ini adalah Ahli bait keluarga kerabat
Nabi ﷺ yang diharamkan atas mereka sedekah, adapun harta “fai`i” maka
boleh bagi mereka untuk memakannya.
Allah juga menyebutkan “وَاليَتَامَى”
(anak-anak yatim), dan definisi anak yatim adalah anak yang belum
baligh yang ayahnya telah meninggal dunia, oleh karena itu jika ada anak
yang telah meninggal dunia ibunya maka ini bukanlah anak yatim dalam
Islam karena masih ada ayahnya yang menafkahinya dan mengurusnya, hal
ini berbeda dengan kebiasaan yang ada di Indonesia, jika ada yang salah
satu orang tuanya meninggal apakah ayah atau ibu maka itu disebut
sebagai yatim, adapun jika meninggal keduanya maka itu disebut yatim
piatu. Adapun dalam Islam, jika ayahnya masih hidup maka tidak dinamakan
sebagai anak yatim. Begitu pula anak tersebut jika sudah mencapai usia
baligh maka ia bukanlah anak yatim lagi, hanya saja kebanyakannya
seorang anak yatim tadi jika mencapai usia baligh walaupun tidak
dinamakan sebagai yatim dalam Islam biasanya ia tetap dalam keadaan
miskin karena tidak adanya ayah yang menafkahinya. Maka orang tersebut
tetap berhak menerima zakat hanya saja berbeda status, ketika belum
baligh maka ia berhak menerima harta zakat tersebut sebagai “yatim”,
adapun setelah masa balighnya maka ia tetap berhak menerima sebagai
“miskin”.
Allah pun kembali melanjutkan “وَالْمَسَاكِيْنَ”,
orang-orang miskin adalah orang-orang yang memiliki penghasilan namun
penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya, seperti ada
orang yang kebutuhan keluarganya adalah 5 juta rupiah per bulannya namun
penghasilannya adalah 4,5 juta rupiah maka pada hakikatnya orang ini
masih tergolong sebagai orang miskin, selama penghasilannya tidak
memenuhi kebutuhannya yang pokok dan wajar maka dia masih tergolong
sebagai orang miskin yang berhak menerima harta “fai`i” dan juga harta
zakat.
Allah berfirman “وَابْنُ السَّبِيْل”,
ibnus-sabil dalam ayat ini adalah orang yang mengadakan safar sehingga
ia merupakan orang asing yang dari negerinya dan kehabisan bekal dalam
safar tersebut([25]) maka orang seperti ini diperbolehkan baginya untuk
diberikan harta “fai`i” sekadar harta yang cukup baginya untuk pulang ke
kampungnya sendiri dengan bekal tersebut. Misalnya di Indonesia sini
ada orang dari luar negeri kemudian ia jatuh miskin sehingga tidak bisa
pulang ke negaranya maka ia berhak untuk diberikan harta tersebut yang
cukup baginya untuk biaya pesawat beserta bekal dalam perjalanannya
tersebut.
Maka 5 golongan inilah yang Allah katakan:
فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“…maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil…”, inilah pembagian harta
“ghanimah”.
Adapun
harta “fai`i” maka Nabi ﷺ berkuasa penuh untuk membagikannya sedangkan
para mujahid maka tidak mendapatkan bagian tersebut karena tidak terjadi
peperangan. Nabi berhak untuk membagikan berdasarkan ijtihad pribadi
beliau. Adapun setelah Nabi ﷺ meninggal maka harta ini dikembalikan
kepada ijtihad penguasa, apakah diberikan kepada kaum muslimin yang
membutuhkan ataukah dimasukkan ke baitul-mal dan sama sekali tidak
dibagikan kepada para mujahid.
Maka
dalam bab jihad ada yang dinamakan “ghanimah” dan ada pula yang bernama
“fai`i”, disamping itu ada pula yang dinamakan “nafal” ([26]) yaitu
hadiah khusus di luar pembagian “ghanimah” yang diberikan kepada para
mujahid khusus karena kehebatannya dalam peperangan atau kelebihan
lainnya atau kurang lebih seperti bonus yang diberikan kepada sang
mujahid tersebut. Selain yang disebutkan tersebut ada juga yang bernama
“salab” yang jika seorang muslim berhadapan dengan seorang kafir
kemudian si muslim berhasil membunuh si kafir maka segala yang ada di
tubuh si kafir berhak untuk diambil oleh si muslim([27]). Di zaman
dahulu -dalam peperangan- adakalanya seorang kafil memakai benda yang
mahal seperti perisai yang mahal atau sarung pedang yang dihias dengan
emas atau kuda yang kuat dan dihiasai, maka semuanya itu boleh diambil
oleh sang mujahid yang berhasil mengalahkannya. Dan “salab” maupun
“nafal” ini merupakan bagian dari “ghanimah”.
Di
samping itu ada juga “jizyah” yaitu harta yang dibayarkan oleh
orang-orang kafir yang tunduk kepada kaum muslimin dalam negeri kaum
muslimin, seperti “kafir dzimmiy” yang mereka tinggal di tengah kaum
muslimin maka ia harus membayarkan “jizyah” sebagai bukti ketundukan
kepada negara Islam. Maka dalam bahasan ini ada beberapa istilah, di
antaranya adalah “ghanimah”, “nafal” dan “salab” yang berhubungan dengan
“ghanimah” lalu ada juga “fai`i” yang diperoleh tanpa peperangan, dan
adapula “jizyah” yang merupakan bukti ketundukan negara kafir kepada
negara Islam dengan menyerahkan sejumlah harta kepada negara Islam, maka
inilah jenis-jenis harta yang disebutkan dalam istilah Fiqh jihad
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“…supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu…”, oleh karena itu syari’at Islam membagi-bagi harta tersebut, ada
bagian untuk fakir miskin, ada bagian untuk anak-anak yatim dan juga ada
bagian untuk ibnus-sabil
Dan juga Allah berfirman:
مَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa
saja harta rampasan (fai`i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya”.QS Al-Hasyr: 7
Allah pun berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya”,
Ayat
ini mengingatkan para Sahabat karena ketika mereka berperang dengan
Bani Nadhir ternyata sebagian para Sahabat tidak mendapatkan bagian maka
pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalian wahai kaum mslimin
mendapatkan harta ini tanpa harus ada pertempuran, tanpa ada penyerangan
dan tanpa bawa kuda sama sekali maka semuanya dikembalikan kepada Nabi
ﷺ, apa yang Nabi ﷺ putuskan maka wajib kaum muslimin menerimanya. Dan
ini cukup berat karena sebagian orang adakalanya shalih dalam hal selain
harta namun dalam hal harta ia tidak shalih. Banyak kasus terjadi, dua
orang shalih yang bersahabat lalu mereka berdua bekerja bersama dalam
urusan bisnis, akhirnya mereka berdua bertengkar karena urusan harta.
Ini disebabkan karena kecintaan terhadap harta merupakan tabiat manusia
sampai tidak ingin bagiannya terkurangi sedikit pun.
Dalam
perang tersebut, para Sahabat berangkat bersama Nabi ﷺ kemudian mereka
menyerang Bani Nadhir sehingga mereka kabur dan meninggalkan banyak
harta namun Nabi ﷺ sama sekali tidak memberikan kepada para Sahabat,
tentu saja pada hal yang seperti ini terdapat keberatan pada Sahabat,
karena biasanya jika mereka berjihad mereka selalu mendapatkan bagian,
adapun kali ini mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali. Maka Allah
jelaskan bahwa harta “fai`i” tersebut murni dari Allah tanpa ada
peperangan sama sekali dan kembali Allah menegaskan dengan ayat-Nya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah”, dan inilah pasti hal yang terbaik karena
Allah memiliki sifat العَزِيْز yang bermakna Maha Perkasa dan juga الْحَكِيْمُ yang bermakna Maha Bijaksana maka keputusan Allah pastilah bijaksana.
Ayat
ini secara khusus berkaitan tentang pembagian harta “fai`i” dan disini
Allah memerintahkan para Sahabat untuk tunduk kepada keputusan Nabi ﷺ
dan tidak boleh protes sama sekali, namun ada kaidah umum dalam ilmu
Tafsir disebutkan:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللّفْظِ لَا بْخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang
menjadi patokan adalah keumuman lafazh dan bukanlah kekhususan sebab”,
walaupun ayat ini pada asalnya adalah berbicara tentang keputusan Nabi ﷺ
terkait hukum “fai`i” agar para Sahabat menerima keputusan tersebut,
akan tetapi lafazh ini diberlakukan secara umum untuk bisa menghukumi
segala permasalahan agama. Ketika Nabi ﷺ telah mengharamkan sesuatu maka
haruslah kita katakan haram, sebaliknya ketika Nabi ﷺ membolehkan
sesuatu maka kita pun harus menerimanya ([28]) dan tidak boleh seorang
muslim melakukan protes karena Allah Ta’ala juga berfirman di ayat yang
lain:
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya”. QS AN-Nisa: 65.
Oleh
karena itu kita wajib menerima segala macam syariat Allah, jika kita
seorang muslim maka kita harus senantiasa mengikrarkan:
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Aku
ridho Allah sebagai Rabbku dan aku ridho Nabi Muhammad sebagai
Rasulku”, maka ,kita wajib berserah diri terhadap keputusan Nabi ﷺ
seperti masalah jilbab ketika diwajibkan maka tidak boleh kita
memprotesnya: “Mengapa jilbab ini diwajibkan”?, karena yang demikian
menunjukkan ketidak-ridhoan atas keputusan Nabi ﷺ, dan jika kita tidak
setuju Nabi ﷺ sebagai utusan Allah maka silakan cari utusan yang lain.
Masalah lainnya, jika ada yang mengatakan: “Mengapa shalat 5 waktu
diwajibkan?” Maka jika Anda tidak setuju berarti Anda tidak setuju akan
kondisi Nabi ﷺ sebagai seorang Rasul. Oleh karena itu di antara bacaan
zikir pagi dan petang yang senantiasa dianjurkan:
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Aku ridho Allah sebagai Rabbku dan Islam sebagai agamaku dan aku ridho Nabi Muhammad sebagai Rasulku”,
Hal
ini adalah agar kita selalu ingat bahwa kita harus selalu tunduk
terhadap keputusan Nabi Muhammad ﷺ dan apapun keputusan beliau
hakikatnya itulah keputusan yang terbaik dan diridhoi oleh Allah Ta’ala.
Keumuman
ayat ini didukung dengan pemahaman para sahabat akan hal tersebut. Imam
Al-Qurthubiy menyebutkan dari Sahabat Ibnu Mas’ud:
لَقِيَ
ابْنُ مَسْعُودٍ رَجُلًا مُحْرِمًا وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ فَقَالَ لَهُ:
انْزِعْ عَنْكَ هَذَا. فَقَالَ الرَّجُلُ: أَتَقْرَأُ عَلَيَّ بِهَذَا
آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى؟ قَالَ: نَعَمْ، وَما آتاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.
Ibnu
Mas’ud bertemu dengan seseorang yang ihram sambil memakai pakaian lalu
Ibnu Mas’ud berkata kepada orang tersebut: “Lepaskan pakaian ini dari
dirimu!” lalu si lelaki berkata: “Apakah engkau bisa bawakan dalil
larangan dari Qur`an?” lalu Ibnu Mas’ud jawab: “Ya”, “Dan apa-apa yang
dibawa oleh Rasulullah ﷺ maka ambillah dan apa-apa yang dilarang oleh
beliau maka tinggalkanlah”([29])
Dan
Nabi ﷺ telah melarang ihram dengan memakai pakaian berjahit dan ayat
ini juga menjelaskan bahwasanya seluruh keputusan Nabi ﷺ ada dalam
Qur`an.
Imam Asy-Syafi’iy pernah ditanyakan kepadanya:
مَا
تَقُولُ- أَصْلَحَكَ اللَّهُ- فِي الْمُحْرِمِ يَقْتُلُ الزُّنْبُورَ؟
قَالَ فقال: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى: وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا. وَحَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَبْدِ
الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ
الْيَمَانِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: (اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ).
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ابن عُيَيْنَةَ عَنْ مِسْعَرِ بْنِ كِدَامٍ عَنْ
قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- أَنَّهُ أَمَرَ بِقَتْلِ
الزُّنْبُورِ. قَالَ عُلَمَاؤُنَا: وَهَذَا جَوَابٌ فِي نِهَايَةِ
الْحُسْنِ، أَفْتَى بِجَوَازِ قَتْلِ الزُّنْبُورِ فِي الْإِحْرَامِ،
وَبَيَّنَ أَنَّهُ يَقْتَدِي فِيهِ بِعُمَرَ، وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِالِاقْتِدَاءِ بِهِ، وَأَنَّ اللَّهَ
سُبْحَانَهُ أَمَرَ بِقَبُولِ مَا يَقُولُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَوَازُ قَتْلِهِ مُسْتَنْبَطٌ مِنَ الْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ.
