KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)
Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
e. Pembatal-Pembatal Wudhu
1. Semua yang keluar dari dua jalan “qubul dan dubur (kemaluan dan anus)”. Baik air seni, kotoran (tinja), atau angin.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ
“… atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus)...” [Al-Maa-idah/5: 6].
Al-Ghaa-ith Yaitu kiasan dari buang hajat.
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia berhadats hingga dia berwudhu”
Seorang laki-laki dari Hadhramaut berkata, “Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?” Dia menjawab, “Kentut, baik yang bersuara ataupun tidak.”[1]
Keluarnya madzi dan mani juga membatalkan wudhu:
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma,, dia berkata, “Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani, maka ia mewajibkan mandi. Sedangkan wadi dan madzi, beliau berkata:
ِاغْسِلْ ذََكََرَكَ أَوْ مُذَاكِيْرَكَ وَ تَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ.
‘Basuhlah alat kelamin atau kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat’.”
2. Tidur nyenyak
Yaitu, tidur yang menghilangkan kesadaran. Baik dalam keadaan duduk di atas lantai ataupun tidak.
Dasarnya adalah hadits Shafwan bin ‘Assal Radhiyallahu anhu. Dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami jika kami dalam keadaan safar agar tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam. Kecuali dalam keadaan junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan tidur.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan antara tidur, kencing, dan buang hajat.[2]
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Mata adalah wikaa’nya sah. Barangsiapa tertidur hendaklah berwudhu’.”[3]
Al-Wikaa,’ dengan wawu dikasrah, yaitu benang pengikat tempat air minum dari kulit.
As-Sah, dengan siin tidak bertitik yang difat-hah dan ha’ yang dikasrahkan serta tidak bertasydid, yaitu dubur.
Artinya, keadaan jaga adalah wikaa’-nya dubur. Yaitu, menjaga apa yang di dalamnya agar tidak keluar. Karena selama dia terjaga dia bisa merasakan apa yang keluar darinya.[4]
3. Hilangnya kesadaran karena mabuk atau sakit
Karena hilangnya kesadaran oleh sebab-sebab ini lebih parah daripada tidur.
4. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang dengan syahwat. Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu.”[5]
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْكَ.
“Ia tidak lebih dari salah satu anggota tubuhmu.”[6]
Ia adalah salah satu bagian tubuh Anda jika tidak disertai syahwat saat menyentuhnya. Karena dalam keadaan ini, dapat disamakan antara menyentuhkan satu bagian tubuh dengan bagian tubuh yang lain. Lain halnya jika menyentuhnya disertai syahwat. Maka dalam keadaan seperti itu tidak diserupakan antara menyentuh satu bagian tubuh dengan menyentuh bagian tubuh lain yang biasanya tidak disertai dengan syahwat. Ini adalah perkara yang jelas, sebagaimana Anda lihat.[7]
5. Makan daging unta
Berdasarkan hadits al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ، وَلاَ تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَمِ.
“Berwudhulah karena (makan) daging unta. Dan janganlah berwudhu karena (makan) daging kambing.[8]
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging kambing?” Beliau menjawab, “Kalau kau suka berwudhulah. Jika tidak, maka janganlah berwudhu.” Dia berkata lagi: “Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging unta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah karena (makan) daging unta.”[9]
f. Hal-hal yang mewajibkan wudhu (hal-hal yang diharamkan atas orang yang berhadats):
1. Shalat
Berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerja-kan shalat, maka basuhlah mukamu…” [Al-Maa-idah/5: 6]
Dan sabda Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam:
“لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍِ.”
“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (wudhu)“.
2. Thawaf di Baitullah
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ، إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَحَلَّ فِيْهِ الْكَلاَمَ.
“Thawaf di Baitullah adalah shalat. Hanya saja Allah menghalalkan bicara di dalamnya.”[10]
g. Hal-hal yang disunnahkan wudhu di dalamnya:
1. Berdzikir kepada Allah
Berdasarkan hadits al-Muhajir bin Qunfudz. Dia mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berwudhu. Beliau tidak menjawab salamnya hingga menuntaskan wudhunya. Beliau lalu menjawabnya dan berkata:
إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طَهَارَةٍ.
“Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawabmu. Hanya saja aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.”[11]
2. Ketika hendak tidur
Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu. Dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk shalat. Kemudian tidurlah di atas sisi kananmu, lalu ucapkan:
اَللّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، اَللّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ.
“Ya Allah, kuserahkan jiwaku pada-Mu, dan kuhadapkan wajahku pada-Mu. Kupasrahkan urusanku pada-Mu, dan ku-sandarkan punggungku pada-Mu, dengan harap dan cemas kapada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan berlindung dari-Mu kecuali kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan. Dan Nabi-Mu yang Engkau utus.”
Jika engkau meninggal pada malam itu, maka engkau meninggal dalam keadaan fithrah. Jadikanlah ia akhir pembicaraanmu.”[12]
3. Junub
Disunnahkan ketika hendak makan, minum, tidur, atau mengulang jima’.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam junub dan ingin makan, minum, atau tidur, beliau berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.”[13]
Dan dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan bagi orang yang sedang junub jika ingin makan, minum, atau tidur untuk berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.”[14]
Juga dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Jika salah seorang di antara kalian telah mendatangi isterinya (berjima’) dan ingin mengulangi, maka hendaklah ia berwudhu.”[15]
4. Sebelum mandi, baik mandi wajib maupun sunnah
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya. Kemudian beliau kucurkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya, lantas membasuh kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.”[16]
5. Makan makanan yang tersentuh api
Berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ.
