Oleh Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi
Kata madzhab berasal dari kata bahasa Arab َهَبَ ذ- يَذْهَبُ – ذَهَابًا – ذُهُوْبًا – مَذْهَبًا , yang maknanya berjalan (pergi) atau lewat. Sedangkan الْمَذْهَبُ , maknanya ialah i`tiqad, jalan dan ushul (prinsip-prinsip) yang dijalankannya [1]. Misalnya seperti pernyataan, “madzhab kami adalah madzhab sepuluh orang yang dijamin masuk syurga dan Imam Ahmad” [2].
Pada umumnya, bila membicarakan madzhab, seseorang kemudian mengacu kepada permasalahan fiqhiyah. Padahal madzhab itu mencakup juga yang berkait dengan keyakinan dan aqidah. Oleh karenanya, sering digunakan para ulama untuk menyatakan keyakinan dan i`tiqad Ahlu Sunnah, seperti pernyataan Imam Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shabuni (wafat 449H) ketika menjelaskan aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah : “Dan termasuk madzhab Ahli Hadits, iman adalah perkataan dan perbuatan serta ma’rifah (ilmu), bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan” [3]. Beliau juga menyatakan : “Diantara madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah…” [4]
Dengan demikian, merupakan kekeliruan bila seseorang yang fanatik terhadap satu madzhab (misalnya madzhab Syafi’i), tetapi hanya mengambil madzhabnya dalam bidang fiqih dan meninggalkan aqidah yang diyakini Imam Syafi’i. Atau yang mengklaim diri bermahdzab Hanbali, tetapi tidak mengikuti masalah i’tiqad Imam Ahmad bin Hanbal. Atau yang lainnya. Fenomena seperti ini banyak menghinggapi para pengikut madzhab yang ada, yakni mereka bersikukuh menyatakan diri bermadzhab imam tertentu, namun aqidah dan amalannya jauh dari imam yang “katanya” diikutinya tersebut.
Kenyataan seperti ini telah lama melintas dalam sejarah berkembangnya madzhab-madzhab. Terlebih lagi dengan masuknya kitab-kitab Persia, India dan Rumawi dengan ajaran filsafatnya, yang turut berperan melahirkan pemikiran dan madzhab baru dan menyesatkan. Kemudian berkembang sebagai madzhab bid’ah yang menyimpang.
Fakta tak terbantahkan, pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, umat Islam adalah satu dan hanya mengikuti petunjuk Rasulullah dalam seluruh permasalahan. Setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, umat Islam memasuki periode berikutnya. Seiring dengan perjalanan waktu, semakin hari semakin jauh dari masa kenabian dan jauh dari kota Madinah, hingga kemudian bermunculan madzhab-madzhab bid’ah. Kota-kota yang dihuni oleh banyak para sahabat Nabi, relatif lebih sulit dan sedikit bid’ahnya dibandingkan dengan kota lainnya. Sebab di kota-kota tempat banyak sahabat Nabi bermukim itu, menjadi tempat berkembangnya ilmu dan iman. Kota-kota tersebut meliputi Mekkah, Madinah, Bashrah, Kufah dan Syam. Di antara kota-kota tersebut, hanya kota Madinahlah yang tidak muncul bid’ah sampai selesai masa tabi-it tabi’in. Adapun di kota lainnya bermunculan bid’ah. Di kota Kufah muncul bid’ah Syi’ah dan Murji’ah. Di kota Bashrah muncul Qadariyah, Mu’tazilah dan Shufiyah. Di kota Syam muncul bid’ah Nawashib [5]. Berbeda dengan lainnya, di kota Madinah kebid’ahan tidak berkembang sampai zaman murid-murid Imam Malik yang merupakan qurun (generasi) keempat.
