Type Here to Get Search Results !

 


TAFSIR SURAT AL-HASYR

 

Surat Al-Hasyr adalah surat madaniyyah dengan kesepakatan para ulama([1]) dan surat ini berkisah tentang pengusiran Bani Nadhir dari kota Madinah dimana mereka terusir dari kota Madinah ke Khaibar. Adapun penamaan surat ini maka para ulama menjelaskan bahwa surat ini memiliki dua nama yaitu Surat Al-Hasyr dan Surat Bani Nadhir. Demikianlah Ibnu Abbas yang menamakan surat ini dengan nama yang kedua tersebut dimana beliau berkata:

قُلْ سُوْرَةُ النَّضِيْرِ

“Katakanlah Surat (Bani) Nadhir” ([2])

“Al-Hasyr” sendiri maknanya adalah pengusiran dan surat ini dinamakan demikian karena memang menceritakan tentang pengusiran Yahudi Bani Nadhir.

Keutamaan surat ini terdapat dalam beberapa hadits, di antaranya adalah riwayat Ibnu Abbas:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: “مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْحَشْرِ لَمْ يَبْقَ جَنَّةٌ وَلَا نَارٌ وَلَا عَرْشٌ وَلَا كُرْسِيٌّ وَلَا حِجَابٌ وَلَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرَضُوْنَ السَّبْعُ وَالْهَوَامُّ وَالرِّيْحُ وَالطَّيْرُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَالْجِبَالُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالْمَلَائِكَةُ إِلَّا صَلَّوْا عَلَيْهِ وَاسْتَغْفَرُوْا لَهُ فَإِنْ مَاتَ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ لَيْلَتِهِ مَاتَ شَهِيْدًا”

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda : “Barangsiapa yang membaca surat Al-Hasyr maka tidaklah tersisa satu makhluk pun, baik surga, neraka, arsy, kursiy, hijab, langit yang tujuh, bumi yang tujuh, serangga-serangga, angin, burung-burung, pepohonan, hewan-hewan, gunung-gunung, matahari, bulan dan para malaikat melainkan semuanya akan bershalawat kepadanya dan memintakan ampunan baginya dan jika ia meninggal pada hari itu atau pada malam itu niscaya akan dituliskan baginya sebagai mati syahid”([3])

Namun hadits ini adalah hadits yang dha’if. Demikian pula ada hadits dha’if yang lainnya dari Anas bin Malik:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ قَرَأَ آخِرَ سُوْرَةِ الْحَشْرِ ” لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ …” إِلَى آخِرِهَا- فَمَاتَ مِنْ لَيْلَتِهِ مَاتَ شَهِيْدًا”

Dari Anas bin Malik, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda: “ Barangsiapa yang membaca akhir dari surat Al-Hasyr dari ayat “Seandainya Kami turunkan Al-Quran ini kepada gunung…” hingga akhir surat lalu ia mati pada hari tersebut maka ia mati dalam keadaan syahid”([4]),

Demikian juga dalam hadits dho’if yang lain Nabi ﷺ juga bersabda:

“مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ وَقَرَأَ ثَلَاثَ آيَاتٍ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْحَشْرِ وَكَّلَ اللَّهُ بِهِ سَبْعِينَ الْفَ مَلَكٍ يُصَلُّونَ عَلَيْهِ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنْ مَاتَ فِي يَوْمِهِ مَاتَ شَهِيدًا وَمَنْ قَرَأَهَا حِينَ يُمْسِي فَكَذَلِكَ”

“Barangsiapa yang mengucapkan ketika di pagi hari sebanyak tiga kali: “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan syetan yang terkutuk lalu membaca tiga ayat terakhir Surat Al-Hasyr maka Allah akan mewakilkan untuknya tujuh puluh ribu malaikat yang bershalawat (berdoa) untuknya hingga sore hari dan jika ia meninggal pada hari itu maka meninggal dalam keadaan mati syahid, dan barangsiapa yang membaca ketika sore hari juga akan mendapatkan balasan demikian”([5])

Oleh karena itu semua dalil yang berbicara tentang keutamaan membaca Surat Al-Hasyr semuanya adalah hadits yang dha’if. Akan tetapi secara umum surat ini tetap dikatakan mulia karena ia merupakan bagian dari ayat-ayat Al-Quran dan berlaku baginya keumuman hadits Nabi ﷺ:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran maka ia akan mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan dilipat-gandakan menjadi sepuluh kebaikan…”.([6])

dapun sebab nuzul dari ayat ini adalah tentang kisah pengusiran Bani Nadhir, Nabi ﷺ ketika datang ke Madinah disana telah ada 3 suku besar dari kalangan Yahudi: Yang pertama adalah Bani Qainuqa’, yang kedua adalah Bani Nadhir dan yang ketiga adalah Bani Quraizhah yang mereka merupakan Yahudi yang berbeda jalur keturunan, sebagaimana telah diketahui bahwa Yahudi memiliki dua belas “Asbath” yakni jalur keturunan dan di antaranya adalah Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah namun mereka semua sama-sama merupakan keturunan Yahudi. Barangkali ada yang bertanya-tanya mengapa mereka tidak bergabung saja? Maka jawabannya memang mereka tidak bergabung karena mereka berbeda suku namun tetap mereka sama-sama keturunan Yahudi.

Tatkala Nabi ﷺ datang ke kota Madinah maka Nabi ﷺ membuat perjanjian dengan Yahudi yang dikenal sebagai “Watsiqatul-Madinah” atau disebut juga sebagai Piagam kota Madinah yang di dalam piagam tersebut terdapat kesepakatan antara penduduk kota Madinah yang isinya menyatakan kesepakatan mereka baik itu kaum muslimin, kaum musyrikin maupun kaum Yahudi untuk membela negeri tersebut. Jika ada yang menyerang dari luar maka mereka harus bersama-sama berinfak dan berjuang untuk melawan musuh tersebut dan mempertahankan kota tersebut. Hal ini disepakati oleh semuanya termasuk orang-orang Yahudi sehingga Nabi ﷺ hidup bersama orang-orang Yahudi dengan menghormati kondisi mereka, para orang Yahudi pun tetap menjalankan ibadah mereka sebagai orang Yahudi dan tidak diganggu oleh Nabi ﷺ dan beliau hanya mendakwahkan mereka agar mereka masuk Islam namun beliau tidak pernah melarang mereka untuk beribadah sesuai dengan ajaran agama mereka.

Nabi ﷺ berinteraksi dengan mereka, berjual-beli dengan mereka. Bahkan disana terdapat pasar yang bernama Pasar Bani Qainuqa’, dan biasa terjadi jual-beli disana dengan kaum muslimin. Hiduplah orang-orang Yahudi disana berdampingan dengan kaum muslimin di kota Madinah, namun akhirnya mereka yakni orang-orang Yahudi tersebut berkhianat. Dan yang pertama kali berkhianat adalah Bani Qainuqa’, dimana mereka berkhianat dan membatalkan perjanjian damai dengan Nabi ﷺ sehingga mereka diusir dari kota Madinah oleh Rasulullah ﷺ sehingga merekalah yang pertama keluar dari kota Madinah.

Pada tahun 2 Hijriyah terjadi perang Badar dan ketika itu kaum muslimin menang sehingga orang-orang Yahudi semakin percaya bahwa dia inilah Nabi yang kita tunggu-tunggu kehadirannya, buktinya adalah beliau berhasil memenangkan perang Badar karena alasan Yahudi tinggal di kota Madinah adalah karena mereka menunggu kedatangan Nabi yang terakhir, mereka sengaja tinggal di kota tersebut karena telah mengetahui hal ini, Allah berfirman tentang keadaan mereka:

يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ

“Mereka (orang-orang Yahudi) mengenalinya (Nabiﷺ) sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri” QS Al-Baqarah: 146.

Maka orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan yang mendetail tentang Nabi ﷺ seperti pengetahuan terhadap anak sendiri saking mendetailnya pengetahuan mereka. Bahkan mereka telah mengetahui dimana Nabi tersebut akan berhijrah sehingga mereka memilih kota Madinah sambil menunggu kedatangan Nabi terakhir untuk berhijrah. Namun ketika Nabi ﷺ telah berhijrah kesana, mereka tidak beriman kepada Nabi ﷺ karena ternyata Muhammad bukan dari kalangan Bani Isra’il dan ternyata beliau berasal dari bangsa Arab sementara orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang fanatik dengan suku mereka, sedangkan keyakinan mereka adalah mereka saja suku yang diakui oleh Allah Ta’ala, adapun orang-orang selain mereka maka tidak ada yang diakui oleh Allah Ta’ala dan akan memasuki neraka Jahanam, seperti inilah keyakinan orang-orang Yahudi. Maka ketika keluar seorang Nabi terakhir tersebut mereka terpukul karena ternyata Nabi terakhir tersebut dari bangsa Arab.

Setelah selesai perang Badar yang dimenangkan oleh Nabi ﷺ maka Yahudi semakin yakin bahwa ini adalah Nabi yang ditunggu-tunggu namun tetap saja mereka tidak mau beriman. Ketika terjadi perang Uhud pada tahun ke 3 Hijriyah dimana Nabi ﷺ dan kaum muslimin mengalami kekalahan bahkan sampai 72 orang Sahabat yang mati syahid di jalan Allah maka banyak orang-orang Yahudi yang mulai berani menggangu Nabi ﷺ, pikir mereka sebagaimana Muhammad bisa kalah dari suku Quraisy maka ada kemungkinan kita bisa mengalahkannya bahkan memang pernah terjadi di kalangan Nabi-Nabi  Bani Isra’il terdahulu ada yang berhasil dibunuh, Allah sebutkan dalam  Al-Quran di antara keburukan orang-orang Yahudi:

وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Dan mereka (Yahudi) membunuh para Nabi dengan tanpa hak” QS An-Nisa: 155.

Jikalau ada Nabi yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka maka mereka akan membunuh Nabi tersebut.

أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ

Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh (QS Al-Baqoroh : 87)

Begitu pula dengan Nabi Muhammad ﷺ, meksipun yahudi mengetahui bahwa beliau memang Nabi terakhir akan tetapi masih ada kemungkinan dia kalah dan ada kemungkinan ia mati meskipun Yahudi memang benar-benar telah mengetahui bahwa ia adalah Nabi. Demikianlah spekulasi orang-orang Yahudi, mereka berpikir bahwa beliau memang Nabi namun masih ada kemungkinan kalah buktinya adalah beliau kalah pada perang Uhud, dan mungkin saja mereka berhasil membunuhnya karena nyatanya di antara Nabi-nabi terdahulu ada juga Nabi-nabi yang berhasil dibunuh. Adapun perkara akhirat maka itu nanti urusan mereka dengan Allah, pokoknya mereka tidak mau beriman dengan Nabi ini. Orang-orang Yahudi memiliki keyakinan bahwa mereka pasti masuk surga walaupun tanpa beriman dengan Muhammad ﷺ dan hasad mereka sungguh luar biasa kepada kaum muslimin.

Ummul mukminin Shofiyyah binti Huyay radhiallahu ánhaa (yang ayah beliau Huyay bin Akthob adalah kepala suku bani Nadhiir) pernah berkata:

وَسَمِعْتُ عَمِّي أَبَا يَاسِرٍ، وَهُوَ يَقُولُ لِأَبِي حُيَيِّ بْنِ أَخْطَبَ: أَهُوَ هُوَ؟ قَالَ: نَعَمْ وَاَللَّهِ، قَالَ: أَتَعْرِفُهُ وَتُثْبِتُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَا فِي نَفْسِكَ مِنْهُ؟ قَالَ: عَدَاوَتُهُ وَاَللَّهِ مَا بَقِيتُ

“Dan aku mendengar Abu Yasir pamanku berkata kepada Huyay bin Akhthob, “Apakah Muhammad itu adalah nabi yang kita tunggu-tunggu?”. Ayahku berkata, “Iya, demi Allah”. Pamanku berkata, “Apakah engkau sudah mengenalnya dan sudah memastikannya?”. Ayahku berkata, “Iya”. Pamanku berkata, “Bagaimana sikapmu terhadapnya?”. Ayahku berkata, “Memusuhinya, demi Allah selama hidupku” ([7])

Maka orang-orang Yahudi mulai berani mengganggu Nabi ﷺ hingga terjadi suatu kejadian “Bi`ir Ma’unah”  (sumur Ma’unah) tatkala ada 70 orang Sahabat yang dipanggil untuk mengajar Al-Quran ternyata yang memanggil tersebut berkhianat dan berujung para Sahabat yang dipanggil tersebut akhirnya dibunuh.

Ketika itu ada 1 orang yang sempat lolos dari pembunuhan tersebut yaitu ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamariy, beliau berhasil kabur dan kembali ke kota Madinah. Ketika di perjalanan ia bertemu dengan dua orang kafir dari Bani ‘Amr atau Bani ‘Amir dan kedua orang kafir ini telah memiliki perjanjian damai dengan Nabi ﷺ. Akhirnya sahabat tersebut bertemu dengan dua orang kafir ini, maka ketika kedua orang kafir ini tertidur ia membunuh keduanya karena ia menyangka bahwa kedua orang ini termasuk dari golongan orang-orang yang telah membunuh 70 Sahabat tadi.

Lalu sahabat ini sampai di kota Madinah, ia pun melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi ﷺ bahwasanya dia telah membunuh dua orang kafir namun Nabi ﷺ kemudian menegur sahabat tersebut bahwasanya kedua orang tersebut telah memiliki perjanjian damai dengan beliau dan tidak boleh untuk dibunuh karena meskipun mereka kafir akan tetapi mereka dari golongan kafir “mu’aahad” yang tidak boleh dibunuh yakni orang kafir yang telah memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin, adapun kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir “harbiy”.

Akhirnya Nabi ﷺ memutuskan untuk membayar diyat dua orang kafir yang terbunuh tersebut. Kabar wafatnya dua orang kafir tersebut sampai kepada suku mereka. Ketika Nabi ﷺ ingin membayarkan diyatnya sedangkan beliau dalam keadaan tidak memiliki harta, maka Nabi ﷺ ingin agar Bani Nadhir membantu membayarkan diyat dua orang yang terbunuh tadi. Hal ini karena keadaan Bani Nadhir yang memiliki banyak harta, bahkan mereka memiliki beberapa benteng dan mereka pun memiliki banyak kebun kurma. Lalu Nabi ﷺ pun menemui Bani Nadhir untuk meminta bantuan. Akan tetapi ketika Nabi ﷺ hendak datang kepada mereka untuk meminta bantuan dalam membayar diyat, orang-orang Yahudi tersebut ternyata sebalumnya telah rapat dan mereka bersepakat untuk membunuh Nabi ﷺ dengan cara menyiapkan satu orang untuk membawa “rahaa” (yakni alat untuk menggiling gandum yang terbuat dari batu). Orang tersebut dipersiapkan di bagian atas rumah untuk melemparkan “rahaa” (batu penggilingan) ke arah Nabi ﷺ sehingga beliau mati. Lalu datanglah Nabi ﷺ namun rencana busuk pembunuhan tersebut digagalkan oleh Jibril, sehingga Nabi ﷺ pun tidak jadi meminta bantuan dari mereka bahkan beliau bersiap untuk menyerang mereka karena mereka telah membatalkan perjanjian dengan rencana pembunuhan tersebut.

Lalu Nabi ﷺ datang menyerang mereka dengan membawa pasukan lengkap. Ketika Nabi ﷺ datang mereka ketakutan dan masuk ke dalam benteng-benteng mereka dan mereka ingin kembali berdamai dengan Nabi ﷺ, namun ternyata Nabi ﷺ memberikan mereka tempo selama sepuluh hari agar mereka keluar, jikalau mereka tidak keluar maka mereka akan diperangi. Ketika mereka telah bersikap untuk keluar dari kota Madinah, datanglah orang-orang munafik yang diketuai oleh Abdullah bin Ubay bin Salul menemui orang-orang Yahudi dan membujuk mereka agar tidak keluar dari kota Madinah dan mengatakan bahwa orang-orang munafik ini berjumlah sekitar dua ribu orang atau bahkan lebih. Orang-orang munafik berjanji akan membantu mereka dan mereka mengajak untuk melawan Nabi ﷺ dan pasukannnya. Kaum munafik berkata, “Jikalau kalian berperang niscaya kami akan perang bersama kalian dan kalaulah kalian terusir maka kami pun akan ikut terusir bersama kalian”. Demikian bujuk orang-orang munafik dan perkataan orang-orang munafik ini Allah abadikan di akhir Surat Al-Hasyr dimana mereka berkata manis di hadapan orang-orang Yahudi. Ketika orang-orang Yahudi mendengar janji yang diucapkan oleh orang-orang munafik maka orang-orang Yahudi pun bertahan di kota  Madinah dan mereka bersikap untuk perang. Mulailah terjadi awal peperangan antara Yahudi melawan Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ mulai menyerang mereka dengan membakar kebun-kebun kurma orang Yahudi dan mereka pun menjadi ketakutan. Akhirnya mereka menyerah dengan cara mengirimkan surat kepada Nabi ﷺ dan urunglah terjadi peperangan karena memang Allah lemparkan rasa takut di dalam diri mereka di awal peperangan sehingga Nabi ﷺ pun mengusir mereka. Karenanya surat yang menceritakan peristiwa ini disebut dengan al-Hasyr, karena “al-Hasyr” artinya adalah pengusiran.

Intinya Yahudi (bani Nadhiir) pun akhirnya terusir dari kota Madinah, sebagian mereka mengungsi ke Syam dan sebagian lagi pergi ke Khaibar. Di antara yang pergi ke Khaibar adalah Huyay bin Akhthob yang merupakan ayah dari Shafiyyah sekaligus pemimpin dari bani Nadhiir. Karenanya Shofiyyah disebutkan dalam biografi beliau dengan Shafiyyah bintu Huyay An-Nadhiriyyah yang menunjukkan bahwa beliau dari kabilah Bani Nadhir.