“Berwudhulah karena memakan makanan yang tersentuh api’.”[17]
Perintah ini mengandung makna sunnah. Berdasarkan hadits ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamri, dia berkata, “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiris paha kambing. Beliau kemudian makan sebagian darinya lalu mengumandangkan seruan untuk shalat. Beliau berdiri dan meletakkan pisau lantas shalat dan tidak berwudhu.”[18]
6. Setiap shalat
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu pada tiap shalat. Ketika hari penaklukan (Makkah) beliau berwudhu dan mengusap sepatunya lalu melakukan semua shalat dengan satu wudhu.” ‘Umar berkata padanya, “Wahai Rasulullah, engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan.” Beliau berkata, “Aku sengaja melakukannya, hai ‘Umar.”[19]
7. Tiap kali berhadats
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu pagi hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Bilal dan berkata, ‘Wahai Bilal, dengan apa engkau mendahuluiku ke Surga? Kemarin malam aku masuk Surga dan kudengar suara gerakanmu di depanku’. Bilal berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku adzan kecuali aku shalat dua raka’at. Tidaklah aku berhadats melainkan aku berwudhu saat itu juga.’ Rasulullah j berkata, ‘Karena inilah’.”[20]
8. Muntah
Berdasarkan hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Darda’, dia menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, kemudian berbuka dan berwudhu. Lalu kutemui Tsauban di masjid Damaskus dan kuceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu berkata, “Benar. Akulah yang menuangkan air wudhu beliau’.”[21]
9. Membawa mayit
berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ غَسَّلَ مَيْتاً فَلْيَغْتَسِلْ، وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.
“Barangsiapa memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi. Dan barangsiapa membawanya, maka hendaklah berwudhu.”[22]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/234 no. 135)], al-Baihaqi (I/117), Ahmad (al-Fat-hur Rabbanii) (II/75 no. 352), lafazh hadits pada perawi lain tanpa tambahan, Shahiih Muslim (I/204 no. 225), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/87 no. 60), dan Sunan at-Tirmidzi (I/150 no. 76).
[2] Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 123)], Sunan at-Tirmidzi (I/65 no. 69), dan Sunan an-Nasa-i (I/84).
[3] Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 386)], Sunan Ibni Majah (I/161 no. 477), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/347 no. 200) dengan lafazh serupa
[4] Nailuul Authaar (I/242).
[5] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 388)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/307 no. 179), Sunan Ibni Majah (I/161 no. 479), Sunan an-Nasa-i (I/100), dan Sunan at-Tirmidzi (I/55 no. 82), dengan tambahan: “فَلاَ يُصَلِّ (maka janganlah ia shalat…)”
[6] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 392)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/312 no. 180), Sunan Ibni Majah (I/163 no. 483), Sunan an-Nasa-i (I/101), dan Sunan at-Tirmidzi (I/56 no. 85)
[7] Tamaamul Minnah (103).
[8] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 401)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/315 no. 182), Sunan at-Tirmidzi (I/54 no. 81), dan Sunan Ibni Majah (I/166 no. 494), secara ringkas.
[9] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 146)] dan Shahiih Muslim (I/275 no. 360).
[10] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3954)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 217 no. 967).
[11] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 280)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/34 no. 17), Sunan Ibni Majah (I/126 no. 350), dan Sunan an-Nasa-i (I/37), dengan riwayat yang tidak marfu’.
[12] Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/109 no. 6311)] dan Shahiih Muslim (IV/2081 no. 2710).
[13] Shahih: [Mukhtasahar Shahiih Muslim (no. 162)], Shahiih Muslim (I/248 no. 305 (22)), Sunan an-Nasa-i (I/138), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/374 no. 221).
[14] Shahih: [Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/375 no. 222).
[15] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 263)], Shahiih Muslim (I/249 no. 308), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/371 no. 217), Sunan at-Tirmidzi (I/94 no. 141), Sunan an-Nasa-i (I/142), dan Sunan Ibni Majah (I/193 no. 587).
[16] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 155)] dan Shahiih Muslim (I/253 no. 316).
[17] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 147)], Shahiih Muslim (I/272 no. 352), Sunan an-Nasa-i (I/105).
[18] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 148)], Shahiih Muslim (I/274 no. 355 (93)), ini adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/311 no. 208).
[19] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 142)], Shahiih Muslim (I/232 no. 277), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/292 no. 171), Sunan at-Tirmidzi (I/42 no. 61), dan Sunan an-Nasa-i (I/86).
[20] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7894)] dan Sunan at-Tirmidzi (V/ 282 no. 3772).
[21] Sanadnya Shahih: [Tamaamul Minnah, hal. 111], Sunan at-Tirmidzi (I/58 no. 87), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VII/8 no. 2364), tanpa lafazh: “فَتَوَضَّأْ (maka berwudhulah).”
[22] Shahih: [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 53)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (II/145 no. 486), Shahiih Ibni Hibban (191/751), al-Baihaqi (I/300), dan Sunan at-Tirmidzi (II/231 no. 998), dengan maknanya.
