Type Here to Get Search Results !

 


BAHAYA MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM

Mencela sesama kaum muslimin secara umum termasuk dalam perbuatan dosa besar. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Lebih dari itu adalah mencela sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir. Perbuatan ceroboh (penyakit) semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan manhaj yang benar. Padahal, banyak kita jumpai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan hal ini.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 60)

Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 61)

Hadits-hadits di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadits. Menuduh (memvonis) sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya agama Islam. 

Baca juga: Beda Salafi dengan takfiri

Oleh karena itu, terdapat beberapa penjelasan ulama berkaitan dengan hadits di atas. 

Penjelasan pertama, hadits di atas dimaknai bagi orang-orang yang meyakini halalnya perbuatan tersebut (adanya istihlal dari pelaku). Kalau seseorang meyakini (memiliki i’tiqad) bahwa perbuatan tersebut halal, inilah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir. 

Baca juga: Talbis Haroki

Kaidah dalam masalah ini adalah maksiat itu berubah menjadi kekufuran ketika pelakunya meyakini halalnya perbuatan maksiat tersebut. Kalau dia bermaksiat, namun dia merasa bersalah, maka itu statusnya tetap maksiat. 

Penjelasan ke dua, yang kembali kepada dirinya adalah maksiat berupa pelecehan kepada saudaranya dan dosa maksiat akibat memvonis kafir saudaranya. Artinya, yang kembali kepada si penuduh adalah “maksiat menuduh kafir”.

Penjelasan ke tiga, sebagian ulama memaknai hadits ini khusus untuk orang-orang khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Ini menurut pendapat ulama yang mengatakan bahwa sekte khawarij itu kafir. Akan tetapi, pendapat ini lemah karena pendapat yang tepat adalah bahwa kaum khawarij itu tidak kafir sebagaimana kelompok ahlul bid’ah yang lainnya, meskipun mereka hobi mengkafirkan saudara sesama muslim.

Penjelasan ke empat, maknanya adalah bahwa perbuatan itu akan mengantarkan kepada kekafiran. Hal ini karena maksiat adalah pos pengantar menuju kekafiran. Orang yang banyak dan terus-menerus berbuat maksiat dan tidak bertaubat, maka dikhawatirkan lama-lama akan berujung kepada kekafiran.

Penjelasan ke lima, yang kembali kepada dirinya sendiri adalah “vonis (tuduhan) kafir”, bukan maksudnya kalau dirinya menjadi benar-benar kafir. Hal ini karena ketika dia menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka seolah-olah dia sedang menuduh dirinya sendiri, karena muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh (satu badan). 

Demikianlah lima penjelasan ulama tentang maksud hadits bahwa siapa saja yang menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka tuduhan kafir itu akan kembali kepada si penuduh. 

Kesimpulan, perbuatan (suka) menuduh sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah perkara maksiat yang berbahaya. Seharusnya kita menjauhkan diri kita dari perbuatan semacam ini. 

***

Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 86-90.

Sumber: https://muslim.or.id/

BEGITU TEGANYA KAU KAFIRKAN SAUDARAMU MUSLIM..!!! 

Oleh Syaikh Kholid Al-Anbari Hafizhahullahu 

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, shahabat dan para pengikut beliau sampai hari kiamat nanti, amma ba’du. 

Majelis Kibrul Ulama Saudi Arabia setelah mempelajari dan memperhatikan kejadian-kejadian yang dialami oleh negara-negara Islam dan selainnya dari pengkafiran (sesama muslim), peledakan, dan tragedi berdarah serta perusakan fasilitas umum serta pembantaian massal orang-orang yang tidak bersalah, mereka menetapkan hal-hal berikut ini sebagai nasehat dan sekaligus menghilangkan kerancuan yang ada dalam masalah ini, hal-hal tersebut adalah: 

1. Pengkafiran adalah hukum syari’at yang merupakan hak prerogratif milik Allah dan RasulNya semata, sebagaimana penghalalan dan pengharaman, mewajibkan dan melarang, semuanya itu adalah hak Allah dan RasulNya. Tidaklah setiap perbuatan dan perkataan yang dikatakan kafir pelakunya pasti kafir keluar dari Islam. 