“Apa
pendapatmu tentang hukum membunuh tawon bagi orang yang ihram? Lalu
Imam Asy-Syafi’iy menjawab: “Apa-apa yang datang kepadamu dari
Rasulullah maka ambillah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ
maka tinggalkanlah”.
Sufyan
bin Uyaynah telah menyampaikan kepada kami dari Abdul-Malik bin ‘Umair
dari Rib’iy bin Hirasy dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwasanya Nabi ﷺ
bersabda: “Ikutilah dua orang sepeninggalku: Abu Bakar dan Umar”. Sufyan
bin Uyaynah juga telah menyampaikan kepadaku dari Mis’ar bin Qidam dari
Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dari Umar bin Khatthab
bahwasanya beliau memerintahkan untuk membunuh tawon”. ([30])
Dalam
riwayat ini seakan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwasanya bolehnya
membunuh tawon adalah fatwanya Umar dan Nabi ﷺ dalam haditsnya
perintahkan kita untuk mengikuti Abu Bakar dan Umar sedangkan Allah
telah perintahkan kita untuk mengikuti Nabi ﷺ. Maka urutannya adalah :
Allah memerintah untuk mengikuti Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ memerintahkan untuk
mengikuti Umar, dan beliau telah berfatwa akan kebolehan membunuh tawon.
Jika seseorang yang sedang ihram diganggu tawon maka boleh baginya
untuk membunuh tawon tersebut.
Demikian pula riwayat Ibnu Mas’ud dalam Shahih Muslim:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَعَنَ اللَّهُ
الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ
وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ” فَبَلَغَ
ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ،
فَجَاءَتْ فَقَالَتْ: بَلَغَنِي أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ!
فَقَالَ: وَمَا لِي لَا أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ! فَقَالَتْ: لَقَدْ
قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ فَمَا وَجَدْتُ فِيهِ مَا تَقُولُ.
فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ لَقَدْ وَجَدْتِيهِ! أَمَا قَرَأْتِ
وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا!
قَالَتْ: بَلَى. قَالَ: فَإِنَّهُ قَدْ نَهَى عَنْهُ .. الْحَدِيثَ.
Rasulullah
ﷺ bersabda: “Allah melaknat para wanita yang menyambung (rambut), para
wanita yang meminta agar disambung rambutnya, para wanita yang mencabut
alisnya dan para wanita yang merenggangkan giginya demi kecantikan,
mereka adalah para wanita yang mengubah-ubah ciptaan Allah”, maka ketika
hadits ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asab yang ia bernama
Ummu Ya’qub maka ia pun datang kepada Ibnu Mas’ud dan berkata: “Wahai
Ibnu Mas’ud, telah sampai kabar kepadaku bahwasanya engkau melaknat
begini dan begitu” maka dijawab oleh Ibnu Mas’ud: “Mengapa aku tidak
melaknat orang yang dilaknat oleh rasulullah ﷺ dan laknat itu ada di
dalam Al-Quran” maka si wanita kembali berkata: “Aku telah membaca
seluruh Al-Quran dan aku tidak mendapati apa yang engkau katakan”. Maka
kembali dijawab oleh Ibnu Mas’ud: “Jika engkau membaca Al-Quran dengan
baik niscaya akan engkau dapati, yakni ayat:
وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan
apa-apa yang datang dari Rasulullah ﷺ maka ambillah dan apa-apa yang
datang dari Rasulullah ﷺ maka tinggalkanlah” dan sesungguhnya Nabi ﷺ
telah melarang hal tersebut dan ayat tersebut ada di dalam Al-Quran”.
([31])
Kemudian Allah berfirman pada ayat berikutnya:
لِلْفُقَرَاءِ
الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“(Harta
fai’ yang Allah berikan kepada Rasulullah ini juga) diberikan kepada
orang-orang Muhajirin yang miskin, yang dipaksa oleh orang-orang kafir
Makkah untuk keluar meninggalkan harta dan rumah mereka demi mencari
karunia Allah berupa rizki di dunia dan ridha–Nya di akhirat, menolong
Allah dan Rasu–lNya dan berjihad di jalan Allah. mereka adalah
orang-orang yang benar yang membenarkan ucapan mereka dengan perbuatan
mereka.”(QS Al-Hasyr:8)
Sebagaimana yang telah termaktub di ayat sebelumnya bahwa harta
“fai`i” tersebut disalurkan kepada orang-orang msikin, ternyata pada
kenyataannya banyak orang-orang Muhajirin yang miskin, maka harta
tersebut Nabi ﷺ berikan kepada orang-orang Muhajirin padahal yang ikut
menyerang Bani Nadhir ketika itu ada kaum Anshar dan adapula kaum
Muhajirin, akan tetapi kaum Anshar ternyata tidak diberikan sama sekali
kecuali dua orang yang mereka juga miskin, yang pertama adalah Abu
Dujanah dan yang kedua adalah Sahl bin Hunaif maka mereka berdua ini
orang Anshar yang miskin maka diberikan oleh Nabi ﷺ. Namun secara umum
yang diberikan adalah orang-orang Muhajirin. Mengapa orang-orang
Muhajirin tersebut patut untuk diberi harta “fai`i” ?, maka Allah jawab
pada ayat ini:
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
“(Harta
fai’ yang Allah berikan kepada Rasulullah ini juga) diberikan kepada
orang-orang Muhajirin yang miskin, yang dipaksa oleh orang-orang kafir
Makkah untuk keluar meninggalkan harta dan rumah…”,
Ayat
ini turun pada tahun ke 4 Hijriyyah maka kaum Muhajirin sudah 4 tahun
berhijrah dan mereka masih miskin padahal mereka dahulunya adalah
orang-orang kaya ketika di Mekkah, mereka memiliki harta dan memiliki
rumah maka ketika mereka terusir mereka berhak untuk diperhatikan oleh
Nabi ﷺ.
Allah mengingatkan pada ayat ini bahwa kaum Muhajirin terpisah dari harta mereka dan terpisah dari negeri mereka dalam rangka:
يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
“…mereka demi mencari karunia Allah berupa karunia (di dunia) dan ridha-Nya (di akhirat)”.
Ayat
ini menunjukkan bagaimana Allah mentazkiyah kaum Muhajirin, Allah
memberikan rekomendasi kepada Muhajirin bukan hanya sebatas zhahir saja
bahkan dalam ayat ini Allah juga puji niat mereka bahwa mereka adalah
orang-orang yang ikhlas, merekalah suatu kaum yang telah direkomendasi
niat baiknya oleh Allah. Adapun kita maka tidak ada jaminan sama sekali,
sebagian kita seakan tampak seperti orang yang ikhlas padahal belum
tentu ikhlas. Kaum Muhajirin dalam ayat ini dikatakan oleh Allah bahwa
mereka berhijrah karena mencari keridhaan Allah:
وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“…demi
mencari karunia Allah (di dunia) dan ridha-Nya (di akhirat), menolong
Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah. mereka adalah
orang-orang yang benar yang membenarkan ucapan mereka dengan perbuatan
mereka”,
Maka mereka adalah orang-orang yang pantas untuk mendapatkan harta “fai`i”. ([32])
Setelah itu Allah memuji kaum Anshar:
وَالَّذِينَ
تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ
هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا
أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
orang-orang yang telah menempati kota dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’
orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang orang yang beruntung”.QS Al-Hasyr: 9
Adapun makna وَالْإِيْمَانَ disini ada 3 pendapat dari para ulama untuk mengapa posisinya “manshub” (berharakat fathah):
- Pertama, asal kata dari kalimat tersebut adalah:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَتَبَوَّءُوْا الإِيْمَانَ
Yakni orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan menempati keimanan.
- Kedua, asal kalimatnya ada kata yang tersembunyi yang aslinya:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَأَخْلَصُوْا الإِيْمَانَ
Yakni orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan mengikhlaskan keimanan mereka.
- Ketiga, huruf وَ dalam kata وَالْإِيْمَانَ makna huruf وَ disini adalah “ma’iyyah” yakni maknanya adalah:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَالإِيْمَان
Yakni
orang-orang yang telah tinggal di kota Madinah dalam kondisi beriman
sebelum kaum Muhajirin datang, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh
Al-‘Allamah Thohir bin ‘Asyuur yang menjelaskan bahwa وَ disitu kata
setelahnya dalam posisi “manshub” karena itu adalah “waw ma’iyyah”.
([33]
Kemudian Allah memuji kaum Anshar yang sifat mereka adalah
يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا
“…
mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)…”.
Mereka
adalah orang-orang yang dalam hati mereka sama sekali tidak terdapat
rasa berat atas keputusan Allah memberikan harta “fai`i” kepada kaum
Muhajirin.
Padahal
dalam masalah harta banyak yang masih memiliki sifat tamak walaupun
aslinya adalah orang yang shalih. Yang biasanya dalam kondisi seperti
ini seseorang akan bertanya-tanya: “Mengapa mereka diberikan harta
“fai`i” sedangkan saya tidak diberi?”. Oleh karena itu adakalanya dua
orang shalih yang bekerja sama dalam suatu proyek dakwah lalu yang satu
dari mereka diberi harta oleh seorang donator, sementara yang satunya
tidak diberi, maka pada diri yang tidak diberi biasanya terdapat
kecemburuan, karena semuanya adalah manusia yang memiliki sifat dasar
yang sama.
Lain
halnya dengan kaum Anshar dimana mereka tidak diberi harta “fai`i”
sedikit pun oleh Nabi namun Allah katakan tentang mereka “orang-orang
yang tiada menaruh keberatan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin)”
Bahkan lebih dari ini, Allah juga mensifati mereka dengan:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“…dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka (orang-orang Anshar) dalam kesusahan. Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang
beruntung”.
Ayat
ini menjelaskan bahwa orang-orang Anshar adalah orang-orang yang bersih
hatinya dimana mereka tetap senang dengan orang-orang Muhajirin
walaupun kaum Muhajirin diberikan harta dimana kaum Anshar tidak diberi.
Bahkan dalam kondisi sulit pun mereka akan mengutamakan kepentingan
orang lain daripada kepentingan mereka sendiri. Di zaman dahulu ada yang
datang kepada seorang alim yang ia berasal dari negeri Syam, lalu
bertanya kepada sang alim tersebut: “Apakah zuhud itu?” lalu orang alim
tersebut menjawab: “Zuhud itu adalah jika kita mendapatkan makanan maka
kita bersyukur dan jika kita tidak mendapatkan makanan maka kita
bersabar” lalu orang yang datang dari jauh tadi menimpali: “Itukah zuhud
menurut kalian? Menurut kami zuhud itu berbeda dengan pendapat kalian,
menurut kami zuhud adalah jika tidak mendapatkan makanan maka tetap
bersyukur kepada Allah dan jika mendapatkan makanan maka tetap
mengutamakan orang lain”([34]), dan seperti inilah kaum Anshar yang
bahkan dalam kondisi sulit pun mereka masih mengutamakan orang lain.
Mereka bisa sampai tingkat demikian karena mereka adalah murid langsung
Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagai
contoh mudah kita lihat pada zaman sekarang, kita (penulis) tidak
pernah bertemu dengan Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin akan tetapi
kita bertemu dengan murid-murid mereka maka kita lihat akhlak mereka
luar biasa dan zuhud mereka luar biasa. Hal ini tidaklah mengherankan
karena guru mereka adalah Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin, apabila
murid-murid Syaikh Bin Baz dan murid-murid Syaikh Utsaimin yang telah
lama bermulazamah dengan mereka begitu tampak pada diri mereka
ajaran-ajaran para ulama tersebut, terlebih lagi jika gurunya adalah
Rasulullah ﷺ maka jika kita kagum dengan keutamaan para Sahabat maka hal
tersebut tidaklah mengherankan karena guru mereka adalah Rasulullah ﷺ.