Secara sepintas, perintah tersebut mengandung arti wajib. Hanya saja, kita tidak mengatakannya demikian karena adanya hadits Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian memandikan mayit kalian, maka tidak wajib bagi kalian untuk mandi. Karena mayit kalian tidaklah najis. Cukuplah kalian mem-basuh kedua tangan kalian.” Diriwayatkan dalam kitab Mustadrak al-Hakim (I/386), al-Baihaqi (III/398). Dinukil dengan pengubahan dari Ahkaamul Janaa-iz karya Syaikh al-Albani, hal. 53
Sumber: https://almanhaj.or.id/
Bulughul Maram tentang Pembatal Wudhu (Bahas Tuntas)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ
بَابُ نَوَاقِضِ اَلْوُضُوءِ
KITAB BERSUCI [BULUGHUL MARAOM]
BAB PEMBATAL WUDHU
TIDUR YANG SEBENTAR TIDAK MEMBATALKAN WUDHU
HADITS KE-67
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ( قَالَ: { كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ ( -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ, ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ ُ
وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِم ٍ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada zaman beliau masih hidup menunggu waktu ‘Isya, sampai kepala mereka terangguk-angguk karena kantuk, kemudian mereka shalat, dan tidak berwudhu.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud, Ad-Daruquthni mensahihkannya dan hadits ini berasal dari riwayat Muslim) [HR. Abu Daud, no. 200; Ad-Daruquthni, 1:131. Hadits ini asalnya ada dalam riwayat Muslim, no. 376 dan 125. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Tirmidzi, no. 78. Ibnu Hajar membawakan adits Abu Daud karena lebih jelas dibanding hadits riwayat Muslim. Hadits ini sahih sebagaimana disahihkan pula oleh Syaikh Al-Albani. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:280-281].
Faedah hadits
- Tidur ringan tidaklah membatalkan wudhu.
- Tidur berat yang membuat hilang rasa membatalkan wudhu.
- Tidur yang membatalkan ini tidak melihat pada cara tidur yaitu berbaring, duduk bersandar, atau tidak bersandar. Jadi, jika tidurnya itu masih merasakan sesuatu termasuk merasakan kalau batal ataukah tidak, tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu.
KELUARNYA DARAH ISTIHADHAH ITU MEMBATALKAN WUDHU
HADITS KE-68
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: { جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى اَلنَّبِيِّ ( فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي اِمْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ, أَفَأَدَعُ اَلصَّلَاةَ? قَالَ: “لَا. إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ, وَلَيْسَ بِحَيْضٍ, فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي اَلصَّلَاةَ, وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ, ثُمَّ صَلِّي } مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
وَلِلْبُخَارِيِّ: { ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ }
وَأَشَارَ مُسْلِمٌ إِلَى أَنَّهُ حَذَفَهَا عَمْدً ا
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Fatimah binti Abi Hubaisy datang ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh aku ini perempuan yang selalu keluar darah istihadhah dan tidak pernah suci, bolehkah aku meninggalkan shalat?’ Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, ‘Tidak boleh, itu hanya penyakit (‘irqun) dan bukan darah haidh. Apabila waktu haidhmu datang, tinggalkanlah shalat, dan apabila haidh itu berhenti, bersihkanlah dirimu dari darah itu (maksudnya: mandi), lalu shalatlah.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 228 dan Muslim, no. 333]
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Kemudian berwudhulah pada setiap hendak melaksanakan shalat.” Imam Muslim memberi isyarat bahwa kalimat tersebut sengaja dibuang oleh Al-Bukhari.
Faedah hadits
- Istihadhah adalah darah yang keluar selain pada waktu normal.
- Darah istihadhah itu mengakibatkan hadats, sehingga dihukumi membatalkan wudhu.
- Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan itu membatalkan wudhu kecuali mani.
- Untuk wanita istihadhah dan yang berhadats terus menerus (seperti yang punya penyakit kencing terus menerus, keluar kentut terus menerus, atau buang hajat terus menerus), maka hendaklah berwudhu setiap kali shalat. Lalu untuk shalat yang diketahui batas waktunya seperti shalat lima waktu disyaratkan berwudhu setiap kali masuk waktu shalat. Sedangkan untuk shalat Dhuha yang panjang batas waktunya, maka ia berwudhu setiap kali hendak shalat.
- Darah haidh dan istihadhah itu najis. Bahkan menurut kebanyakan ulama, darah secara keseluruhan itu najis.
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (21:25) disebutkan bahwa para fuqaha sepakat, darah itu dihukumi haram dan najis, darah tersebut tidak boleh dimakan, dan tidak boleh dimanfaatkan. Para ulama hanya berbeda pendapat pada darah yang sedikit. Tentang kadar sedikit pun, mereka berselisih pendapat.
PENJELASAN HUKUM MADZI
HADITS KE-69
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً, فَأَمَرْتُ اَلْمِقْدَادَ بْنَ اَلْأَسْوَدِ أَنْ يَسْأَلَ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – فَسَأَلَهُ ? فَقَالَ: “فِيهِ اَلْوُضُوءُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku adalah seseorang yang sering keluar madzi. Aku pun meminta Al-Miqdad bin Al-Aswad untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalahku ini. Al-Miqdad pun bertanya pada beliau.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah ia berwudhu jika keluar madzi.” (Muttafaqun ‘alaih, lafazh hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari) [HR. Bukhari, no. 132, 178, 269 dan Muslim, no. 303]
Faedah hadits
- Madzi adalah cairan yang encer (tidak kental) keluar setelah syahwat tanpa memancar dan tidak terasa ketika keluar.
- Boleh mewakilkan untuk bertanya dan meminta fatwa pada orang lain karena ada uzur seperti malu. Yang mewakilkan tentu saja orang yang terpercaya dalam pemahaman, hafalan, dan agamanya karena ia membawa soal dan kembali menyampaikan jawaban.
- ‘Ali enggan bertanya langsung pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam karena istri ‘Ali adalah Fatimah, putri Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka termasuk adab dan berbuat baik dengan kerabat, hendaklah suami tidak menceritakan perihal hubungan intim dan mukadimahnya sedangkan di saat bicara ada ayah, saudara, putra, atau kerabat dari istri. Padahal dalam hadits disebutkan tentang bertanya mengenai hukum syari. Maka selain masalah syari, benar-benar harus dipertimbangkan.
