APAKAH AL ASY’ARIYYAH TERMASUK AHLU SUNNAH?
Pendahuluan:
Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Seperti yang sudah dimaklumi, sebenarnya madzhab Al Asy’ariyyah yang berkembang sekarang ini, hakikatnya adalah madzhab Al Kullabiyyah. Abul Hasan Al Asy’ari sendiri telah bertaubat dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu’tazilah. Tujuh sifat yang ditetapkan dalam madzhab Al Asy’ariyyah inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar’i, tetapi berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat bertentangan dengan prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Baca juga: Sesatnya Asy'ariyah menurut ulama besar dari berbagai madzhab
Sejarah Singkat Abul Hasan Al-Asy’ari
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Al Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H. Masa kecil dan mudanya dihabiskan di kota Bashrah. Kota yang kala itu sebagai pusat kaum Mu’tazilah. Dan tidak dapat dielakkan, pada masa pertumbuhannya, beliau terpengaruh dengan lingkungannya Beliau mendalami ilmu kalam dan pemikiran Mu’tazilah dari ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al Juba’i. Namun kemudian, beliau bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah ini. Allah menghendaki keselamatan bagi beliau, dan memperoleh petunjuk kepada madzhab Salaf dalam penetapan sifat-sifat Allah, dengan tanpa ta’wil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil[1]
Kisah taubatnya dari pemikiran Mu’tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: “Aku melepaskan keyakinan Mu’tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini dari tubuhku,” kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu’tazilah dan dari kaum Mu’tazilah.
Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun 571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut:
Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Uzrah bercerita, Abul Hasan Al Asy’ari adalah seorang yang bermadzhab Mu’tazilah. Dan memegang madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba, beliau muncul di masjid Jami’ kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum’at, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah (keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini.” Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.
Sebagai bukti kesungguhan Abul Hasan Al Asy’ari melepaskan diri dari pemikiran Mu’tazilah, yaitu beliau mulai bangkit membantah pemikiran Mu’tazilah dan mendebat mereka. Bahkan beliau menulis sampai tiga ratus buku untuk membantah Mu’tazilah. Namun dalam membantahnya, beliau menggunakan rasio dan prinsip-prinsip logika. Beliau mengikuti pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.[2]
Baca juga: Kaidah penting tentang asma wa sifat Allah
Abul Hasan Al-Asy’ari Secara Total Menjadi Pengikut Manhaj Salaf
Kemudian Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan taubatnya dari seluruh pemikiran Mu’tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.
Diantara beberapa buku yang ditulisnya, yaitu: Al Luma’, Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, Tafsir Al Mukhtazin, Al Fushul Fi Raddi ‘Alal Mulhidiin wa Kharijin ‘Alal Millah Ka Al Falasifah Wa Thabai’in wad Dahriyin wa Ahli Tasybih, Al Maqalaat Al Islamiyyin dan Al Ibanah. Semoga Allah merahmati beliau.
Pernyataan Abu Hasan Al-Asy’ari Dalam Kitabnya: Al-Ibanah Fi Ushulid Diyanah[3]
Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah: “Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah k dan Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atsar-atsar (riwayat-riwayat) yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan kami menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya, Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan memberantas bid’ah yang dilakukan kaum mubtadi’in, dan (memberantras) penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta (memberantas) keraguan yang ditebarkan orang yang ragu-ragu.”[4]
Demikian pernyataan Abul Hasan, bahwa ia kembali ke pangkuan manhaj Salaf.
Baca juga: Kaidah singkat Tauhid asma wa sifat
Ulama-ulama Syafi’iyah Menolak Dinisbatkan Kepada Asy’Ariyyah
Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy’ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.
Abul Hasan sendiri telah kembali ke pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya adalah seorang salafi, pengikut manhaj salaf dan madzhab imam ahli hadits. Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi’iyyah menolak dinisbatkan kepada madzhab Asy’ariyyah.
Berikut ini, mari kita simak penuturan Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat bagus, dalam edisi Indonesia berjudul Jama’ah-jama’ah Islam Ditimbang Menurut Al Qur’an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya tersebut, beliau membantah Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan istilah Al Asy’ariyyah, sekaligus menyatakan bila Al Asy’ariyyah bukan termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf. Beliau berkata:
Jika dikatakan: Yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy’ariyah.
