Pertama: Dengan mengikrarkan bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan para hamba-Nya; baik geraknya, diamnya, bahkan keinginannya. Maka, apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sebaliknya yang tidak Dia kehendaki takkan terjadi. Sehingga tidak ada satupun partikel di alam ini bisa bergerak, baik di alam yang atas maupun di alam yang bawah, kecuali atas izin dan kehendak-Nya. Jadi semua hamba itu hanyalah alat. Maka, lihatlah kepada Dzat yang menjadikan manusia itu mengganggumu, jangan kau lihat kelakuan (buruk) mereka terhadapmu; niscaya kamu akan menjadi tenang, tidak galau, tidak pula sedih” (Jami’ul Masa’il, 1/168).
Intinya, ketika Anda disakiti orang lain, maka ingatlah bahwa tindakan dia itu adalah bagian dari ciptaan Allah, ia tidak akan terjadi melainkan setelah diizinkan dan dikehendaki oleh Allah ta’ala.
Jika itu atas kehendak Allah, mengapa Anda galau dan sedih?! Bukankah Dia Maha Baik dan Maha mengasihi hamba-Nya. Sungguh, Dia tidaklah menginginkan dari musibah itu, melainkan kebaikan untukmu.
Beliau melanjutkan,
“Hal kedua yang bisa membantu seseorang untuk bersabar menghadapi gangguan manusia adalah: dengan mengakui dosa-dosanya, bahwa Allah menjadikan mereka melakukan hal buruk kepadanya adalah karena dosa yang ada padanya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Musibah apapun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh tangan-tangan kalian sendiri, padahal Dia telah banyak memaafkan“. (Asy-Syuro: 30).
Maka, apabila seorang hamba menyadari bahwa semua musibah yang dialaminya adalah disebabkan dosa-dosanya, tentu dia akan menyibukkan dirinya dengan taubat dan istighfar dari dosa-dosanya, karena itulah yang menjadi penyebab datangnya gangguan mereka terhadapanya.
Dengan begitu, dia akan terhindar dari tindakan mencela mereka, atau menyalahkan mereka, atau menjelek-jelekkan mereka. Bila engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan manusia saat mereka menyakitinya, dan dia tidak introspeksi diri dengan menyalahkan dirinya dan beristighfar, maka ketahuilah bahwa musibahnya memang benar-benar nyata. Dan apabila hal itu menjadikannya bertaubat, beristighfar, dan mengatakan “ini memang karena dosa-dosaku”, maka musibah itu menjadi kenikmatan yang ada pada dirinya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib –rodhiallohu’anhu– telah mengatakan pesan mutiara: “Jangan sampai seorang hamba berharap melainkan kepada Rabb-nya, dan jangan sampai seorang hamba khawatir kecuali terhadap dosanya“.
Diriwayatkan pula dari beliau dan yang lainnya: “Tidaklah musibah turun, melainkan karena sebab dosa. Dan tidaklah ia diangkat, melainkan dengan taubat“” (Jami’ul Masa’il, 1/169).
Intinya, jika Anda diganggu atau disakiti orang lain, maka ingatlah bahwa penyebabnya adalah dosa-dosa yang Anda lakukan. Oleh karenanya, tidak perlu Anda membalasnya, tapi sibukkan diri dengan banyak istighfar dan taubat, sehingga musibah itu diangkat oleh Allah ta’ala. Dengan langkah ini pula, kita bisa menjadikan musibah itu mendatangkan nikmat kebaikan.
Beliau melanjutkan,
“Hal ketiga yang bisa membantu kita untuk bersabar menghadapi gangguan manusia adalah: dengan mengingatkan diri akan indahnya pahala yang Allah janjikan bagi orang yang memaafkan dan bersabar, sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya): “Balasan keburukan adalah keburukan yang semisal dengannya. Namun siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat buruk padanya), maka pahalanya ditanggung Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat zalim“. (Asy-Syuro: 40).
Di dalam ayat ini, Allah menyebuntukan kelas-kelas manusia dilihat dari sikap mereka ketika diganggu:
Orang yang zalim, yaitu orang yang membalas keburukan melebihi batasan haknya. Ini Allah sebut di akhir ayat.
Orang yang proporsional (muqtashid), yaitu orang yang membalas keburukan sesuai batasan haknya. Ini Allah sebut di awal ayat.
Orang yang mulia (muhsin), yaitu orang yang memaafkan dan meninggalkan haknya sama sekali. Ini Allah sebut di tengah ayat.