Dalam
tafsir ayat ini, para ulama membawakan dua kisah yang terkenal. Yang
pertama : kisah Sa’ad bin Rabii’ dengan Abdurrahman bin Auf dimana
Sa’ad, dimana Saád bin Robi’ berkata kepada Abdurrahman bin Auf:
إِنِّيْ مِنْ أَكْثَرِ الأَنْصَارِ مَالًا…
“Aku
termasuk orang Anshar yang paling banyak hartanya, silakan ambil
setengah hartaku dan aku memiliki istri lebih dari satu maka silakan
pilih salah satu lalu aku akan ceraikan setelah habis ‘iddahnya maka
silakan engkau nikahi”,
Hal
ini diucapkan oleh Saád bin Robi’ karena Abdurrahman bin Áuf tadinya
adalah saudagar kaya raya di kota Mekah, namun ketika berhijrah jadilah
beliau menjadi seorang yang miskin mendadak, tidak memiliki harta
apapun. Akan tetapi tawaran tersebut tidak diterima oleh Abdurrahman bin
Áuf, akan tetapi beliau hanya meminta ditunjukan dimana lokasi pasar
agar beliau bisa berdagang([35]).
Coba
bandingkan dengan kondisi kita di zaman ini, tentu tidak ada yang
sampai pada tingkat seperti ini. Saád bin Robii’ bukan hanya menawarkan
sebagian hartanya bahkan setengah dari hartanya, dan bukan hanya
hartanya bahkan istrinya sendiri pun rela ia berikan dan hal ini nyata
pernah terjadi. Seandainya ini tidak diriwayatkan dengan sanad yang
shahih tentu kita akan berkata ini hanyalah dongeng belaka. Akan tetapi
kisah ini benar adanya, pernah dilakukan oleh para sahabat. Tidak usah
heran, karena guru mereka adalah Nabi shallallahu álaihi wasallam.
Adapun
kisah yang kedua adalah kisah Abu Thalhah, ketika ada orang yang datang
kepada Nabi ﷺ dan mengadukan kesulitannya maka Nabi ﷺ menanyakan kepada
para istrinya apakah ada makanan namun jawaban semua istri Nabi ﷺ:
وَالّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، مَا عِنْدَنَا إِلَّا مَاءً
“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kita tidak memiliki apa pun selain air”
Ketika
itu Nabi ﷺ sedang tidak memiliki makanan dan Nabi ﷺ tidak bisa menjamu
orang tersebut maka Nabi ﷺ menawarkan kepada para Sahabat:
مَنْ يُضِيْفُ هَذَا اللَّيْلَةَ يَرْحَمُهُمُ اللهُ
“Siapa
yang bisa menjamu orang ini pada malam ini niscaya Allah akan
merahmatinya” maka Abu Thalhah menerima tawaran tersebut namun ia
sendiri tidak mengetahui apakah ada makanan di rumahnya atau tidak. Lalu
begitu sampai di rumahnya, Abu Thalhah bertanya kepada istrinya apakah
ada makanan? namun ternyata hanya ada makanan untuk anak-anak mereka.
Makanan untuk dia dan istrinya pun tidak ada. Maka Abu Thalhah
memerintahkan untuk bermain dengan anak-anak mereka hingga tertidur dan
makanan tersebut diperuntukkan untuk sang tamu.
Akhirnya
anak-anak mereka diajak ngobrol sama istri Abu Tholhah hingga tertidur,
sementara makanan yang tersedia hanya cukup untuk satu orang dewasa.
Abu Thalhah memerintahkan istrinya untuk pura-pura memperbaiki penerang
ruangan lalu mematikannya agar kondisi gelap. Ketika sang istri
diperintahkanpun sang istri pun tidak protes sama sekali dan menuruti
perintah suaminya. Istrinya tidak berkata, “Ayah ini bagaimana, kok bawa
tamu tidak bilang-bilang terlebih dahulu?”, atau “Ayah ini bagaimana
kok bawa tamu sementara kita tidak memiliki makanan, akupun belum makan
!!’. Sama sekali istrinya tidak protes dan mengomel. Akhirnya sang istri
pura-pura memperbaiki lilin dan mematikannya, semua itu dilakukan
tujuannya adalah karena makanan yang ada hanya untuk satu orang dan
kalaulah makanan tersebut dihidangkan sedangkan tuan rumah sendiri tidak
makan maka tentu saja sang tamu akan merasa tidak enak dengan hal
tersebut.
Akhirnya
makanan tersebut hanya dihidangkan kepada tamunya dalam kondisi gelam,
sedangkan kedua tuan rumah hanya memegang piring dalam keadaan gelap
seolah sedang makan. Subhanallah mereka sang tuan rumah hakikatnya dalam
keadaan susah namun masih tetap mengutamakan orang lain. Dan pada pagi
harinya, mereka hanya diam saja tanpa bicara sedikit pun kepada orang
lain. Yaitu mereka ikhlash tidak menshare apa yang mereka lakukan kepada
orang lain. Namun Allah yang mengabarkan kepada Nabi ﷺ sehingga Nabi ﷺ
pun memanggil Abu Thalhah dan berkata kepadanya:
عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللّيْلَةَ
“Allah takjub dengan perbuatan kalian berdua tadi malam terhadap tamu kalian”. ([36])
Sungguh benar sifat yang Allah sematkan kepada mereka dan itu tidaklah berlebihan, Allah berfirman:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“…dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka (orang-orang Anshar) dalam kesusahan”.
Sebagaimana
juga pernah terjadi dalam suatu peperangan dan terdapat beberapa orang
yang sedang sekarat lalu datanglah orang yang membawakan minuman, maka
ketika minuman sudah didekatkan lalu terdengar suara sahabat lainnya
yang meminta air, maka sahabat yang hampir meninggal ini mengisyaratkan
untuk memberi sahabat tersebut lalu dibawakanlah air tersebut kepada
sahabat yang lain tersebut. Kemudian terdengar suara dari sebelahnya
yang juga meminta air, lalu diisyaratkan untuk diberikan kepada teman
yang satunya lalu air tersebut pun dibawakan dan akhirnya seluruhnya
meninggal tanpa ada yang minum satu pun dari mereka([37]). Merekalah
yang melakukan “itsar” (mendahulukan saudaranya) di saat-saat genting.
Oleh karenanya persahabatan itu barulah teruji di saat kesulitan.
Lalu Allah menutup firman-Nya:
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“…Dan barangsiapa yang dijaga dari rasa kikir maka merekalah orang-orang yang beruntung”.
Kataيُوْقَ
berasal dari kata وِقَايَة yang artinya adalah penjagaan atau
perlindungan. Mengapa dikatakan demikian?, karena sifat pelit itu setiap
saat bisa menyerang dan menjangkiti. Pada hari ini seseorang bisa tidak
memiliki sifat pelit namun pekan depannya dia bisa memiliki sifat
pelit, oleh karena itu ia harus senantiasa menjaga dirinya dari sifat
pelit dan kapan saja sifat pelit itu muncul maka sifat pelit itu harus
ia lawan. Barangkali dalam kondisi lapang kita tidak pelit namun dalam
kondisi sempit maka menjadi pelit. Oleh karena itu penting bagi kita
agar mampu mengatur hati kita agar jangan sampai kita terjatuh kepada
sifat pelit. Hal ini juga menunjukkan bahwasanya seseorang haruslah
waspada dan barangsiapa yang bisa terjaga dari sifat pelit tersebut maka
mereka itulah orang-orang yang beruntun
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِيْنَ
جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ
فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ
رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka
berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan
kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr:
10)
Pada
ayat sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang
orang-orang muhajirin dan memuji mereka kemudian Allah subhanahu wa
ta’ala menyebutkan tentang kaum Anshor dan memuji mereka maka pada ayat
ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan kelompok ketiga yaitu
orang-orang yang datang setelah mereka.
Ayat
ini menjelaskan bahwasanya di antara kaum mukminin yang baik adalah
yang mendoakan kaum muhajirin dan kaum Anshor, isyarat bahwasanya Allah
subhanahu wa ta’ala memerintahkan jenis yang ketiga ini untuk mendoakan
kaum muhajirin dan kaum Anshor mengingat jasa kaum muhajirin dan kaum
Anshor yang luar biasa yang dimana Islam tegak dengan mereka, dan mereka
adalah murid-murid yang belajar langsung kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan juga kita dapati bagaimana perjuangan mereka,
jihad mereka, dan infak mereka maka sebagai orang-orang yang datang yang
menikmati hasil jerih payah mereka harusnya mendoakan mereka agar
mereka diampuni dan jangan sampai dengki kepada mereka. Oleh karenanya
ayat ini dijadikan dalil bahwasanya seorang mukmin yang baik adalah yang
mencintai para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendoakan
mereka([38]).
Dalam satu riwayat dari Ibnu Mardawaih menceritakan tentang Ibnu ‘Umar,
أَنَّهُ
سَمِعَ رَجُلًا وَهُوَ يَتَنَاوَلُ بَعْضَ الْمُهَاجِرِينَ فَقَرَأَ
عَلَيْهِ: لِلْفُقَراءِ الْمُهاجِرِينَ الْآيَةَ، ثُمَّ قَالَ: هَؤُلَاءِ
الْمُهَاجِرُونَ أَفَمِنِهُمْ أَنْتَ؟ قَالَ: لَا، ثم قرأ عليه:
وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُا الدَّارَ وَالْإِيمانَ الْآيَةَ. ثُمَّ قَالَ:
هَؤُلَاءِ الْأَنْصَارُ أَفَأَنْتَ مِنْهُمْ؟ قَالَ: لَا، ثُمَّ قَرَأَ
عَلَيْهِ: وَالَّذِينَ جاؤُ مِنْ بَعْدِهِمْ الْآيَةَ، ثُمَّ قَالَ:
أَفَمِنْ هَؤُلَاءِ أَنْتَ؟ قَالَ: أَرْجُو، قَالَ: لَيْسَ مِنْ هَؤُلَاءِ
من سبّ هؤلاء.
“bahwasanya
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhuma dia mendengar sorang lelaki
mencela sebagian kaum muhajirin maka dia membacakan kepadanya firman
Allah, {(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah
yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya
demi mencari karunia dari Allah dan keridaan(-Nya) dan (demi) menolong
(agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar},
kemudian berkata: mereka adalah kaum Muhajirin (golongan pertama) apakah
kamu termasuk dari golongan mereka? lelaki tersebut menjawab: bukan.
Kemudian Ibnu ‘Umar membacakan kembali ayat berikutnya {Dan orang-orang
(Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga
memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka
itulah orang-orang yang beruntung}, kemudian berkata: mereka adalah kaum
Anshor (golongan kedua), apakah kamu termasuk dari golongan mereka?