Ketika mereka keluar dari kota Madinah Nabi ﷺ mengizinkan mereka untuk membawa barang-barang mereka yang bisa dibawa satu ekor unta. Mereka diperbolehkan untuk membawa apa saja apakah berwujud  emas atau perak atau benda-benda lainnya selain senjata. Dan tiap keluarga hanya diperbolehkan membawa bawaan (pikulan) satu ekor unta. Saat pengusiran tersebut mereka membawa apa yang bisa dibawa bahkan mereka membongkar rumah-rumah mereka agar bisa dibawa kayu-kayunya bersama mereka dan membuat rumah yang baru dan mereka pikulkan di atas unta-unta mereka dan mereka pun pergi meninggalkan kota Madinah. Inilah sebab nuzul dari Surat Al-Hasyr yang maknanya adalah “Pengusiran” karena berisi tentang pengusiran Bani Nadhir dari kota Madinah dan dinamakan juga sebagai Surat Bani Nadhir. ([8])

Allah Ta’ala berfirman:

سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS Al-Hasyr: 1.

   Pada awal surat ini, Allah menyebutkan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi bertasbih mensucikan Allah karena Dia lah satu-satunya Tuhan yang mengatur alam semesta sehingga Dia satu-satunya Zat yang berhak untuk ditasbih dan disucikan, kemudian Allah berfirman:

…وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“…Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Oleh karena itu tidak ada yang bisa lepas dari penguasaan Allah dan tidak ada yang bisa lepas dari pengaturan Allah. Jikalau Allah berkehendak maka pasti akan terjadi. Akan tetapi Dia Maha Kuasa sekaligus Maha Bijaksana yang bermakna Kekuatan dan Keuasaan Allah tersebut lantas tidak menjadikan Allah melakukan perbuatan yang tidak benar dan semua yang Allah putuskan melainkan pasti ada hikmah dibalik itu semua, lain hal nya dengan manusia jika memiliki kekuatan mayoritasnya adalah tidak memiliki sifat bijaksana. Adakalanya seseorang memiliki power dan kekuatan namun itu menjadikannya tidak baik dalam melakukan tindakan dan tidak bijaksana. Keadaan sebaliknya ada juga orang yang memiliki sifat bijaksana namun tidak memiliki kekuatan maka ini pun kurang manfaatnya maka kebijaksanaannya tersebut hanyalah untuk dirinya dan tidak bisa diterapkan untuk orang lain. Adapun Allah maka Dia mencakup semua sifat terpuji tersebut Dia Maha Kuat, Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Pada ayat ini Allah mengisyaratkan bahwa apa yang Allah putuskan atas Bani Nadhir itu adalah keputusan yang terbaik dan itu keputusan yang amat bijak.

Setelah Allah memuji Diri-Nya, Dia melanjutkan:

هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir dari ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwasanya benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.” QS Al-Hasyr: 2.

Firman Allah “orang-orang kafir dari ahli kitab” mengisyaratkan bahwa orang kafir ada banyak jenisnya, ada jenis orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab,  seperti Yahudi dan Nasrani, ada orang-orang kafir dari kalangan musyrikin dan ada juga jenis orang-orang kafir dari kalangan “Dahriyyin” atau Atheis. Hal ini karena sebab kekufuran ada banyak, ada orang yang terhitung kufur karena kesyirikan, ada yang kufur karena sebab tidak beriman kepada Nabi ﷺ seperti orang-orang Yahudi. Orang Yahudi tidak dikenal dengan mempertuhankan Nabi Musa, tidak sebagaimana Nasrani yang mereka mempertuhankan Nabi Isa namun di sisi lain lain, sebagian orang-orang Yahudi berkeyakinan bahwasanya Uzair adalah anak Allah akan tetapi secara umum, orang-orang Yahudi mereka berdo`anya adalah kepada Allah, lain halnya dengan Nasrani yang mereka meminta hajat mereka kepada Nabi Isa. Orang Yahudi walaupun juga terdapat kesyirikan akan tetapi dalam berdo`a mereka tetap arahkan kepada Allah semata, hanya saja mereka tetap dihukumi kafir adalah dengan sebab mereka tidak mau beriman kepada kenabian Nabi Muhammad  ﷺ

Oleh karena itu hingga hari ini masih cukup banyak “muwahhidun” dari kalangan Nasrani, pernah ada seorang teman kandidat Doktor asal Amerika dan ia menulis Disertasi nya dengan tema:

الْمُوَحِّدُوْنَ مِنَ النَّصَارى

“Orang -orang yang bertauhid dari kalangan Nasrani” yaitu mereka yang beriman bahwasanya Tuhan itu adalah Allah Ta’ala dan Nabi Isa bukanlah anak Tuhan, beliau adalah utusan Allah  sebagaimana utusan-utusan yang lain. Akan tetapi mereka ini tidak beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan inilah titik masalahnya, mereka bertauhid tetapi mereka tidak beriman kepada Rasulullah ﷺ, maka tetap dihukumi kafir karena orang yang tidak beriman dengan Nabi ﷺ memang dihukumi kafir sebagaimana dalam hadts yang shahih:

“وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ”

“Demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentang diriku apakah ia Yahudi atau Nasrani kemudian ia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa kecuali pastilah ia termasuk penghuni api neraka”.([9])

Oleh karena itu dengan diutusnya Nabi ﷺ maka seluruh syari’at sebelumnya menjadi mansukh (terhapus). Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa yang diusir adalah orang-orang kafir dari kalangan Ahlu Kitab dan ini terjadi di kota Madinah pada tahun ke 4 Hijriyyah karena surat ini adalah surat madaniyyah, Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ

“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir dari Ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama…”, Ahli Kitab yang dimaksud di ayat ini adalah Yahudi Bani Nadhir, adapun keterangan “pada pengusiran yang pertama” sebagian ulama menjelaskan bahwasanya ini menunjukkan mereka akan diusir untuk yang kedua kali, yang ketiga kali dan seterusnya dan pertama kali mereka diusir adalah pengusiran dari kota Madinah dimana mereka menunggu kedatangan Nabi terakhir disana bahkan sampai membuat benteng-benteng ternyata penghujungnya mereka pun diusir ke Khaibar oleh Rasulullah ﷺ dan sebagian mereka ke negeri Syam. ([10])

Kemudian pada tahun 7 Hijriyyah terjadi pengusiran yang kedua, Nabi ﷺ usir mereka dari kota Khaibar dan terjadi lagi pengusiran yang ketiga yang dilakukan oleh Umar bin Khatthab yang beliau mengeluarkan seluruh Yahudi dari Jazirah Arab ([11]) dan ini ditunjukkan oleh Firman Allah:

لِأَوَّلِ الحَشْرِ

“…pada pengusiran yang pertama” menunjukkan akan adanya pengusiran-pengusiran berikutnya yang akan mereka alami.

Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:

مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا

“…kalian tidak akan menyangka bahwasanya mereka akan terusir…”, yakni pengusiran ini tidak pernah terbetik dalam hati-hati kaum muslimin karena Bani Nadhir adalah suku yang hebat dalam peperangan ditambah mereka memiliki persenjataan lengkap serta benteng yang banyak, ditambah lagi mereka adalah orang-orang kaya yang memegang perekonomian, merekalah yang menguasai kebun-kebun kurma di Madinah. Sebagaimana dijelaskan dalam kisah Salman Al-Farisiy dimana ketika ia sampai di kota Madinah maka ia bekerja kepada orang Yahudi yang ia memiliki kebun kurma, oleh karena itu kondisi saat itu perekonomian dipegang kendalinya oleh orang-orang Yahudi, mereka menguasai pasar, mereka memiliki kebun-kebun kurma serta persenjataan yang banyak dan mereka pun memiliki benteng di kota Madinah, sebagian ulama katakan mereka memiliki 4 benteng([12]), sebagian mengatakan memiliki 6 benteng([13]), sehingga sama sekali tidak terbetik di hati kaum mukminin bahwasanya orang-orang Yahudi suatu saat akan meninggalkan negeri mereka, oleh karena itu Allah katakan : “…kalian tidak akan menyangka bahwasanya mereka akan terusir…” karena setiap orang yang datang atau lahir di Madinah maka akan melihat apa yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi dan mereka memiliki segalanya dan Allah pun jelaskan keadaan orang-orang Yahudi:

وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ

“…Dan merekapun menyangka bahwasanya benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari Allah…”

Banyak manusia yang seperti ini, dimana mereka terlalu percaya diri akan kemampuan mereka, kekuatan ilmu mereka, ekonomi yang mereka kendalikan, sehingga membuat mereka lupa akan Yang Maha Kuasa kemudian Allah jatuhkan mereka dan ini sungguh banyak terjadi.

Lalu Allah melanjutkan:

فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا

“…maka Allah mendatangkan kepada mereka (bencana) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka…”, mereka tidak menyangka bahwasanya mereka akan terusir karena secara perhitungan mereka mengira tidak akan mungkin dikalahkan oleh kaum muslimin karena mereka memiliki segalanya bahkan memiliki benteng-benteng, persenjataan yang lebih lengkap sehingga mereka tidak akan menyangka bahwa mereka akan terusir, begitu pula kaum muslimin pun tidak menyangka demikian, maka ini adalah sesuatu yang di luar dugaan mereka.

Di dalam peristiwa ini terdapat peringatan bagi kita agar jangan terlalu percaya diri akan kemampuan kita sendiri namun dengan tetap meyakini bahwa di balik itu semua terdapat Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa, seorang muslim adalah orang yang berdo`a lalu berusaha kemudian menyerahkan urusannya dengan tawakal kepada Allah, sebagaimana yang Allah firmankan:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

“…jika kalian telah bertekad kuat maka tawakkal lah kepada Allah…”QS Ali Imran:  159, adapun jika telah bertawakkal kepada Allah maka silakan tumbuhkan rasa percaya diri tersebut, yang rasa percaya diri tersebut bukanlah semata karena diri kita sendiri akan tetapi karena Allah Ta’ala, adapun seseorang jika terlalu percaya diri akan dirinya sendiri maka ia akan terkena penyakit “ghurur” atau terpedaya akan dirinya sendiri, maka inilah yang berbahaya. Seperti orang yang percaya diri dengan ekonominya, percaya diri dengan kekuatan dirinya, percaya diri dengan kecerdasannya sehingga itu semua membuatnya lupa akan Allah Ta’ala. Jika telah sampai tingkat ini maka adakalanya seseorang terkena musibah dari titik yang ia percaya diri akan keunggulan yang ia miliki tersebut, sebagaimana yang terjadi pada orang-orang Yahudi dimana mereka percaya diri akan kekuatan yang mereka miliki namun ternyata mereka sampai terusir.

Lalu Allah melanjutkan:

وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ

“Dan Allah melemparkan ketakutan di dalam hati mereka”, ketika orang-orang Yahudi mendengar bahwasanya Nabi ﷺ akan menyerang mereka maka mereka ketakutan padahal secara kekuatan peperangan mereka unggul, mereka memiliki benteng-benteng, persenjataan banyak dan pasukan yang banyak akan tetapi mereka ketakutan. Persiapan sehebat apapun namun jika telah diliputi oleh ketakutan maka semua itu tidak ada gunanya, sebagaimana orang yang berbadan besar namun jika telah ditimpa rasa takut maka itu menjadi percuma, begitu pula dalam kasus ini Allah kirimkan tentaranya berupa rasa takut di dalam hati mereka sehingga mereka pun ketakutan.

Kemudian Allah lanjutkan:

يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

“…mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin…”, yakni akhirnya mereka diserang oleh kaum muslimin sehingga orang-orang Yahudi merusak rumah-rumah mereka sendiri dengan tangan-tangan mereka dan juga tangan-tangan kaum mukminin, adapun mengapa mereka merusak rumah-rumah mereka sendiri maka para ulama Tafsir berbeda pendapat tentang hal ini  menjadi beberapa pendapat:
  • Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk melarikan diri maka ketika kaum muslimin menyerang dari arah depan maka mereka merusak rumah mereka dari arah belakang untuk bisa lari, maka maksudnya mereka merusak rumah mereka dalam rangka kabur dan melarikan diri, ini penafsiran sebagian ulama.
  • Kedua, sebagian ulama menafsirkan bahwa mereka merusak rumah mereka dalam rangka menutup jalan kaum muslimin ketika masuk ke kampung mereka sehingga bagian yang dirusak tersebut menjadi rintangan di jalan kaum muslimin, ini penafsiran sebagian ulama.
  • Ketiga, sebagian ada yang berpendapat bahwa mereka merusak rumah-rumah mereka untuk mengambil bagian kayu yang mereka inginkan dari rumah tersebut agar bisa membangun kembali rumah dengan kayu tersebut. Kayu di kala itu memang benda yang berharga sehingga mereka bisa membuat rumah dari kayu-kayu yang bagus tersebut. Sekaligus tentu saja mereka tidak ingin jikalau mereka pergi rumah-rumah yang bagus tersebut kemudian ditempati oleh kaum muslimin dalam keadaan bagus, maka menurut mereka lebih baik merusak rumah-rumah mereka sendiri daripada nantinya dipakai dan dinikmati oleh kaum muslimin. Hal ini karena hasadnya mereka terhadap kaum muslimin yang begitu besar sehingga tidak ingin jika nanti rumah-rumah mereka ditempati oleh kaum muslimin maka lebih baik dihancurkan dan mereka pikul kayu-kayu yang bisa dibawa di unta-unta mereka lalu pergi, dan inilah pendapat yang lebih tepat. ([14])
Allah berfirman:

يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ

“…mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin…”, yakni kaum mukminin ketika mendapati rumah-rumahnya telah dirusak maka kaum mukminin melanjutkan perusakan rumah yang memang sudah rusak tersebut karena memang sudah tidak bermanfaat dan tidak bisa ditempati maka lebih baik untuk dihancurkan seluruhnya.

Kemudian Allah tutup ayat ini:

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

“…Maka ambillah (dari kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang berakal”.

Para ulama berdalil dengan ayat ini bahwasanya Qiyas adalah hujjah dalam Ushul Fiqh karena Allah memerintahkan untuk mengambil pelajaran dari kisah ini untuk mengambil hukum dan dibandingkan dari kejadian-kejadian yang mirip dengan kejadian ini([15]), dimana Allah mampu menaklukkan suatu kaum padahal mereka begitu kuat dan kokoh namun mereka bisa takluk tanpa diduga sama sekali dan itu mungkin saja terjadi jika Allah telah berkehendak demikian, sebagai buktinya adalah Bani Nadhir yang mereka memiliki kekuatan fisik yang luar biasa baik senjata, benteng maupun pasukan yang banyak dan mereka juga dikenal sebagai ahli berperang namun Allah bisa kalahkan mereka tanpa ada peperangan sama sekali dengan cara Allah lemparkan rasa takut pada mereka, sehingga akhirnya mereka keluar dari negeri mereka sendiri. Maka hal serupa bisa saja terjadi pada peristiwa-peristiwa yang lain.

Allah kemudian melanjutkan:

وَلَوْلَا أَنْ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَلَاءَ لَعَذَّبَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابُ النَّارِ

“Dan kalaulah bukan karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka (dari Madinah) niscaya Allah benar-benar akan mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka.” QS Al-Hasyr: 3

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa mereka memang telah ditakdirkan untuk keluar dari kota Madinah, terusir seluruhnya dari kota Madinah dari negerinya sendiri. Allah pun menyatakan kalaulah mereka tidak terusir niscaya mereka akan disiksa dengan siksaan yang lain maka pengusiran tersebut adalah hal yang ringan dibandingkan siksaan yang lain yang akan mereka terima jika mereka tidak terusir, sebagaimana dirasakan oleh Bani Quraizhah.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa orang-orang Yahudi ada tiga suku: Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah, adapun Bani Qainuqa’ maka juga diusir karena melanggar perjanjian, begitu pulan Bani Nadhir pun terusir namun masih boleh untuk membawa barang-barang mereka sendiri, mereka boleh membawa emas-emas mereka, perak-perak dan seluruh perhiasan mereka bahkan kayu-kayu rumah mereka, semua itu dipersilahkan oleh Nabi ﷺ selama masih bisa dibawa oleh satu unta per keluarga, maka itu adalah pengusiran yang masih ada unsur kebaikan di dalamnya  padahal secara hukum asal Nabi ﷺ boleh untuk membunuh mereka karena mereka terlebih dahulu yang berupaya untuk membunuh Nabi ﷺ, mereka terusir karena mereka berusaha membunuh nabi ﷺ dengan cara melemparkan batu penggilingan kepada Nabi ﷺ. Dengan sebeb ini tentu memperbolehkan bagi beliau untuk membunuh mereka, namun beliau tidak melakukan hal tersebut dan lebih memilih untuk membiarkan mereka pergi dengan membawa barang-barang mereka.

Lain halnya dengan suku yang ketiga yakni Bani Quraizhah yang juga mengalami pengusiran namun mengalami nasib yang lebih tragis, dan mereka mengalami pembunuhan pada tahun ke 5 Hijriyah ketika terjadi perang Khandaq, Nabi ﷺ tidak membiarkan mereka pergi begitu saja ketika mereka melakukan pengkhianatan akan tetapi beliau membunuh para lelaki mereka karena mereka melakukan pengkhianatan di waktu-waktu genting dimana orang kafir Quraisy datang membawa sepuluh ribu pasukan, maka ketika itu Nabi ﷺ khawatir akan serangan dari luar, ternyata dari dalam kota Madinah terdapat sekitar tujuh ratus orang Yahudi Madinah yang ingin berkhianat sedangkan kaum muslimin sedang lemah dan hanya berjumlah sekitar dua ribu pasukan yang berhadapan dengan sepuluh ribu pasukan kafir musyrikin.