Syaikhul Islam menceritakan perkembangan pemikiran-pemikiran bid’ah di kalangan umat Islam ini:
Perlu diketahui, umumnya bid’ah-bid’ah yang berhubungan dengan aqidah dan ibadah ini, terjadi pada masa-masa akhir kekhalifahan Khulafa-ar Rasyidin, sebagaimana diberitakan Rasulullah dalam sabdanya :
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
"Barangsiapa yang masih hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah para Khalifa-ar Rasyidin. [Hadits shahih lighairihi. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4/126, Ad Darimi dalam muqaddimah Sunan-nya, At Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no 42 dan 44. Lihat takhrij Muhamad Umar Bazmul dalam kitab Al Intishar Li Ahli Al Hadits, hlm. 35].[6]
Pernyataan beliau selanjutnya: Ketika negara Khulafa-ar Rasyidin habis dan berganti menjadi kerajaan, maka muncullah kekurangan pada pemerintah, dan ini diikuti juga dengan munculnya kekurangan pada ulamanya; sehingga muncullah pada Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dua kebid’ahan, yaitu Khawarij dan Rafidhah. Dua kebid’ahan ini berhubungan dengan masalah imamah dan khilafah serta amalan dan hukum-hukum syari’at yang terkait dengannya.[7]
Di bagian lainnya, Syaikhul Islam menyatakan: Ketika terjadi perpecahan setelah terbunuhnya Khalifah Utsman, muncul bid’ah Khawarij dan Syi’ah dengan tiga alirannya. Yang ekstrim dibakar oleh Ali bin Abi Thalib. Syi’ah Mufadhalah dicambuk delapan puluh kali oleh Ali. Sedangkan aliran Saba’iyah diancam oleh Imam Ali (untuk dimusnahkan). Sementara Ibnu Saba’ dicari untuk dibunuh, namun berhasil melarikan diri.[8]
Kemudian setelah berakhirnya pemerintahan Mu’awiyah dan Yazid bin Mu’awiyah, umat Islam terpecah-belah. Ibnu Taimiyah menyatakan: Kemudian Yazid meninggal dunia dan umat Islam berpecah-belah. Ibnu Az Zubair memerintah di Hijaz. Banu Al Hakam memerintah di Syam. Al Mukhtar bin Abu Ubaid dan lainnya merebut Iraq. Ini terjadi di akhir masa sahabat. Pada masa mereka masih tersisa sahabat-sahabat, seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al Khudri dan sejawatnya. Pada masa inilah muncul bid’ah Qadariyah dan Murji’ah. Yang kemudian para sahabat seperti Ibnu Abas, Ibnu Umar [9], Jabir [10] dan Watsilah bin Al Asqaa’ serta yang lainnya membantah bid’ah ini dengan tetap membantah kebid’ahan Khawarij dan Rafidhah. Pada umumnya, ketika itu madzhab Qadariyah hanya berbicara pada masalah amalan hamba (a’mal al ibad) sebagaimana Murji’ah juga berbicara dalam permasalahan ini, sehingga mereka hanya berbicara tentang masalah taat dan maksiat, mu`min dan fasiq, dan yang sejenisnya dari masalah asma wa ahkam [11] dan al wa’d wa al wa’id [12]. Pembicaraa mereka belum meluas pada pembahasan yang menyangkut Rabb dan sifat-sifatNya, kecuali pada akhir-akhir masa shighar tabi’in, tepatnya di akhir kekhalifahan Bani Umayah (awal abad ketiga) –tabi`it tabi’in- (yaitu) ketika kebanyakan dari tabi’in telah wafat.[13]
Selanjutnya Syaikhul Islam menyatakan: Lalu sebagian kitab-kitab Persia, India dan Rumawi dialih bahasakan ke dalam bahasa Arab, dan muncullah apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ حَتَّى يَشْهَدَ الرَّجُلُ وَ لاَ يُسْتَشْهَدُ وَ يَحْلِفُ وَلاَ يُسْتَحْلَفُ
Kemudian tersebarlah kedustaan sampai seseorang bersaksi padahal tidak dimintai persaksian, dan bersumpah tanpa diminta bersumpah.