lelaki tersebut menjawab: bukan. Kemudian Ibnu ‘umar membacakan kembali
ayat berikutnya {Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun,
Maha Penyayang}, lalu Ibnu ’Umar betanya: apakah kamu termasuk dari
golongan mereka (golongan ketiga)? lelaki tersebut menjawab: aku
berharap termasuk dari mereka. lalu Ibnu Umar berkata: bukan termasuk
dari mereka (golongan ketiga) yang mencela mereka (golongan pertama dan
kedua).” ([39])
Jadi
kaum mukminin hanya ada 3 golongan: kaum muhajirin, kaum anshor, dan
kaum yang datang setelahnya hingga hari kiamat. Dan ciri orang yang
beriman adalah orang yang mendoakan kaum muhajirin dan kaum anshor. Dan
ayat ini adalah bantahan yang telak bagi orang-orang Syiah yang hobi
mereka adalah mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ
“mereka
diperintahkan untuk memohonkan ampunan bagi para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata mereka mencela para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Asy-Sya’by
berkata bahwa Yahudi dan Nasrani lebih baik dari Syiah dalam satu
perkara, yaitu ketika orang-orang Yahudi ditanya: siapakah manusia
terbaik? Maka orang-orang Yahudi akan menjawab bahwa manusia terbaik
adalah sahabatnya Nabi Musa, dan orang-orang Nasrani ketika ditanya
siapakah manusia terbaik? Mereka akan mengatakan bahwa manusia terbaik
adalah sahabatnya nabi Isa, akan tetapi ketika orang Syiah ditanya
siapakah manusia terburuk? Mereka akan mengatakan bahwa manusia terburuk
adalah sahabatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam([40]), karena
kerjaan mereka adalah mencaci maki para sahabat radhiyallahu ta’ala
anhum ajma’in, dan itu adalah konsekuensi dari agama mereka karena orang
Syiah agama mereka dibangun di atas keyakinan 12 imam:
- Imam pertama adalah Ali bin Abu Thalib
- Imam kedua adalah Al-Hasan
- Imam ketiga adalah Al-Husain
- Imam keempat adalah Ali bin Al-Husain (Yang diberi gelar : Zainal Abidin)
- Imam kelima adalah Muhammad bin ‘Ali bin Al-Husain (yang diberi gelar Al-Baqir)
- Imam keenam adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir (yang diberi gelar Ash-Shadiq)
- Imam ketujuh adalah Musa bin Ja’far (yang diberi gelar Al-Kadzim)
- Imam kedelapan adalah Ali bin Musa (yang diberi gelar Ar-Ridho)
- Imam kesembilan adalah Muhammad bin Ali (yang diberi gelar Al-Jawad)
- Imam kesepuluh adalah ‘Ali bin Muhammad (yang diberi gelar Al-Hadi)
- Imam kesebelas adalah Al-Hasan bin Ali Al-Asykari
- Imam kedua belas adalah Muhammad bin Al-Hasan([41])
Jadi
mereka meyakini bahwasanya imam yang pertama yang sah adalah Ali bin
Abu Thalib, sementara ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat
para sahabat seluruhnya mengangkat Abu Bakar radhiyallahu ta’ala ‘anhu
sebagai imam, akhirnya orang Syiah menganggap para sahabat murtad ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, di antara sebab murtad
mereka karena mereka tidak mengangkat Ali sebagai imam dan malah
mengangkat Abu Bakar setelah itu mereka mengangkat ‘Umar, setelah itu
mereka mengangkat ‘Utsman, kemudian setelah puluhan tahun baru kemudian
mereka mengangkat Ali bin Abu Thalib. Sikap mereka (syiáh Rofidhoh) ini
menunjukan bahwa agama mereka tidak dibangun kecuali dengan mengkafirkan
para sahabat, kalau mereka tidak mengkafirkan dan mencaci maki para
sahabat maka agama mereka hancur. Jadi intinya agama mereka dibangun di
atas keyakinan bahwa imam pertama adalah Ali bin Abu Thalib, jadi
kepemimpinan Abu Bakar setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak sah, dan semua yang setuju akan kepemimpinan Abu Bakar,
Umar, kemudian Utsman maka mereka semua kafir atau mereka adalah
orang-orang yang tercela, dan jika ada orang Syiah yang memuji para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ini menunjukkan bahwa
apa yang dilakukan para sahabat adalah benar dan menunjukkan akan sahnya
Abu Bakar menjadi imam pertama, dan tentu ini bertentangan dengan
keyakinan mereka dan merusak keyakinan mereka karena agama mereka tidak
dibangun kecuali dengan meyakini bahwa imam yang pertama adalah Ali bin
Abu Thalib. Konsekuensinya mereka harus mencela dan mengkafirkan para
sahabat. Dan itulah agama mereka, akhirnya mereka senang dan merayakan
kematian para sahabat, mereka memiliki hari raya kematian Umar dan ini
disebutkan dalam buku-buku mereka bahwa merayakan kematian Umar
pahalanya sangat besar, dan mereka gembira dengan tewasnya Umar, bahkan
pahalanya bisa masuk surga dan bisa memberikan syafaat untuk keluarga.
Mereka juga membuat acara perayaan kematian ‘Aisyah radhiyallahu ta’ala
‘anha, mereka berkata: “selamat bagi ‘Aisyah berpindah dari azab dunia
kepada azab akhirat”, jadi mereka bahagia dengan kematian para sabahat.
Dari sisi inilah orang Yahudi dan Nasrani lebih mulia dari pada mereka.
Ayat
ini juga dalil bahwasanya konsekuensi dalam keimanan adalah saling
mendoakan, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِيْنَ
جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka
berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami.”
Karena
sama-sama beriman harusnya saling perhatian, saling mendoakan, dan
saling sadar bahwasanya tidak ada yang sempurna sebagaimana kami punya
kekurangan mereka juga mempunyai kekurangan, kemudian meminta kepada
Allah subhanahu wa ta’ala agar tidak hasad kepada yang lainnya. Seorang
mukmin yang baik adalah yang tidak dengki kepada orang mukmin yang
lainnya. Tidak hasad kepada orang lain merupakan perkara yang berat akan
tetapi seseorang harus berusaha untuk menuju perkara tersebut dan
jangan sampai di dadanya ada kedengkian kepada orang-orang yang beriman
lainnya, karena konsekuensi bersaudara karena keimanan harusnya saling
mendoakan bukan saling hasad atau saling dengki di antara orang-orang
yang beriman.
Para
ulama tafsir ketika membahas tentang ayat ini mereka menyebutkan
tentang kisah seorang sahabat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
vonis dia masuk surga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” فَطَلَعَ
رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ، قَدْ
تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ،
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ،
فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى. فَلَمَّا كَانَ
الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ
حَالِهِ الْأُولَى، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ:
إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا،
فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ؟
قَالَ: نَعَمْ. قَالَ أَنَسٌ: وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ
بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ، فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ
اللَّيْلِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى
فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ، حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ
الْفَجْرِ. قَالَ عَبْدُ اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ
إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ
أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي
وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ: ”
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” فَطَلَعْتَ
أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا
عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ،
فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ. قَالَ: فَلَمَّا
وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي
لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا
أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ. فَقَالَ عَبْدُ
اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
“Sebentar
lagi akan datang seorang laki-laki penghuni Surga. Kemudian seorang
laki-laki dari kaum Anshor datang yang jenggotnya masih basah dari bekas
wudhunya, sedangkan tangan kirinya menenteng kedua sandalnya. Ketika
keesokan harinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan hal yang
serupa, kemudian datang lelaki tersebut persis seperti hari sebelumnya.
Ketika hari ketiga harinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga
mengucapkan hal yang serupa, kemudian datang lelaki tersebut persis
keadaannya seperti hari sebelumnya. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka
Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata
kepadanya : “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak
masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di
rumahmu hingga berlalu tiga hari?. Dia menjawab, ‘Silahkan!’. Anas
berkata bahwa Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bercerita bahwasanya iapun
menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali
tidak melihat orang tersebut mengerjakan sholat malam, hanya saja jika
ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka iapun
berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk
sholat subuh. Abdullah bin Ámr bin al-Ásh bertutur : “Hanya saja aku
tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu
tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata
kepadanya : Wahai hamba Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya
sebenarnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot.
Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata sebanyak tiga kali : Akan muncul sekarang kepada kalian seorang
penduduk surga”, lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin
menginap bersamamu untuk melihat apa amalanmu sehingga aku mengikutinya,
namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah
menyampaikan engkau (pada derajat) sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam?”. Orang itu berkata : “Tidak ada kecuali amalanku yang
kau lihat”. Abdullah bertutur : “Tatkala aku berpaling pergi maka iapun
memanggilku dan berkata : “Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya
saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada
seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada seorangpun atas
kebaikan yang Allah berikan kepadanya”. Abdullah berkata, “Inilah amalan
yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga-pen), dan inilah yang
tidak kami mampu.” ([42])
Hadits
ini menunjukkan bahwasanya teori untuk tidak hasad itu mudah namun
praktiknya yang susah, ketika melihat orang mendapatkan kekayaan kita
dengki, ketika melihat orang mobilnya lebih bagus kita dengki, melihat
orang istrinya lebih cantik kita dengki, dan juga ketika kita melihat
orang dagangannya lebih laris kita juga dengki. Jadi konsekuensi dari
keimanan kita tidak boleh saling mendengki, oleh karenanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَقَاطَعُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا»
“janganlah
kalian saling hasad, jangan saling bermusuhan, jangan saling memutus
hubungan, dan jadilah hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang
bersaudara.” ([43])
Kalau
kita tidak boleh saling mendengki di antara sesama kita apalagi
terhadap orang-orang yang telah berjasa kepada kita seperti kaum
Muhajirin dan kaum Anshor. Ini dalil bahwasanya sesama antara orang yang
beriman antara satu dengan yang lainnya saling memberi manfaat, saling
mendoakan dan doa itu bermanfaat bagi yang lainnya
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“dan
janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun,
Maha Penyayang.”
Ini adalah di antara doa agar kita tidak saling hasad, yang kita ucapkan dalam doa kita وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun,
Maha Penyayang”. Dan kita harus berjuang agar hati kita tidak dengki
dan ini sangat berkaitan dengan qona’ah dan beriman kepada takdir,
sehingga ketika ada orang mencaci maki kita maka hati kita tenang karena
yakin bahwasanya hal tersebut telah dicatat 50 ribu tahun sebelum Allah
subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi. Ini membuat hati kita
tenteram karena untuk apa kita dengki atau dendam, karena demikianlah
Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan perjalanan kehidupan manusia, ada
yang zalim dan ada yang dizalimi, ada yang dengki dan ada yang didengki,
ada yang kaya dan ada yang miskin, dan lainnya. Maka kita yakini
bahwasanya semua hal tersebut telah ditakdirkan dan ini membuat hati
kita tenteram sehingga kita tidak membawa dengki dalam dada kita.
Seharusnya sebelum tidur kita berusaha agar hati kita bersih, jika ada
seseorang memiliki masalah dengan kita dan terngiang-ngiang dalam benak
kita maka segeralah untuk kita maafkan karena untuk apa kita
memikirkannya terus. Jika kita telah memaafkan maka selesailah
perkaranya. Selama Iblis masih ada maka beginilah kehidupan dunia, akan
ada yang menzalimi dan dizalimi, akan ada yang dimaki-maki, dituduh yang
tidak-tidak, dan hal-hal yang lainnya.
Setelah
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang 3 golongan yang mulia,
pertama: muhajirin, kedua: kaum Anshor. Dan yang ketiga adalah
orang-orang yang mendoakan kaum muhajirin dan kaum Anshor, setelah itu
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan paragraf baru denga topik baru
yaitu tentang orang-orang munafik, tentang apa yang terjadi antara
orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi. Adapun antara kaum mukminin
maka orang-orang yang beriman mereka saling mencintai, saling mendoakan,
dan saling menolong. Nah, bagaimana hubungan antara orang-orang munafik
dengan orang-orang Yahudi?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
اَلَمْ
تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ نَافَقُوْا يَقُوْلُوْنَ لِاِخْوَانِهِمُ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَىِٕنْ اُخْرِجْتُمْ
لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيْعُ فِيْكُمْ اَحَدًا اَبَدًاۙ وَّاِنْ
قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ
لَكٰذِبُوْنَ
“Tidakkah
engkau memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada
saudara-saudaranya yang kafir di antara Ahli Kitab, “Sungguh, jika
kalian diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kalian; dan kami
selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun demi kalian, dan jika
kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah
menyaksikan, bahwa mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al-Hasyr: 11)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَقُوْلُوْنَ لِاِخْوَانِهِمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ
“Yang mereka berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab”
Jadi
orang-orang Yahudi dianggap oleh orang-orang munafik sebagai saudara,
yaitu saudara dalam kekafiran([44]). Kemudian yang dimaksud dengan
اَهْلِ الْكِتٰبِ di sini adalah orang-orang Yahudi secara khusus, karena
model orang-orang kafir beragam, yaitu orang-orang musyrikin, Ateis,
dan Ahlu kitab.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَىِٕنْ اُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيْعُ فِيْكُمْ اَحَدًا اَبَدًاۙ وَّاِنْ قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْۗ
“Sungguh,
jika kalian diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kalian; dan
kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun demi kalian, dan
jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.”
Jadi
orang-orang munafik memprovokasi orang-orang Yahudi untuk bersikeras
mengambil sikap oposisi terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
mereka mengatakan kepada orang-orang Yahudi: seandainya kalian diusir
kami akan ikut keluar bersama kalian”, dan inilah janji manis mereka
kepada orang-orang Yahudi. Kemudian mereka berkata: dan kami tidak akan
taat kepada siapapun yang menganjurkan kami untuk tetap tinggal di kota
Madinah dan kami akan tetap keluar bersama kalian, dan siapapun yang
merayu kami untuk tetap tinggal tinggal di kota Madinah tidak akan kami
turuti demi solidarotas, oleh karenanya kalian wahai orang-orang Yahudi
tetaplah lakukan oposisi melawan kaum muslimin”. Dan juga orang-orang
munafik mengatakan kepada orang-orang Yahudi: “kalau kalian diperangi
oleh kaum muslimin kami akan benar-benar menolong kalian”. Semua ini
hanyalah janji palsu orang-orang munafik. Kemudian Allah subhanahu wa
ta’ala berkata “dan Allah menyaksikan, bahwa mereka orang-orang munafik
benar-benar pendusta”, dan memang ciri-ciri orang-orang munafik adalah
berdusta sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
إِذَا
جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ ۗ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ
الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
“Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui,
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui
bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.”