- Madzi itu najis karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi, lalu beliau memerintahkan untuk berwudhu. Hukum najis madzi ini sama dengan hukum najis air kencing. Namun, madzi yang sedikit dimaafkan karena sulitnya untuk dihindari.
- Keluarnya madzi membatalkan wudhu. Namun, keluar madzi tidak diperintahkan untuk mandi junub, cukup berwudhu saja.
- Hendaklah madzi dihilangkan dengan air seperti kita istinja’ (cebok), tidak dengan istijmar, yaitu menghilangkan dengan batu.
- Madzi yang terkena pakaian ada keringanan cukup diperciki saja, tanpa mesti dicuci karena sulitnya menghindarkan diri dari madzi. Namun, yang lebih aman itu dicuci sebagaimana pendapat jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan ada pendapat dalam madzhab Imam Ahmad).
- Yang dilakukan ketika keluar madzi adalah: (a) menghilangkan najisnya pada kemaluan dengan dicuci, (b) memerciki pakaian yang terkena madzi, tetapi lebih baik pakaian tersebut dicuci (sebagaimana pendapat kebanyakan ulama), (c) cukup berwudhu, tanpa mandi junub.
MENCIUM DAN MENYENTUH ISTRI TIDAK MEMBATALKAN WUDHU
HADITS KE-70
وَعَنْ عَائِشَةَ, رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ, ثُمَّ خَرَجَ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَضَعَّفَهُاَلْبُخَارِيّ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istri beliau kemudian beliau pergi shalat tanpa mengulangi wudhunya lagi. (HR. Ahmad dan didhaifkan oleh Al-Bukhari) [HR. Ahmad, 42:479; Abu Daud, no. 179; Tirmidzi, no. 86, Ibnu Majah, 1:168. Imam Bukhari mendhaifkan hadits ini. Namun, ulama belakangan mensahihkan hadits ini seperti Ibnu Jarir, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Katsir, Ibnu At-Turkumani, Az-Zi’la’i, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Al-Albani, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz].
Faedah hadits
- Hadits ini menunjukkan bahwa mencium dan menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah. Pendapat ini memiliki riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Thawus, Al-Hasan, dan Masruq. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juga Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.
- Ada juga pendapat yang lain yang menyatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak. Inilah pendapat yang dianut oleh madzhab Syafii dan pendapat Imam Ahmad. Mereka berdalil dengan firman Allah tentang pembatal wudhu,
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“atau menyentuh perempuan.” (QS. Al Ma-idah: 6). Mereka menafsirkan kalimat “lamastumun nisaa’” dengan menyentuh perempuan. Sebagian ulama menafsirkan ayat ini dengan jimak, bukan sekadar menyentuh.
Ada juga pendapat ketiga yang menyatakan bahwa jika dengan syahwat, membatalkan wudhu. Sebaliknya, jika tanpa syahwat, tidak membatalkan wudhu.
Bagi ulama yang menyatakan wudhu batal karena bersentuhan dengan lawan jenis, syaratnya adalah: (1) bersentuhan kulit, (2) bersentuhan laki-laki dan perempuan, (3) sama-sama dewasa, (4) dengan yang bukan mahram, (5) tanpa ada pembatas atau penghalang. Demikian pernyataan Syaikh Salim Al-Hadrami dalam matan Safinatun Najah. Wallahu a’lam. Pilihan batal ini lebih hati-hati dan terhindar dari perselisihan ulama, mencari aman dari perselisihan itu sunnah.
RAGU-RAGU APAKAH HADATS ATAUKAH TIDAK, PADAHAL YAKIN MASIH DALAM KEADAAN SUCI
HADITS KE-71
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا, فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ, أَمْ لَا? فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا, أَوْ يَجِدَ رِيحًا – أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian merasa mendapati sesuatu di perutnya (ususnya), ia lantas ragu-ragu, apakah keluar sesuatu ataukah tidak, hendaklah ia tidak keluar dari masjid (untuk mengulangi wudhu) sampai ia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 326]
Faedah hadits
- Hadits ini menunjukkan bahwa jika seseorang itu ragu-ragu dalam keadaan berhadats, ia tidak harus berwudhu. Ia tetap shalat dalam keadaan kondisi yakin suci. Ia boleh batalkan jika yakin keluar hadats, bisa jadi dengan mendengar suara atau mencium bau.
- Hadits ini jadi kaedah penting “al-yaqinu laa yazuulu bisy syakk”, artinya keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
- Hendaklah tidak memperhatikan waswas, di mana setan berusaha menggoda lewat jalan ini. Setan menggoda agar bersuci, shalat, dan ibadah kita menjadi rusak.
- Keluar kentut itu membatalkan wudhu.
Syakk dan waswasah
Bedakan antara syakk dan waswasah. Syakk merupakan kebimbangan antara terjadi atau tidaknya sesuatu yang kemungkinan keduanya seimbang, dan merupakan keyakinan keseimbangan yang sama kuat antara keduanya, tak ada kelebihan yang satu atas yang lain. Sedangkan waswasah adalah bisikan jiwa dan setan yang tidak dilandaskan pada keyakinan dasar. Lain hal dengan syakkyang dilandasi suatu keyakinan dasar.
Sebab-sebab munculnya waswasah:
- Minimnya ilmu syari, yaitu pengetahuan tentang Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ajaran para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka.
- Lemahnya iman. Setan itu hanya mampu menguasai ahli maksiat, bukan menguasai orang yang kuat imannya.
- Lalai dari mengingat Allah. Dzikir itu mampu mengusir setan dan gangguan-gangguannya.
- Kelemahan akal. Yang memiliki akal sempurna akan selamat dari waswasah, dengan karunia Allah.
- Tidak bergaul dengan orang-orang yang memiliki ilmu dan iman sempurna.
- Tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Gejala-gelaja waswasah pada orang yang mengidapnya adalah:
- Lama dalam melakukan istinjak, wudhu, atau mandi.
- Mengulang-ulang wudhu, thaharah, atau shalat, berlebih-lebihan dalam menggunakan air untuk bersuci dan mengulangi ibadah-ibadah ini karena menganggapnya tidak sah.
- Mengulang-ulang huruf dalam melafalkan bacaan-bacaan Al-Qur’an, doa-doa shalat, dan lainnya.
- Mengganti baju karena menyangkanya terkena najis.
- Bisikan yang terkait dengan hal akidah.
Mengobati waswasah dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut:
- Menuntut ilmu syariat (mendalami ilmu agama).
- Memperkuat keimanan dengan mengerjakan amal-amal ketaatan dan ibadah-ibadah sunnah.
- Senantiasa ingat pada Allah di segala kondisi.
- Bergaul dengan orang saleh dan orang-orang yang dapat memberi manfaat.
- Mengetahui bahwa kebenaran itu hanya dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Mengakui bahwa waswasah adalah kebatilan yang paling batil.
- Memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan.
- Tidak lama-lama berada di dalam kamar mandi atau WC melebihi kebutuhan. Karena jamban dan WC adalah tempat setan dan ruh-ruh yang jahat.
- Memercikkan air pada kemaluan setelah istinjak dan celana untuk mengantisipasi waswasah dari jiwa.
Bisa seseorang yakin telah melakukan thaharah (baik wudhu atau lainnya), kemudian ragu telah berhadats ataukah belum, ia boleh shalat dengan thaharahnya itu. Sebab, ia dalam keadaan suci. Sebaliknya bila ia yakin telah berhadats kemudian ragu telah bersuci ataukah belum, ia tidak perlu mempedulikan keraguan itu, kecuali bila ia yakin telah bersuci. Kemudian bila banyak keraguan yang muncul, maka ia tidak perlu mempedulikannya.
MENYENTUH KEMALUAN MEMBATALKAN WUDHU ATAUKAH TIDAK
HADITS KE-72
وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ – رضي الله عنه – قَالَ: – قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْقَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ, أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ? فَقَالَ اَلنَّبِيُّ – صلى اللهعليه وسلم – “لَا, إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ – أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُحِبَّان َ
وَقَالَ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَةَ.
Dari Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku telah menyentuh kemaluanku atau ada yang berkata bahwa ia menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia mesti mengulangi wudhunya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, itu sama saja dengan menyentuh anggota tubuhmu yang lain.” (Dikeluarkan oleh yang lima, disahihkan oleh Ibnu Hibban. Ibnul Madini berkata bahwa hadits ini lebih bagus dari hadits Busrah). [HR. Abu Daud, no. 182, 183; Tirmidzi, no. 85; An-Nasai, 1:101; Ibnu Majah, no. 483; Ibnu Majah, no. 1119. Hadits ini sahih. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:308].
HADITS KE-73
وَعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: “مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ” – أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان َ
وَقَالَ اَلْبُخَارِيُّ: هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا اَلْبَابِ.
Dari Busrah binti Shafwan radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (Dikeluarkan oleh yang lima, disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini paling sahih dalam bab ini). [HR. Abu Daud, no. 181; An-Nasai, 1:100; Ahmad, 45:265; Malik, 1:42; Ibnu Hibban, no. 1112; Tirmidzi, no. 83; Ibnu Majah, no. 479. Hadits ini hasan sahih menurut Imam Tirmidzi. Hadits ini adalah hadits yang paling sahih dalam bab ini].
Faedah hadits
Ulama Syafiiyah menyatakan bahwa menyentuh kemaluan termasuk juga dubur membatalkan wudhu.
Namun, kompromi yang paling bagus adalah ada dalam dua pendapat ulama:
- Menyentuh kemaluan hanya disunnahkan untuk berwudhu, bukan wajib.
- Menyentuh kemaluan dengan syahwat barulah membatalkan wudhu.
BATALKAH WUDHU KARENA MIMISAN, MENGELUARKAN DAHAK, DAN KELUAR MADZI
HADITS KE-74
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: – مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ, أَوْ قَلْسٌ, أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ, ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ, وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَه
وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang muntah (qai’), mengeluarkan darah dari hidung (mimisan), muntah saat mual (qalsun), atau keluar madzi, hendaklah ia keluar, lalu berwudhu, lalu meneruskan sisa shalatnya. Namun selama itu ia tidak berbicara.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah. Imam Ahmad dan lainnya mendhaifkannya). [HR. Ibnu Majah, no. 1221. Sanad hadits ini dhaif sebagaimana didhaifkan oleh Al-Bushiri. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:316]
Qalsun adalah sesuatu yang keluar dari perut ke mulut saat mual berupa makanan atau minuman, bisa jadi dimuntahkan dan bisa jadi masuk lagi dalam perut, jika mulut penuh atau tidak sampai mulut. Sedangkan qai’ itu memuntahkan makanan atau minuman yang berasal dari perut lewat mulut. Jadi, qai’ itu qalas yang tak mungkin tertahan lagi.
Faedah hadits
- Menurut sebagian pendapat ulama, segala najis yang keluar dari selain dua jalan itu menjadi pembatal wudhu, seperti qai’ (muntah), qalsun (muntah karena mual), dan mimisan. Ini menjadi pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Namun, yang tepat, hal-hal tadi tidak termasuk pembatal wudhu. Inilah yang jadi pendapat Imam Syafii, Imam Malik, salah satu pendapat dari Imam Ahmad, dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Asy-Syaukani, Syaikh As-Sa’di, dan Syaikh Ibnu Baz. Alasan tidak batal karena tidak ada dalil jelas mengenai batalnya. Sedangkan hadits yang dibicarakan kali ini adalah dhaif (lemah).