Kami jawab: Tidak boleh menamakan Asy’ariyah dengan sebutan Ahlus Sunnah. Berdasarkan persaksian ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (pengikut Salafush Shalih), mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah
Imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan lainnya menyatakan, barangsiapa menyelami ilmu kalam, (maka ia) tidak termasuk Ahlus Sunnah, meskipun perkataannya bersesuaian dengan As Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima nash-nash syar’iyyah [5]. Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzhab Asy’ariyah adalah akal. Tokoh-tokoh Asya’riyah telah menegaskan hal itu. Mereka mendahulukan dalil aqli (logika) daripada dalil naqli (wahyu), apabila terjadi pertentangan antara keduanya. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka melalui bukunya yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql Wan Naql, beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilamana terjadi pertentangan antara dalil-dalil.[6]
Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah (menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: “Tidak diterima persaksian Ahli Ahwa’ (Ahli Bid’ah).” Ia menjelaskan: “Yang dimaksud Ahli Ahwa’ oleh Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk Ahli Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa’ wal bida’; baik ia seorang pengikut madzhab Asy’ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid’ahnya. Jika ia masih mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat.” [7]
Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi’i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil Mu’tazilah, Asy’ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah[8]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan kami mengimaninya tanpa tamtsil.”[9]
Abul Hasan Al Karji, salah seorang tokoh ulama Asy Syafi’iyyah berkata: “Para imam dan alim ulama Syafi’iyyah, dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy’ariyah. Mereka justeru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al Asy’ari. Menurut yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan mereka melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syaikh[10] terhadap Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi’i dari prinsip-prinsip Al Asy’ari, dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani. Dan buku itu ada padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua kitabnya, yakni Al Luma’ dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al Asy’ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab Asy Syafi’i), beliau membedakannya. Beliau berkata: “Ini adalah pendapat sebagian rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy’ariyah.” Beliau tidak memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi’i. Mereka menolak disamakan dengan Al Asy’ariyah. Dan dalam masalah fiqh, mereka menolak dinisbatkan kepada madzhab Al Asy’ariyah; terlebih lagi dalam masalah ushuluddin.”[11]
Pendapat yang benar adalah, Al Asy’ariyah termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy’ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy’ariyah. Diantaranya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? Dan kenapa mereka keluar? Hendaklah orang yang bijak memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.
Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail Aqa’idiyyah wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim ditanya: Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau menjawab dengan tegas: “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.”
Baca juga: Orang yang menolak sebagian asma wa shifat
_______
Footnote:
[1] ]. Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif (membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu menyimpangkan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
[2] Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3] Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata pengantar dari para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari). Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy’ariyyah.
[4] Al Ibanah, halaman 17.
[5] Silakan lihat Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, karangan Al Laalikaai (I/157-165).
[6] Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8] Ini semua adalah nama-nama aliran
[9] Ijtima’ Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10] Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11] At Tis’iniyyah, hlm. 238-239
Referensi: https://almanhaj.or.id/
Baca juga: Sifat kalam antara aqidah Ahlus-Sunnah, Jahmiyah, dan Asy'ariyah
SIAPAKAH ASY’ARIYYAH ITU? APAKAH MEREKA TERMASUK AHLUS SUNNAH?
Pertanyaan:
Siapakah mereka yang disebut Asy’ariyyah?, dan apakah mereka termasuk ahlus sunnah, dan apakah benar bahwa banyak di antara para ulama yang mengikuti metodologi asy’ariyyah, seperti imam Nawawi?
Jawaban:
Alhamdulillah Ashalatu wassalamu 'ala Rasulillah WA ' ala alihi WA sohbihi WA man walah
- Pertama: Asy’ariyyah adalah kelompok yang menisbahkan diri mereka kepada imam Abu Hasan Al Asy’ari –rahimahullah-, Abu Hasan al Asy’ari ini telah melewati beberapa fase (dalam kehidupannya). Pada tahap pertama beliau sebagai mu’tazilah sekitar selama 40 tahun, kemudian beliau kembali dan mengikuti pendapat Abdullah bin Sa’id bin Kullab dan terpengaruh olehnya, inilah fase kedua beliau. Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- termasuk orang yang paling keras (menentang) Abdullah bin Sa’id bin Kullab dan kepada pengikutnya seperti Harits dan yang lainnya, sebagaimana yang dikabarkan oleh Ibnu Khuzaimah akan hal itu”. (Siyar A’lam Nubala’: 14/380, Ibnu Taimiyah dalam Dar’ut Ta’arudh: 2/6)
Para ulama telah berbeda pendapat tentang kembalinya imam Asy’ari ini dari pendapat Ibnul Kullab pada fase ketiga dan sesuai dengan ahlus sunnah wal jama’ah secara keseluruhan atau tetap berada pada pendapat Ibnul Kullab ?
