Kalam Allah adalah salah satu sifat Allah, kita beriman dengan sifat tersebut, menetapkan dan meyakininya. Namun, kita tidak memvisualisasikannya (tanpa takyif), dan tidak pula menyamakannya dengan sifat makhluk (tanpa tasybih).
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. An-Nisa’ [4] : 163-164)
Allah Ta’ala berfirman
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (secara langsung) kepadanya.” (QS. Al-A’raf [7]: 143)
Adapun “kalam” dari sisi bahasa, tidaklah terjadi kecuali dengan huruf dan suara. Adapun orang yang (maaf) bisu, tidak bisa disifati sebagai “bisa berbicara”, meskipun dia bisa saja berbicara dalam hatinya.
Ketika Allah Ta’ala menetapkan sifat kalam untuk diri-Nya, maka hal ini menunjukkan bahwa kalam tersebut adalah dengan huruf dan suara. Hal ini karena Allah Ta’ala telahmenjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.
Allah Ta’ala berfirman,
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
"Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara: 195)
Oleh karena itu, Allah Ta’ala membedakan (mengistimewakan) Nabi Musa ‘alaihis salaam di antara nabi-nabi yang lain, bahwa Nabi Musa langsung diajak berbicara secara langsung oleh Allah Ta’ala, sementara sebagian nabi-nabi yang lain adalah dengan wahyu tanpa adanya pembicaraan langsung. Sehingga Nabi Musa memiliki gelar sebagai Kaliimullah (yang diajak berbicara dengan Allah secara langsung).
Abu Nashr As-Sijzi rahimahullah (wafat tahun 444 H) berkata,.
وقالت العرب : الكلام: اسم وفعل وحرف جاء لمعنى فالاسم مثل: زيد، وعمرو، وحامد، والفعل مثل: جاء، وذهب، وقام، وقعد، والحرف الذي يجيء لمعنى مثل: هل، و بل، وما شاكل ذلك. فالإجماع منعقد بين العقلاء على كون الكلام حرفاً وصوتاً
“Orang Arab berkata, “Kalam terdiri dari isim, fi’il dan huruf yang memiliki makna tertentu. Contoh isim adalah Zaid, ‘Amr, dan Hamid. (Contoh) fi’il adalah: datang, pergi, berdiri, dan duduk. (Contoh) huruf yang memiliki makna adalah هل (apakah), بل (bahkan), dan sejenisnya.” Ijma’ (kesepakatan) telah berlaku di antara orang yang berakal bahwa kalam itu dengan huruf dan suara.” (Risaalah As-Sijzi ila Ahli Zabid fi Ar-Radd ‘ala Man Ankara Al-Harf wa Ash-Shawt, hal. 81)
Salah seorang ulama ahlus sunnah, Abul Qasim At-Taimi Al-Ashbahani rahimahullah berkata,
وقد أجمع أهل العربية أن ماعدا الحروف والأصوات ليس بكلام حقيقة
“Bangsa Arab bersepakat bahwa selain huruf dan suara bukanlah kalam (berbicara) secara hakiki.” (Al-Hujjahfii Bayaan Al-Mahajjah 1/399)
Sehingga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Al-Qur’an (kalamullah) terdiri dari huruf-huruf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Siapa saja yang membaca satu huruf dari Al–Qur’an, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan semisalnya. Dan aku tidak mengatakan الم itu satu huruf. Akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi no. 2910, hadits shahih)
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 6)
Sebagaimana kita ketahui, orang yang mendengar, tentunya dia mendengar huruf dan suara.