- Muntah dan mimisan itu najis.
- Ibnu Taimiyyah berkata jika keluar mimisan dan muntah, afdalnya tetap berwudhu, itu disunnahkan.
- Keluar madzi mengharuskan untuk berwudhu sebagaimana keterangan hadits-hadits lainnya tentang hal ini.
- Jika ada yang keluar madzi, kentut, dan semacamnya saat shalat, shalatnya batal dan harus mengulangi shalat dari awal setelah bersuci.
APAKAH WUDHU BATAL KARENA MAKAN DAGING UNTA?
HADITS KE-75
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; – أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْغَنَمِ? قَالَ: إِنْ شِئْتَ قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ اَلْإِبِلِ ? قَالَ: نَعَمْ – أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhuma, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku harus berwudhu setelah makan daging kambing?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau mau.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah aku harus berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau menjawab, “Iya.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 360]
Faedah hadits
- Hadits ini jadi dalil bahwa makan daging kambing tidak membatalkan wudhu.
- Hadits ini jadi dalil bahwa makan daging unta itu membatalkan wudhu. Inilah yang dipilih oleh Imam Ahmad, pendapat sebagian sahabat, dan Ibnul Qayyim. Imam Nawawi dari kalangan Syafiiyah memilih juga pendapat ini. Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Inilah dalil yang paling kuat bahwa makan daging unta membatalkan wudhu, walaupun pendapat ini sejatinya menyelisihi jumhur atau kebanyakan ulama.”
- Ulama yang menyatakan tidak batal wudhu dari kalangan jumhur beralasan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau tidaklah berwudhu lagi karena memakan masakan yang dipanggang api, di dalamnya termasuk daging unta. Daging unta itu dimakan tidak bisa dalam keadaan mentah, tetapi harus dimasak. Haditsnya dari Jabir ini dinilai: (1) mudh-tharib, masuk golongan hadits dhaif; (2) hadits ini kalau pun sahih tidak bisa dijadikan dali karena daging unta tidaklah jadi sebab, namun ada makna khusus yaitu karena dipanggang; (3) hadits Jabir bin ‘Abdillah ini umum, sedangkan hadits Jabir bin Samurah yang menunjukkan batalnya wudhu itu khusus.
MANDI BAGI YANG MEMANDIKAN JENAZAH DAN WUDHU BAGI YANG MEMIKUL JENAZAH
HADITS KE-76
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – – مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ, وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَالنَّسَائِيُّ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه
وَقَالَ أَحْمَدُ: لَا يَصِحُّ فِي هَذَا اَلْبَابِ شَيْءٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang memandikan jenazah, hendaklah ia mandi. Siapa yang memikul jenazah, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Tirmidzi menghasankannya. Imam Ahmad menyatakan bahwa tidak ada hadits sahih dalam bab ini). [HR. Ahmad, 13:118; Tirmidzi, no. 993; Ibnu Hibban, 3:435; Abu Daud, no. 3162; Ibnu Majah, no. 1463. Imam Nawawi mengkritisi penilaian hasan dari Tirmidzi. Hadits ini intinya ada perselisihan tentang kesahihahnnya, apakah sampai derajat marfu’ hingga Nabi ataukah mawquf hanya perkataan Abu Hurairah. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:326-327].
Faedah hadits
- Menurut mayoritas ulama (Imam Ahmad dan Syafii), siapa saja yang memandikan jenazah disunnahkan baginya untuk mandi, tetapi tidak wajib.
- Ada kaedah: Jika hadits itu dhaif, lalu teksnya menunjukkan wajib atau menunjukkan akan haram, dibawa hukum masalah itu menjadi mustahab (sunnah) atau makruh dalam hal larangan. Ini dilakukan dalam rangka kehati-hatian. Namun, hukum tersebut tidak menjadi hukum wajib ataukah haram. Demikian kata Ibnu Muflih Al-Hambali.
- Tidak wajib berwudhu bagi yang memandikan jenazah.
- Siapa yang membawa atau memikul jenazah disunnahkan untuk berwudhu, tetapi tidak wajib. Namun, bagi yang mau memperbarui wudhu, dipersilakan.
DISYARATKAN BERWUDHU KETIKA MENYENTUH MUSHAF AL-QUR’AN
HADITS KE-77
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ; – أَنَّ فِي اَلْكِتَابِ اَلَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اَللَّهِ – صلىالله عليه وسلم – لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: أَنْ لَا يَمَسَّ اَلْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ – رَوَاهُ مَالِكٌمُرْسَلاً, وَوَصَلَهُ النَّسَائِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَهُوَ مَعْلُولٌ.
Dari ‘Abdullah bin Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Amr Ibnu Hazm terdapat keterangan, “Tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Malik secara mursal. An-Nasai dan Ibnu Majah menyambungkannya, namun hadits ini ma’lul). [HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 1:199, namun hadits ini ma’lul, ada cacat ringan].
Yammasa dalam hadits ini artinya menyentuh tanpa penghalang.
Thahir atau yang bersuci di sini ada beberapa makna:
- Suci secara maknawi, artinya suci dari syirik.
- Suci secara hissi, artinya suci dari najis.
- Suci dari hadat besar dan hadats kecil, yaitu dengan mandi atau berwudhu.
Thahir bisa dibawa maknanya kepada orang yang bersuci dengan berwudhu.
Faedah hadits
- Menyentuh mushaf Al-Qur’an harus dalam keadaan bersuci. Inilah pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabiin, bahkan jadi pendapat empat ulama madzhab. Yang menyelisihi hal ini hanyalah Daud Az-Zahiri.