Oleh karena itu setelah selesainya perang Ahzab atau perang Khandaq ini dan tentara kafir yang berjumlah sepuluh ribu pasukan tadi kabur kembali maka lalu Nabi  ﷺ balik menyerang Bani Quraizhah yang kisahnya termaktub dalam Sirah Nabi ﷺ. Untuk kali ini, Nabi ﷺ bunuh para lelaki di antara mereka karena mereka hendak membasmi kaum muslimin hanya saja mereka terlanjur kalah, seandainya saja pasukan kafir yang berjumlah sepuluh ribu tersebut berhasil masuk ke kota Madinah niscaya kaum muslimin akan binasa seluruhnya, oleh karena itu balasan mereka lebih keras daripada Yahudi sebelumnya yakni mereka dihukum bunuh. Oleh karena itu Allah berfirman: “Dan kalaulah bukan karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka (dari Madinah) niscaya Allah benar-benar akan mengazab mereka di dunia…” yakni bisa saja mereka terbunuh sebagaimana saudara-saudara mereka dari kalangan Bani Quraizhah kalaulah mereka tidak terusir dari Madinah([16]), Yang uniknya ketika Bani Nadhir terusir dari kota Madinah maka Yahudi Bani Quraizhah yang ada di kota Madinah berlepas tangan dan tidak membantu sama sekali padahal mereka memiliki hubungan darah karena sama-sama keturunan Yahudi. Adapun Bani Nadhir maka mereka seluruhnya merupakan keturunan Nabi Harun akan tetapi mereka kufur kepada Allah Ta’ala padahal mereka adalah keturunan yang mulia([17]), oleh karena itu ketika ada orang yang mencela Shafiyyah maka Nabi ﷺ menghibur Shafiyyah dan mengatakan kepadanya bahwasanya dia adalah keturunan Nabi Harun dan suaminya adalah Nabi Muhammad ﷺ maka sungguh ia tidak memiliki kekurangan. ([18])

Adapun Bani Quraizhah mereka terbunuh pada tahun berikutnya pada tahun ke 5 Hijriyah, oleh karena itu Allah mengatakan seandainya saja mereka tidak jadi terusir dari kota Madinah niscaya mereka akan merasakan azab yang lain di dunia berupa pembunuhan dan bukan hanya itu saja namun ditambah dengan firman-Nya:

وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابُ النَّارِ

“Dan bagi mereka di akhirat azab neraka”,

Maka kalian wahai Bani Nadhir siksaan untuk kalian bukan hanya berupa pengusiran saja akan tetapi azab Jahanam telah menunggu kalian di akhirat kelak yang lebih pedih yaitu azab neraka Jahannam.

Mengapa Bani Nadhir sampai diberi azab seperti ini? Allah jawab pada ayat selanjutnya:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَمَنْ يُشَاقِّ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah menentang Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. QS Al-Hasyr: 4

Makna dari kata:

الْمُشَاقَّةُ

“Pertentangan atau oposisi” terhadap Allah dan Rasul-Nya, seakan-akan secara Bahasa Arab mereka berada di شِقٍّ  (satu sisi) sedangkan Allah dan Rasul-Nya berada di شِقٍّ آخَرَ (sisi yang lain) sehingga maknanya adalah mereka ini senantiasa oposisi terhadap Allah dan Rasul-Nya, tanpa henti menentang Allah dan Rasul-Nya oleh karena itu mereka berhak untuk diusir dan juga berhak atas neraka Jahanam di akhirat kelak.

Allah melanjutkan:

وَمَنْ يُشَاقِّ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“…dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”, dan tidak ada yang mengetahui hakikat pasti dari azab Allah kecuali Allah Ta’ala, oleh karena itu di ayat yang lain Allah menegaskan:

لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ * وَلَا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ

“Tidak ada seorang pun yang mengazab sebagaimana azab-Nya, dan tidak ada seorang pun yang membelenggu sebagaimana belenggu-Nya”. QS Al-Fajr: 25-26

Seandainya di dunia ini seseorang ingin berimajinasi berbagai macam bentuk siksaan maka tetap azab Allah adalah azab yang lebih pedih daripada semuanya itu, oleh karena itu Allah tutup dengan ayat ini:

فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“…sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”,

Maka perkara pengusiran mereka yang mereka alami di dunia ini sungguhlah teramat ringan dibandingkan dengan azab yang pedih yang menunggu mereka.

Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ

“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan berdiri di atas akarnya maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik”.QS Al-Hasyr:5

Ketika Nabi ﷺ menyerang Bani Nadhir, beliau perintahkan sebagian Sahabat untuk membakar sebagian pohon-pohon kurma yang itu merupakan sumber perekonomian mereka, pohonnya ditebang lalu dibakar, ditebang lagi lalu dibakar lagi yang bertujuan untuk membuat mereka ketakutan karena ternyata sumber penghidupan mereka dibakar oleh kaum muslimin sehingga mereka semakin takut. Nabi ﷺ sengaja memerintahkan untuk dibakar agar membuat mereka semakin takut. Ketika Nabi ﷺ melakukan pembakaran tersebut maka orang-orang Yahudi protes kepada beliau dan berkata bahwasanya Nabi-Nabi terdahulu tidak ada yang melakukan pembakaran seperti ini, bukankah engkau diutus untuk mengadakan perbaikan di muka bumi namun mengapa engkau melakukan perusakan maka ketika mereka berkata seperti itu. Nabi ﷺ menjadi tertegun dan memang mereka memiliki pengetahuan tentang Nabi-Nabi terdahulu. Yaitu Nabi-Nabi sebelumnya yang telah diutus tidak ada satupun yang melakukan perusakan, mereka (Yahudi) berkata kepada Nabi, “Mengapa engkau melakukannya sedangkan nabi-nabi sebelumnya tidak ada yang melakukan hal seperti ini padahal engkau diutus untuk melakukan kebaikan namun mengapa engkau membakar pohon-pohon kurma milik kami yang merupakan sumber ekonomi kami?”, demikian protes kaum Yahudi([19]). Lalu Allah menurunkan ayat ini:

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ

“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan berdiri di atas akarnya maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik”

Kata لِيْنَة dalam bahasa Arab makna asalnya adalah “lembut” namun yang dimaksud dalam ayat ini adalah pohon kurma yang mengisyaratkan bahwa di zaman dahulu jika seseorang memiliki pohon kurma maka sesungguhnya ia berada dalam hidup yang nyaman sehingga tidak perlu takut akan kelaparan karena ia bisa memakan kurma tersebut dan tidak perlu takut akan kemiskinan karena ia juga bisa menjual kurmanya oleh karena itu disebut sebagai لِيْنَةٌ  dalam Bahasa Arab yang memiliki makna “kelembutan” dan “kenyamanan” bagi orang yang memiliki pohon kurma, dari sisi makanan yang enak dan ia juga bisa kembali menjualnya sehingga membeli makanan lainnya dan manfaat lainnya, oleh karena itu pohon kurma disebut dengan لِيْنَة.

Maka dalam ayat ini Allah membela Nabi-Nya ﷺ dengan firman-Nya:

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَى أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ

“Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan berdiri di atas akarnya maka (semua itu) adalah dengan izin Allah”, yakni Allah Ta’ala membenarkan ijtihad Nabi ﷺ tersebut untuk membakar pohon-pohon kurma karena pembakaran ini ada tujuannya yaitu membuat orang-orang Yahudi ketakutan dan bertekuk lutut, maka perbuatan tersebut memiliki tujuan walaupun memang yang demikian ini bukanlah kebiasaan Nabi ﷺ untuk melakukannya, beliau bukanlah orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi hanya saja perbuatan ini dapat membuat perekonomian Yahudi dilemahkan oleh karena itu Nabi ﷺ melakukannya. Sebagian dari pohon-pohon kurma tersebut dibiarkan oleh Nabi ﷺ karena nanti itu akan diambil oleh kaum muslimin setelah kepergian Yahudi dari negeri mereka oleh karena itu tidak dibakar seluruhnya oleh Nabi ﷺ namun beliau hanya membakar sebagiannya saja. Seolah dalam ayat ini Allah ingin membela Nabi-Nya dengan berkata, “Apakah engkau ingin membakar pohon-pohon kurma tersebut, wahai Muhammad atau engkau biarkan maka semuanya itu telah aku izinkan” dan juga di antara tujuannya adalah sebagaimana yang Allah tutup dalam firman-Nya:

وَلِيُخْزِيَ الْفَاسِقِينَ

“… dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik…”

Yaitu, semua itu agar menjadikan orang-orang Yahudi tersebut terpukul, merasakan sakit hati dengan pohon-pohon kurma mereka dibakar sehingga tidak ada artinya lagi bagi mereka untuk bersikeras tinggal di tempat tersebut karena tidak ada lagi harta mereka dan sumber ekonomi mereka karena telah dibakar dan inilah di antara strategi perang Nabi ﷺ.

Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:

وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Apa yang Allah berikan sebagai fai’ kepada RasulNya dari harta orang-orang Yahudi Bani an-Nadhir, kalian tidak menyerangnya dengan pasukan berkuda dan berunta untuk mendapatkannya, tetapi Allah menjadikan RasulNya berkuasa atas siapa yang Dia kehendaki dari musuh-musuhNya, lalu mereka menyerah tanpa perang. Harta fai’ adalah harta orang-orang kafir yang diambil tanpa perang. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang melemahkan–Nya”.QS Al-Hasyr: 

   Kata أَفَاءَ    berasal dari kata الْفَيْئ yang maknanya adalah “kembali” artinya Allah mengembalikan harta Allah yang ada pada Bani Nadhir lalu dikembalikan kepada Rasulullah ﷺ.

Ini merupakan dalil bahwa harta hakikatnya adalah milik Allah. Allah  hanya menitipkan amanah kepada kita untuk mengurus harta tersebut. Karenanya harta yang ada di tangan kita biasanya sebelumnya berada di tangan orang lain terlebih dahulu kemudian berpindah ke tangan kita, seperti harta si penjual yang sebelumnya ada di tangan si pembeli atau seperti harta si anak yang tadinya berasal dari orang tuanya.  Karenanya harta yang kita miliki tersebut akan berpindah ke tangan orang lain apakah dengan akad jual-beli, dengan memberikan, menghadiahkan, atau diwariskan kepada ahli waris sepeninggal kita, atau cara perpindahan harta lainnya. Karena itu Allah berfirman:

وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“…dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya, maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.QS Al-Hadid: 7.

Semua harta yang kita miliki hakikatnya bukan milik kita, lalu Allah yang menjadikan kita menguasainya dan memegangnya, dan suatu saat akan kita gunakan kembali dan berpindah ke tangan orang lain seperti ke tangan ahli waris sepeninggal kita. Oleh karena itu Allah berfirman kepada Rasul-Nya:

وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ…

“Dan harta yang Allah kembalikan kepada Rasul-Nya…”, yakni harta tersebut Allah ambil dari Bani Nadhir lalu dikembalikan kepada Rasul-Nya

مِنْهُمْ

“Dari mereka” yakni dari Bani Nadhir

فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ

“…kalian tidak menyerangnya dengan pasukan berkuda dan berunta untuk mendapatkannya…” maka Allah yang sebenarnya menjadikan mereka kalah dan Allah yang membuat mereka takut tanpa ada peperangan sama sekali kecuali hanya di awal-awal saja terdapat perlawanan namun kemudian mereka menyerah tanpa ada pertempuran pedang beradu dengan pedang. Ketika itu kaum muslimin pergi ke pemukiman Bani Nadhiir tanpa perlu menaiki kuda-kuda karena jarak antara Masjid Nabawi ke sana hanya 2 mil saja atau sekitar 3,6 kilometer. Nabi ﷺ dan para Sahabat pergi ke sana tanpa menaiki kuda tidak pula unta kecuali di sebagian riwayat ada yang menyebutkan Nabi ﷺ menaiki unta, sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau menaiki keledai. Inti dari ayat ini, Allah menyebutkan bahwa harta tersebut Allah berikan kepada kalian tanpa ada perjuangan keras dari kalian bahkan kalian tidak perlu memacu kuda yang cepat dan tidak pula perlu menunggangi unta. ([20]

Allah melanjutkan:

وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ

“Akan tetapi Allah berikan kekuasaan kepada rasul-Nya atas siapa saja yang Allah kehendaki dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Yakni Allah menangkan kaum muslimin tanpa ada perjuangan dan tanpa ada peperangan.

Setelah itu Allah berfirman:

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa saja harta rampasan (fai`i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.QS Al-Hasyr: 7

    Nabi ﷺ menguasai tanah Bani Nadhir tersebut dengan cara “fai`i” sebagaimana dikemudian hari juga beliau menguasai tanah Fadak dan tanah Bani Quraizhah juga dengan cara “fai`i”. Terdapat perbedaan antara harta “fai`i” dengan “ghanimah”. Ghanimah adalah harta rampasan perang setelah melalui peperangan dengan musuh. Musuh tersebut akhirnya kalah, baik mati ataupun pun kabur, maka harta yang mereka tinggalkan tersebut disebut dengan “ghanimah” ([21]). Adapun “fai`i” maka itu adalah harta musuh yang diperoleh setelah mereka kabur tanpa ada peperangan terlebih dahulu. Hukum keduanya berbeda.

Adapun perkara “ghanimah” maka Allah telah berfirman tentang hal ini:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil, jika kamu beriman kepada Allah…”.QS Al-Anfal:41.

Dalam ayat Al-Anfal tersebut ghanimah dibagi 5 bagian, bagian 20% untuk Allah dan Rasul-Nya yang kemudian dibagikan untuk kerabat Nabi ﷺ anak-anak yatim, fakir miskin dan ibnus-sabil sedangkan sisanya 80 % dibagi-bagi antara para pahlawan dan para mujahid di jalan Allah maka inilah pembagian ghanimah.

Adapun harta “fai`i” maka berbeda, para mujahid tidak mendapatkan bagian ini, ini adalah hak seluruhnya bagi Nabi ﷺ dan beliau memiliki kebebasan penuh untuk membagi-bagikannya karena harta “fai`i” diperoleh  tanpa ada peperangan sama sekali oleh karena itu berbeda hukumnya. ([22])

Adapun وَلِذِيْ القُرْبَى “Kaum karib kerabat” disini maksudnya adalah karib kerabat Nabi ﷺ yakni Ahli bait dari kalangan Bani Hasyim([23]) namun Nabi ﷺ tidak bagikan kepada Bani Abdi Manaf walaupun secara nasab aslinya mereka Ahli bait Nabi ﷺ akan tetapi ketika terjadi pemboikotan terhadap Nabi ﷺ di kota Mekkah oleh orang-orang kafir Quraisy, mereka (Bani Abdi Manaf) tidak membela Nabi ﷺ dan yang membela Nabi ﷺ hanyalah Bani Hasyim. Walaupun Bani Hasyim kafir ketika itu namun mereka tetap membela Nabi ﷺ ketika terjadi pengepungan tersebut selama 3 tahun. ([24])

Ketika diboikot tersebut, Nabi ﷺ berlindung di suatu tempat bernama “Syi’b Abu Thalib” yang itu merupakan wilayah tanah milik Abu Thalib yang berada di antara gunung-gunung yang semuanya bernaung disana, seluruh kaum muslimin yang ada termasuk Bani Hasyim. Bani Hasyim tersebut aslinya adalah dari kaum musyrikin namun karena sama dengan Nabi ﷺ dari suku Bani Hasyim maka mereka membela Nabi ﷺ padahal mereka kafir dan di antaranya adalah Abu Thalib, oleh karena itu setelah mereka masuk Islam maka mereka dinamakan Ahli bait Nabi ﷺ.

Oleh karena itu yang dimaksud dengan وَلِذِيْ القُرْبَى “Kaum karib kerabat” pada ayat ini adalah Ahli bait keluarga kerabat Nabi ﷺ yang diharamkan atas mereka sedekah, adapun harta “fai`i” maka boleh bagi mereka untuk memakannya.

Allah juga menyebutkan “وَاليَتَامَى” (anak-anak yatim), dan definisi anak yatim adalah  anak yang belum baligh yang ayahnya telah meninggal dunia, oleh karena itu jika ada anak yang telah meninggal dunia ibunya maka ini bukanlah anak yatim dalam Islam karena masih ada ayahnya yang menafkahinya dan mengurusnya, hal ini berbeda dengan kebiasaan yang ada di Indonesia, jika ada yang salah satu orang tuanya meninggal apakah ayah atau ibu maka itu disebut sebagai yatim, adapun jika meninggal keduanya maka itu disebut yatim piatu. Adapun dalam Islam, jika ayahnya masih hidup maka tidak dinamakan sebagai anak yatim. Begitu pula anak tersebut jika sudah mencapai usia baligh maka ia bukanlah anak yatim lagi, hanya saja kebanyakannya seorang anak yatim tadi jika mencapai usia baligh walaupun tidak dinamakan sebagai yatim dalam Islam biasanya ia tetap dalam keadaan miskin karena tidak adanya ayah yang menafkahinya. Maka orang tersebut tetap berhak menerima zakat hanya saja berbeda status, ketika belum baligh maka ia berhak menerima harta zakat tersebut sebagai “yatim”, adapun setelah masa balighnya maka ia tetap berhak menerima sebagai “miskin”.

Allah pun kembali melanjutkan “وَالْمَسَاكِيْنَ”, orang-orang miskin adalah orang-orang yang memiliki penghasilan namun penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya, seperti ada orang yang kebutuhan keluarganya adalah 5 juta rupiah per bulannya namun penghasilannya adalah 4,5 juta rupiah maka pada hakikatnya orang ini masih tergolong sebagai orang miskin, selama penghasilannya tidak memenuhi kebutuhannya yang pokok dan wajar maka dia masih tergolong sebagai orang miskin yang berhak menerima harta “fai`i” dan juga harta zakat.