Sebagian orang berpendapat bahwa beliaunya telah kembali kepada konsep ahlus sunnah wal jama’ah, yang menyatakan demikian seperti Al Hafidz Ibnu Katsir, dan dari ulama kontemporer adalah Syeikh Hafidz Al Hukmi.
Mereka berdalil dengan pernyataan beliau dalam kitabnya Al Ibanah –yang merupakan kitab terakhir yang beliau tulis- bahwa beliau berkata:
“Ucapan yang menjadi pendapat kami dan agama yang menjadi agama kami adalah berpegang teguh dengan kitab Allah –Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Agung- dan dengan sunnah Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan yang telah diriwayatkan dari para tokoh, para sahabat, para tabi’in dan para imam hadits, kami berpegang teguh pada semua itu. Dan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Hambal –semoga Allah mencerahkan wajah beliau-, mengangkat derajatnya, dan melipat gandakan pahalanya. Dan ketika para penentangnya menyelisihi pendapat beliau; karena beliau adalah seorang imam yang utama, pimpinan yang sempurna, yang Allah jelaskan kebenaran kepadanya, mencegah kesesatan melalui dirinya, menjelaskan manhaj kepadanya, menekan para ahli bid’ah, mereka yang tergelicir, mereka yang ragu-ragu melalui dirinya. Semoga rahmat Allah tercurah kepadanya seorang imam yang terdepan, agung dan diagungkan, besar dan memahamkan”. (Al Ibanah: 20)
Hal ini merupakan bentuk keterusterangan dari beliau akan kembalinya beliau ke madzhab salaf yang diwakili oleh Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat dengan pendapat beliau, menyelisihi apa yang beliau selisihi, imam Ahmad secara personal sangat keras menentang Kullabiyah; oleh karenanya beliau menjauhi Harits al Muhasibi karena dia adalah seorang Kullabi.
Para ulama telah berbeda pendapat tentang kembalinya imam Asy’ari ini dari pendapat Ibnul Kullab pada fase ketiga dan sesuai dengan ahlus sunnah wal jama’ah secara keseluruhan atau tetap berada pada pendapat Ibnul Kullab ?
Sebagian orang berpendapat bahwa beliaunya telah kembali kepada konsep ahlus sunnah wal jama’ah, yang menyatakan demikian seperti Al Hafidz Ibnu Katsir, dan dari ulama kontemporer adalah Syeikh Hafidz Al Hukmi.
Mereka berdalil dengan pernyataan beliau dalam kitabnya Al Ibanah –yang merupakan kitab terakhir yang beliau tulis- bahwa beliau berkata:
“Ucapan yang menjadi pendapat kami dan agama yang menjadi agama kami adalah berpegang teguh dengan kitab Allah –Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Agung- dan dengan sunnah Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan yang telah diriwayatkan dari para tokoh, para sahabat, para tabi’in dan para imam hadits, kami berpegang teguh pada semua itu. Dan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Hambal –semoga Allah mencerahkan wajah beliau-, mengangkat derajatnya, dan melipat gandakan pahalanya. Dan ketika para penentangnya menyelisihi pendapat beliau; karena beliau adalah seorang imam yang utama, pimpinan yang sempurna, yang Allah jelaskan kebenaran kepadanya, mencegah kesesatan melalui dirinya, menjelaskan manhaj kepadanya, menekan para ahli bid’ah, mereka yang tergelicir, mereka yang ragu-ragu melalui dirinya. Semoga rahmat Allah tercurah kepadanya seorang imam yang terdepan, agung dan diagungkan, besar dan memahamkan”. (Al Ibanah: 20)
Hal ini merupakan bentuk keterusterangan dari beliau akan kembalinya beliau ke madzhab salaf yang diwakili oleh Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat dengan pendapat beliau, menyelisihi apa yang beliau selisihi, imam Ahmad secara personal sangat keras menentang Kullabiyah; oleh karenanya beliau menjauhi Harits al Muhasibi karena dia adalah seorang Kullabi.
Pendapat kedua:
Bahwa Imam Asy’ari belum kembali dari madzhab Kullabiyah secara keseluruhan, akan tetapi beliau mendekati ahlus sunnah wal jama’ah pada banyak permasalahan.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan yang lainnya. Meskipun imam Asy’ari dalam buku Al Ibanahnya telah banyak mendekati madzhab ahlus sunnah wal jama’ah, hanya saja masih ada sisa-sisa pendapat Kullabiyah beliau.