- Menyentuh tulisan, pinggiran, dan sampul Al-Qur’an juga harus dalam keadaan berwudhu karena “yats-butu tab’an, maa laa yats-butu istiqlalan”, yaitu ketika jadi pengikut tentu berbeda ketika berdiri sendiri. Beli Al-Qur’an berarti satu kesatuan dengan isi dan covernya, tidak bisa terpisah. Berarti hukum menyentuh tulisan, pinggiran, dan sampul Al-Qur’an sama seperti menyentuh mushaf Al-Qur’an itu sendiri, yakni harus dalam keadaan berwudhu.
- Bagi yang batal wudhu, kalau mau menyentuh mushaf Al-Qur’an, hendaklah mengulangi wudhunya.
BERDZIKIR TIDAK DISYARATKAN BERWUDHU
HADITS KE-78
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- يَذْكُرُ اَللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ, وَعَلَّقَهُ اَلْبُخَارِيّ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir setiap keadaan (setiap waktu).” (HR. Muslim. Bukhari meriwayatkannya secara mu’allaq, tanpa sanad) [HR. Muslim, no. 373]
Faedah hadits
- Dzikir yang disebutkan dalam hadits adalah bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, beristighfar, dan membaca Al-Qur’an. Dzikir itu bersifat umum, tidak hanya membaca Al-Qur’an. Namun, dzikir juga mencakup lainnya. Adapun perbedaan dzikir dan tilawah Al-Qur’an adalah memakai patokan ‘urf (kebiasaan).
- Berdzikir itu tidak disyaratkan harus bersuci. Berdzikir boleh setiap saat, baik dalam keadaan suci, berhadats, maupun junub.
- Jika wudhu kita batal, masih dibolehkan untuk berdzikir.
- Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca sepuluh ayat terakhir dari surah Ali ‘Imran ketika bangun malam sebelum beliau berwudhu. Imam Bukhari membuatkan judul bab untuk hadits ini, “Bab: Membaca Al-Qur’an ketika masih berhadats dan keadaan semacamnya”.
- Membaca Al-Qur’an saat junub tidak boleh.
- Saat buang air kecil, saat buang air besar, sedang berjimak dimakruhkan untuk berdzikir dengan lisan. Hal ini telah ditegaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah.
- Maksud hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mayoritas aktivitasnya dalam keadaan berdzikir yaitu ketika bersuci, ketika berhadats, ketika berdiri maupun duduk.
- Berdzikir dengan hati boleh dalam setiap keadaan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri terus berdzikir dengan hatinya, ketika beliau sadar atau tertidur.
- Dimakruhkan berdzikir kepada Allah ketika buang hajat, termasuk juga dalam hal menjawab salam saat buang hajat. Yang sebaiknya dilakukan adalah menunggu sampai menunaikan hajat barulah menjawab salam. Namun, menjawab salam lebih afdal lagi setelah bersuci.
- Berdzikir dalam keadaan bersuci tetap lebih afdal.
Catatan:
Para ulama empat madzhab sepakat bahwa haram bagi orang yang junub membaca Al-Qur’an. Dalil pendukungnya adalah hadits berikut dari ‘Ali bin Abi Thalib,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ لا يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جُنُبًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang membaca Al-Qur’an sedikit pun kecuali dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Hibban, 3:79; Abu Ya’la dalam musnadnya, 1:400. Husain Salim Asad menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Abul Hasan Al-Mawardi menyatakan bahwa haramnya membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub sudah masyhur di kalangan para sahabat Nabi, sampai hal ini tidak samar lagi bagi mereka baik di kalangan laki-laki maupun perempuan.” (Al-Hawi Al-Kabir, 1:148)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari empat madzhab dan lainnya, orang junub dilarang membaca Al-Qur’an sebagaimana ada hadits yang mendukung hal ini.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 17:12)
KELUAR DARAH DARI SELAIN DUA JALAN TIDAKLAH MEMBATALKAN WUDHU
HADITS KE-79
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – اِحْتَجَمَ وَصَلَّى, وَلَمْ يَتَوَضَّأْ – أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَلَيَّنَهُ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam lalu shalat, kemudian beliau tidak mengulangi wudhu.” (HR. Ad-Daruquthni dan menganggap perawinya layyin). [HR. Ad-Daruquthni, 1:151; Al-Baihaqi dalam sunannya, 1:141 dan Al-Khilafiyaat, 2:318. Layyin adalah istilah untuk perawi yang dijarh (dikritik) dalam hal hafalannya, ia tidak dianggap ‘adil (terpercaya). Hadits ini secara sanad itu dhaif, tetapi dari segi makna boleh diamalkan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulughl Al-Maram, 1:344-345].
Faedah hadits
- Hadits ini jadi dalil bahwa berbekam itu tidak membatalkan wudhu.
- Setiap darah yang keluar dari tubuh selain dari dua jalan tidaklah membatalkan wudhu, seperti mimisan, darah dari gusi, baik darahnya dalam jumlah banyak ataukah sedikit. Hadits inilah yang menguatkan pembahasan pada hadits ke-74 sebelumnya.
- Darah itu najis. Namun, kalau darah keluar dari selain dua jalan, tidaklah membatalkan wudhu.