Jika kita telah mengetahui bahwa pengkafiran itu adalah hak Allah dan RasulNya, maka kita tidak boleh mengkafirkan seorangpun kecuali yang telah dikatakan kafir oleh Al-Qur’an dan Hadits dengan keterangan yang jelas. Tidak cukup hanya sekedar prasangka belaka, karena hal ini akibatnya sangat fatal/tragis dan berbahaya. Jika hudud (seperti hukum rajam dsb) tidak bisa diterapkan pada suatu kasus karena adanya kesamaran pada bukti-buktinya maka pengkafiran lebih utama untuk ditiadakan karena akibatnya lebih buruk. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan serta mengancam orang-orang yang megkafirkan orang muslim (tanpa ilmu), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. 

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ 

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (se agama) : Wahai kafir, maka pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya, jika dia benar dalam pengkafirannya (maka tidak mengapa), tapi jika tidak maka ucapan itu akan kembali kepadanya”[1] Dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat ucapan, perbuatan dan bahkan keyakinan yang dikatagorikan sebagai kufur, akan tetapi (pelakunya) tidak mesti di vonis kafir (keluar dari Islam), dikarenakan ada penghalang diterapkannya vonis tersebut. Hal ini sebagaimana dalam hukum-hukum yang lain, bahwa suatu hukum dikatakan sempurna (sah) dengan terpenuhi sebab-sebab dan syarat-syaratnya serta terhindar dari halangan-halangannya. Hukum waris misalnya, sebabnya adalah kekerabatan, bisa jadi orang itu tidak bisa menerima harta warisan karena adanya penghalang, seperti perbedaan agama, (antara yang meninggal dan ahli waris). Demikian pula dengan pengkafiran, mungkin dia melakukan kekafiran, tapi tidak bisa di vonis kafir karena dia melakukannya dengan terpaksa. Seorang muslim kadang mengucapkan kata-kata kekafiran (dengan tidak disadari) mungkin karena sangat gembira atau marah, maka dia itu tidak bisa di vonis kafir. Sebagaimana dalam kisah seorang yang pernah berucap. 

اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدُكَ وَأَنَا رَبُّكَ 

“Ya Allah engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu”, dia salah ucap karena sangat gembira”[2] 

Tergesa-gesa dalam pengkafiran mengakibatkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya, seperti penghalalan darah dan harta, menghalangi warisan, mengharuskan perceraian, dan lain sebagainya, maka bagaimana mungkin dibenarkan untuk seorang muslim megkafirkan saudaranya hanya dengan bukti samar-samar atau prasangka belaka. 

Apabila pengkafiran ini ditujukan kepada penguasa atau pemimpin kaum muslimin maka akibatnya lebih berbahaya lagi, karena akan mengakibatkan pemberontakan, pertumpahan darah, kekacauan dan kerusakan dimana-mana. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras adanya pemberontakan (terhadap penguasa muslim) beliau bersabda. 

إِلاَّ أَنْ تَرَوْاكُفْرًابَوَّاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللَّهِ بُرْهَانُ 

“Kecuali jika kalian melihat mereka dalam kekafiran yang nyata dan kalian memiliki keterangan dari Allah Ta’ala”[3] 

Kesimpulannya : Tergesa-gesa dalam pengkafiran sangat berbahaya sekali karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. 

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ 

“Katakanlah : Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukanNya dengan sesuatu yang Dia tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan mengharamkan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” [al-A’raf/7: 33] 

2. Pemikiran keji (takfir/pengkafiran) ini banyak sekali dampak negatifnya, seperti; penghalalalan darah, harta dan kehormatan seorang muslim, perusakan fasilitas umum, peledakan rumah-rumah penduduk dan sarana transportasi. Perbuatan ini dan semisalnya telah diharamkan oleh syari’at dan ijma’ kaum muslimin, karena hal tersebut merobek-robek kehormatan jiwa yang terpelihara dan merampas harta tanpa alasan yang benar, mengguncang stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat di negeri dan tempat tinggal mereka. 