Ibnu Taimiyah berkata:
“Imam Asy’ari meskipun termasuk murid Mu’tazilah kemudian beliau bertaubat, beliau juga murid dari Al Juba’i, dan beliau cenderung pada madzhabnya Ibnu Kullab, beliau juga mengambil ilmu dari Zakaria as Saaji, ahli hadits di Bashrah, kemudian pada saat beliau mendatangi Bagdad, beliau juga berguru banyak hal kepada Hambaliyahnya Bagdad, inilah fase terakhir perjalanan beliau, sebagaimana yang telah beliau sampaikan sendiri dan para pengikutnya pada buku-buku mereka”. (Majmu’ Fatawa: 3/228)
Mayoritas Asya’irah pada generasi belakangan ini, mereka tidak berkomitmen kepada madzhab Abu Hasan Al Asy’ari, akan tetapi banyak di antara mereka banyak yang mencampur aduk dengan madzhab Jahmiyyah dan Mu’tazilah, bahkan madzhab para ahli filsafat juga. Mereka menyimpang dari Imam Asy’ari dalam banyak hal, mereka menafikan sifat istiwa’ bagi Allah, sifat tinggi, turun, tangan, mata, kaki dan kalam. Pada semua sifat itu mereka menyelisi pendapat imam Asy’ari sendiri.
- Kedua: Kalimat ahlus sunnah diperuntukkan sebagai sisi lain dari bid’ah, hal itu dimaksudkan: Murni ahlus sunnah; tidak termasuk di dalamnya kecuali orang yang berkomitmen kepada akidah yang benar dari generasi salaf dan ahli hadits. Dari sudut pandang ini Asy’ariyyah tidak masuk pada julukan tersebut, termasuk selain mereka yang mencampur kaidah ushul kalamnya dengan kaidah ushul bid’ah; dikarenakan mereka menyelisihi ahlus sunnah dalam banyak kaidah ushul dan permasalahan.
Asy’ariyyah belakangan ini mereka adalah Jabariyah dalam masalah takdir, Murji’ah dalam masalah keimanan, Mu’atthilah (meniadakan) sifat-sifat Allah, tidak menetapkannya kecuali hanya tujuh sifat; karena akal telah menunjukkan hal itu sebagaimana yang telah mereka klaimkan, menafikan istiwa’ (Allah) di atas ‘Arsy dan kemaha Tingginya Allah di atas makhluk-Nya, dan mereka mengatakan: “Dia (Allah) tidak berada di dalam alam semesta dan juga tidak di luarnya, tidak juga di atasnya, tidak juga di bawahnya dan lain sebagainya dari beberapa penyimpangan, maka bagaimana mungkin kami menamakannya sebagai “ahlus sunnah” ?!
Ibnu Taimiyah berkata:
“Kalimat ahlus sunnah dimaksudkan kepada orang yang menetapkan sahnya kekhalifahan tiga orang khalifah, maka semuanya masuk dalam kategori tersebut kecuali Rafidhah”.
Terkadang yang dimaksudkan adalah ahli hadits dan ahli sunnah yang murni, maka tidak masuk dalam kategori tersebut kecuali mereka yang menetapkan sifat-sifat Allah –Ta’ala-“. (Minhajus Sunnah: 2/221)
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Mu’tazilah termasuk ahlus sunnah, Asy’ariyyah, dan semua yang tidak termasuk kafir dari para ahli bid’ah, jika kami katakan ini sebagai sisi lain dari Rafidhah.
Akan tetapi jika kami ingin menjelaskan ahlus sunnah, maka kami katakan bahwa ahlus sunnah yang sebenarnya adalah para salafus shalih yang berkumpul dalam sunnah dan mengamalkannya, pada kondisi seperti ini maka Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan yang lainnya, mereka bukanlah termasuk di dalamnya dari sisi makna tersebut”. (Asy Syarhul Mumti’: 11/306)
- Ketiga: Tidak sah dinisbatkan kepada Asy’ariyyah kecuali mereka yang berkomitmen pada manhaj mereka dalam akidah, adapun mereka yang menyetujui pada beberapa masalah saja, maka mereka tidak dinisbatkan kepada mereka.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata pada saat beliau membicarakan kedua imam yang hafidz An Nawawi dan Ibnu Hajar:
“Dan apakah benar kita nisbahkan kedua imam tersebut dan yang serupa dengan keduanya kepada Asy’ariyyah ?, dan kami katakan: “Keduanya termasuk Asy’ariyyah ?”, jawabannya: “Tidak; karena Asy’ariyyah mereka mempunyai madzhab tersendiri, ia mempunyai ketentuan dalam hal Asma’ dan sifat, keimanan dan keadaan alam akhirat, alangkah baiknya apa yang telah ditulis oleh saudara kami Safari Hawali apa yang beliau ketahui dari madzhab mereka; karena kebanyakan masyarakat tidak memahami mereka, hanya saja mereka menyelisihi generasi salaf pada bab Asma’ was Sifat, akan tetapi mereka banyak perbedaan.