Baca juga: Mengenal Wihdatul Wujud
Muncullah tiga kebid’ahan, yaitu ar ra`yu [14], al kalam (filsafat ketuhanan) dan tashawuf. Kemudian muncul bid’ah tajahhum (Jahmiyah), yaitu jenis bid’ah yang melakukan penolakan terhadap sifat-sifat Allah. Juga muncul bid’ah tamtsil. [15]
Berkaitan dengan munculnya bid’ah Jahmiyah ini, Ibnu Taimiyah menyatakan : Adapun Jahmiyah, mereka muncul pada akhir zaman tabi’in setelah wafatnya Umar bin Abdul Aziz. Jahm bin Shafwan muncul di kota Khurasaan pada zaman kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik.[16]
Ibnul Qayyim memaparkan secara ringkas sejarah yang disampaikan gurunya di atas dengan pernyataannya: Pada akhir masa sahabat, muncullah bid’ah Qadariyah. Para sahabat yang masih hidup, seperti Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas dan yang semisalnya mengingkarinya. Setelah habis masa sahabat, muncullah bidah irja’ (Murji’ah), dan para kibar tabi’in pun membantahnya. Usai masa tabi’in, kemudian muncul bid’ah tajahhum (Jahmiyah). Bid’ah ini kian membesar dan menyebarkan syubhat keburukannya pada zaman para imam, seperti Imam Ahmad dan yang semisalnya. Setelah itu, kemudian muncul bid’ah hulul (Hululiyah, yakni beranggapan bahwa Allah menempati makhluk), dan berkembang pada zaman Al Husain Al Hallaj. Setiap kali setan memunculkan satu kebid’ahan dan yang lainnya, maka Allah membangkitkan sebagian tentara pembelaNya yang membantah dan memperingatkan kaum muslimin dari bid’ah-bid’ah tersebut. [17]
Ibnu Hajar sendiri menjelaskan, bahwa setelah penulisan hadits Nabi muncullah penulisan tafsir Al Qur’an, kemudian dibukukan masalah-masalah fiqih yang lahir dari ra’yu murni, kemudian dibukukan masalah yang berhubungan dengan amalan-amalan hati (tashawuf).
Adapun yang pertama (pembukuan hadits) diingkari oleh Umar, Abu Musa dan sejumlah sahabat lainnya, sedangkan mayoritas sahabat membolehkannya. Adapun yang kedua (penulisan tafsir Al Qur’an) diingkari oleh sejumlah tabi’in, diantaranya ialah Asy Sya’bi. Adapun yang ketiga (dibukukannya masalah fiqih berdasarkan ra`yu murni) diingkari oleh Imam Ahmad dan sejumlah ulama. Imam Ahmad juga lebih mengingkari lagi (dibukukannya) masalah yang setelahnya (yaitu tashawuf).
Diantara yang muncul dan juga berkembang ialah, dibukukannya pendapat-pendapat yang berkaitan dengan pokok-pokok agama, sehingga berkembanglah kelompok mutsbitah (yang menetapkan sifat Allah) dan an nufah (yang menolak sifat Allah). Kelompok pertama (Mutsbitah) menjadi ekstrim sampai menyerupakan Allah dengan makhluk. Dan kelompok yang kedua (An Nufah), menolak semua sifat Allah (muaththil).
Para salaf, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Asy Syafi’i sangat keras mengingkari kelompok ini. Pernyataan para ulama Salaf dalam mencela ilmu kalam sudah mashur. Sebabnya, karena orang-orang yang menyerupakan dan menolak sifat-sifat Allah mempermasalahkan hal-hal yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak membicarakannya.