TIDUR ITU BISA JADI SANGKAAN KUAT MEMBATALKAN WUDHU
HADITS KE-80
وَعَنْ مُعَاوِيَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم- – الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ, فَإِذَا نَامَتْ اَلْعَيْنَانِ اِسْتَطْلَقَ اَلْوِكَاءُ – رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالطَّبَرَانِيُّ وَزَادَ – وَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ –
وَهَذِهِ اَلزِّيَادَةُ فِي هَذَا اَلْحَدِيثِ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ دُونَ قَوْلِهِ: – اِسْتَطْلَقَ اَلْوِكَاءُ – وَفِي كِلَا الْإِسْنَادَيْنِ ضَعْف ٌ
Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mata itu pengikat dubur. Apabila tidur dua mata, terlepaslah pengikat itu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani) [HR. Ahmad, 28:92; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 19:372, no. 875. Sanad hadits ini dhaif. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:347].
Ditambahkan, “Barangsiapa tidur, hendaklah ia berwudhu.” Tambahan dalam hadits ini adalah riwayat Abu Daud dari hadits ‘Ali selain dari perkataan, “Terlepaslah ikatan itu.” (Kedua sanad ini terdapat kelemahan). [HR. Abu Daud, no. 203. Hadits dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baz].
HADITS KE-81
وَلِأَبِي دَاوُدَ أَيْضًا, عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا: – إِنَّمَا اَلْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَمُضْطَجِعًا – وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ أَيْضًا
Disebutkan pula dalam riwayat Abu Daud dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Tidak wajib wudhu melainkan bagi orang yang tidur dengan keadaan miring (berbaring pada lambungnya).” Dalam sanad hadits ini ada perawi yang dhaif. [HR. Abu Daud, no. 202] [Hadits ini dhaif secara sanad dan matan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:350-351].
FAEDAH HADITS
- Tidur tidak membatalkan wudhu dengan sendirinya. Tidur itu menjadi mazhannah lin naqhd. Artinya, jika tidur masih dalam keadaan sadar, tidaklah membatalkan wudhu. Sebaliknya, jika tidur dalam keadaan tidak sadar (tidak merasakan sesuatu yang keluar), hendaklah mengulangi wudhu karena sejatinya ia itu tidur.
- Hadits yang menyebutkan tidur berbaring pada lambung (tidur menyamping) itulah yang membatalkan wudhu adalah hadits dhaif secarasanad dan matan. Konsekuensi dari hadits lemah ini adalah siapa saja yang tidur menyamping, wajib berwudhu. Lalu yang tidur dalam keadaan ghoiru mudhthoji’ (tidak menyamping) berarti tidak batal wudhunya. Kedua makna ini tidaklah tepat.
- Tidur berat yang sudah hilang kesadaran membatalkan wudhu. Tidur ringan yang masih ada kesadaran tidak membatalkan wudhu.
INGAT, SETAN MENGGODA KITA APAKAH WUDHU MASIH ADA ATAUKAH TIDAK
HADITS KE-82
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – يَأْتِي أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلَاتِهِ, فَيَنْفُخُ فِي مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ أَحْدَثَ, وَلَمْ يُحْدِثْ, فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ فَلَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا – أَخْرَجَهُ اَلْبَزَّار ُ
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setan itu akan mendatangi seseorang di antara kamu pada saat dia shalat lalu meniup lewat duburnya dan membuatnya berkhayal seakan-akan ia telah kentut padahal ia tidak kentut. Jika ia mengalami hal itu, janganlah ia membatalkan shalat sampai ia mendengar suara atau mencium baunya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bazzar) [HR. Al-Bazzar, 171, sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauazan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:352-353].
HADITS KE-83
وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْد ٍ
Asal hadits ini ada di shahihain dari hadits ‘Abdullah bin Zaid. [HR. Bukhari, no. 137 dan Muslim, no. 361]
HADITS KE-84
وَلِمُسْلِمٍ: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ نَحْوُهُ.
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah semisal itu pula. [HR. Muslim, no. 362. Ini adalah hadits ke-5 dalam pembahasan pembatal wudhu, atau hadits ke-71 dari Bulugh Al-Maram].
HADITS KE-85
وَلِلْحَاكِمِ. عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَرْفُوعًا: – إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ, فَقَالَ: إِنَّكَ أَحْدَثْتَ, فَلْيَقُلْ: كَذَبْتَ –
Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan hadits dari Abu Sa’id secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Jika salah seorang di antara kalian didatangi setan, setan berkata: ‘Sungguh, engkau itu berhadats.’ Ucapkanlah, ‘Engkau dusta’.” [HR. Al-Hakim, 1:134, juga diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 1029 dan Tirmidzi, no. 396. Hadits ini hasan li ghairihi sebagaimana disebutkan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:352-353].
Faedah hadits
- Hadits Ibnu ‘Abbas dan setelahnya menjadi isyarat bahwa orang yang telah bersuci jika ragu mengenai wudhunya, apakah wudhu tersebut sudah batal ataukah tidak, asalnya wudhu tersebut tidaklah batal. Ia shalat dalam keadaan suci seperti itu, tidak perlu mengulang wudhu sampai ia yakin kalau ia dalam keadaan berhadats yaitu dengan mendengar suara atau mencium bau.
- Setan itu benar-benar musuh manusia.
- Solusi mengatasi waswas adalah tidak menerima waswas tersebut dan tidak memperhatikannya.
- Ada tambahan dari hadits Abu Hurairah: (a) ragu-ragu dalam bersuci adalah dari setan, (b) tempat ragu-ragu ini dimunculkan dari bawah (dubur), (c) solusi mengatasi suatu yang tidak yakin ini adalah mengatakan setan itu berdusta.
____
REFERENSI
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
- Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
- Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Tahqiq Ar-Raghabaat bi At-Taqasim wa At-Tasyjiiraat li Thalabah Al-Fiqh Asy-Syafii. Syaikh Dr. Labib Najib ‘Abdullah Ghalib.
Sumber: https://rumaysho.com/