Islam menjaga harta, kehormatan dan jiwa kaum muslimin serta melarang untuk dilanggar dan dilicehkan, bahkan Islam menekankan hal ini, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada akhir haji beliau. 

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضُكُمْ عَلَيْكُم حَرَامٌ كَحُرءمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي ثَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ ؟ اللَّهُمَّ فَاشْهَدْ 

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian itu suci/terjaga seperti sucinya hari, bulan dan negeri kalian ini” lalu beliau bersabda : “Apakah aku telah menyampaikan ? Ya Allah saksikanlah” [HR Bukhari dan Muslim] 

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan ancaman yang pedih. Allah berfirman. 

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا 

“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahanam, dia kekal didalamnya, Allah murka padanya, dan Allah akan melaknatnya dan baginya adzab yang sangat berat” [an-Nisa/4 : 93] 

Allah juga berfirman berkenaan dengan orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan dari kaum muslimin lalu dibunuh karena tidak sengaja. 

فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ ۖ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ 

“Dan jika (dia yang terbunuh) dari kaum kafir yang ada perjanjian damai antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat/denda yang diserahkan kepada keluarga (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin” [an-Nisa/4 : 92] 

Jika orang kafir yang memiliki jaminan keamanan dibunuh dengan tidak sengaja ada denda dan kafarohnya (tebusan), maka bagaimana jika dia dibunuh dengan sengaja? Maka hal itu lebih parah dan besar dosanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. 

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يُرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ 

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (ada perjanjian damai dengan kaum muslimin) maka dia tidak tidak akan mencium bau surga” [HR Bukhari : 3166] 

3. Sesungguhnya majelis (ulama) menjelaskan dan memperingatkan umat dari takfir/pengkafiran tanpa dasar dari Al-Qur’an dan Sunnah serta akibat buruk yang ditimbulkannya, karena hal tersebut banyak menimbulkan kejahatan dan dosa besar. Sekaligus mengumumkan kepada dunia bahwa Islam berlepas diri dari pemikiran dan keyakinan yang sesat ini. Adapun yang terjadi di beberapa negara berupa penumpahan darah jiwa yang tidak bersalah, peledakan rumah-rumah dan sarana transportasi serta fasilitas umum, maka ini adalah suatu perbuatan keji, Islam berlepas diri darinya, begitu pula setiap muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir berlepas diri darinya. 

Sesungguhnya perbuatan ini bersumber dari orang-orang yang berpikiran menyimpang dan beraqidah sesat, dia akan menanggung segala dosa dan noda. Tidak boleh perbuatan tersebut diatasnamakan kepada Islam, atau kaum muslimin yang berpegang erat dengan agamanya, berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Perbuatan tersebut murni perusakan serta kejahatan yang dibenci syariat dan fitrah yang sehat. Oleh karena itu banyak sekali nash-nash Al-Qur’an yang memperingatkan dari hal ini serta para pelakunya, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala 

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ﴿٢٠٤﴾وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ﴿٢٠٥﴾وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ 

“Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya : “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahanam. Dan sungguh neraka jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya” [al-Baqarah/2: 204-206][4] 