Allah berfirman “وَابْنُ السَّبِيْل”, ibnus-sabil dalam ayat ini adalah orang yang mengadakan safar sehingga ia merupakan orang asing yang dari negerinya dan kehabisan bekal dalam safar tersebut([25]) maka orang seperti ini diperbolehkan baginya untuk diberikan harta “fai`i” sekadar harta yang cukup baginya untuk pulang ke kampungnya sendiri dengan bekal tersebut. Misalnya di Indonesia sini ada orang dari luar negeri kemudian ia jatuh miskin sehingga tidak bisa pulang ke negaranya maka ia berhak untuk diberikan harta tersebut yang cukup baginya untuk biaya pesawat beserta bekal dalam perjalanannya tersebut.

Maka 5 golongan inilah yang Allah katakan:

فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ

“…maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil…”, inilah pembagian harta “ghanimah”.

Adapun harta “fai`i” maka Nabi ﷺ berkuasa penuh untuk membagikannya sedangkan para mujahid maka tidak mendapatkan bagian tersebut karena tidak terjadi peperangan. Nabi berhak untuk membagikan berdasarkan ijtihad pribadi beliau. Adapun setelah Nabi ﷺ meninggal maka harta ini dikembalikan kepada ijtihad penguasa, apakah diberikan kepada kaum muslimin yang membutuhkan ataukah dimasukkan ke baitul-mal dan sama sekali tidak dibagikan kepada para mujahid.

Maka dalam bab jihad ada yang dinamakan “ghanimah” dan ada pula yang bernama “fai`i”, disamping itu ada pula yang dinamakan “nafal” ([26]) yaitu hadiah khusus di luar pembagian “ghanimah” yang diberikan kepada para mujahid khusus karena kehebatannya dalam peperangan atau kelebihan lainnya atau kurang lebih seperti bonus yang diberikan kepada sang mujahid tersebut. Selain yang disebutkan tersebut ada juga yang bernama “salab” yang jika seorang muslim berhadapan dengan seorang kafir kemudian si muslim berhasil membunuh si kafir maka segala yang ada di tubuh si kafir berhak untuk diambil oleh si muslim([27]). Di zaman dahulu -dalam peperangan- adakalanya seorang kafil memakai benda yang mahal seperti perisai yang mahal atau sarung pedang yang dihias dengan emas atau kuda yang kuat dan dihiasai, maka semuanya itu boleh diambil oleh sang mujahid yang berhasil mengalahkannya. Dan “salab” maupun “nafal” ini merupakan bagian dari “ghanimah”.

Di samping itu ada juga “jizyah” yaitu harta yang dibayarkan oleh orang-orang kafir yang tunduk kepada kaum muslimin dalam negeri kaum muslimin, seperti “kafir dzimmiy” yang mereka tinggal di tengah kaum muslimin maka ia harus membayarkan “jizyah” sebagai bukti ketundukan kepada negara Islam. Maka dalam bahasan ini ada beberapa istilah, di antaranya adalah “ghanimah”, “nafal” dan “salab” yang berhubungan dengan “ghanimah” lalu ada juga “fai`i” yang diperoleh tanpa peperangan, dan adapula “jizyah” yang merupakan bukti ketundukan negara kafir kepada negara Islam dengan menyerahkan sejumlah harta kepada negara Islam, maka inilah jenis-jenis harta yang disebutkan dalam istilah Fiqh jihad

Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:

كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”, oleh karena itu syari’at Islam membagi-bagi harta tersebut, ada bagian untuk fakir miskin, ada bagian untuk anak-anak yatim dan juga ada bagian untuk ibnus-sabil

Dan juga Allah berfirman:

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa saja harta rampasan (fai`i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.QS Al-Hasyr: 7

Allah pun berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”,

Ayat ini mengingatkan para Sahabat karena ketika mereka berperang dengan Bani Nadhir ternyata sebagian para Sahabat tidak mendapatkan bagian maka pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalian wahai kaum mslimin mendapatkan harta ini tanpa harus ada pertempuran, tanpa ada penyerangan dan tanpa bawa kuda sama sekali maka semuanya dikembalikan kepada Nabi ﷺ, apa yang Nabi ﷺ putuskan maka wajib kaum muslimin menerimanya. Dan ini cukup berat karena sebagian orang adakalanya shalih dalam hal selain harta namun dalam hal harta ia tidak shalih. Banyak kasus terjadi, dua orang shalih yang bersahabat lalu mereka berdua bekerja bersama dalam urusan bisnis,  akhirnya mereka berdua bertengkar karena urusan harta. Ini disebabkan karena kecintaan terhadap harta merupakan tabiat manusia sampai tidak ingin bagiannya terkurangi sedikit pun.

Dalam perang tersebut, para Sahabat berangkat bersama Nabi ﷺ kemudian mereka menyerang Bani Nadhir sehingga mereka kabur dan meninggalkan banyak harta namun Nabi ﷺ sama sekali tidak memberikan kepada para Sahabat, tentu saja pada hal yang seperti ini terdapat keberatan pada Sahabat, karena biasanya jika mereka berjihad mereka selalu mendapatkan bagian, adapun kali ini mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali. Maka Allah jelaskan bahwa harta “fai`i” tersebut murni dari Allah tanpa ada peperangan sama sekali dan kembali Allah menegaskan dengan ayat-Nya:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”, dan inilah pasti hal yang terbaik karena Allah memiliki sifat العَزِيْز yang bermakna Maha Perkasa dan juga الْحَكِيْمُ  yang bermakna Maha Bijaksana maka keputusan Allah pastilah bijaksana.

Ayat ini secara khusus berkaitan tentang pembagian harta “fai`i” dan disini Allah memerintahkan para Sahabat untuk tunduk kepada keputusan Nabi ﷺ dan tidak boleh protes sama sekali, namun ada kaidah umum dalam ilmu Tafsir disebutkan:

الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللّفْظِ لَا بْخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh dan bukanlah kekhususan sebab”, walaupun ayat ini pada asalnya adalah berbicara tentang keputusan Nabi ﷺ terkait hukum “fai`i” agar para Sahabat menerima keputusan tersebut, akan tetapi lafazh ini diberlakukan secara umum untuk bisa menghukumi segala permasalahan agama. Ketika Nabi ﷺ telah mengharamkan sesuatu maka haruslah kita katakan haram, sebaliknya ketika Nabi ﷺ membolehkan sesuatu maka kita pun harus menerimanya ([28]) dan tidak boleh seorang muslim melakukan protes karena Allah Ta’ala juga berfirman di ayat yang lain:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. QS AN-Nisa: 65.

Oleh karena itu kita wajib menerima segala macam syariat Allah, jika kita seorang muslim maka kita harus senantiasa mengikrarkan:

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Aku ridho Allah sebagai Rabbku dan aku ridho Nabi Muhammad sebagai Rasulku”, maka ,kita wajib berserah diri terhadap keputusan Nabi ﷺ seperti masalah jilbab ketika diwajibkan maka tidak boleh kita memprotesnya: “Mengapa jilbab ini diwajibkan”?, karena yang demikian menunjukkan ketidak-ridhoan atas keputusan Nabi ﷺ, dan jika kita tidak setuju Nabi ﷺ sebagai utusan Allah maka silakan cari utusan yang lain. Masalah lainnya, jika ada yang mengatakan: “Mengapa shalat 5 waktu diwajibkan?” Maka jika Anda tidak setuju berarti Anda tidak setuju akan kondisi Nabi ﷺ sebagai seorang Rasul. Oleh karena itu di antara bacaan zikir pagi dan petang yang senantiasa dianjurkan:

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Aku ridho Allah sebagai Rabbku dan Islam sebagai agamaku dan aku ridho Nabi Muhammad sebagai Rasulku”,

Hal ini adalah agar kita selalu ingat bahwa kita harus selalu tunduk terhadap keputusan Nabi Muhammad ﷺ dan apapun keputusan beliau hakikatnya itulah keputusan yang terbaik dan diridhoi oleh Allah Ta’ala.

Keumuman ayat ini didukung dengan pemahaman para sahabat akan hal tersebut. Imam Al-Qurthubiy menyebutkan dari Sahabat Ibnu Mas’ud:

لَقِيَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَجُلًا مُحْرِمًا وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ فَقَالَ لَهُ: انْزِعْ عَنْكَ هَذَا. فَقَالَ الرَّجُلُ: أَتَقْرَأُ عَلَيَّ بِهَذَا آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى؟ قَالَ: نَعَمْ، وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.

Ibnu Mas’ud bertemu dengan seseorang yang ihram sambil memakai pakaian lalu Ibnu Mas’ud berkata kepada orang tersebut: “Lepaskan pakaian ini dari dirimu!” lalu si lelaki berkata: “Apakah engkau bisa bawakan dalil larangan dari Qur`an?” lalu Ibnu Mas’ud jawab: “Ya”, “Dan apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ maka ambillah dan apa-apa yang dilarang oleh beliau maka tinggalkanlah”([29])

Dan Nabi ﷺ telah melarang ihram dengan memakai pakaian berjahit dan ayat ini juga menjelaskan bahwasanya seluruh keputusan Nabi ﷺ ada dalam Qur`an.

Imam Asy-Syafi’iy pernah ditanyakan kepadanya:

مَا تَقُولُ- أَصْلَحَكَ اللَّهُ- فِي الْمُحْرِمِ يَقْتُلُ الزُّنْبُورَ؟ قَالَ فقال: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا. وَحَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ). حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ابن عُيَيْنَةَ عَنْ مِسْعَرِ بْنِ كِدَامٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- أَنَّهُ أَمَرَ بِقَتْلِ الزُّنْبُورِ. قَالَ عُلَمَاؤُنَا: وَهَذَا جَوَابٌ فِي نِهَايَةِ الْحُسْنِ، أَفْتَى بِجَوَازِ قَتْلِ الزُّنْبُورِ فِي الْإِحْرَامِ، وَبَيَّنَ أَنَّهُ يَقْتَدِي فِيهِ بِعُمَرَ، وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِالِاقْتِدَاءِ بِهِ، وَأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ بِقَبُولِ مَا يَقُولُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَوَازُ قَتْلِهِ مُسْتَنْبَطٌ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

“Apa pendapatmu tentang hukum membunuh tawon bagi orang yang ihram? Lalu Imam Asy-Syafi’iy menjawab: “Apa-apa yang datang kepadamu dari Rasulullah maka ambillah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ maka tinggalkanlah”.

Sufyan bin Uyaynah telah menyampaikan kepada kami dari Abdul-Malik bin ‘Umair dari Rib’iy bin Hirasy dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwasanya Nabi ﷺ bersabda: “Ikutilah dua orang sepeninggalku: Abu Bakar dan Umar”. Sufyan bin Uyaynah juga telah menyampaikan kepadaku dari Mis’ar bin Qidam dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dari Umar bin Khatthab bahwasanya beliau memerintahkan untuk membunuh tawon”. ([30])

Dalam riwayat ini seakan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwasanya bolehnya membunuh tawon adalah fatwanya Umar dan Nabi ﷺ dalam haditsnya perintahkan kita untuk mengikuti Abu Bakar dan Umar sedangkan Allah telah perintahkan kita untuk mengikuti Nabi ﷺ. Maka urutannya adalah : Allah memerintah untuk mengikuti Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ memerintahkan untuk mengikuti Umar, dan beliau telah berfatwa akan kebolehan membunuh tawon. Jika seseorang yang sedang ihram diganggu tawon maka boleh baginya untuk membunuh tawon tersebut.

Demikian pula riwayat Ibnu Mas’ud dalam Shahih Muslim:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ” فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ: بَلَغَنِي أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ! فَقَالَ: وَمَا لِي لَا أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ! فَقَالَتْ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ فَمَا وَجَدْتُ فِيهِ مَا تَقُولُ. فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ لَقَدْ وَجَدْتِيهِ! أَمَا قَرَأْتِ وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا! قَالَتْ: بَلَى. قَالَ: فَإِنَّهُ قَدْ نَهَى عَنْهُ .. الْحَدِيثَ.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah melaknat para wanita yang menyambung (rambut), para wanita yang meminta agar disambung rambutnya, para wanita yang mencabut alisnya dan para wanita yang merenggangkan giginya demi kecantikan, mereka adalah para wanita yang mengubah-ubah ciptaan Allah”, maka ketika hadits ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asab yang ia bernama Ummu Ya’qub maka ia  pun datang kepada Ibnu Mas’ud dan berkata: “Wahai Ibnu Mas’ud, telah sampai kabar kepadaku bahwasanya engkau melaknat begini dan begitu” maka dijawab oleh Ibnu Mas’ud: “Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh rasulullah ﷺ dan laknat itu ada di dalam Al-Quran” maka si wanita kembali berkata: “Aku telah membaca seluruh Al-Quran dan aku tidak mendapati apa yang engkau katakan”. Maka kembali dijawab oleh Ibnu Mas’ud: “Jika engkau membaca Al-Quran dengan baik niscaya akan engkau dapati, yakni ayat:

وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa-apa yang datang dari Rasulullah ﷺ maka ambillah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah ﷺ maka tinggalkanlah” dan sesungguhnya Nabi ﷺ telah melarang hal tersebut dan ayat tersebut ada di dalam Al-Quran”. ([31])

Kemudian Allah berfirman pada ayat berikutnya:

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“(Harta fai’ yang Allah berikan kepada Rasulullah ini juga) diberikan kepada orang-orang Muhajirin yang miskin, yang dipaksa oleh orang-orang kafir Makkah untuk keluar meninggalkan harta dan rumah mereka demi mencari karunia Allah berupa rizki di dunia dan ridha–Nya di akhirat, menolong Allah dan Rasu–lNya dan berjihad di jalan Allah. mereka adalah orang-orang yang benar yang membenarkan ucapan mereka dengan perbuatan mereka.”(QS Al-Hasyr:8) 

    Sebagaimana yang telah termaktub di ayat sebelumnya bahwa harta “fai`i” tersebut disalurkan kepada orang-orang msikin, ternyata pada kenyataannya banyak orang-orang Muhajirin yang miskin, maka harta tersebut Nabi ﷺ berikan kepada orang-orang Muhajirin padahal yang ikut menyerang Bani Nadhir ketika itu ada kaum Anshar dan adapula kaum Muhajirin, akan tetapi kaum Anshar ternyata tidak diberikan sama sekali kecuali dua orang yang mereka juga miskin, yang pertama adalah Abu Dujanah dan yang kedua adalah Sahl bin Hunaif maka mereka berdua ini orang Anshar yang miskin maka diberikan oleh Nabi ﷺ. Namun secara umum yang diberikan adalah orang-orang Muhajirin. Mengapa orang-orang Muhajirin tersebut patut untuk diberi harta “fai`i” ?, maka Allah jawab pada ayat ini:

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ

“(Harta fai’ yang Allah berikan kepada Rasulullah ini juga) diberikan kepada orang-orang Muhajirin yang miskin, yang dipaksa oleh orang-orang kafir Makkah untuk keluar meninggalkan harta dan rumah…”,

Ayat ini turun pada tahun ke 4 Hijriyyah maka kaum Muhajirin sudah 4 tahun berhijrah dan mereka masih miskin padahal mereka dahulunya adalah orang-orang kaya ketika di Mekkah, mereka memiliki harta dan memiliki rumah maka ketika mereka terusir mereka berhak untuk diperhatikan oleh Nabi ﷺ.

Allah mengingatkan pada ayat ini bahwa kaum Muhajirin terpisah dari harta mereka dan terpisah dari negeri mereka dalam rangka:

يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا

“…mereka demi mencari karunia Allah berupa karunia (di dunia) dan ridha-Nya (di akhirat)”.

Ayat ini menunjukkan bagaimana Allah mentazkiyah kaum Muhajirin, Allah memberikan rekomendasi kepada Muhajirin bukan hanya sebatas zhahir saja bahkan dalam ayat ini Allah juga puji niat mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang ikhlas, merekalah suatu kaum yang telah direkomendasi niat baiknya oleh Allah. Adapun kita maka tidak ada jaminan sama sekali, sebagian kita seakan tampak seperti orang yang ikhlas padahal belum tentu ikhlas. Kaum Muhajirin dalam ayat ini dikatakan oleh Allah bahwa mereka berhijrah karena mencari keridhaan Allah:

وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“…demi mencari karunia Allah (di dunia) dan ridha-Nya (di akhirat), menolong Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah. mereka adalah orang-orang yang benar yang membenarkan ucapan mereka dengan perbuatan mereka”,

Maka mereka adalah orang-orang yang pantas untuk mendapatkan harta “fai`i”. ([32])

Setelah itu Allah memuji kaum Anshar:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”.QS Al-Hasyr: 9

Adapun makna وَالْإِيْمَانَ  disini ada 3 pendapat dari para ulama untuk mengapa posisinya “manshub” (berharakat fathah):
  • Pertama, asal kata dari kalimat tersebut adalah:

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَتَبَوَّءُوْا الإِيْمَانَ

Yakni orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan menempati keimanan.
  • Kedua, asal kalimatnya ada kata yang tersembunyi yang aslinya:

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَأَخْلَصُوْا الإِيْمَانَ

Yakni orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan mengikhlaskan keimanan mereka.
  • Ketiga, huruf وَ dalam kata وَالْإِيْمَانَ   makna huruf وَ disini adalah “ma’iyyah” yakni maknanya adalah:

وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوْا الدَّارَ وَالإِيْمَان

Yakni orang-orang yang telah tinggal di kota Madinah dalam kondisi beriman sebelum kaum Muhajirin datang, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-‘Allamah Thohir bin ‘Asyuur yang menjelaskan bahwa وَ disitu kata setelahnya dalam posisi “manshub” karena itu adalah “waw ma’iyyah”. ([33]

Kemudian Allah memuji kaum Anshar yang sifat mereka adalah

يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا

“… mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)…”.