QS. Al-Munafiqun: 1
Dan inilah ciri-ciri orang-orang munafik yang mereka membohongi kam muslimin dan juga mereka membohongi orang-orang Yahudi.
Lalu apa yang terjadi sesungguhnya ketika semua itu menimpa orang-orang Yahudi
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَىِٕنْ
اُخْرِجُوْا لَا يَخْرُجُوْنَ مَعَهُمْۚ وَلَىِٕنْ قُوْتِلُوْا لَا
يَنْصُرُوْنَهُمْۚ وَلَىِٕنْ نَّصَرُوْهُمْ لَيُوَلُّنَّ الْاَدْبَارَۙ
ثُمَّ لَا يُنْصَرُوْنَ
“Sungguh,
jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama
mereka, dan jika mereka di-perangi; mereka (juga) tidak akan
menolongnya; dan kalau pun mereka menolongnya pastilah mereka akan
berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat
pertolongan.” (QS. Al-Hasyr: 12)
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa omongan
orang-orang munafik hanyalah omongan yang manis dan hanya provokasi yang
kosong dari kenyataan. Buktinya, tatkala orang Ahli kitab diusir mereka
tidak akan ikut pergi keluar bersama mereka, ketika orang-orang Yahudi
diserang mereka tidak bantu menolong, dan kalaupun mereka menolong
mereka akan lari kabur dari peperangan, dan itu yang terjadi. Kemudian
Bani Nadhir terusir sebagaimana yang dijelaskan pada ayat Al-Hasyr
sebelumnya, karena Al-Hasyr maknanya pengusiran Bani An-Nadhir dari kota
Madinah. Di antara sebabnya adalah mereka diprovokasi oleh Ubay bin
Abdillah bin Salul, akan tetapi ketika mereka diusir tidak ada satu pun
dari orang-orang munafik yang datang membantu merek
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَاَنْتُمْ اَشَدُّ رَهْبَةً فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنَ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ
“Sesungguhnya
dalam hati mereka, kalian (Muslimin) lebih ditakuti daripada Allah.
Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti.” (QS.
Al-Hasyr: 13)
Siapa
yang dimaksud dengan mereka dalam ayat ini? Ada yang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang munafik karena ayat ini
berbicara tentang kaum munafikin, ada yang mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan kalian adalah kaum munafik dan Yahudi([45]), dan memang
benar bahwa mereka semua yaitu kaum munafik dan Yahudi takut kepada kaum
muslimin, yang mana mereka semua takut mati dan mereka semua sangat
ingin untuk hidup selama-lamanya, sebagaimana yang Allah subhanahu wa
ta’ala firmankan,
وَلَتَجِدَنَّهُمْ
أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَىٰ حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا ۚ يَوَدُّ
أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ
الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
“Dan
sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada
kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik.
Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur
panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” QS. Al-Baqarah: 96
Tujuan mereka hanyalah dunia, sehingga ketika mereka disuruh untuk berperang mereka takut
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَا
يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا اِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ اَوْ مِنْ
وَّرَاۤءِ جُدُرٍۗ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ ۗ تَحْسَبُهُمْ
جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا
يَعْقِلُوْنَۚ
“Mereka
tidak akan memerangi kalian (secara) bersama-sama, kecuali di
negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara
sesama mereka sangat hebat. Kalian kira mereka itu bersatu padahal hati
mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang
tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr: 14)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا اِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ اَوْ مِنْ وَّرَاۤءِ جُدُرٍۗ
“Mereka tidak akan memerangi kalian (secara) bersama-sama, kecuali di negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok.
Maksudnya
seandainya mereka ingin memerangi kalian maka mereka tidak akan
memerangi kalian kecuali dibalik kampung-kampung yang memiliki benteng
atau di belakang tembok-tembok([46]), artinya mereka ini pengecut dalam
peperangan. Dan orang-orang Yahudi mereka memiliki tembok-tembok dan
benteng-benteng terlebih lagi pada saat perang Khaibar mereka memiliki
hingga 9 benteng, untuk bertempur melawan kaum muslimin mereka selalu
berlindung di balik benteng dan mereka penakut, padahal mereka bersatu
untuk memerangi kaum muslimin namun mereka tetap ketakutan, oleh
karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ
جَمِيْعًا “Mereka tidak akan memerangi kalian (secara) bersama-sama”
karena mereka takut, dan mereka tidak mau berperang kecuali dibalik
tembok atau benteng.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan alasannya, ([47])
بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُوْنَۚ
“Permusuhan
antara sesama mereka sangat hebat. Kalian kira mereka itu bersatu
padahal hati mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka
orang-orang yang tidak mengerti”
Antara
orang munafik yang satu dengan yang mereka saling berselisih, dan
antara orang Yahudi yang satu dengan Yahudi yang lain juga sering
berselisih.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَمَثَلِ الَّذِيْنَ مِنْ قَرِيْبًا ذَاقُوْا وَبَالَ اَمْرِهِمْۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۚ
“(Mereka)
seperti orang-orang yang sebelum mereka (Yahudi) belum lama berselang,
telah merasakan akibat buruk (terusir) disebabkan perbuatan mereka
sendiri. Dan mereka akan men-dapat azab yang pedih.” (QS. Al-Hasyr: 15)
Allah
subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang munafik bahwa
perumpamaan mereka (orang-orang munafik) seperti kaum yang baru-baru
saja sebelumnya telah merasakan akibat dampak dari perbuatan mereka,
yaitu merasakan azab yang pedih. Siapakah kaum yang orang-orang munafik
disamakan dengan mereka?, maka ada khilaf di kalangan para ulama, di
antara mereka ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah orang-orang
Quraisy yang mereka kalah dalam perang Badar([48]), jadi artinya: “wahai
orang-orang munafik berhati-hatilah kalian itu bisa jadi nasibnya
seperti orang-orang Quraisy yang kalah dalam perang Badar”.
Sebagian
ulama berpendpat bahwa maksudnya adalah Bani Qainuqa’, dan Bani
Qainuqa’ adalah oang-orang Yahudi yang pertama yang diusir dari kota
Madinah, jadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota
Madinah kaum Yahudi ada 3 kelompok dan mereka semua di kota Madinah
tidak bersatu padu, ada yang namanya Yahudi Bani Qainuqa’, Yahudi Bani
An-Nadhir, dan ada Yahudi Bani Quraizhah. Dan yang pertama kali diusir
adalah Yahudi dari kabilah Qainuqa’([49]), kemudian Bani An-Nadhir
sebagaimana yang kita bahs dalam surah Al-Hasyr ini, baru kemudian yang
terakhir diusir adalah Yahudi Bani Quraizhah yang dengannya turun surah
Al-Ahzab yang berbicara tentang pengusiran mereka atau tentang
peperangan melawan mereka. Jadi maksud firman Allah subhanahu wa ta’ala
adalah: “Sesungguhnya kalian orang-orang munafik seperti orang-orang
yang baru-baru saja sebelum kalian yaitu orang-orang Quraisy atau Bani
Qoinuqa’ yang diusir karena mereka melakukan pelanggaran”.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَمَثَلِ
الشَّيْطٰنِ اِذْ قَالَ لِلْاِنْسَانِ اكْفُرْۚ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ
اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّنْكَ اِنِّيْٓ اَخَافُ اللّٰهَ رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ
“(Bujukan
orang-orang munafik itu) seperti (bujukan) setan ketika ia berkata
kepada manusia, “Kafirlah kamu!” Kemudian ketika manusia itu menjadi
kafir ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena
sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Hasyr:
16)
Allah
subhanahu wa ta’ala berikan lagi perumpamaan yang kedua yaitu
perumpamaan antara orang-orang munafik dengan Ahli Kitab([50]), seperti
yang disebutkan di atas bahwa orang-orang munafik memberikan janji palsu
dengan berkata-kata manis kepada orang-orang Yahudi maka ini seperti
Iblis yang menggoda manusia yang berkata kepada manusia: “Kafirlah!
Kalau kamu kafir aku akan menemanimu”, ketika manusia telah kafir
Iblispun berlepas diri.
Adapun
maksud ayat ini ada yang mengatakan bahwa ini umum, Allah subhanahu wa
ta’ala hanya memberikan perumpamaan bahwa perumpamaan orang-orang
munafik terhadap orang-orang Yahudi yang memberikan janji palsu seperti
setan yang menipu manusia. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud setan
adalah Iblis dan yang dimaksud dengan manusia adalah Abu Jahal, ketika
perang Badar setan menipu Abu Jahal yang kisahnya telah Allah subhanahu
wa ta’ala abadikan dalam surah Al-Anfal,
وَإِذْ
زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لَا غَالِبَ لَكُمُ
الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ ۖ فَلَمَّا تَرَاءَتِ
الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكُمْ
إِنِّي أَرَىٰ مَا لَا تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ ۚ وَاللَّهُ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan
mengatakan: “Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menang terhadapmu
pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu”. Maka
tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan),
syaitan itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya saya
berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat melihat apa yang
kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada
Allah”. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” QS. Al-Anfal: 48 ([51])
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Iblis memberikan
janji palsu kepada Abu Jahal, ketika Abu Jahal akan perang Badar maka
Iblis menjelma menjadi manusia lalu mendatangi Abu Jahl dan mengatakan:
“Wahai Abu Jahal kami akan bersamamu dan kamu pasti menang dan tidak
mungkin kamu akan kalah melawan Muhammad dan para sahabatnya, karena
kalian berjumlah 1000 orang sedangkan mereka hanya 300 orang”. Tatkala
dua pasukan saling bertemu maka Iblis yang menjelma sebagai manusia yang
tadi telah memprovokasi Abu Jahal kabur dan dia mengatakan: إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَىٰ مَا لَا تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ
“Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat
melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya
takut kepada Allah”. Para ulama menafsirkan maksud dari setan dengan
manusia adalah Iblis dengan Abu Jahal, jadi perumpamaan orang-orang
munafik dengan Ahli Kitab yang hanya janji palsu kemudian diselisihi
seperti Iblis yang menipu Abu Jahal yang Iblis berjanji dengan janji
palsu namun ketika dalam kondisi genting malah ditinggal.
Jika
membaca buku-buku tafsir kita dapati bahwa para ulama tatkala
menafsirkan ayat ini pasti mereka menyebutkan satu kisah yang
diriwayatkan dari beberapa ulama salaf tentang kisah seorang rahib.
Kisah ini datang dalam berbagai riwayat akan tetapi Ibnu ‘Athiyyah dalam
kitabnya Al-Muharror Al-Wajiz mengatakan bahwa seluruh sanadnya
lemah([52]), kisah itu adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Thawus
rahimahullah,
كَانَ
رَجُلٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ، وَكَانَ عَابِدًا وَكَانَ رُبَّمَا
دَاوَى الْمَجَانِينَ، وَكَانَتِ امْرَأَةٌ جَمِيلَةٌ أَخَذَهَا الْجُنُونُ
فَجِيءَ بِهَا إِلَيْهِ فَتُرِكَتْ عِنْدَهُ فَأَعْجَبَتْهُ فَوَقَعَ
عَلَيْهَا، فَحَمَلَتْ فَجَاءَهُ الشَّيْطَانُ فَقَالَ: إِنْ عُلِمَ
بِهَذَا افْتُضِحْتَ فَاقْتُلْهَا وَأَرْقِدْهَا فِي بَيْتِكَ، فَقَتَلَهَا
وَدَفَنَهَا، فَجَاءَ أَهْلُهَا بَعْدَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْأَلُونَهُ
عَنْهَا، فَقَالَ: مَاتَتْ فَلَمْ يَتَّهِمُوهُ لِصَلَاحِهِ فِيهِمْ
وَرِضَاهُ، فَجَاءَهُمُ الشَّيْطَانُ فَقَالَ: إِنَّهَا لَمْ تَمُتْ
وَلَكِنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا فَحَمَلَتْ فَقَتَلَهَا وَدَفَنَهَا، وَهِيَ
فِي بَيْتِهِ فِي مَكَانِ كَذَا وَكَذَا، فَجَاءَ أَهْلُهَا فَقَالُوا: مَا
نَتَّهِمُكَ وَلَكِنْ أَخْبِرْنَا أَيْنَ دَفَنْتَهَا، وَمَنْ كَانَ
مَعَكَ؟ فَفَتَّشُوا بَيْتَهُ فَوَجَدُوهَا حَيْثُ دَفَنَهَا فَأُخِذَ
فَسُجِنَ فَجَاءَهُ الشَّيْطَانُ، فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ تُرِيدُ أَنْ
أُخَلِّصَكَ مِمَّا أَنْتَ فِيهِ، وَتَخْرُجُ مِنْهُ، فَاكْفُرْ بِاللَّهِ،
فَأَطَاعَ الشَّيْطَانَ وَكَفَرَ فَأُخِذَ فَقُتِلَ فَتَبَرَّأَ مِنْهُ
الشَّيْطَانُ حِينَئِذٍ، قَالَ طَاوُسٌ: ” فَمَا أَعْلَمُ إِلَّا بِهَذِهِ
الْآيَةِ أُنْزِلَتْ فِيهِ {كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ
لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي
أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ}
“Bahwasanya
ada seorang lelaki dari Bani Israil yang dia seorang ahlu ibadah dan
bisa menyembuhkan penyakit gila, dan ada seorang wanita yang cantik yang
terkena gangguan jiwa, kemudian wanita tersebut dibawa kepada lelaki
tersebut dan ditinggalkan bersamanya, dan ternyata wanita tersebut
membuat tertarik lelaki tersebut lalu dia pun menzinahinya dan wanita
tersebut hamil, lalu setan mendatanginya dan berkata, “Jika hal ini
diketahui maka akan terbongkar keburukanmu maka bunuhlah ia dan kuburlah
ia di rumahmu”. Lalu lelaki tersebut membunuhnya dan menguburnya.