Imam Malik menyatakan, pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar, sedikitpun tidak ada kebid’ahan, baik bid’ah Khawarij, Rafidhah, maupun Qadariyah. Bid’ah-bid’ah ini kemudian berkembang lebih luas pada masa berakhirnya tiga generasi utama, berkaitan dengan sebagian besar perkara yang telah diingkari para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Mereka tidak puas hanya dengan bid’ah tersebut, bahkan kemudian mereka mencampur adukkan masalah-masalah agama dengan filsafat Yunani dan menjadikan filsafat sebagai dasar rujukan untuk menta`wil atsar (nash-nash syar’i) yang menyelisihi filsafat tersebut walaupun dipaksakan. Kemudian juga tidak cukup hanya dengan ini, bahkan mereka menganggap apa yang disusunnya itu sebagai ilmu yang paling mulia dan utama untuk dipelajari. Seseorang yang tidak menggunakan istilah yang mereka buat tersebut, dianggap sebagai orang awam yang bodoh. Padahal, orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh pada ajaran Salaf dan menjauhi kebid’ahan orang-orang khalaf [18].
Demikianlah orang-orang yang menganggap pemikirannya lebih baik dari nash-nash syar’i. Setelah itu bermunculanlah sikap taklid buta, yang pada gilirannya menyebabkan kaum muslimin jauh dari kemulian dan kejayaan yang pernah dinikmati para salafush shalih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melengkapi pernyataannya di atas dengan menyatakan: Orang-orang bid’ah terdahulu (mutaqaddimun) yang meletakkan dasar pemikiran ilmu kalam, tasawuf dan yang lainnya, mereka masih menghimpun pemikiran-pemikirannya mengacu kepada Al Qur’an, Sunnah dan Atsaar, karena masanya masih dekat (dengan generasi terbaik), dan juga cahaya Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tampak tinggi, walaupun pada sebagian orang, cahaya Sunnah ini telah tercampuri kegelapan yang lainnya. (Berbeda dengan) orang-orang akhir (mutaakhirun), mereka banyak yang lepas dari kaidah yang diletakkan para pendahulunya. Misalnya, orang yang menulis kitab ilmu kalam dari kalangan mutaakhirin, yang hanya memuat kaidah-kaidah berfikir bid’ah saja dan berpaling dari Kitabullah dan Sunnah. Juga menjadikan keduanya sebagai rujukan pelengkap saja, atau beriman kepada keduanya secara global saja, atau perkaranya keluar sehingga sampai menjadi zindiq. Ahli kalam mutaqaddimun lebih baik dari mutaakhir. Demikian juga yang menulis pembahasan ar ra`yu, hanya menjelaskan pemikiran imamnya dan para pendukungnya saja, dan berpaling dari Al Qur`an dan Sunnah, serta menimbang kandungan Al Qur’an maupun Sunnah berdasarkan pemikiran imamnya saja, sebagaimana banyak dari kalangan (yang mengklaim dirinya) sebagai pengikut madzhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad [19].
Baca juga: Selektif dalam menuntut ilmu agama
Demikian nyata penjelasan Ibnu Taimiyah di atas, yang dikatakan saat beliau masih hidup. Bagaimana pula dengan kondisi saat ini, yang kian jauh dari masa kenabian? Begitulah, hingga akhirnya madzhab seolah menjadi segala-galanya. Semua yang menyelisihi madzhab, meskipun datang dari Al Qur’an dan Sunnah, maka harus ditinggalkan. Bahkan sampai muncul perkataan “yang tidak bermadzhab satu dianggap sesat”. Tidak cukup sampai disini, bahkan sampai ada yang melarang meneliti langsung Al Qur`an dan Sunnah, dengan dalih bila madzhab telah mencukupinya. La haula wala quwwata illa billah..
Mengambil hikmah dari sejarah umat Islam ini, fakta membuktikan bahwa jauhnya kaum muslimin dari Al Qur`an dan Sunnah serta pemahaman para salafush shalih telah mengakibatkan kaum muslimin jatuh ke dalam jurang kehancuran dan taklid buta. Oleh karenanya, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk menjadikan Al Qur`an dan Sunnah sebagai pelindung dari semua kesesatan dan kehancuran, dan menjadikan keduanya sebagai sumber pelita kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. [Ali Imran:103].