Mereka adalah orang-orang yang dalam hati mereka sama sekali tidak terdapat rasa berat atas keputusan Allah memberikan harta “fai`i” kepada kaum Muhajirin.

Padahal dalam masalah harta banyak yang masih memiliki sifat tamak walaupun aslinya adalah orang yang shalih. Yang biasanya dalam kondisi seperti ini seseorang akan bertanya-tanya: “Mengapa mereka diberikan harta “fai`i” sedangkan saya tidak diberi?”. Oleh karena itu adakalanya dua orang shalih yang bekerja sama dalam suatu proyek dakwah lalu yang satu dari mereka diberi harta oleh seorang donator, sementara yang satunya tidak diberi, maka pada diri yang tidak diberi biasanya terdapat kecemburuan, karena semuanya adalah manusia yang memiliki sifat dasar yang sama.

Lain halnya dengan kaum Anshar dimana mereka tidak diberi harta “fai`i” sedikit pun oleh Nabi namun Allah katakan tentang mereka “orang-orang yang tiada menaruh keberatan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)”

Bahkan lebih dari ini, Allah juga mensifati mereka dengan:

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (orang-orang Anshar) dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”.

Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang Anshar adalah orang-orang yang bersih hatinya dimana mereka tetap senang dengan orang-orang Muhajirin walaupun kaum Muhajirin diberikan harta dimana kaum Anshar tidak diberi. Bahkan dalam kondisi sulit pun mereka akan mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan mereka sendiri. Di zaman dahulu ada yang datang kepada seorang alim yang ia berasal dari negeri Syam, lalu bertanya kepada sang alim tersebut: “Apakah zuhud itu?” lalu orang alim tersebut menjawab: “Zuhud itu adalah jika kita mendapatkan makanan maka kita bersyukur dan jika kita tidak mendapatkan makanan maka kita bersabar” lalu orang yang datang dari jauh tadi menimpali: “Itukah zuhud menurut kalian? Menurut kami zuhud itu berbeda dengan pendapat kalian, menurut kami zuhud adalah jika tidak mendapatkan makanan maka tetap bersyukur kepada Allah dan jika mendapatkan makanan maka tetap mengutamakan orang lain”([34]), dan seperti inilah kaum Anshar yang bahkan dalam kondisi sulit pun mereka masih mengutamakan orang lain. Mereka bisa sampai tingkat demikian karena mereka adalah murid langsung Nabi Muhammad ﷺ.

Sebagai contoh mudah kita lihat pada zaman sekarang, kita (penulis) tidak pernah bertemu dengan Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin akan tetapi kita bertemu dengan murid-murid mereka maka kita lihat akhlak mereka luar biasa dan zuhud mereka luar biasa. Hal ini tidaklah mengherankan karena guru mereka adalah Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin, apabila murid-murid Syaikh Bin Baz dan murid-murid Syaikh Utsaimin yang telah lama bermulazamah dengan mereka begitu tampak pada diri mereka ajaran-ajaran para ulama tersebut, terlebih lagi jika gurunya adalah Rasulullah ﷺ maka jika kita kagum dengan keutamaan para Sahabat maka hal tersebut tidaklah mengherankan karena guru mereka adalah Rasulullah ﷺ.

Dalam tafsir ayat ini, para ulama membawakan dua kisah yang terkenal. Yang pertama : kisah Sa’ad bin Rabii’ dengan Abdurrahman bin Auf dimana Sa’ad, dimana Saád bin Robi’ berkata kepada Abdurrahman bin Auf:

إِنِّيْ مِنْ أَكْثَرِ الأَنْصَارِ مَالًا…

“Aku termasuk orang Anshar yang paling banyak hartanya, silakan ambil setengah hartaku dan aku memiliki istri lebih dari satu maka silakan pilih salah satu lalu aku akan ceraikan setelah habis ‘iddahnya maka silakan engkau nikahi”,

Hal ini diucapkan oleh Saád bin Robi’ karena Abdurrahman bin Áuf tadinya adalah saudagar kaya raya di kota Mekah, namun ketika berhijrah jadilah beliau menjadi seorang yang miskin mendadak, tidak memiliki harta apapun. Akan tetapi tawaran tersebut tidak diterima oleh Abdurrahman bin Áuf, akan tetapi beliau hanya meminta ditunjukan dimana lokasi pasar agar beliau bisa berdagang([35]).

Coba bandingkan dengan kondisi kita di zaman ini, tentu tidak ada yang sampai pada tingkat seperti ini. Saád bin Robii’ bukan hanya menawarkan sebagian hartanya bahkan setengah dari hartanya, dan bukan hanya hartanya bahkan istrinya sendiri pun rela ia berikan dan hal ini nyata pernah terjadi. Seandainya ini tidak diriwayatkan dengan sanad yang shahih tentu kita akan berkata ini hanyalah dongeng belaka. Akan tetapi kisah ini benar adanya, pernah dilakukan oleh para sahabat. Tidak usah heran, karena guru mereka adalah Nabi shallallahu álaihi wasallam.

Adapun kisah yang kedua adalah kisah Abu Thalhah, ketika ada orang yang datang kepada Nabi ﷺ dan mengadukan kesulitannya maka Nabi ﷺ menanyakan kepada para istrinya apakah ada makanan namun jawaban semua istri Nabi ﷺ:

وَالّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، مَا عِنْدَنَا إِلَّا مَاءً

“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kita tidak memiliki apa pun selain air”

Ketika itu Nabi ﷺ sedang tidak memiliki makanan dan Nabi ﷺ tidak bisa menjamu orang tersebut maka Nabi ﷺ menawarkan kepada para Sahabat:

مَنْ يُضِيْفُ هَذَا اللَّيْلَةَ يَرْحَمُهُمُ اللهُ

“Siapa yang bisa menjamu orang ini pada malam ini niscaya Allah akan merahmatinya” maka Abu Thalhah menerima tawaran tersebut namun ia sendiri tidak mengetahui apakah ada makanan di rumahnya atau tidak. Lalu begitu sampai di rumahnya, Abu Thalhah bertanya kepada istrinya apakah ada makanan? namun ternyata hanya ada makanan untuk anak-anak mereka. Makanan untuk dia dan istrinya pun tidak ada. Maka Abu Thalhah memerintahkan untuk bermain dengan anak-anak mereka hingga tertidur dan makanan tersebut diperuntukkan untuk sang tamu.

Akhirnya anak-anak mereka diajak ngobrol sama istri Abu Tholhah hingga tertidur, sementara makanan yang tersedia hanya cukup untuk satu orang dewasa. Abu Thalhah memerintahkan istrinya untuk pura-pura memperbaiki penerang ruangan lalu  mematikannya agar kondisi gelap. Ketika sang istri diperintahkanpun sang istri pun tidak protes sama sekali dan menuruti perintah suaminya. Istrinya tidak berkata, “Ayah ini bagaimana, kok bawa tamu tidak bilang-bilang terlebih dahulu?”, atau “Ayah ini bagaimana kok bawa tamu sementara kita tidak memiliki makanan, akupun belum makan !!’. Sama sekali istrinya tidak protes dan mengomel. Akhirnya sang istri pura-pura memperbaiki lilin dan mematikannya, semua itu dilakukan tujuannya adalah karena makanan yang ada hanya untuk satu orang dan kalaulah makanan tersebut dihidangkan sedangkan tuan rumah sendiri tidak makan maka tentu saja sang tamu akan merasa tidak enak dengan hal tersebut.

Akhirnya makanan tersebut hanya dihidangkan kepada tamunya dalam kondisi gelam, sedangkan kedua tuan rumah hanya memegang piring dalam keadaan gelap seolah sedang makan. Subhanallah mereka sang tuan rumah hakikatnya dalam keadaan susah namun masih tetap mengutamakan orang lain. Dan pada pagi harinya, mereka hanya diam saja tanpa bicara sedikit pun kepada orang lain. Yaitu mereka ikhlash tidak menshare apa yang mereka lakukan kepada orang lain. Namun Allah yang mengabarkan kepada Nabi ﷺ sehingga Nabi ﷺ pun memanggil Abu Thalhah dan berkata kepadanya:

عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللّيْلَةَ

“Allah takjub dengan perbuatan kalian berdua tadi malam terhadap tamu kalian”. ([36])

Sungguh benar sifat yang Allah sematkan kepada mereka dan itu tidaklah berlebihan, Allah berfirman:

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

“…dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka (orang-orang Anshar) dalam kesusahan”.

Sebagaimana juga pernah terjadi dalam suatu peperangan dan terdapat beberapa orang yang sedang sekarat lalu datanglah orang yang membawakan minuman, maka ketika minuman sudah didekatkan lalu terdengar suara sahabat lainnya yang meminta air, maka sahabat yang hampir meninggal ini mengisyaratkan untuk memberi sahabat tersebut lalu dibawakanlah air tersebut kepada sahabat yang lain tersebut. Kemudian terdengar suara dari sebelahnya yang juga meminta air, lalu diisyaratkan untuk diberikan kepada teman yang satunya lalu air tersebut pun dibawakan dan akhirnya seluruhnya meninggal tanpa ada yang minum satu pun dari mereka([37]).  Merekalah yang melakukan  “itsar” (mendahulukan saudaranya) di saat-saat genting. Oleh karenanya persahabatan itu barulah teruji di saat kesulitan.

Lalu Allah menutup firman-Nya:

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“…Dan barangsiapa yang dijaga dari rasa kikir maka merekalah orang-orang yang beruntung”.

Kataيُوْقَ  berasal dari kata وِقَايَة yang artinya adalah penjagaan atau perlindungan. Mengapa dikatakan demikian?, karena sifat pelit itu setiap saat bisa menyerang dan menjangkiti. Pada hari ini seseorang bisa tidak memiliki sifat pelit namun pekan depannya dia bisa memiliki sifat pelit, oleh karena itu ia harus senantiasa menjaga dirinya dari sifat pelit dan kapan saja sifat pelit itu muncul maka sifat pelit itu harus ia lawan. Barangkali dalam kondisi lapang kita tidak pelit namun dalam kondisi sempit maka menjadi pelit. Oleh karena itu penting bagi kita agar mampu mengatur hati kita agar jangan sampai kita terjatuh kepada sifat pelit. Hal ini juga menunjukkan bahwasanya seseorang haruslah waspada dan barangsiapa yang bisa terjaga dari sifat pelit tersebut maka mereka itulah orang-orang yang beruntun

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Pada ayat sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang muhajirin dan memuji mereka kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang kaum Anshor dan memuji mereka maka pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan kelompok ketiga yaitu orang-orang yang datang setelah mereka.

Ayat ini menjelaskan bahwasanya di antara kaum mukminin yang baik adalah yang mendoakan kaum muhajirin dan kaum Anshor, isyarat bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan jenis yang ketiga ini untuk mendoakan kaum muhajirin dan kaum Anshor mengingat jasa kaum muhajirin dan kaum Anshor yang luar biasa yang dimana Islam tegak dengan mereka, dan mereka adalah murid-murid yang belajar langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kita dapati bagaimana perjuangan mereka, jihad mereka, dan infak mereka maka sebagai orang-orang yang datang yang menikmati hasil jerih payah mereka harusnya mendoakan mereka agar mereka diampuni dan jangan sampai dengki kepada mereka. Oleh karenanya ayat ini dijadikan dalil bahwasanya seorang mukmin yang baik adalah yang mencintai para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendoakan mereka([38]).

Dalam satu riwayat dari Ibnu Mardawaih menceritakan tentang Ibnu ‘Umar,

أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا وَهُوَ يَتَنَاوَلُ بَعْضَ الْمُهَاجِرِينَ فَقَرَأَ عَلَيْهِ: لِلْفُقَراءِ الْمُهاجِرِينَ الْآيَةَ، ثُمَّ قَالَ: هَؤُلَاءِ الْمُهَاجِرُونَ أَفَمِنِهُمْ أَنْتَ؟ قَالَ: لَا، ثم قرأ عليه: وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُا الدَّارَ وَالْإِيمانَ الْآيَةَ. ثُمَّ قَالَ: هَؤُلَاءِ الْأَنْصَارُ أَفَأَنْتَ مِنْهُمْ؟ قَالَ: لَا، ثُمَّ قَرَأَ عَلَيْهِ: وَالَّذِينَ جاؤُ مِنْ بَعْدِهِمْ الْآيَةَ، ثُمَّ قَالَ: أَفَمِنْ هَؤُلَاءِ أَنْتَ؟ قَالَ: أَرْجُو، قَالَ: لَيْسَ مِنْ هَؤُلَاءِ من سبّ هؤلاء.

“bahwasanya Ibnu ‘Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhuma dia mendengar sorang lelaki mencela sebagian kaum muhajirin maka dia membacakan kepadanya firman Allah, {(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridaan(-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar}, kemudian berkata: mereka adalah kaum Muhajirin (golongan pertama) apakah kamu termasuk dari golongan mereka? lelaki tersebut menjawab: bukan. Kemudian Ibnu ‘Umar membacakan kembali ayat berikutnya {Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung}, kemudian berkata: mereka adalah kaum Anshor (golongan kedua), apakah kamu termasuk dari golongan mereka? lelaki tersebut menjawab: bukan. Kemudian Ibnu ‘umar membacakan kembali ayat berikutnya {Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang}, lalu Ibnu ’Umar betanya: apakah kamu termasuk dari golongan mereka (golongan ketiga)? lelaki tersebut menjawab: aku berharap termasuk dari mereka. lalu Ibnu Umar berkata: bukan termasuk dari mereka (golongan ketiga) yang mencela mereka (golongan pertama dan kedua).” ([39])

Jadi kaum mukminin hanya ada 3 golongan: kaum muhajirin, kaum anshor, dan kaum yang datang setelahnya hingga hari kiamat. Dan ciri orang yang beriman adalah orang yang mendoakan kaum muhajirin dan kaum anshor. Dan ayat ini adalah bantahan yang telak bagi orang-orang Syiah yang hobi mereka adalah mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ

“mereka diperintahkan untuk memohonkan ampunan bagi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata mereka mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Asy-Sya’by berkata bahwa Yahudi dan Nasrani lebih baik dari Syiah dalam satu perkara, yaitu ketika orang-orang Yahudi ditanya: siapakah manusia terbaik? Maka orang-orang Yahudi akan menjawab bahwa manusia terbaik adalah sahabatnya Nabi Musa, dan orang-orang Nasrani ketika ditanya siapakah manusia terbaik? Mereka akan mengatakan bahwa manusia terbaik adalah sahabatnya nabi Isa, akan tetapi ketika orang Syiah ditanya siapakah manusia terburuk? Mereka akan mengatakan bahwa manusia terburuk adalah sahabatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam([40]), karena kerjaan mereka adalah mencaci maki para sahabat radhiyallahu ta’ala anhum ajma’in, dan itu adalah konsekuensi dari agama mereka karena orang Syiah agama mereka dibangun di atas keyakinan 12 imam:
  1. Imam pertama adalah Ali bin Abu Thalib
  2. Imam kedua adalah Al-Hasan
  3. Imam ketiga adalah Al-Husain
  4. Imam keempat adalah Ali bin Al-Husain (Yang diberi gelar : Zainal Abidin)
  5. Imam kelima adalah Muhammad bin ‘Ali bin Al-Husain (yang diberi gelar Al-Baqir)
  6. Imam keenam adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir (yang diberi gelar Ash-Shadiq)
  7. Imam ketujuh adalah Musa bin Ja’far (yang diberi gelar Al-Kadzim)
  8. Imam kedelapan adalah Ali bin Musa (yang diberi gelar Ar-Ridho)
  9. Imam kesembilan adalah Muhammad bin Ali (yang diberi gelar Al-Jawad)
  10. Imam kesepuluh adalah ‘Ali bin Muhammad (yang diberi gelar Al-Hadi)
  11. Imam kesebelas adalah Al-Hasan bin Ali Al-Asykari
  12. Imam kedua belas adalah Muhammad bin Al-Hasan([41])
Jadi mereka meyakini bahwasanya imam yang pertama yang sah adalah Ali bin Abu Thalib, sementara ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat para sahabat seluruhnya mengangkat Abu Bakar radhiyallahu ta’ala ‘anhu sebagai imam, akhirnya orang Syiah menganggap para sahabat murtad ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, di antara sebab murtad mereka karena mereka tidak mengangkat Ali sebagai imam dan malah mengangkat Abu Bakar setelah itu mereka mengangkat ‘Umar, setelah itu mereka mengangkat ‘Utsman, kemudian setelah puluhan tahun baru kemudian mereka mengangkat Ali bin Abu Thalib. Sikap mereka (syiáh Rofidhoh) ini menunjukan bahwa agama mereka tidak dibangun kecuali dengan mengkafirkan para sahabat, kalau mereka tidak mengkafirkan dan mencaci maki para sahabat maka agama mereka hancur. Jadi intinya agama mereka dibangun di atas keyakinan bahwa imam pertama adalah Ali bin Abu Thalib, jadi kepemimpinan Abu Bakar setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sah, dan semua yang setuju akan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, kemudian Utsman maka mereka semua kafir atau mereka adalah orang-orang yang tercela, dan jika ada orang Syiah yang memuji para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan para sahabat adalah benar dan menunjukkan akan sahnya Abu Bakar menjadi imam pertama, dan tentu ini bertentangan dengan keyakinan mereka dan merusak keyakinan mereka karena agama mereka tidak dibangun kecuali dengan meyakini bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abu Thalib. Konsekuensinya mereka harus mencela dan mengkafirkan para sahabat. Dan itulah agama mereka, akhirnya mereka senang dan merayakan kematian para sahabat, mereka memiliki hari raya kematian Umar dan ini disebutkan dalam buku-buku mereka bahwa merayakan kematian Umar pahalanya sangat besar, dan mereka gembira dengan tewasnya Umar, bahkan pahalanya bisa masuk surga dan bisa memberikan syafaat untuk keluarga. Mereka juga membuat acara perayaan kematian ‘Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha, mereka berkata: “selamat bagi ‘Aisyah berpindah dari azab dunia kepada azab akhirat”, jadi mereka bahagia dengan kematian para sabahat. Dari sisi inilah orang Yahudi dan Nasrani lebih mulia dari pada mereka.