Setelah beberapa waktu datanglah keluarganya menanyakan tentangnya, lalu
lelaki tersebut menjawab: ia telah meninggal, dan keluarganya tidak
mencurigainya karena kesolehannya dan juga mereka meridhoi lelaki
tersebut, lalu datanglah setan kepada mereka dan berkata, “Sesungguhnya
dia tidaklah meninggal, akan tetapi lelaki tersebut menzinahinya hinngga
hamil lalu membunuhnya dan menguburnya, dan jasad wanita tersebut
berada di rumahnya di tempat ini dan ini”. Maka keluarganya
mendatanginya dan berkata, “Kami tidaklah menuduhmu akan tetapi
kabarkanlah kepada kami dimana engkau menguburnya, dan siapa saja yang
bersamamu?” Lalu mereka memeriksa rumahnya dan mendapatkannya di tempat
ia dikuburkan, maka lelaki tersebut dihukum dan dipenjara. Datanglah
setan dan berkata, “Jika engkau menginginkan agar aku membebaskanmu dari
keadaanmu saat ini dan engkau keluar darinya maka maka kufurlah kepada
Allah”. Lalu lelaki tersebut mentaati setan dan mengkufuri Allah. Lalu
dia dihukum dan dibunuh adapun setan berlepas diri saat itu. Berkata
Thowus: aku tidak mengetahui keculi ayat ini turun disebabkan lelaki
tersebut {(Bujukan orang-orang munafik itu) seperti (bujukan) setan
ketika ia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu!” Kemudian ketika
manusia itu menjadi kafir ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri
dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh
alam}.” ([53])
Dan
ini secara riwayat maka riwayatnya lemah, akan tetapi jika ingin
dijadikan sebagai tafsir maka ini bukan tafsir dari ayat ini akan tetapi
hanya sekedar contoh bagaimana Iblis menggoda dan ketika diujung
kekufuran lalu Iblis meninggalkannya. Dan ini mungkin saja terjadi pada
siapa saja, maka hendaknya kita berhati-hati. Oleh karenanya seseorang
jangan mengikuti langkah-langkah Iblis ketika menggoda manusia karena
Iblis pun akan berlepas diri dari manusia dalam kondisi genting.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَآ اَنَّهُمَا فِى النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيْهَاۗ وَذٰلِكَ جَزٰۤؤُا الظّٰلِمِيْنَ
“Maka
kesudahan bagi keduanya, bahwa keduanya masuk ke dalam neraka, kekal di
dalamnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Hasyr:
17)
Dan
kesudahan bagi keduanya baik Iblis maupun manusia mereka semua berada
di neraka Jahannam abadi di dalamnya. Jadi ketika Iblis berkata: “Aku
berlepas diri dari kekufuran yang kamu lakukan” hal ini tidaklah
menyelamatkannya, karena Iblis adalah provokatornya. Begitu juga
orang-orang munafik tatkala memprovokasi orang-orang Yahudi untuk
bertahan sebagai oposisi melawan kaum muslimin di kota Madinah maka
mereka juga tidak akan selamat, di dunia mungkin mereka bisa selamat
namun di akhirat mereka tidak akan selamat. Maka dalam ayat ini Allah
subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa provokator dan orang yang
terprovokasi mereka semua nasibnya di akhirat sama-sama di neraka
Jahannam dan kekal di dalamnya. Oleh karenanya seseorang yang melakukan
provokator untuk melakukan kemaksiatan walaupun dia tidak melakukannya
maka hukumnya sama dengan orang yang melakukan kemaksiatan tersebut. Dan
ini sering penulis sampaikan seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala
tentang kaum nabi Shalih yaitu kaum Tsamud yang Allah subhanahu wa
ta’ala sebutkan dalam ayat tersebut,
اِذِ انْۢبَعَثَ اَشْقٰىهَاۖ
“ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka” QS. Asy-Syams: 12
Namanya
Salif bin Qudar, dan dia sendirilah yang kemudian membunuh untanya nabi
Shalih, akan tetapi dalam ayat berikutnya Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutkan,
فَكَذَّبُوْهُ فَعَقَرُوْهَاۖ فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْۢبِهِمْ فَسَوّٰىهَاۖ
“Namun
mereka mendustakannya dan mereka menyembelihnya, karena itu Tuhan
membinasakan mereka karena dosanya, lalu diratakan-Nya (dengan tanah)”
QS. Asy-Syams: 14
Dalam ayat ini disebutkan فَعَقَرُوْهَا
“mereka membunuh unta tersebut”, padahal yang membunuh hanya 1 orang,
mengapa demikian? Karena mereka semua adalah provokatornya walaupun
eksekutornya satu orang maka hukumnya sama antara provokator dan
eksekutor. Oleh karenanya dalam masalah kemaksiatan yang paling rendah
adalah pengingkaran, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ
أَضْعَفُ الْإِيمَانِ»
“Barangsiapa
yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah ia mengubahnya
dengan tangannya, dan apabila tidak mampu maka hendaklah diubahnya
dengan lisannya dan jika ia tidak mampu maka hendaklah diubahnya dengan
hatinya, tetapi itu adalah selemah-lemah iman.” ([54])
Dalam riwayat lain,
«مَا
مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ
أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ، وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ
وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ
خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لَا
يُؤْمَرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ
جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ
فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الْإِيمَانِ حَبَّةُ
خَرْدَلٍ»
“Tidak
ada seorang nabi pun yang Allah utus pada satu umat sebelumku kecuali
memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat
yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya, kemudian datang
generasi-generasi pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka
amalkan dan mengamalkan yang tidak diperintahkan. Siapa yang menghadapi
mereka dengan tangannya maka ia seorang mukmin, siapa yang menghadapi
mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin, dan siapa yang menghadapi
mereka dengan hatinya maka ia seorang mukmin. Tidak ada setelah itu
sekecil biji sawi dari iman.” ([55])
Maka
tidak boleh ketika ada orang yang melakukan kemaksiatan kemudian kita
provokator walaupun kita tidak melakukannya namun kita yang
memprovokasinya maka kita juga dapat dosa. Maka kita harus berhati-hati,
jika ada acara kesyirikan kemudian kita provokasi, ikut gembira, ikut
sumbangsih, dan ikut mendukung acara tersebut maka kita mendapatkan dosa
juga meskipun kita tidak melakukannya, karena hukum orang yang
melakukan dan provokator hukumnya sama di sisi Allah subhanahu wa
ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ
لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti
terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Pada
paragraf ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bagaimana cara agar
selamat dari godaan setan dan dari godaan orang-orang munafik maka
seseorang harus selalu ingat akhirat, dan ini merupakan perkara yang
sangat berat.
Ayat
ini dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dan As-Sa’dy ayat ini merupakan ayat
landasan tentang muhasabah([56]), muhasabatun nafsi yaitu seseorang
merenungkan dan melihat kembali apa yang telah dia kerjakan agar dia
bisa prepare untuk masa depannya, jadi seseorang harus memiliki waktu
untuk dia mengaudit dirinya. Dan ini bukan dilakukan setahun sekali
namun ini seharusnya dilakukan setiap hari. Namun kenyataannya kita
sering lalai.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat).”
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan agar setiap jiwa
merenungkan apa yang telah dia kerjakan untuk hari kiamat([57]). Allah
subhanahu wa ta’ala mengungkapkan hari kiamat/akhirat dengan لِغَدٍ
“hari esok” padahal hari kiamat mungkin masih jauh akan tetapi Allah
subhanahu wa ta’ala mengungkapkannya dengan esok hari karena
bagaimanapun jauhnya hari kiamat dia pasti akan tiba dan kita akan
bertemu dengan hari tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkan
dengan لِغَدٍ “hari esok” agar kita sadar bahwa walaupun hari kiamat
masih jauh bahwa hari tersebut akan datang dan kita harus siap setiap
saat([58]). Apalagi para ulama mengatakan bahwa kematian adalah kiamat
kecil, dan setiap orang akan segera merasakan kiamat kecilnya tersebut
dan dia tidak tahu kapan dia akan meninggal dunia. Betapa sering
kematian datang tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu,
فَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا … وَقَدْ نُسِجَتْ أَكْفَانُه وهُوَ لَا يَدْرِي
فَكَمْ مِنْ صِغارٍ يُرْتَجَى طُوْلُ عُمْرِهِمْ … وَقَدْ أُدْخِلَتْ أَجْسَادُهُمْ ظُلْمَةَ الْقَبْرِ
“Betapa
banyak pemuda di waktu pagi dan sore masih tertawa …. Dan sungguh
kain-kain kafannya telah dirajut dan dia tidak mengetahui
Dan
betapa banyak anak-anak kecil yang diharapkan umurnya panjang …. Namun
sungguh jasad-jasad mereka telah dimasukkan ke dalam kegelapan liang
lahat.” ([59])
Oleh
karenanya, kita sudah sering lihat di sekeliling kita tiba-tiba
seseorang meninggal dunia tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, jadi kita
tidak tahu kapan kita dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka
jangan lupa muhasabah, oleh karenanya ‘Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu
ta’ala ‘anhu berkata,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا
“auditlah (hisablah) diri kalian sebelum kalian dihisab oleh Allah subhanahu wa ta’ala” ([60])
Barang
siapa yang sering menghisab dirinya maka hisabnya akan ringan pada hari
kiamat. Sayangnya kita tidak punya waktu untuk menghisab diri kita,
betapa banyak kita merencanakan apa yang akan dilakukan di masa yang
akan datang namun untuk mengaudit diri kita tidak ada waktu. Maka kita
harus memiliki waktu untuk merenungkan apa yang telah kita lakukan, dan
kita harus menghisab/audit dengan detail. Sebelum dia merenungkan apa
yang akan dia kerjakan sebaiknya dia merenungkan dulu apa yang telah dia
kerjakan. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan betapa
banyak orang yang menyesal pada hari kiamat
وَجِايْۤءَ
يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَۙ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ
وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰىۗ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْۚ
“dan
pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah
manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu. Dia berkata,
“Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk
hidupku ini.” QS. Al-Fajr: 23-24
Orang
yang mengaudit dirinya yang dia menghitung-hitung umurnya yang tinggal
sedikit dan kemudian dia memiliki masa lalu yang mungkin kelam dan gelap
gulita maka dia akan terpacu dan termotivasi untuk bersiap-siap, maka
seseorang hendaknya berusaha untuk bermuhasabah sehingga dia tahu apa
yang akan dia kerjakan untuk masa depannya di akhirat.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengulangi perintah untuk bertakwa,
pada awal ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk
bertakwa kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengulangi lagi perintah
untuk bertakwa tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa kalimat takwa
yang kedua adalah penekanan untuk takwa yang pertama, dan sebagian lagi
mengatakan bahwa takwa yang pertama untuk menjalankan ketaatan dan takwa
yang kedua untuk meninggalkan kemaksiatan([61]) yang mana semuanya
membutuhkan ketakwaan, ada yang mengatakan lit-ta’kid dan ada yang
mengatakan lit-ta’sis, intinya kita diperintahkan untuk bertakwa dan
bertakwa, dan ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ
الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ
قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang
Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
An-Nisa: 136
Di sini terdapat pengulangan kata iman, maksudnya istiqomahlah kalian di atas keimanan dan tambahlah keimanan kalian.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dan sifat Allah subhanahu wa ta’ala خَبِيْرٌ
sebagaimana yang sering penulis sampaikan yaitu Allah subhanahu wa
ta’ala mengetahui segala sesuatu secara detail([62]), seakan-akan Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman: lakukanlah kebajikan dan hati-hatilah
terhadap kemaksiatan karena Allah subhanahu wa ta’ala mencatat kebajikan
dan mencatat kemaksiatan dengan detail. Tidak ada satu senyuman pun
kecuali tercatat dan pasti ada balasannya, dan tidak ada satu pandangan
harampun kecuali pasti ada catatannya dan pasti ada balasannya. Jadi
jangan khawatir ketika melakukan kebajikan sedikit apapun dan tidak ada
yang mengetahuinya karena Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya dengan
detail. Ketika kita memiliki niat baik dan niat kita ada 3 maka
sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui, tidak akan
ditambah menjadi 4 atau dikurangi menjadi 2. Maka salah satu cara kita
bermuhasabah agar kita ingat selalu apa yang sudah kita lakukan dan apa
yang akan kita lakukan semuanya tertulis secara detail.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Dan
janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga
Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah
orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)
Maksudnya
kalian lupa kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah meninggalkan
ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala([63]), karena makna النِّسْيَانُ An-Nisyan adalah الذُّهُوْلُ az-dzuhul yaitu lupa dan التَّرْكُ At-Tarku yaitu meninggalkan([64]), oleh karenanya para Ahli Tafsir mengatakan tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah subhanahu wa ta’ala”
Maksudnya
janganlah kalian meninggalkan perintah-perintah Allah subhanahu wa
ta’ala dan meninggalkan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala
فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ
“sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri.”