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa-alihi wa shahbihi wa sallam.
Maraji`:
1. Al Qamus Al Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al Fairyuzabadi (wafat tahun 817 H), tahqiq Muhammad Na’im Al Urqusysi, Cetakan kelima, Tahun 1416 H, Muassasah Ar Risalah.
2. Al Kuliyat, Mu’jam Fi Al Mushthalahat Wa Al Furuq Al Lughawiyah, Ayub bin Musa Al Husaini Al Kafawi (wafat 1094 H), tahqiq ‘Adnan Darus dan Muhammad Al Mishri, Cetakan pertama, Tahun 1412H, Muassasah Ar Risalah, Beirut.
3. Aqidah As Salaf Wa Ash-habul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shabuni (wafat 449H ), tahqiq Dr. Nashir bin Abdurrahman Al Judai`, Cetakan kedua, Tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah.
4. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah.
5. Taqrib At Tadmuriyah, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, tahqiq Sayyid Abbas bin Ali Al Julaimi, Cetakan pertama, Tahun 1413H, Maktabah As Sunnah, Mesir.
6. Al Intishar Li Ahli Al Hadits, Muhammad bin Umar Salim Bazamul, Cetakan pertama, Tahun 1418H, Dar Al Hijrah, KSA.
_______
Footnote
[1]. Lihat Al Qamus Al Muhith, Muhammad bin Ya’qub Al Fairyuzabadi (wafat tahun 817 H), tahqiq Muhammad Na’im Al Urqusysyi, Cetakan kelima, Tahun 1416 H, Muassasah Ar Risalah, Beirut, hlm. 111.
[2]Lihat Al Kuliyat, Mu’jam Fi Al Mushthalahat Wa Al Furuq Al Lughawiyah, Ayub bin Musa Al Husaini Al Kafawi (wafat 1094 H), tahqiq ‘Adnan Darus dan Muhammad Al Mishri, Cetakan pertama, Tahun 1412H, Muassasah Ar Risalah, Beirut, hlm. 878.
[3]. Aqidah Al Salaf Wa Ash-habul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shabuni (wafat 449H), tahqiq Dr. Nashir bin Abdurrahman Al Judai`, Cetakan kedua, Tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah, hlm. 264. [4]. Ibid, hlm. 285.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa, 20/300-301.
[6]. Lihat pula Majmu’ Fatawa, 10/354.
[7]. Ibid, 10/356.
[8]. Ibid, 20/301.
[9]. Lihat bantahan beliau terhadap Qadariyah, hadits no. 8 kitab Al Iman dalam Shahih Muslim.
[10]. Ibid, hadits no. 191.
[11]. Penamaan seseorang dengan mukmin atau kafir dan hukumnya di dunia dan akhirat.
[12]. Masalah janji dan ancaman yang ada dalam nash-nash dan penerapannya.
[13]. Majmu’ Fatawa, 10/357.
[14]. Yang dimaksud disini adalah menjadikan akal sebagai sumber rujukan dan lebih mengutamakannya daripada nash Al Qur`an atau Sunnah. Lihat Al Intishar Li Ahli Al Hadits, Muhammad bin Umar Salim Bazamul, Cetakan pertama, Tahun 1418 H, Dar Al Hijrah, KSA, hlm. 21.
[15]. Ibid, 10/358.
[16]. Ibid, 20/302.
[17]. Lihat Tahdzib Sunan Abi Dawud (7/61), hadits no. 4527. Kami nukil dari Taqrib At Tadmuriyah, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, tahqiq Sayyid Abbas bin Ali Al Julaimi, Cetakan pertama, Tahun 1413H, Maktabah As Sunnah, Mesir, hlm. 12.
[18]. Dinukil dari Taqrib At Tadmuriyah, hlm. 12-13 dengan merujuk kepada Fathul Bari (13/253).
[19]. Majmu’ Fatawa, 10/366.
Sumber: https://almanhaj.or.id/