Hendaknya seorang hamba juga mengingat panggilan kehormatan di hari kiamat nanti: “Berdirilah, orang pahalanya dalam tanggungan Allah!”, maka tidaklah dapat berdiri melainkan orang yang mengampuni dan berbuat baik kepada orang yang menzaliminya.
Ketika, seseorang ingat hal ini, dan juga mengingat bahwa pahala agung itu akan luput darinya dengan tindakan membalas dan mengambil penuh haknya, tentu akan menjadi mudah baginya untuk bersabar dan memaafkan” (Jami’ul Masa’il, 1/169).
Intinya, dengan mengingatkan diri kepada pahala agung yang dijanjikan Allah ta’ala kepada hamba yang bersabar dan memaafkan saat dizalimi, bahkan di akherat nanti akan mendapatkan panggilan kehormatan. dan dengan membalasnya, dia akan kehilangan kesempatan untuk meraih pahala besar tesebut. maka, kita akan semakin mudah untuk bersabar dalam menghadapi gangguan dan celaan orang lain.
Beliau melanjutkan,
“Hal keempat yang bisa membantu kita untuk bersabar menghadapi gangguan manusia adalah: dengan mengingatkan diri, bahwa jika memaafkan dan berbuat baik kepadanya, itu akan menjadikan hatinya bersih dari membenci saudaranya, hatinya akan suci dari kebencian, kedengkian, niat balas dendam, dan niat buruk lainnya.
Dengan begitu, akan tumbuh pada dirinya manisnya memaafkan. bahkan kelezatan dan manfaat memaafkan itu -baik yang sekarang ataupun yang nanti- menjadi berlipat-lipat melebihi kepuasan yang timbul dari tindakan membalas dendam.
Dan itu masuk dalam firman Allah ta’ala (yang artinya): “Allah mencintai orang-orang berbuat baik“. (Alu Imron: 134), maka jadilah dia hamba yang dicintai Allah. Dengan demikian, keadaannya seperti orang yang diambil darinya satu dirham perak, lalu dia mendapatkan ribuan dinar emas sebagai gantinya. Tentu saat itu dia akan senang tiada tara atas balasan yang diberikan Allah kepadanya” (Jami’ul Masa’il, 1/169-170).
Intinya, Ingatlah bahwa dengan bersabar dan memaafkan orang lain, hati Anda akan sehat dan bersih dari penyakit hati. bahwa manfaat dan kelezatan yang ditimbulkan oleh sikap memaafkan, jauh lebih besar dan berlipat-lipat melebihi manfaat dan kepuasan yang ditimbulkan oleh sikap membalas dendam. biarlah orang lain mengambil satu dirham perak dari Anda, bila dengannya Allah berikan untuk Anda ribuan dinar emas.
Beliau melanjutkan,
“Hal kelima yang bisa membantu kita untuk bersabar menghadapi gangguan manusia adalah: dengan mengingat bahwa tidaklah seseorang memilih sikap balas dendam untuk dirinya, melainkan Allah tinggalkan padanya kehinaan yang dia rasakan pada dirinya. sebaliknya, apabila dia memaafkan, maka Allah ta’ala akan memuliakannya.
Inilah yang dikabarkan oleh Nabi –shollallohu alaihi wasallam-: “Tidaklah Allah menambahkan untuk seorang hamba karena sikap memaafkan, melainkan kemuliaan“. (HR. Muslim: 2588).
Maka, kemuliaan yang timbul dari sikap memaafkan itu lebih baik dan lebih bermanfaat baginya, melebihi kemuliaan yang timbul dari sikap membalas dendam. Karena balas dendam hanyalah kemuliaan yang tampak secara lahir, tapi ia meninggalkan kehinaan dalam batin. Adapun sikap memaafkan, mungkin manusia melihatnya kehinaan, namun sikap itulah yang sebenarnya memberikan kemuliaan lahir dan batin” (Jami’ul Masa’il, 1/170).
Intinya, ingatlah terus sabda Nabi –shollallohu alaihi wasallam-, bahwa Allah akan menambah kemuliaan seseorang dengan sikap memaafkan, dan kemuliaan ini mencakup kemuliaan lahir dan batin. Hal ini merupakan bantahan bagi anggapan sebagian orang, bahwa tindakan memaafkan adalah sikap lemah dan hina, sungguh ini anggapan yang salah karena jelas-jelas menyelisihi sabda Nabi –shollallohu alaihi wasallam-.