Jika seseorang berkata pada masalah sifat yang sesuai dengan madzhab mereka, maka kami tidak mengatakan: “Dia adalah seorang asy’ariyyah”, bagaimanakah pendapat anda jika seseorang dari pengikut madzhab Hambali memilih pendapat Syafi’iyyah, maka apakah kita mengatakan dia adalah seorang pengikut madzhab Syafi’i ?”. (Syarh ‘Arba’in Nawawiyah: 290)
Beliau juga berkata:
“Kedua orang (alim) tersebut saya tidak mengetahui saat ini bahwa ada seseorang telah memberikan sumbangsih kepada Islam pada masalah hadits Rasul seperti yang mereka telah lakukan. Yang menunjukkan hal itu bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- dengan daya dan kekuatan-Nya –saya tidak bersumpah (tidak bisa memastikan)- telah menerimanya, buku-buku karya mereka berdua banyak diterima oleh banyak orang, bagi para penuntut ilmu bahkan bagi kalangan awam, sekarang misalnya kitab Riyadhus Shalihin terus dibaca pada setiap majelis, dibaca pada setiap masjid, banyak orang yang mengambil manfaat, saya bercita-cita bahwa Allah menjadikan buku saya seperti buku tersebut, semua orang banyak mengambil manfaat dari buku tersebut baik di rumahnya atau di masjidnya”. (Liqa’ Bab Maftuh: 43)
Wallahu A’lam.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata pada saat beliau membicarakan kedua imam yang hafidz An Nawawi dan Ibnu Hajar:
“Dan apakah benar kita nisbahkan kedua imam tersebut dan yang serupa dengan keduanya kepada Asy’ariyyah ?, dan kami katakan: “Keduanya termasuk Asy’ariyyah ?”, jawabannya: “Tidak; karena Asy’ariyyah mereka mempunyai madzhab tersendiri, ia mempunyai ketentuan dalam hal Asma’ dan sifat, keimanan dan keadaan alam akhirat, alangkah baiknya apa yang telah ditulis oleh saudara kami Safari Hawali apa yang beliau ketahui dari madzhab mereka; karena kebanyakan masyarakat tidak memahami mereka, hanya saja mereka menyelisihi generasi salaf pada bab Asma’ was Sifat, akan tetapi mereka banyak perbedaan.
Jika seseorang berkata pada masalah sifat yang sesuai dengan madzhab mereka, maka kami tidak mengatakan: “Dia adalah seorang asy’ariyyah”, bagaimanakah pendapat anda jika seseorang dari pengikut madzhab Hambali memilih pendapat Syafi’iyyah, maka apakah kita mengatakan dia adalah seorang pengikut madzhab Syafi’i ?”. (Syarh ‘Arba’in Nawawiyah: 290)
Beliau juga berkata:
“Kedua orang (alim) tersebut saya tidak mengetahui saat ini bahwa ada seseorang telah memberikan sumbangsih kepada Islam pada masalah hadits Rasul seperti yang mereka telah lakukan. Yang menunjukkan hal itu bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- dengan daya dan kekuatan-Nya –saya tidak bersumpah (tidak bisa memastikan)- telah menerimanya, buku-buku karya mereka berdua banyak diterima oleh banyak orang, bagi para penuntut ilmu bahkan bagi kalangan awam, sekarang misalnya kitab Riyadhus Shalihin terus dibaca pada setiap majelis, dibaca pada setiap masjid, banyak orang yang mengambil manfaat, saya bercita-cita bahwa Allah menjadikan buku saya seperti buku tersebut, semua orang banyak mengambil manfaat dari buku tersebut baik di rumahnya atau di masjidnya”. (Liqa’ Bab Maftuh: 43)
Wallahu A’lam.
Referensi: https://almanhaj.or.id/