Ayat ini juga dalil bahwasanya konsekuensi dalam keimanan adalah saling mendoakan, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”

Karena sama-sama beriman harusnya saling perhatian, saling mendoakan, dan saling sadar bahwasanya tidak ada yang sempurna sebagaimana kami punya kekurangan mereka juga mempunyai kekurangan, kemudian meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar tidak hasad kepada yang lainnya. Seorang mukmin yang baik adalah yang tidak dengki kepada orang mukmin yang lainnya. Tidak hasad kepada orang lain merupakan perkara yang berat akan tetapi seseorang harus berusaha untuk menuju perkara tersebut dan jangan sampai di dadanya ada kedengkian kepada orang-orang yang beriman lainnya, karena konsekuensi bersaudara karena keimanan harusnya saling mendoakan bukan saling hasad atau saling dengki di antara orang-orang yang beriman.

Para ulama tafsir ketika membahas tentang ayat ini mereka menyebutkan tentang kisah seorang sahabat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam vonis dia masuk surga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

” يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ، قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى. فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ أَنَسٌ: وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ، فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ، حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ. قَالَ عَبْدُ اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ: ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ. قَالَ: فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ

“Sebentar lagi akan datang seorang laki-laki penghuni Surga. Kemudian seorang laki-laki dari kaum Anshor datang yang jenggotnya masih basah dari bekas wudhunya, sedangkan tangan kirinya menenteng kedua sandalnya. Ketika keesokan harinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan hal yang serupa, kemudian datang lelaki tersebut persis seperti hari sebelumnya. Ketika hari ketiga harinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengucapkan hal yang serupa, kemudian datang lelaki tersebut persis keadaannya seperti hari sebelumnya. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya : “Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?. Dia menjawab, ‘Silahkan!’. Anas berkata bahwa Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan sholat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk sholat subuh. Abdullah bin Ámr bin al-Ásh bertutur : “Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya : Wahai hamba Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya sebenarnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali : Akan muncul sekarang kepada kalian seorang penduduk surga”, lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa amalanmu sehingga aku mengikutinya, namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau (pada derajat) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Orang itu berkata : “Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat”. Abdullah bertutur : “Tatkala aku berpaling pergi maka iapun memanggilku dan berkata : “Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya”. Abdullah berkata, “Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga-pen), dan inilah yang tidak kami mampu.” ([42])

Hadits ini menunjukkan bahwasanya teori untuk tidak hasad itu mudah namun praktiknya yang susah, ketika melihat orang mendapatkan kekayaan kita dengki, ketika melihat orang mobilnya lebih bagus kita dengki, melihat orang istrinya lebih cantik kita dengki, dan juga ketika kita melihat orang dagangannya lebih laris kita juga dengki. Jadi konsekuensi dari keimanan kita tidak boleh saling mendengki, oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَقَاطَعُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا»

“janganlah kalian saling hasad, jangan saling bermusuhan, jangan saling memutus hubungan, dan jadilah hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bersaudara.” ([43])

Kalau kita tidak boleh saling mendengki di antara sesama kita apalagi terhadap orang-orang yang telah berjasa kepada kita seperti kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Ini dalil bahwasanya sesama antara orang yang beriman antara satu dengan yang lainnya saling memberi manfaat, saling mendoakan dan doa itu bermanfaat bagi yang lainnya

Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.”

Ini adalah di antara doa agar kita tidak saling hasad, yang kita ucapkan dalam doa kita وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ “dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang”. Dan kita harus berjuang agar hati kita tidak dengki dan ini sangat berkaitan dengan qona’ah dan beriman kepada takdir, sehingga ketika ada orang mencaci maki kita maka hati kita tenang karena yakin bahwasanya hal tersebut telah dicatat 50 ribu tahun sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi. Ini membuat hati kita tenteram karena untuk apa kita dengki atau dendam, karena demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan perjalanan kehidupan manusia, ada yang zalim dan ada yang dizalimi, ada yang dengki dan ada yang didengki, ada yang kaya dan ada yang miskin, dan lainnya. Maka kita yakini bahwasanya semua hal tersebut telah ditakdirkan dan ini membuat hati kita tenteram sehingga kita tidak membawa dengki dalam dada kita. Seharusnya sebelum tidur kita berusaha agar hati kita bersih, jika ada seseorang memiliki masalah dengan kita dan terngiang-ngiang dalam benak kita maka segeralah untuk kita maafkan karena untuk apa kita memikirkannya terus. Jika kita telah memaafkan maka selesailah perkaranya. Selama Iblis masih ada maka beginilah kehidupan dunia, akan ada yang menzalimi dan dizalimi, akan ada yang dimaki-maki, dituduh yang tidak-tidak, dan hal-hal yang lainnya.

Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang 3 golongan yang mulia, pertama: muhajirin, kedua: kaum Anshor. Dan yang ketiga adalah orang-orang yang mendoakan kaum muhajirin dan kaum Anshor, setelah itu Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan paragraf baru denga topik baru yaitu tentang orang-orang munafik, tentang apa yang terjadi antara orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi. Adapun antara kaum mukminin maka orang-orang yang beriman mereka saling mencintai, saling mendoakan, dan saling menolong. Nah, bagaimana hubungan antara orang-orang munafik dengan orang-orang Yahudi?

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ نَافَقُوْا يَقُوْلُوْنَ لِاِخْوَانِهِمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَىِٕنْ اُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيْعُ فِيْكُمْ اَحَدًا اَبَدًاۙ وَّاِنْ قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudaranya yang kafir di antara Ahli Kitab, “Sungguh, jika kalian diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun demi kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al-Hasyr: 11)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَقُوْلُوْنَ لِاِخْوَانِهِمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ

“Yang mereka berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab”

Jadi orang-orang Yahudi dianggap oleh orang-orang munafik sebagai saudara, yaitu saudara dalam kekafiran([44]). Kemudian yang dimaksud dengan اَهْلِ الْكِتٰبِ di sini adalah orang-orang Yahudi secara khusus, karena model orang-orang kafir beragam, yaitu orang-orang musyrikin, Ateis, dan Ahlu kitab.

Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَىِٕنْ اُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيْعُ فِيْكُمْ اَحَدًا اَبَدًاۙ وَّاِنْ قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْۗ

“Sungguh, jika kalian diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun demi kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.”

Jadi orang-orang munafik memprovokasi orang-orang Yahudi untuk bersikeras mengambil sikap oposisi terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka mengatakan kepada orang-orang Yahudi: seandainya kalian diusir kami akan ikut keluar bersama kalian”, dan inilah janji manis mereka kepada orang-orang Yahudi. Kemudian mereka berkata: dan kami tidak akan taat kepada siapapun yang menganjurkan kami untuk tetap tinggal di kota Madinah dan kami akan tetap keluar bersama kalian, dan siapapun yang merayu kami untuk tetap tinggal tinggal di kota Madinah tidak akan kami turuti demi solidarotas, oleh karenanya kalian wahai orang-orang Yahudi tetaplah lakukan oposisi melawan kaum muslimin”. Dan juga orang-orang munafik mengatakan kepada orang-orang Yahudi: “kalau kalian diperangi oleh kaum muslimin kami akan benar-benar menolong kalian”. Semua ini hanyalah janji palsu orang-orang munafik. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berkata “dan Allah menyaksikan, bahwa mereka orang-orang munafik benar-benar pendusta”, dan memang ciri-ciri orang-orang munafik adalah berdusta sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” QS. Al-Munafiqun: 1

Dan inilah ciri-ciri orang-orang munafik yang  mereka membohongi kam muslimin dan juga mereka membohongi orang-orang Yahudi.

Lalu apa yang terjadi sesungguhnya ketika semua itu menimpa orang-orang Yahudi

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَىِٕنْ اُخْرِجُوْا لَا يَخْرُجُوْنَ مَعَهُمْۚ وَلَىِٕنْ قُوْتِلُوْا لَا يَنْصُرُوْنَهُمْۚ وَلَىِٕنْ نَّصَرُوْهُمْ لَيُوَلُّنَّ الْاَدْبَارَۙ ثُمَّ لَا يُنْصَرُوْنَ

“Sungguh, jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan jika mereka di-perangi; mereka (juga) tidak akan menolongnya; dan kalau pun mereka menolongnya pastilah mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.” (QS. Al-Hasyr: 12)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa omongan orang-orang munafik hanyalah omongan yang manis dan hanya provokasi yang kosong dari kenyataan. Buktinya, tatkala orang Ahli kitab diusir mereka tidak akan ikut pergi keluar bersama mereka, ketika orang-orang Yahudi diserang mereka tidak bantu menolong, dan kalaupun mereka menolong mereka akan lari kabur dari peperangan, dan itu yang terjadi. Kemudian Bani Nadhir terusir sebagaimana yang dijelaskan pada ayat Al-Hasyr sebelumnya, karena Al-Hasyr maknanya pengusiran Bani An-Nadhir dari kota Madinah. Di antara sebabnya adalah mereka diprovokasi oleh Ubay bin Abdillah bin Salul, akan tetapi ketika mereka diusir tidak ada satu pun dari orang-orang munafik yang datang membantu merek

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَاَنْتُمْ اَشَدُّ رَهْبَةً فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنَ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ

“Sesungguhnya dalam hati mereka, kalian (Muslimin) lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr: 13)

Siapa yang dimaksud dengan mereka dalam ayat ini? Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang munafik karena ayat ini berbicara tentang kaum munafikin, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kalian adalah kaum munafik dan Yahudi([45]), dan memang benar bahwa mereka semua yaitu kaum munafik dan Yahudi takut kepada kaum muslimin, yang mana mereka semua takut mati dan mereka semua sangat ingin untuk hidup selama-lamanya, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَىٰ حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” QS. Al-Baqarah: 96

Tujuan mereka hanyalah dunia, sehingga ketika mereka disuruh untuk berperang mereka takut

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,         

لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا اِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ اَوْ مِنْ وَّرَاۤءِ جُدُرٍۗ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ ۗ تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُوْنَۚ

“Mereka tidak akan memerangi kalian (secara) bersama-sama, kecuali di negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kalian kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr: 14)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا اِلَّا فِيْ قُرًى مُّحَصَّنَةٍ اَوْ مِنْ وَّرَاۤءِ جُدُرٍۗ

“Mereka tidak akan memerangi kalian (secara) bersama-sama, kecuali di negeri-negeri yang berbenteng atau di balik tembok.

Maksudnya seandainya mereka ingin memerangi kalian maka mereka tidak akan memerangi kalian kecuali dibalik kampung-kampung yang memiliki benteng atau di belakang tembok-tembok([46]), artinya mereka ini pengecut dalam peperangan. Dan orang-orang Yahudi mereka memiliki tembok-tembok dan benteng-benteng terlebih lagi pada saat perang Khaibar mereka memiliki hingga 9 benteng, untuk bertempur melawan kaum muslimin mereka selalu berlindung di balik benteng dan mereka penakut, padahal mereka bersatu untuk memerangi kaum muslimin namun mereka tetap ketakutan, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman لَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ جَمِيْعًا “Mereka tidak akan memerangi kalian (secara) bersama-sama” karena mereka takut, dan mereka tidak mau berperang kecuali dibalik tembok atau benteng.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan alasannya, ([47])

بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُوْنَۚ

“Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kalian kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti”

Antara orang munafik yang satu dengan yang mereka saling berselisih, dan antara orang Yahudi yang satu dengan Yahudi yang lain juga sering berselisih.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كَمَثَلِ الَّذِيْنَ مِنْ  قَرِيْبًا ذَاقُوْا وَبَالَ اَمْرِهِمْۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۚ

“(Mereka) seperti orang-orang yang sebelum mereka (Yahudi) belum lama berselang, telah merasakan akibat buruk (terusir) disebabkan perbuatan mereka sendiri. Dan mereka akan men-dapat azab yang pedih.” (QS. Al-Hasyr: 15)

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang munafik bahwa perumpamaan mereka (orang-orang munafik) seperti kaum yang baru-baru saja sebelumnya telah merasakan akibat dampak dari perbuatan mereka, yaitu merasakan azab yang pedih. Siapakah kaum yang orang-orang munafik disamakan dengan mereka?, maka ada khilaf di kalangan para ulama, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah orang-orang Quraisy yang mereka kalah dalam perang Badar([48]), jadi artinya: “wahai orang-orang munafik berhati-hatilah kalian itu bisa jadi nasibnya seperti orang-orang Quraisy yang kalah dalam perang Badar”.

Sebagian ulama berpendpat bahwa maksudnya adalah Bani Qainuqa’, dan Bani Qainuqa’ adalah oang-orang Yahudi yang pertama yang diusir dari kota Madinah, jadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah kaum Yahudi ada 3 kelompok dan mereka semua di kota Madinah tidak bersatu padu, ada yang namanya Yahudi Bani Qainuqa’, Yahudi Bani An-Nadhir, dan ada Yahudi Bani Quraizhah. Dan yang pertama kali diusir adalah Yahudi dari kabilah Qainuqa’([49]), kemudian Bani An-Nadhir sebagaimana yang kita bahs dalam surah Al-Hasyr ini, baru kemudian yang terakhir diusir adalah Yahudi Bani Quraizhah yang dengannya turun surah Al-Ahzab yang berbicara tentang pengusiran mereka atau tentang peperangan  melawan mereka. Jadi maksud firman Allah subhanahu wa ta’ala adalah: “Sesungguhnya kalian orang-orang munafik seperti orang-orang yang baru-baru saja sebelum kalian yaitu orang-orang Quraisy atau Bani Qoinuqa’ yang diusir karena mereka melakukan pelanggaran”.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كَمَثَلِ الشَّيْطٰنِ اِذْ قَالَ لِلْاِنْسَانِ اكْفُرْۚ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّنْكَ اِنِّيْٓ اَخَافُ اللّٰهَ رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ

“(Bujukan orang-orang munafik itu) seperti (bujukan) setan ketika ia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu!” Kemudian ketika manusia itu menjadi kafir ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Hasyr: 16)

Allah subhanahu wa ta’ala berikan lagi perumpamaan yang kedua yaitu perumpamaan antara orang-orang munafik dengan Ahli Kitab([50]), seperti yang disebutkan di atas bahwa orang-orang munafik memberikan janji palsu dengan berkata-kata manis kepada orang-orang Yahudi maka ini seperti Iblis yang menggoda manusia yang berkata kepada manusia: “Kafirlah! Kalau kamu kafir aku akan menemanimu”, ketika manusia telah kafir Iblispun berlepas diri.

Adapun maksud ayat ini ada yang mengatakan bahwa ini umum, Allah subhanahu wa ta’ala hanya memberikan perumpamaan bahwa perumpamaan orang-orang munafik terhadap orang-orang Yahudi yang memberikan janji palsu seperti setan yang menipu manusia. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud setan adalah Iblis dan yang dimaksud dengan manusia adalah Abu Jahal, ketika perang Badar setan menipu Abu Jahal yang kisahnya telah Allah subhanahu wa ta’ala abadikan dalam surah Al-Anfal,

وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لَا غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ ۖ فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَىٰ مَا لَا تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ ۚ وَاللَّهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusiapun yang dapat menang terhadapmu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu”. Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), syaitan itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah”. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” QS. Al-Anfal: 48 ([51])

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Iblis memberikan janji palsu kepada Abu Jahal, ketika Abu Jahal akan perang Badar maka Iblis menjelma menjadi manusia lalu mendatangi Abu Jahl dan mengatakan: “Wahai Abu Jahal kami akan bersamamu dan kamu pasti menang dan tidak mungkin kamu akan kalah melawan Muhammad dan para sahabatnya, karena kalian berjumlah 1000 orang sedangkan mereka hanya 300 orang”. Tatkala dua pasukan saling bertemu maka Iblis yang menjelma sebagai manusia yang tadi telah memprovokasi Abu Jahal kabur dan dia mengatakan: إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَىٰ مَا لَا تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah”. Para ulama menafsirkan maksud dari setan dengan manusia adalah Iblis dengan Abu Jahal, jadi perumpamaan orang-orang munafik dengan Ahli Kitab yang hanya janji palsu kemudian diselisihi seperti Iblis yang menipu Abu Jahal yang Iblis berjanji dengan janji palsu namun ketika dalam kondisi genting malah ditinggal.