Artinya
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka meninggalkan
maslahat-maslahat untuk diri mereka([65]). Dan ini benar, seseorang jika
sudah tenggelam dalam kekufuran atau kemaksiatan dia lupa bahwa dirinya
butuh terhadap maslahat yang banyak untuk dirinya, masa depannya, untuk
akhiratnya, dia lupa apa yang bermanfaat untuk kebahagiaannya. Dia
tenggelam dalam kemaksiatan dan kelezatan yang kelezatan tersebut
merenggut semua kebahagiaannya. Sering penulis sampaikan bahwa
kemaksiatan bertolak belakang dengan kebahagiaan, memang benar dalam
kemaksiatan terdapat kelezatan akan tetapi kelezatan tersebut akan
merenggut kebahagiaannya, sejauh mana kita bermaksiat maka sejauh itu
pula kebahagiaan kita berkurang. Contoh sederhana seorang lelaki yang
tidak menjaga pandangannya dia akan berlezat-lezatan ketika melihat
wanita cantik akan tetapi kebahagiaannya akan hilang, sehingga istrinya
akan terlihat jelek hal ini dikarenakan dia membandingkan dengan wanita
lain. Akan tetapi jika dia menundukkan pandangannya maka istrinya akan
tetap terlihat cantik, dan ini benar-benar terjadi. Lihatlah orang-orang
kafir yang mereka tidak pernah puas yang mereka banyak berzina namun
mereka tidak pernah menemukan kebahagiaan yang akhirnya membuat mereka
selalu kecanduan dan akhirnya mereka melakukan seksual yang aneh-aneh
dan tidak menemukan kebahagiaan. Maka sejauh mana seseorang bermaksiat
kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka dia akan dilupakan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dan dia lupa akan maslahat yang bagi dirinya
tiba-tiba nyawanya dicabut oleh Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi
orang yang selalu ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka dia akan
tahu maslahat untuk dirinya, istrinya, anak-anaknya dan apa yang
disiapkan untuk akhiratnya semuanya dia pikirkan, dia bersedekah,
membaca Al-Quran, shalat malam, dan membangunkan istrinya untuk shalat
malam bersamanya, dan mendidik anak-anaknya untuk akhiratnya, jadi dia
dijadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk ingat selalu ingat
tentang kemaslahatan dirinya, akan tetapi jika dia lupa kepada Allah dan
meninggalkan Allah subhanahu wa ta’ala serta tenggelam ke dalam
kemaksiatan maka dia akan lupa terhadap maslahat untuk dirinya, dan
waktu terus berjalan tiba-tiba dia dipanggil oleh Allah subhanahu wa
ta’ala, dan ini banyak terjadi kepada manusia.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Mereka itulah orang-orang fasik”
Yaitu
mereka yang lupa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak menjalankan
perintah Allah subhanahu wa ta’ala, lupa terhadap kemaslahatan diri
mereka, tenggelam dalam kemaksiatan mereka kelezatan dunia, syahwat dan
lainnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَوْ
اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيْتَه خَاشِعًا
مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Sekiranya
Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka
berpikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala ingin menjelaskan bahwa Al-Quran ini
adalah penegur yang luar biasa, penasihat yang luar biasa([66]), yang
mana Al-Quran ini bisa menghancurkan batu yang besar dan gunung yang
kokoh, apalagi hanya sekedar hati manusia seharusnya bisa luluh dan
terenyuh. Yang jadi masalah adalah kita kurang mendalami Al-Quran dan
kurang membaca Al-Quran, dan ketika membaca Al-Quran pun tidak
mengetahui bahasa Arab, ada terjemahannya pun tidak sempat untuk dibaca.
Dan terjemahan bisa memberikan pengaruh, lalu bagaimana dengan orang
yang membaca Al-Quran dan dia mengetahui tafsirnya maka dia benar-benar
akan merasakan kebahagiaan, dan di dalam Al-Quran tidak ada takalluf
(dibuat-buat dan dipaksa-paksakan) dalam menasehati, karena Al-Quran
menceritakan tentang kisah ini dan itu dan menjelaskan tentang
ayat-ayat, dan ini bisa membuat hati kita terenyuh, tidak perlu membuat
drama-drama seperti yang dilakukan oleh banyak orang. Jika kita ingin
bahagia dengan iman maka kita harus bahagia dengan cara as-salaf
ash-shalih, karena mereka ketika beriman tidak dengan cara-cara seperti
itu yaitu dengan drama-drama ini dan itu, lagu ini dan itu, atau membuat
acara kumpul menangis bersama, maka cukup dengan membaca Al-Quran.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِۚ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ
“Dialah
Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang
nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 22)
Di penghujung surah ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala yang husna.
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwasanya yang layak
disembah hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala, mengapa Allah subhanahu wa
ta’ala saja yang layak disembah? Maka Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutkan dalil-dalilnya dengan nama-namanya. Dikatakan oleh para
ulama penetapan tauhid uluhiyyah (bahwasanya hanya Allah yang berhak
disembah) berdalil dengan asma wa sifat (yaitu Allah memiliki nama-nama
yang terindah dan sifat-sifat yang teragung). Jadi untuk menetapkan
tauhid uluhiyyah maka ada 2 metode: berdalil dengan tauhid rububiyyah
(yaitu hanya Allah yang menciptakan dan menguasai serta mengatur alam
semesta) dan berdalil dengan tauhid asma wa sifat. Berdalil dengan
tauhid rububiyyah seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ
فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا
لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan)
dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” QS. Al-Baqarah:
21-22
Dan
dalam surah Al-Hasyr ini Allah subhanahu wa ta’ala berdalil dengan
tauhid asma wa sifat untuk menetapkan tauhid uluhiyyah. Maksudnya tidak
ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala karena
Allah subhanahu wa ta’ala adalah Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Khaliq,
Al-Mushowwir, Al-Bary, Al-Mutakabbir, Al-Jabbar, Al-Muhaimin, dan
seterusnya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِۚ
“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.”
Yang
ghaib yang tidak diketahui oleh kita dan asy-syahadah yang tampak di
hadapan kita([67]), dan semuanya Allah subhanahu wa ta’ala tahu tidak
ada yang luput dari pengetahuan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ini
bantahan untuk orang falasifah seperti Ibnu Sina dan Faaroobi dan yang
lainnya yang mengatakan Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui
perkara-perkara secara global dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak
mengetahui secara detail, dan ini adalah kekufuran dan yang benar adalah
Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu dengan detail yang
ghaib maupun yang tampak, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَعِنْدَهُ
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا
وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا
فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan
pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam
kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” QS. Al-An’am 59
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada satu
daun pun yang jatuh kecuali Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui tentang
daun tersebut, kenapa daun tersebut jatuh, di negeri mana jatuhnya,
dari pohon yang mana, bagaimana jatuhnya, dan bagaimana nasib daun
tersebut Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya. Juga Allah subhanahu
wa ta’ala mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang
tidak terlihat oleh manusia,
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” QS. Al-Mulk: 13
Jadi
semua gerakan hati kita Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya, kita
sedang ikhlas, sedang sombong, sedang riya, sedang tawadhu’, atau sedang
ujub maka Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui semuanya secara detail.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ
“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”
Secara
sederhana Ar-Rahman adalah maha rahmat, Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan seratus rahmat dan satu rahmat Allah subhanahu wa ta’ala
turunkan ke muka bumi dan dengan satu rahmat tersebut manusia saling
menyayangi dan seorang ibu menyayangi anaknya dan seterusnya, dan Allah
subhanahu wa ta’ala simpan 99 rahmat di akhirat untuk orang-orang yang
beriman. Ar-Rahim maksudnya keterkaitan sifat rahmat Allah subhanahu wa
ta’ala kepada makhluk-Nya. Jadi Ar-Rahman berkaitan dengan dzat Allah
subhanahu wa ta’ala yang maha penyayang dan Ar-Rahim kasih sayang Allah
subhanahu wa ta’ala tersebut meliputi/mengenai seluruh
makhluk-Nya([68]), sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
الَّذِينَ
يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ
وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا
وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا
وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ
“(Malaikat-malaikat)
yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih
memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun
bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami,
rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan
kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan
peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala” QS.
Al-Mu’min: 7
Orang-orang kafir pun mendapat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, mereka mendapat rezeki di dunia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ
اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۚ اَلْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ
السَّلٰمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ
الْمُتَكَبِّرُۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Dialah
Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang
Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang
Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Hasyr: 23)
Dalam
ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengulangi kembali bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah dan
tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala,
semua tidak ada yang berhak untuk disembah, maka siapa yang lagi berhak
untuk disembah? Apakah ingin menyembah malaikat? Apakah malaikat maha
Ar-Rahman? Tentu tidak. Apakah menyembah nabi Isa? Apakah Nabi Isa
memiliki sifat Ar-rahman dan apakah dia juga mengetahui yang ghaib dan
syahadah? Tentu tidak. Apalagi menyembah sapi, maka sungguh sapi tidak
mengetahui yang ghaib dan yang tampak. Atau patung yang layak disembah?
Maka ketika ingin disembah harus dibuat terlebih dahulu patungnya? Maka
bagaimana mungkin layak patung untuk disembah. Oleh karenanya Allah
subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa satu-satunya yang berhak untuk
disembah adalah Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian menyebutkan
dalil-dalilnya,
اَلْمَلِكُ
الْقُدُّوْسُ السَّلٰمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ
الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Maharaja,
Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara
Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala
Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Disebutkan
dalil pertama dalam ayat ini karena Allah subhanahu wa ta’ala
اَلْمَلِكُ yaitu sang raja, tidak ada yang menguasai alam semesta ini
kecuali Allah subhanahu wa ta’ala([69]). Dan pada hari kiamat nanti
tidak ada yang menjadi raja kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, Allah
subhanahu wa ta’ala berfiman,
يَقْبِضُ
اللهُ الْأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ،
ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ
“Allah
menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan
kanannya kemudian berkata: Akulah sang Raja, di mana raja-raja dunia?”
([70])
Dan Juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang menguasai di Hari Pembalasan.” QS. Al-Fatihah: 4
Kemudian الْقُدُّوْسُ
maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala yang maha suci tidak ada aib dan
kekurangan sama sekali([71]), maka Dia yang berhak untuk disembah.
السَّلٰمُ
maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala selamat dari segala kekurangan dan
Allah subhanahu wa ta’ala memberikan keselamatan kepada
makhluk-Nya([72]).
الْمُؤْمِنُ
ada yang mengatakan artinya al-mushaddiq([73]) yaitu yang membenarkan
nabi-nabi-Nya dengan mengirimkan mukjizat-mukjizat kepada mereka,
membenarkan orang-orang yang beriman dengan menunaikan janji Allah
subhanahu wa ta’ala bahwasanya mereka akan masuk surga, dan membenarkan
orang-orang kafir dengan menunaikan janji Allah subhanahu wa ta’ala
dengan memasukkan mereka ke dalam neraka jahannam.