Beliau melanjutkan,
“Hal keenam yang bisa membantu kita untuk bersabar menghadapi gangguan manusia adalah: dengan meyakini bahwa “balasan itu sesuai dengan jenis amalan“, dan bahwa dirinya adalah seorang yang zalim dan banyak berdosa. bahwa orang yang memaafkan manusia; Allah akan memaafkan dosanya, dan orang yang mengampuni kesalahan manusia; Allah akan mengampuni kesalahannya.
Maka, apabila dia meyakini bahwa sikapnya memaafkan, melupakan kesalahan orang, dan berbuat baik kepada mereka yang mengganggunya, adalah sebab Allah melakukan hal yang sama terhadapnya, sehingga dengannya Allah akan memaafkannya, melupakan kesalahannya, dan memberikannya kebaikan walaupun dia banyak dosa. tentu dengan keyakinan seperti ini, dia akan mudah memaafkan dan bersabar atas gangguan orang terhadapnya. Dan sungguh ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi orang yang menggunakan akalnya” (Jami’ul Masa’il, 1/170).
Intinya, jika ingin dosa-dosa Anda diampuni Allah, serta mendapatkan banyak kebaikan dan nikmat Allah meski Anda banyak salah. lakukanlah hal yang sama kepada manusia, banyaklah memaafkan mereka dan berikan kebaikan kepada mereka, walaupun mereka banyak salah kepada Anda. karena “balasan itu sesuai dengan amalan yang Anda lakukan“.
Beliau melanjutkan,
“Hal ketujuh yang bisa membantu seseorang untuk bersabar menghadapi gangguan manusia: hendaklah dia tahu, bahwa bila dia menyibukkan dirinya dengan tindakan balas dendam dan menuntut haknya, maka waktunya akan banyak terbuang, hatinya akan terpecah (tidak konsen), dan akan banyak maslahat yang hilang darinya selamanya. Dan mungkin saja efek-efek yang ditimbulkan ini, malah jauh lebih besar dari musibah pertama yang datang kepadanya.
Nah, bila dia memaafkan dan melupakan; tentu hati dan jasmaninya akan bisa konsen untuk meraih banyak maslahat yang diinginkan, yang tentunya ini lebih penting baginya, daripada sekedar menuntut balas dendam” (Jami’ul Masa’il, 1/171).
Intinya, untuk apa balas dendam, jika hal itu malah akan menambah berat musibah yang kita rasakan. Cukuplah musibah yang ada, jangan menambahnya dengan musibah yang lebih besar lagi. Bersabarlah dan maafkan kesalahannya, sehingga Anda bisa fokus untuk meraih banyak kebaikan yang terbentang di depan Anda.
Beliau melanjutkan,
“Hal kedelapan yang bisa membantu seseorang untuk bersabar menghadapi gangguan orang lain adalah: mengingat bahwa sikap dia membalas dan melakukan pembelaan adalah untuk dirinya. padahal Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– tidak pernah sekalipun membalas dendam untuk dirinya.
Apabila makhluk terbaik dan paling mulia ini, tidak pernah menuntut balas dendam, padahal menyakitinya sama dengan menyakiti Allah dan ada hak-hak agama yang berkaitan dengannya. Bahkan beliau adalah orang yang paling mulia, paling suci, paling baik, serta paling jauh dari semua tindakan tercela, dan paling berhak dengan setiap akhlak yang indah. Namun demikian, beliau tidak pernah menuntut balas untuk dirinya.
Lalu bagaimana pantas seorang seperti kita menuntut balas dendam untuk dirinya, padahal dia tahu keadaannya dengan berbagai aib dan keburukannya. Orang yang tahu hakekat dirinya, tentu akan menyadari bahwa dirinya tidak pantas untuk balas dendam, dia akan merasa bahwa kedudukan dirinya tidak pantas untuk mendapatkan pembelaan” (Jami’ul Masa’il, 1/171).
Intinya, lihatlah Nabi –shollallohu alaihi wasallam-, beliau saja yang merupakan makhluk terbaik dan termulia, tidak pernah membela dirinya dengan balas dendam. apalagi diri kita yang banyak aib dan dosanya. Sabar dan maafkanlah, untuk mendapatkan kemuliaan yang lebih tinggi dan abadi.
Penulis: Ust. Dr. Musyaffa Ad Darini, Lc. MA.
Sumber: https://muslim.or.id/