Jika membaca buku-buku tafsir kita dapati bahwa para ulama tatkala menafsirkan ayat ini pasti mereka menyebutkan satu kisah yang diriwayatkan dari beberapa ulama salaf tentang kisah seorang rahib. Kisah ini datang dalam berbagai riwayat akan tetapi Ibnu ‘Athiyyah dalam kitabnya Al-Muharror Al-Wajiz mengatakan bahwa seluruh sanadnya lemah([52]), kisah itu adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Thawus rahimahullah,

كَانَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ، وَكَانَ عَابِدًا وَكَانَ رُبَّمَا دَاوَى الْمَجَانِينَ، وَكَانَتِ امْرَأَةٌ جَمِيلَةٌ أَخَذَهَا الْجُنُونُ فَجِيءَ بِهَا إِلَيْهِ فَتُرِكَتْ عِنْدَهُ فَأَعْجَبَتْهُ فَوَقَعَ عَلَيْهَا، فَحَمَلَتْ فَجَاءَهُ الشَّيْطَانُ فَقَالَ: إِنْ عُلِمَ بِهَذَا افْتُضِحْتَ فَاقْتُلْهَا وَأَرْقِدْهَا فِي بَيْتِكَ، فَقَتَلَهَا وَدَفَنَهَا، فَجَاءَ أَهْلُهَا بَعْدَ ذَلِكَ بِزَمَانٍ يَسْأَلُونَهُ عَنْهَا، فَقَالَ: مَاتَتْ فَلَمْ يَتَّهِمُوهُ لِصَلَاحِهِ فِيهِمْ وَرِضَاهُ، فَجَاءَهُمُ الشَّيْطَانُ فَقَالَ: إِنَّهَا لَمْ تَمُتْ وَلَكِنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا فَحَمَلَتْ فَقَتَلَهَا وَدَفَنَهَا، وَهِيَ فِي بَيْتِهِ فِي مَكَانِ كَذَا وَكَذَا، فَجَاءَ أَهْلُهَا فَقَالُوا: مَا نَتَّهِمُكَ وَلَكِنْ أَخْبِرْنَا أَيْنَ دَفَنْتَهَا، وَمَنْ كَانَ مَعَكَ؟ فَفَتَّشُوا بَيْتَهُ فَوَجَدُوهَا حَيْثُ دَفَنَهَا فَأُخِذَ فَسُجِنَ فَجَاءَهُ الشَّيْطَانُ، فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ تُرِيدُ أَنْ أُخَلِّصَكَ مِمَّا أَنْتَ فِيهِ، وَتَخْرُجُ مِنْهُ، فَاكْفُرْ بِاللَّهِ، فَأَطَاعَ الشَّيْطَانَ وَكَفَرَ فَأُخِذَ فَقُتِلَ فَتَبَرَّأَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ حِينَئِذٍ، قَالَ طَاوُسٌ: ” فَمَا أَعْلَمُ إِلَّا بِهَذِهِ الْآيَةِ أُنْزِلَتْ فِيهِ {كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلْإِنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ}

“Bahwasanya ada seorang lelaki dari Bani Israil yang dia seorang ahlu ibadah dan bisa menyembuhkan penyakit gila, dan ada seorang wanita yang cantik yang terkena gangguan jiwa, kemudian wanita tersebut dibawa kepada lelaki tersebut dan ditinggalkan bersamanya, dan ternyata wanita tersebut membuat tertarik lelaki tersebut lalu dia pun menzinahinya dan wanita tersebut hamil, lalu setan mendatanginya dan berkata, “Jika hal ini diketahui maka akan terbongkar keburukanmu maka bunuhlah ia dan kuburlah ia di rumahmu”. Lalu lelaki tersebut membunuhnya dan menguburnya. Setelah beberapa waktu datanglah keluarganya menanyakan tentangnya, lalu lelaki tersebut menjawab: ia telah meninggal, dan keluarganya tidak mencurigainya karena kesolehannya dan juga mereka meridhoi lelaki tersebut, lalu datanglah setan kepada mereka dan berkata, “Sesungguhnya dia tidaklah meninggal, akan tetapi lelaki tersebut menzinahinya hinngga hamil lalu membunuhnya dan menguburnya, dan jasad wanita tersebut berada di rumahnya di tempat ini dan ini”. Maka keluarganya mendatanginya dan berkata, “Kami tidaklah menuduhmu akan tetapi kabarkanlah kepada kami dimana engkau menguburnya, dan siapa saja yang bersamamu?” Lalu mereka memeriksa rumahnya dan mendapatkannya di tempat ia dikuburkan, maka lelaki tersebut dihukum dan dipenjara. Datanglah setan dan berkata, “Jika engkau menginginkan agar aku membebaskanmu dari keadaanmu saat ini dan engkau keluar darinya maka maka kufurlah kepada Allah”. Lalu lelaki tersebut mentaati setan dan mengkufuri Allah. Lalu dia dihukum dan dibunuh adapun setan berlepas diri saat itu. Berkata Thowus: aku tidak mengetahui keculi ayat ini turun disebabkan lelaki tersebut {(Bujukan orang-orang munafik itu) seperti (bujukan) setan ketika ia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu!” Kemudian ketika manusia itu menjadi kafir ia berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam}.” ([53])

Dan ini secara riwayat maka riwayatnya lemah, akan tetapi jika ingin dijadikan sebagai tafsir maka ini bukan tafsir dari ayat ini akan tetapi hanya sekedar contoh bagaimana Iblis menggoda dan ketika diujung kekufuran lalu Iblis meninggalkannya. Dan ini mungkin saja terjadi pada siapa saja, maka hendaknya kita berhati-hati. Oleh karenanya seseorang jangan mengikuti langkah-langkah Iblis ketika menggoda manusia karena Iblis pun akan berlepas diri dari manusia dalam kondisi genting.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَآ اَنَّهُمَا فِى النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيْهَاۗ وَذٰلِكَ جَزٰۤؤُا الظّٰلِمِيْنَ

“Maka kesudahan bagi keduanya, bahwa keduanya masuk ke dalam neraka, kekal di dalamnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Hasyr: 17)

Dan kesudahan bagi keduanya baik Iblis maupun manusia mereka semua berada di neraka Jahannam abadi di dalamnya. Jadi ketika Iblis berkata: “Aku berlepas diri dari kekufuran yang kamu lakukan” hal ini tidaklah menyelamatkannya, karena Iblis adalah provokatornya. Begitu juga orang-orang munafik tatkala memprovokasi orang-orang Yahudi untuk bertahan sebagai oposisi melawan kaum muslimin di kota Madinah maka mereka juga tidak akan selamat, di dunia mungkin mereka bisa selamat namun di akhirat mereka tidak akan selamat. Maka dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa provokator dan orang yang terprovokasi mereka semua nasibnya di akhirat sama-sama di neraka Jahannam dan kekal di dalamnya. Oleh karenanya seseorang yang melakukan provokator untuk melakukan kemaksiatan walaupun dia tidak melakukannya maka hukumnya sama dengan orang yang melakukan kemaksiatan tersebut. Dan ini sering penulis sampaikan seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang kaum nabi Shalih yaitu kaum Tsamud yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam ayat tersebut,

اِذِ انْۢبَعَثَ اَشْقٰىهَاۖ

“ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka” QS. Asy-Syams: 12

Namanya Salif bin Qudar, dan dia sendirilah yang kemudian membunuh untanya nabi Shalih, akan tetapi dalam ayat berikutnya Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan,

فَكَذَّبُوْهُ فَعَقَرُوْهَاۖ فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْۢبِهِمْ فَسَوّٰىهَاۖ

“Namun mereka mendustakannya dan mereka menyembelihnya, karena itu Tuhan membinasakan mereka karena dosanya, lalu diratakan-Nya (dengan tanah)” QS. Asy-Syams: 14

Dalam ayat ini disebutkan فَعَقَرُوْهَا “mereka membunuh unta tersebut”, padahal yang membunuh hanya 1 orang, mengapa demikian? Karena mereka semua adalah provokatornya walaupun eksekutornya satu orang maka hukumnya sama antara provokator dan eksekutor. Oleh karenanya dalam masalah kemaksiatan yang paling rendah adalah pengingkaran, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ»

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, dan apabila tidak mampu maka hendaklah diubahnya dengan lisannya dan jika ia tidak mampu maka hendaklah diubahnya dengan hatinya, tetapi itu adalah selemah-lemah iman.” ([54])

Dalam riwayat lain,

«مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ، وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ»

“Tidak ada seorang nabi pun yang Allah utus pada satu umat sebelumku kecuali memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan sahabat-sahabat yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya, kemudian datang generasi-generasi pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka amalkan dan mengamalkan yang tidak diperintahkan. Siapa yang menghadapi mereka dengan tangannya maka ia seorang mukmin, siapa yang menghadapi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin, dan siapa yang menghadapi mereka dengan hatinya maka ia seorang mukmin. Tidak ada setelah itu sekecil biji sawi dari iman.” ([55])

Maka tidak boleh ketika ada orang yang melakukan kemaksiatan kemudian kita provokator walaupun kita tidak melakukannya namun kita yang memprovokasinya maka kita juga dapat dosa. Maka kita harus berhati-hati, jika ada acara kesyirikan kemudian kita provokasi, ikut gembira, ikut sumbangsih, dan ikut mendukung acara tersebut maka kita mendapatkan dosa juga meskipun kita tidak melakukannya, karena hukum orang yang melakukan dan provokator hukumnya sama di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Pada paragraf ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bagaimana cara agar selamat dari godaan setan dan dari godaan orang-orang munafik maka seseorang harus selalu ingat akhirat, dan ini merupakan perkara yang sangat berat.

Ayat ini dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dan As-Sa’dy ayat ini merupakan ayat landasan tentang muhasabah([56]), muhasabatun nafsi yaitu seseorang merenungkan dan melihat kembali apa yang telah dia kerjakan agar dia bisa prepare untuk masa depannya, jadi seseorang harus memiliki waktu untuk dia mengaudit dirinya. Dan ini bukan dilakukan setahun sekali namun ini seharusnya dilakukan setiap hari. Namun kenyataannya kita sering lalai.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).”

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan agar setiap jiwa merenungkan apa yang telah dia kerjakan untuk hari kiamat([57]). Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkan hari kiamat/akhirat dengan لِغَدٍ “hari esok” padahal hari kiamat mungkin masih jauh akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkannya dengan esok hari karena bagaimanapun jauhnya hari kiamat dia pasti akan tiba dan kita akan bertemu dengan hari tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkan dengan لِغَدٍ “hari esok” agar kita sadar bahwa walaupun hari kiamat masih jauh bahwa hari tersebut akan datang dan kita harus siap setiap saat([58]). Apalagi para ulama mengatakan bahwa kematian adalah kiamat kecil, dan setiap orang akan segera merasakan kiamat kecilnya tersebut dan dia tidak tahu kapan dia akan meninggal dunia. Betapa sering kematian datang tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu,

فَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا … وَقَدْ نُسِجَتْ أَكْفَانُه وهُوَ لَا يَدْرِي

فَكَمْ مِنْ صِغارٍ يُرْتَجَى طُوْلُ عُمْرِهِمْ … وَقَدْ أُدْخِلَتْ أَجْسَادُهُمْ ظُلْمَةَ الْقَبْرِ

“Betapa banyak pemuda di waktu pagi dan sore masih tertawa …. Dan sungguh kain-kain kafannya telah dirajut dan dia tidak mengetahui

Dan betapa banyak anak-anak kecil yang diharapkan umurnya panjang …. Namun sungguh jasad-jasad mereka telah dimasukkan ke dalam kegelapan liang lahat.” ([59])

Oleh karenanya, kita sudah sering lihat di sekeliling kita tiba-tiba seseorang meninggal dunia tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, jadi kita tidak tahu kapan kita dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka jangan lupa muhasabah, oleh karenanya ‘Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu ta’ala ‘anhu berkata,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا

“auditlah (hisablah) diri kalian sebelum kalian dihisab oleh Allah subhanahu wa ta’ala” ([60])

Barang siapa yang sering menghisab dirinya maka hisabnya akan ringan pada hari kiamat. Sayangnya kita tidak punya waktu untuk menghisab diri kita, betapa banyak kita merencanakan apa yang akan dilakukan di masa yang akan datang namun untuk mengaudit diri kita tidak ada waktu. Maka kita harus memiliki waktu untuk merenungkan apa yang telah kita lakukan, dan kita harus menghisab/audit dengan detail. Sebelum dia merenungkan apa yang akan dia kerjakan sebaiknya dia merenungkan dulu apa yang telah dia kerjakan. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan betapa banyak orang yang menyesal pada hari kiamat

وَجِايْۤءَ يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَۙ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰىۗ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْۚ

“dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu. Dia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.” QS. Al-Fajr: 23-24

Orang yang mengaudit dirinya yang dia menghitung-hitung umurnya yang tinggal sedikit dan kemudian dia memiliki masa lalu yang mungkin kelam dan gelap gulita maka dia akan terpacu dan termotivasi untuk bersiap-siap, maka seseorang hendaknya berusaha untuk bermuhasabah sehingga dia tahu apa yang akan dia kerjakan untuk masa depannya di akhirat.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman

وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengulangi perintah untuk bertakwa, pada awal ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk bertakwa kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengulangi lagi perintah untuk bertakwa tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa kalimat takwa yang kedua adalah penekanan untuk takwa yang pertama, dan sebagian lagi mengatakan bahwa takwa yang pertama untuk menjalankan ketaatan dan takwa yang kedua untuk meninggalkan kemaksiatan([61]) yang mana semuanya membutuhkan ketakwaan, ada yang mengatakan lit-ta’kid dan ada yang mengatakan lit-ta’sis, intinya kita diperintahkan untuk bertakwa dan bertakwa, dan ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” An-Nisa: 136

Di sini terdapat pengulangan kata iman, maksudnya istiqomahlah kalian di atas keimanan dan tambahlah keimanan kalian.

Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,

اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Dan sifat Allah subhanahu wa ta’ala خَبِيْرٌ sebagaimana yang sering penulis sampaikan yaitu Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu secara detail([62]), seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: lakukanlah kebajikan dan hati-hatilah terhadap kemaksiatan karena Allah subhanahu wa ta’ala mencatat kebajikan dan mencatat kemaksiatan dengan detail. Tidak ada satu senyuman pun kecuali tercatat dan pasti ada balasannya, dan tidak ada satu pandangan harampun kecuali pasti ada catatannya dan pasti ada balasannya. Jadi jangan khawatir ketika melakukan kebajikan sedikit apapun dan tidak ada yang mengetahuinya karena Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya dengan detail. Ketika kita memiliki niat baik dan niat kita ada 3 maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui, tidak akan ditambah menjadi 4 atau dikurangi menjadi 2. Maka salah satu cara kita bermuhasabah agar kita ingat selalu apa yang sudah kita lakukan dan apa yang akan kita lakukan  semuanya tertulis secara detail.

Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman,

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19)

Maksudnya kalian lupa kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah meninggalkan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala([63]), karena makna النِّسْيَانُ An-Nisyan adalah الذُّهُوْلُ az-dzuhul yaitu lupa dan التَّرْكُ At-Tarku yaitu meninggalkan([64]), oleh  karenanya para Ahli Tafsir mengatakan tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah subhanahu wa ta’ala”

Maksudnya janganlah kalian meninggalkan perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala

فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ

“sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri.”

Artinya Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka meninggalkan maslahat-maslahat untuk diri mereka([65]). Dan ini benar, seseorang jika sudah tenggelam dalam kekufuran atau kemaksiatan dia lupa bahwa dirinya butuh terhadap maslahat yang banyak untuk dirinya, masa depannya, untuk akhiratnya, dia lupa apa yang bermanfaat untuk kebahagiaannya. Dia tenggelam dalam kemaksiatan dan kelezatan yang kelezatan tersebut merenggut semua kebahagiaannya. Sering penulis sampaikan bahwa kemaksiatan bertolak belakang dengan kebahagiaan, memang benar dalam kemaksiatan terdapat kelezatan akan tetapi kelezatan tersebut akan merenggut kebahagiaannya, sejauh mana kita bermaksiat maka sejauh itu pula kebahagiaan kita  berkurang. Contoh sederhana seorang lelaki yang tidak menjaga pandangannya dia akan berlezat-lezatan ketika melihat wanita cantik akan tetapi kebahagiaannya akan hilang, sehingga istrinya akan terlihat jelek hal ini dikarenakan dia membandingkan dengan wanita lain. Akan tetapi jika dia menundukkan pandangannya maka istrinya akan tetap terlihat cantik, dan ini benar-benar terjadi. Lihatlah orang-orang kafir yang mereka tidak pernah puas yang mereka banyak berzina namun mereka tidak pernah menemukan kebahagiaan yang akhirnya membuat mereka selalu kecanduan dan akhirnya mereka melakukan seksual yang aneh-aneh dan tidak menemukan kebahagiaan. Maka sejauh mana seseorang  bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka dia akan dilupakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan dia lupa akan maslahat yang bagi dirinya tiba-tiba nyawanya dicabut oleh Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi orang yang selalu ingat kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka dia akan tahu maslahat untuk dirinya, istrinya, anak-anaknya dan apa yang disiapkan untuk akhiratnya semuanya dia pikirkan, dia bersedekah, membaca Al-Quran, shalat malam, dan membangunkan istrinya untuk shalat malam bersamanya, dan mendidik anak-anaknya untuk akhiratnya, jadi dia dijadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk ingat selalu ingat tentang kemaslahatan dirinya, akan tetapi jika dia lupa kepada Allah dan meninggalkan Allah subhanahu wa ta’ala serta tenggelam ke dalam kemaksiatan maka dia akan lupa terhadap maslahat untuk dirinya, dan waktu terus berjalan tiba-tiba dia dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini banyak terjadi kepada manusia.

Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,

اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Mereka itulah orang-orang fasik”

Yaitu mereka yang lupa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala, lupa terhadap kemaslahatan  diri mereka, tenggelam dalam kemaksiatan mereka kelezatan dunia, syahwat dan lainnya.
 

Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman,

لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيْتَه خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Sekiranya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala ingin menjelaskan bahwa Al-Quran ini adalah penegur yang luar biasa, penasihat yang luar biasa([66]), yang mana Al-Quran ini bisa menghancurkan batu yang besar dan gunung yang kokoh, apalagi hanya sekedar hati manusia seharusnya bisa luluh dan terenyuh. Yang jadi masalah adalah kita kurang mendalami Al-Quran dan kurang membaca Al-Quran, dan ketika membaca Al-Quran pun tidak mengetahui bahasa Arab, ada terjemahannya pun tidak sempat untuk dibaca. Dan terjemahan bisa memberikan pengaruh, lalu bagaimana dengan orang yang membaca Al-Quran dan dia mengetahui tafsirnya maka dia benar-benar akan merasakan kebahagiaan, dan di dalam Al-Quran tidak ada takalluf (dibuat-buat dan dipaksa-paksakan) dalam menasehati, karena Al-Quran menceritakan tentang kisah ini dan itu dan menjelaskan tentang ayat-ayat, dan ini bisa membuat hati kita terenyuh, tidak perlu membuat drama-drama seperti yang dilakukan oleh banyak orang. Jika kita ingin bahagia dengan iman maka kita harus bahagia dengan cara as-salaf ash-shalih, karena mereka ketika beriman tidak dengan cara-cara seperti itu yaitu dengan drama-drama ini dan itu, lagu ini dan itu, atau membuat acara kumpul menangis bersama, maka cukup dengan membaca Al-Quran.

Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman,

هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِۚ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ

“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 22)

Di penghujung surah ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala yang husna.

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwasanya yang layak disembah hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala, mengapa Allah subhanahu wa ta’ala saja yang layak disembah? Maka Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalil-dalilnya dengan nama-namanya. Dikatakan  oleh para ulama penetapan tauhid uluhiyyah (bahwasanya hanya Allah yang berhak disembah) berdalil dengan asma wa sifat (yaitu Allah memiliki nama-nama yang terindah dan sifat-sifat yang teragung). Jadi untuk menetapkan tauhid uluhiyyah maka ada 2 metode: berdalil dengan tauhid rububiyyah (yaitu hanya Allah yang menciptakan dan menguasai serta mengatur alam semesta) dan berdalil dengan tauhid asma wa sifat. Berdalil dengan tauhid rububiyyah seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” QS. Al-Baqarah: 21-22

Dan dalam surah Al-Hasyr ini Allah subhanahu wa ta’ala berdalil dengan tauhid asma wa sifat untuk menetapkan tauhid uluhiyyah. Maksudnya tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala karena Allah subhanahu wa ta’ala adalah Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Khaliq, Al-Mushowwir, Al-Bary, Al-Mutakabbir, Al-Jabbar, Al-Muhaimin, dan seterusnya.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِۚ

“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.”

Yang ghaib yang tidak diketahui oleh kita dan asy-syahadah yang tampak di hadapan kita([67]), dan semuanya Allah subhanahu wa ta’ala tahu tidak ada yang luput dari pengetahuan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ini bantahan untuk orang falasifah seperti Ibnu Sina dan Faaroobi  dan yang lainnya yang mengatakan Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui perkara-perkara secara global dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui secara detail, dan ini adalah kekufuran dan yang benar adalah Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu dengan detail yang ghaib maupun yang  tampak, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” QS. Al-An’am 59

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada satu daun pun yang jatuh kecuali Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui tentang daun tersebut, kenapa daun tersebut jatuh, di negeri mana jatuhnya, dari pohon yang mana, bagaimana jatuhnya, dan bagaimana nasib daun tersebut Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya. Juga Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang tidak terlihat oleh manusia,

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” QS. Al-Mulk: 13

Jadi semua gerakan hati kita Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya, kita sedang ikhlas, sedang sombong, sedang riya, sedang tawadhu’, atau sedang ujub maka Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui semuanya secara detail.

Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,

هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ

“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”

Secara sederhana Ar-Rahman adalah maha rahmat, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan seratus rahmat dan satu rahmat Allah subhanahu wa ta’ala turunkan ke muka bumi dan dengan satu rahmat tersebut manusia saling menyayangi dan seorang ibu menyayangi anaknya dan seterusnya, dan Allah subhanahu wa ta’ala simpan 99 rahmat di akhirat untuk orang-orang yang beriman. Ar-Rahim maksudnya keterkaitan sifat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada makhluk-Nya. Jadi Ar-Rahman berkaitan dengan dzat Allah subhanahu wa ta’ala yang  maha penyayang dan Ar-Rahim kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala tersebut meliputi/mengenai seluruh makhluk-Nya([68]), sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala” QS. Al-Mu’min: 7

Orang-orang kafir pun mendapat rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, mereka mendapat rezeki di dunia.

Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman,

هُوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۚ اَلْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلٰمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Hasyr: 23)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengulangi kembali bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah dan tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, semua tidak ada yang berhak untuk disembah, maka siapa yang lagi berhak untuk disembah? Apakah ingin menyembah malaikat? Apakah malaikat maha Ar-Rahman? Tentu tidak. Apakah menyembah nabi Isa? Apakah Nabi Isa memiliki sifat Ar-rahman dan apakah dia juga mengetahui yang ghaib dan syahadah? Tentu tidak. Apalagi menyembah sapi, maka sungguh sapi tidak mengetahui yang ghaib dan yang tampak. Atau patung yang layak disembah? Maka ketika ingin disembah harus dibuat terlebih dahulu patungnya? Maka bagaimana mungkin layak patung untuk disembah. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa satu-satunya yang berhak untuk disembah adalah Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian menyebutkan dalil-dalilnya,

اَلْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلٰمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

“Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Disebutkan dalil pertama dalam ayat ini karena Allah subhanahu wa ta’ala اَلْمَلِكُ yaitu sang raja, tidak ada yang menguasai alam semesta ini kecuali Allah subhanahu wa ta’ala([69]). Dan pada hari kiamat nanti tidak ada yang menjadi raja kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, Allah subhanahu wa ta’ala berfiman,

يَقْبِضُ اللهُ الْأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ

“Allah menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanannya kemudian berkata: Akulah sang Raja, di mana raja-raja dunia?” ([70])

Dan Juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Yang menguasai di Hari Pembalasan.” QS. Al-Fatihah: 4

Kemudian الْقُدُّوْسُ maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala yang maha suci tidak ada aib dan kekurangan sama sekali([71]), maka Dia yang berhak untuk disembah.

السَّلٰمُ maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala selamat dari segala kekurangan dan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan keselamatan kepada makhluk-Nya([72]).

الْمُؤْمِنُ ada yang mengatakan artinya al-mushaddiq([73]) yaitu yang membenarkan nabi-nabi-Nya dengan mengirimkan mukjizat-mukjizat kepada mereka, membenarkan orang-orang yang beriman dengan menunaikan janji Allah subhanahu wa ta’ala bahwasanya mereka akan masuk surga, dan membenarkan orang-orang kafir dengan menunaikan janji Allah subhanahu wa ta’ala dengan memasukkan mereka ke dalam neraka jahannam.

الْمُهَيْمِنُ berkata Al-Alusy menjelaskan maknanya,

الرقيبُ والحفيظُ على الشيءِ

“yang mengawasi dan menjaga sesuatu” ([74])

Dan beliau menyebutkan khilaf dalam makna Al-Muhaimin. Dan Al-Quran jika disifati dengan al-muhaimin maka artinya yang memutuskan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” QS. Al-Maidah: 48

الْعَزِيْزُ yaitu maha perkasa, maksudnya tidak ada yang mengalahkannya, tidak ada yang mendominasinya, dan tidak ada yang bisa protes dengan segala keputusannya.

الْجَبَّارُ yaitu yang maha kuasa yang semua makhluk tunduk di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, seakan-akan memaksa siapapun dan tidak ada siapapun yang bisa keluar dari kehendak dan keputusan Allah subhanahu wa ta’ala.

الْمُتَكَبِّرُ kalau dalam bahasa kita artinya sombong, yaitu yang maha agung. Karena yang berhak sombong hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dalam hadits qudsi Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعِزَّةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، أُلْقِهِ فِي النَّارِ

“Kesombongan itu adalah ‘selendangKu’ dan keagungan itu adalah ‘SarungKu’ Sesiapa, barang siapa yang ingin mengusik Ku pada salah satu dari keduanya, Aku lemparkannya ke dalam Neraka.” ([75])

Maka tidak boleh ada yang merasa sombong dan merasa agung, karena yang berhak untuk merasa sombong dan agung hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun manusia semua yang mereka miliki hanyalah pemberian Allah subhanahu wa ta’ala maka mereka berhak untuk sombong.

Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman,

هُوَ اللّٰهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۗ يُسَبِّحُ لَه مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Hasyr: 24)

Al-khaliq dan Al-Bary ketika disebutkan secara sendiri maka maknanya tidak ada bedanya yaitu yang maha mencipta. Akan tetapi jika Al-Khaliq dan Al-Bary digabung maka Al-Khaliq artinya yang menakdirkan yaitu yang memplaining, dan Al-Bary yang mengadakan, yang mengeksekusi plaining tersebut. kemudian Al-Mushawwir yaitu yang membentuk dari ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi secara urutan al-khaliq kemudian al-bary kemudian al-mushowwir([76]). contohnya manusia, Al-Khaliq yaitu sebelum diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui siapa yang akan diciptakan, kemudian Al-Bary yaitu Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia tersebut, lalu Al-Mushowwir yaitu Allah subhanahu wa ta’ala bentuk manusia tersebut. Dan kita tidak bisa menentukan bagaimana anak kita bentuknya, betapa banyak orang  yang ingin anaknya tampan dengan cara menikah dengan wanita yang cantik namun ternyata wajahnya tetap seperti ayahnya.

Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana”

Allah subhanahu wa ta’ala menggabungkan antara perkasa dan bijaksana karena Allah subhanahu wa ta’ala dengan keperkasaan-Nya tetap bijaksana, sebagian orang memiliki kekuatan namun tidak bijak, dan sebagian orang memiliki kebijakan namun tidak perkasa.

Kunjungi juga: Ulumul Qur'an
____

Footnote:

([1])  Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 1.

([2]) HR Al-Bukhari no 4029 dan Ats-Tsa’labiy  dalam Tafsirnya: 9/ 266 dan disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 1.

([3]) Atsar ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 266 dan disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 1.

([4]) Atsar ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 289  dan disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 49.

([5]) HR   Ahmad dalam Musnadnya  no 20306, Ad-Darimiy dalam Sunannya no 3468, At-Tirmidziy dalam Sunannya no  2922 dan beliau berkata, “Hadits ini gharib, kami tidak mengetahui kecuali dari jalan ini”, dan disebutkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 289 . Sanadnya dha’if karena adanya rawi yang bernama Khalid bin Thahman, ia didha’ifkan oleh Imam Yahya bin Ma’in.

([6]) HR At-Tirmidziy dalam Sunannya no 2910 dan beliau berkata: Hadits hasan shahih gharib dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy, beliau berkata dalam Silsilah Shahihah no 660: sanadnya jayyid .

([7])  Siroh Ibni Hisyaam 1/519 dari Muhammad bin Ishaaq dalam sirahnya, dan dari jalur Muhammad bin Ishaaq Abu Nuáim (Dalail an-Nubuwwah no 37) dan Al-Baihaqi (Dalaail an-Nubuwwah 2/533) meriwayatkan. Sanadnya dikatakan kuat oleh As-Shouyani dalam kitabnya As-Shahih min Ahaadiits As-Siirah an-Nabawiyah (hal 170) karena ada syahidnya dari jalan Ibnu Syihab Az-Zuhri di Dalaail An-Nubuwwah, al-Baihaqi (2/532).

([8]) Lihat Tafsir Ath-Thabariy: 23/ 259, Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 57-58 dan Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 66-68.

([9]) HR Imam Muslim no 153.

([10]) Lihat Tafsir Ath-Thabariy: 23/ 262.

([11]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 3.

([12]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/3.

([13]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 69.

([14]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 4-5.

([15]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 72.

([16]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 5.

([17]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 66.

([18]) HR Ahmad dari Anas bin Malik  no 12392  dan At-Tirmidziy no 3894 dari Anas bin Malik:

بَلَغَ صَفِيَّةَ أَنَّ حَفْصَةَ قَالَتْ: إِنِّي ابْنَةُ يَهُودِيٍّ، فَبَكَتْ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ تَبْكِي، فَقَالَ: ” مَا شَأْنُكِ؟ ” فَقَالَتْ: قَالَتْ لِي حَفْصَةُ: إِنِّي ابْنَةُ يَهُودِيٍّ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّكِ ابْنَةُ نَبِيٍّ، وَإِنَّ عَمَّكِ لَنَبِيٌّ، وَإِنَّكِ لَتَحْتَ نَبِيٍّ، فَفِيمَ تَفْخَرُ عَلَيْكِ “، فَقَالَ: ” اتَّقِي اللهَ يَا حَفْصَةُ

“Telah sampai kepada Shafiyyah bahwasanya Hafshah berkata bahwa Shafiyyah adalah anak Yahudi maka Shafiyyah pun menangis, lalu Nabi shallallahu álaihi wasallam masuk menemuinya dan ia dalam keadaan menangis maka Nabi pun bertanya: “Ada apa denganmu?” Lalu ia jawab: “Hafshah berkata kepadaku bahwa aku adalah anak Yahudi” maka Nabi berkata: “Sesungguhnya engkau adalah anak Nabi (yaitu Nabi Harun álaihis salama) dan pamanmu Nabi (yaitu Nabi Musa álaihis salam) dan engkau pun istri seorang Nabi (yaitu Nabi Muhammad), lalu apa yang ia bisa banggakan atas dirimu?” lalu beliau pun berkata: “Bertakwalah wahai Hafshah”

([19]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 6 dan Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 58..

([20]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 11.

([21]) Imam Ath-Thabariy berkata tentang makna ghanimah:

مَا أَصَابَ الْمُسْلِمِيْنَ عُنْوَةً بِقِتَالٍ فِيْهِ الحُمُسُ وَأَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهَ لِمَنْ شَهِدَهَا

“Harta yang didapatkan oleh kaum muslimin dengan paksa melalui peperangan dan ada bagian 20 % (untuk Allah dan Rasul-Nya) dan 80 % untuk para mujahid yang ikut perang” (Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 546).

([22]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 14-15. Dan nama Nabi adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muttholib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushoy bin Kilaab.

Bani Hasyim, yaitu anak-anak keturunan Hasyim. Bani Abdi Manaf, yaitu anak-anak keturunan Abdu Manaf. Sehingga semua Bani Hasyim pasti keturunan Abdu Manaf, akan tetapi tidak semua ketutunan Abdu Manaf adalah Bani Hasyim.

([23]) Lihat Tafsir Ath-Thabariy: 23/ 279.

([24]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 63.

([25]) Imam Ath-Thabariy menjelaskan tentang maknaابْنُ السَّبِيْل  : المُجْتَجُ سَفَرًا وَقَدِ انْقُطِعَ بِهِ  “Orang yang bepergian safar dan kehabisan bekal”.(Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 560).

Adapun Imam Ibnu Katsir maka beliau berkata:

هُوَ الْمُسَافِرُ أَوِ الْمُرِيدُ لِلسَّفَرِ إِلَى مَسَافَةٍ تُقْصَرُ فِيهَا الصَّلَاةُ، وَلَيْسَ لَهُ مَا يُنْفِقُهُ فِي سَفَرِهِ ذَلِكَ

“Orang yang safar atau orang yang ingin safar dengan jarak yang diperbolehkan untuk qashar shalat sedangkan ia tidak memiliki bekal dalam safar tersebut” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 65).

([26]) Imam Ath-Thabariy menjelaskan tentang makna نَفَلٌ:

كُلُّ مَنْ زِيْدَ مِنْ مقَاتِلَةِ الْجَيْشِ عَلَى سَهْمِهِ مِنَ الْغَنِيْمَةِ إِنْ كَانَ ذَلِكَ لِبَلَاء أَبْلَاهُ، أَوْ لِغِنَاءٍ كَانَ مِنْهُ عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ بِتَنْفِيْلِ الْوَالِيْ ذَلِكَ إِيّاهُ

“Setiap bagian tambahan selain bagian aslinya untuk pasukan karena ujian yang ia dapatkan atau jasa dia kepada kaum musclemen dengan pemberian imam kepadanya”.(Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 366).

([27]) Sayyid Sabiq menjelaskan makna سَلَبٌ :

السَلَبُ هُوَ مَا وًجِدَ عَلَى الْمَقْتُوْلِ مِنَ السِّلَاحِ وَعًدَّةِ الْحَرْبِ، وَكَذَلِكَ مَا يَتَزَيَّنُ بِهِ لِلْحَرْبِ.

“Salab adalah barang yang didapati pada jasad orang yang terbunuh (pada perang) baik itu berupa senjata, perlengkapan perang dan segala sesuatu yang merupakan hiasan dalam peperangan”.(Fiqhus-Sunah: 2/679).

([28]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 17.

([29])  Atsar ini disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 17.

([30])  Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 18.

([31])  HR Al-Bukhari No. 4886 dan Muslim no 2125.

([32])  Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 19.

([33])  Lihat Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 90-91.

([34])  Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 28 dari perkataan Abu Yazid Al-Busthomiy.

([35])  HR Al-Bukhariy no 2018.

([36])  HR Muslim no 2054.

([37])  Atsar ini diriwayatkan oleh Hudzaifah Al-‘Adawiy disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam Tafsirnya: 18/ 28.

([38]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/32

([39]) Lihat: Fathul Qadir 5/242

([40]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/33

([41]) Lihat: Firaq Mu’ashirah hal: 350

([42]) HR. Ahmad no. 12697, dan Tafsir Ibnu Katsir 8/70

([43]) HR. Muslim no. 2559

([44]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/99

([45]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/35

([46]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/35

([47]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/105-106

([48]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/108

([49]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/252

([50]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/37

([51]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/42

([52]) Lihat: Tafsir Ibnu Athiyyah 5/290

([53]) Tasir Abdurrazzaq 3/299

([54]) HR. Muslim no. 49

([55]) HR. Muslim no. 50

([56]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 853

([57]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/43

([58]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/43

([59]) Fafirruu ilallah hal: 84

([60]) HR. At-Tirmidzi no. 2459

([61]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/254

([62]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 22/310

([63]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/43

([64]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/306

([65]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 853

([66]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 853

([67]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/45

([68]) Lihat: Syarh Tsalatsatul Ushul hal: 18

([69]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 28/190

([70]) HR. Ahmad no. 8863, dikatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth hadits ini shohih

([71]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 28/190

([72]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/46

([73]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/46 dan Tafsir As-Sa’dy hal: 854

([74]) Tafsir Al-Alusy 14/256

([75]) HR. Ahmad no. 7382

([76]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/48