WASIAT EMAS PARA ULAMA UNTUK BERHATI-HATI DALAM MASALAH TAKFIR 

  1. Al-Ala bin Ziyad seorang tabi’in berkata : “Kamu menuduh kafir orang muslim atau kamu membunuhnya itu sama saja” 
  2. Abu Hamid Al-Ghazali berkata : “Yang paling penting untuk diwaspadai adalah masalah pengkafiran, karena menumpahkan darah serta merampas harta seorang muslim adalah suatu kesalahan besar. Kesalahan dalam membiarkan seribu orang kafir hidup lebih ringan daripada kesalahan dalam menumpahkan darah seorang muslim”. 
  3. Ibnu Abil Izzi berkata : “Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa pemikiran takfir sangat banyak fitnah dan bahayanya, dan menimbulkan perpecahan.. sesungguhnya kekejian yang besar adalah menuduh bahwa Allah tidak mengampuni dan merahmati orang muslim bahkan dia kekal di dalam neraka selama-lamanya, padahal ini adalah hukum bagi orang kafir setelah mati”. 
  4. Ibnu Abdil Bar berkata : “Al-Qur’an dan Sunnah melarang menuduh fasik dan kafir seorang muslim.., maka tidak boleh mengkafirkan seorangpun kecuali yang telah disepakati akan kekafirannya atau yang telah ada dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah akan hal ini”. 
  5. Imam Qurthubi berkata : “Pemikiran takfir itu sangat berbahaya sekali banyak manusia yang terjerumus ke dalamnya, hingga mereka jatuh berguguran. Adapun para ulama mereka berhati-hati sekali dalam masalah ini hingga mereka itu selamat, dan tidak ada yang sebanding dengan keselamatan dalam perkara ini”. 
  6. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Tidak boleh bagi seorangpun mengkafirkan seorang muslim – walaupun dia salah- hingga ditegakkan hujjah serta dijelaskan kepadanya dalil-dalil. Barangsiapa yang telah tetap keislamannya maka tidak akan luntur keislamannya itu dengan keragu-raguan bahkan tidak mungkin bisa sirna kecuali setelah tegaknya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat”. 
  7. Ibnu Nashir Ad-Dimasyq berkata : “Melaknat seorang muslim itu haram, lebih parah dari itu adalah menuduhnya kafir dan keluar dari Islam”. 
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “Wajib bagi setiap orang yang masih mencintai dirinya untuk tidak berbicara dalam masalah takfir ini kecuali dengan ilmu dan dalil dari Allah. Hendaklah dia berhati-hati dari mengeluarkan seorang muslim dari Islam hanya dengan prasangka ataupun aka semata, karena mengeluarkan seorang muslim dari agamanya termasuk perkara besar dalan ancaman ini dan setan telah banyak menggelincirkan mayoritas manusia dalam masalah ini. 

(Dinukil dari kitab Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzallahu hal. 29-33, Diterjemahkan Abu Abdirrahman Thayyib)  

_______ 

Footnote 

[1] HR Al-Bukhari : 6104 dan dalam riwayat lain Imam Muslim : 111 ‘Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya muslim… 

[2] HR Bukhari : 6308 dan Muslim “ 2724 

[3] Sabda beliau : “kecuali jika kamu melihat” mengisyaratkan bahwa tidak cukup hanya dengan prasangka belaka ataupun isu. Dan sabda beliau ; “melihat mereka di dalam kekafiran” mengisyaratkan tidaklah cukup kefasikan (seperti berbuat dholim, minum-minuman keras, berjudi dan mengikuti hawa nafsu). Adapaun sabda beliau ; “kekafiran yang nyata” menunjukkan bahwa itu tidak cukup hanya sekedar kekafiran yang masih belum jelas dan nampak. Sabda beliau : “kalian memiliki keterangan dari Allah Ta’ala” menunjukkan adanya keharusan berdalil dengan dalil yang jelas dan shahih, bukan yang lemah. Dan adapun sabda beliau : “keterangan dari Allah Ta’ala” maka ini menujukkan bahwa semua perkataan ulama dalam masalah ilmu tidak bisa dijadikan pedoman jika tidak didasari oleh dalil yang jelas dan shahih dari Al-Qur’an ataupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua hal ini menunjukkan akan bahayanya pengkafiran tanpa dalil dan bukti. 

[4] Dinukil dari bulletin “Bayaanu Haiatu Kibaaril Ulama Haula Khuthuuratil Tasarru Fit Takfir”, cet. Dep Agama Saudi Arabia (dengan sedikit perubahan dan ringkasan)

Sumber: https://almanhaj.or.id/

Tags