الْمُهَيْمِنُ berkata Al-Alusy menjelaskan maknanya,
الرقيبُ والحفيظُ على الشيءِ
“yang mengawasi dan menjaga sesuatu” ([74])
Dan
beliau menyebutkan khilaf dalam makna Al-Muhaimin. Dan Al-Quran jika
disifati dengan al-muhaimin maka artinya yang memutuskan, sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ
الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ
ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” QS.
Al-Maidah: 48
الْعَزِيْزُ
yaitu maha perkasa, maksudnya tidak ada yang mengalahkannya, tidak ada
yang mendominasinya, dan tidak ada yang bisa protes dengan segala
keputusannya.
الْجَبَّارُ
yaitu yang maha kuasa yang semua makhluk tunduk di bawah kehendak Allah
subhanahu wa ta’ala, seakan-akan memaksa siapapun dan tidak ada
siapapun yang bisa keluar dari kehendak dan keputusan Allah subhanahu wa
ta’ala.
الْمُتَكَبِّرُ
kalau dalam bahasa kita artinya sombong, yaitu yang maha agung. Karena
yang berhak sombong hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dalam hadits qudsi
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعِزَّةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، أُلْقِهِ فِي النَّارِ
“Kesombongan
itu adalah ‘selendangKu’ dan keagungan itu adalah ‘SarungKu’ Sesiapa,
barang siapa yang ingin mengusik Ku pada salah satu dari keduanya, Aku
lemparkannya ke dalam Neraka.” ([75])
Maka
tidak boleh ada yang merasa sombong dan merasa agung, karena yang
berhak untuk merasa sombong dan agung hanyalah Allah subhanahu wa
ta’ala. Adapun manusia semua yang mereka miliki hanyalah pemberian Allah
subhanahu wa ta’ala maka mereka berhak untuk sombong.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ
اللّٰهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ
الْحُسْنٰىۗ يُسَبِّحُ لَه مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ
الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dialah
Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia
memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih
kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Hasyr:
24)
Al-khaliq
dan Al-Bary ketika disebutkan secara sendiri maka maknanya tidak ada
bedanya yaitu yang maha mencipta. Akan tetapi jika Al-Khaliq dan Al-Bary
digabung maka Al-Khaliq artinya yang menakdirkan yaitu yang
memplaining, dan Al-Bary yang mengadakan, yang mengeksekusi plaining
tersebut. kemudian Al-Mushawwir yaitu yang membentuk dari ciptaan Allah
subhanahu wa ta’ala. Jadi secara urutan al-khaliq kemudian al-bary
kemudian al-mushowwir([76]). contohnya manusia, Al-Khaliq yaitu sebelum
diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui siapa yang akan
diciptakan, kemudian Al-Bary yaitu Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan
manusia tersebut, lalu Al-Mushowwir yaitu Allah subhanahu wa ta’ala
bentuk manusia tersebut. Dan kita tidak bisa menentukan bagaimana anak
kita bentuknya, betapa banyak orang yang ingin anaknya tampan dengan
cara menikah dengan wanita yang cantik namun ternyata wajahnya tetap
seperti ayahnya.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana”
Allah
subhanahu wa ta’ala menggabungkan antara perkasa dan bijaksana karena
Allah subhanahu wa ta’ala dengan keperkasaan-Nya tetap bijaksana,
sebagian orang memiliki kekuatan namun tidak bijak, dan sebagian orang
memiliki kebijakan namun tidak perkasa.
Kunjungi juga: Ulumul Qur'an
____
Footnote:
([1]) Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 1.
([2])
HR Al-Bukhari no 4029 dan Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 266 dan
disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 1.
([3])
Atsar ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 266 dan
disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 1.
([4])
Atsar ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 289 dan
disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 49.
([5])
HR Ahmad dalam Musnadnya no 20306, Ad-Darimiy dalam Sunannya no
3468, At-Tirmidziy dalam Sunannya no 2922 dan beliau berkata, “Hadits
ini gharib, kami tidak mengetahui kecuali dari jalan ini”, dan
disebutkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 289 . Sanadnya dha’if
karena adanya rawi yang bernama Khalid bin Thahman, ia didha’ifkan oleh
Imam Yahya bin Ma’in.
([6])
HR At-Tirmidziy dalam Sunannya no 2910 dan beliau berkata: Hadits hasan
shahih gharib dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy, beliau berkata
dalam Silsilah Shahihah no 660: sanadnya jayyid .
([7])
Siroh Ibni Hisyaam 1/519 dari Muhammad bin Ishaaq dalam sirahnya, dan
dari jalur Muhammad bin Ishaaq Abu Nuáim (Dalail an-Nubuwwah no 37) dan
Al-Baihaqi (Dalaail an-Nubuwwah 2/533) meriwayatkan. Sanadnya dikatakan
kuat oleh As-Shouyani dalam kitabnya As-Shahih min Ahaadiits As-Siirah
an-Nabawiyah (hal 170) karena ada syahidnya dari jalan Ibnu Syihab
Az-Zuhri di Dalaail An-Nubuwwah, al-Baihaqi (2/532).
([8]) Lihat Tafsir Ath-Thabariy: 23/ 259, Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 57-58 dan Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 66-68.
([9]) HR Imam Muslim no 153.
([10]) Lihat Tafsir Ath-Thabariy: 23/ 262.
([11]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 3.
([12]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/3.
([13]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 69.
([14]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 4-5.
([15]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 72.
([16]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 5.
([17]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 66.
([18]) HR Ahmad dari Anas bin Malik no 12392 dan At-Tirmidziy no 3894 dari Anas bin Malik:
بَلَغَ
صَفِيَّةَ أَنَّ حَفْصَةَ قَالَتْ: إِنِّي ابْنَةُ يَهُودِيٍّ، فَبَكَتْ،
فَدَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ
تَبْكِي، فَقَالَ: ” مَا شَأْنُكِ؟ ” فَقَالَتْ: قَالَتْ لِي حَفْصَةُ:
إِنِّي ابْنَةُ يَهُودِيٍّ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: ” إِنَّكِ ابْنَةُ نَبِيٍّ، وَإِنَّ عَمَّكِ لَنَبِيٌّ،
وَإِنَّكِ لَتَحْتَ نَبِيٍّ، فَفِيمَ تَفْخَرُ عَلَيْكِ “، فَقَالَ: ”
اتَّقِي اللهَ يَا حَفْصَةُ
“Telah
sampai kepada Shafiyyah bahwasanya Hafshah berkata bahwa Shafiyyah
adalah anak Yahudi maka Shafiyyah pun menangis, lalu Nabi shallallahu
álaihi wasallam masuk menemuinya dan ia dalam keadaan menangis maka Nabi
pun bertanya: “Ada apa denganmu?” Lalu ia jawab: “Hafshah berkata
kepadaku bahwa aku adalah anak Yahudi” maka Nabi berkata: “Sesungguhnya
engkau adalah anak Nabi (yaitu Nabi Harun álaihis salama) dan pamanmu
Nabi (yaitu Nabi Musa álaihis salam) dan engkau pun istri seorang Nabi
(yaitu Nabi Muhammad), lalu apa yang ia bisa banggakan atas dirimu?”
lalu beliau pun berkata: “Bertakwalah wahai Hafshah”
([19]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 6 dan Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 58..
([20]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 11.
([21]) Imam Ath-Thabariy berkata tentang makna ghanimah:
مَا أَصَابَ الْمُسْلِمِيْنَ عُنْوَةً بِقِتَالٍ فِيْهِ الحُمُسُ وَأَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهَ لِمَنْ شَهِدَهَا
“Harta
yang didapatkan oleh kaum muslimin dengan paksa melalui peperangan dan
ada bagian 20 % (untuk Allah dan Rasul-Nya) dan 80 % untuk para mujahid
yang ikut perang” (Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 546).
([22])
Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 14-15. Dan nama Nabi adalah Muhammad bin
Abdillah bin Abdil Muttholib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushoy bin
Kilaab.
Bani
Hasyim, yaitu anak-anak keturunan Hasyim. Bani Abdi Manaf, yaitu
anak-anak keturunan Abdu Manaf. Sehingga semua Bani Hasyim pasti
keturunan Abdu Manaf, akan tetapi tidak semua ketutunan Abdu Manaf
adalah Bani Hasyim.
([23]) Lihat Tafsir Ath-Thabariy: 23/ 279.
([24]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 63.
([25]) Imam Ath-Thabariy menjelaskan tentang maknaابْنُ السَّبِيْل : المُجْتَجُ سَفَرًا وَقَدِ انْقُطِعَ بِهِ “Orang yang bepergian safar dan kehabisan bekal”.(Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 560).
Adapun Imam Ibnu Katsir maka beliau berkata:
هُوَ
الْمُسَافِرُ أَوِ الْمُرِيدُ لِلسَّفَرِ إِلَى مَسَافَةٍ تُقْصَرُ فِيهَا
الصَّلَاةُ، وَلَيْسَ لَهُ مَا يُنْفِقُهُ فِي سَفَرِهِ ذَلِكَ
“Orang
yang safar atau orang yang ingin safar dengan jarak yang diperbolehkan
untuk qashar shalat sedangkan ia tidak memiliki bekal dalam safar
tersebut” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 65).
([26]) Imam Ath-Thabariy menjelaskan tentang makna نَفَلٌ:
كُلُّ
مَنْ زِيْدَ مِنْ مقَاتِلَةِ الْجَيْشِ عَلَى سَهْمِهِ مِنَ الْغَنِيْمَةِ
إِنْ كَانَ ذَلِكَ لِبَلَاء أَبْلَاهُ، أَوْ لِغِنَاءٍ كَانَ مِنْهُ عَنِ
الْمُسْلِمِيْنَ بِتَنْفِيْلِ الْوَالِيْ ذَلِكَ إِيّاهُ
“Setiap
bagian tambahan selain bagian aslinya untuk pasukan karena ujian yang
ia dapatkan atau jasa dia kepada kaum musclemen dengan pemberian imam
kepadanya”.(Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 366).
([27]) Sayyid Sabiq menjelaskan makna سَلَبٌ :
السَلَبُ هُوَ مَا وًجِدَ عَلَى الْمَقْتُوْلِ مِنَ السِّلَاحِ وَعًدَّةِ الْحَرْبِ، وَكَذَلِكَ مَا يَتَزَيَّنُ بِهِ لِلْحَرْبِ.
“Salab
adalah barang yang didapati pada jasad orang yang terbunuh (pada
perang) baik itu berupa senjata, perlengkapan perang dan segala sesuatu
yang merupakan hiasan dalam peperangan”.(Fiqhus-Sunah: 2/679).
([28]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 17.
([29]) Atsar ini disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 17.
([30]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 18.
([31]) HR Al-Bukhari No. 4886 dan Muslim no 2125.
([32]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 19.
([33]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 90-91.
([34]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 28 dari perkataan Abu Yazid Al-Busthomiy.
([35]) HR Al-Bukhariy no 2018.
([36]) HR Muslim no 2054.
([37]) Atsar ini diriwayatkan oleh Hudzaifah Al-‘Adawiy disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam Tafsirnya: 18/ 28.
([38]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/32
([39]) Lihat: Fathul Qadir 5/242
([40]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/33
([41]) Lihat: Firaq Mu’ashirah hal: 350
([42]) HR. Ahmad no. 12697, dan Tafsir Ibnu Katsir 8/70
([43]) HR. Muslim no. 2559
([44]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/99
([45]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/35
([46]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/35
([47]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/105-106
([48]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/108
([49]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/252
([50]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/37
([51]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/42
([52]) Lihat: Tafsir Ibnu Athiyyah 5/290
([53]) Tasir Abdurrazzaq 3/299
([54]) HR. Muslim no. 49
([55]) HR. Muslim no. 50
([56]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 853
([57]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/43
([58]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/43
([59]) Fafirruu ilallah hal: 84
([60]) HR. At-Tirmidzi no. 2459
([61]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/254
([62]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 22/310
([63]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/43
([64]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/306
([65]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 853
([66]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 853
([67]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/45
([68]) Lihat: Syarh Tsalatsatul Ushul hal: 18
([69]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 28/190
([70]) HR. Ahmad no. 8863, dikatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth hadits ini shohih
([71]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 28/190
([72]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/46
([73]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/46 dan Tafsir As-Sa’dy hal: 854
([74]) Tafsir Al-Alusy 14/256
([75]) HR. Ahmad no. 7382
([76]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/48
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/