Kemudian dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Allah memanggil hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya), “Datangilah kaum yang zalim itu.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 10)
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Sudah sampaikah kepadamu (wahai Muhammad) (tentang) kisah Musa. Ketika Tuhannya memanggilnya di lembah suci, yaitu lembah Thuwa.” (QS. An-Naazi’at [79]: 15-16)
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dan ingatlah hari pada waktu Allah menyeru mereka, seraya berkata, “Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?” (QS. Al-Qashash [28]: 62)
Abu Nashr As-Sijzi rahimahullah berkata,
والنداء عند العرب صوت لاغير، ولم يرد عن الله تعالى ولا عن رسوله صلى الله عليه و سلم أنه من غير صوت
“Nida’ (panggilan) menurut orang Arab adalah dengan suara, tidak yang lainnya. Tidak terdapat penjelasan dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya bahwa panggilan itu bukan dengan suara.” (Risaalah As-Sijzi ila Ahli Zabid fi Ar-Radd ‘ala Man Ankara Al-Harf wa Ash-Shawt, hal. 166)
Ibnul Mandzur rahimahullah (salah seorang ulama pakar bahasa Arab) berkata,
النداء : الصوت
“An-nida’ (panggilan) adalah (dengan) suara.” (Lisaanul ‘Arab)
Allah Ta’ala pun mensifati suara-Nya dengan suara yang meninggi dan suara yang berbisik. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَادَيْنَاهُ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَاهُ نَجِيًّا
“Dan kami Telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” (QS. Maryam [19]: 52)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
فالمناداة بصوت مرتفع، والمناجاة بصوت منخفض، وكل ذلك وصف الله به نفسه
“’Memanggil’ adalah dengan suara yang meninggi. Sedangkan ‘munajat’ adalah dengan suara yang lirih. Semua ini telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya sendiri.” (Syarh Al-‘Aqidah As-Safariyaniyyah, hal. 172-173)
___
Catatan kaki:
[1] Pembahasan ini disarikan dari kitab (dengan sedikit penambahan): Al-Asyaa’iroh fil Mizaani Ahlis Sunnah karya Syaikh Faishal bin Qazar Al-Jaasim (seorang ulama ahlus sunnah dari negeri Kuwait), penerbit Al-Mabarrat Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an was Sunnah Kuwait cetakan ke dua tahun 1431, hal. 508-510.
Dalil-Dalil dari As-Sunnah tentang Penetapan Sifat Kalam
Demikian pula, terdapat banyak hadits yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berbicara dengan bahasa apa saja yang Allah kehendaki dan kapan saja Allah kehendaki.
Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَسَيُكَلِّمُهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ، لَيْسَ بَيْنَ اللَّهِ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ
“Tidaklah salah seorang di antara kalian kecuali akan diajak berbicara oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat. Tidak ada penerjemah di antara Allah dan kalian” (HR. Bukhari no. 6539, 7512 dan Muslim no. 1016).
Berkaitan dengan hadits ini, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata dalam kitab Ushuulus Sunnah yang berisi pokok-pokok aqidah ahlus sunnah,
وَأَن الله تَعَالَى يكلمهُ الْعباد يَوْم الْقِيَامَة لَيْسَ بَينهم وَبَينه ترجمان والتصديق بِهِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan berbicara dengan hamba-hambaNya pada hari kiamat, tidak ada penerjemah di antara Allah Ta’ala dan hamba-Nya. Wajib untuk beriman dan membenarkannya.”
Dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ اللَّهُ: يَا آدَمُ، فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، فَيُنَادَى بِصَوْتٍ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تُخْرِجَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ بَعْثًا إِلَى النَّارِ
“Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Adam.’ Nabi Adam ‘alaihis salam menjawab, ‘Aku penuhi panggilan-Mu.’ Kemudian Adam dipanggil dengan suatu suara, ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruhmu untuk mengeluarkan utusan-utusan dari anak cucumu ke neraka'” (HR. Bukhari no. 7483).
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan hadits tersebut di kitab Shahih-nya, dalam bab:
باب قول الله تعلى : وَلَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Bab firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu. Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata, ‘Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?’ Mereka menjawab, ‘(Perkataan) yang benar.’ Dan Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar’” (QS. Saba’ [34]: 23).
Imam Bukhari rahimahullah kemudian berkata,
ولم يقل : ماذا خلق ربكم
“Dan (Allah) tidak mengatakan, ‘Apa yang diciptakan oleh Rabb kalian’” (Shahih Al-Bukhari, 9/141).
Perkataan beliau ini menunjukkan dalamnya pemahaman dan aqidah beliau yang menunjukkan bahwa kalam Allah adalah sifat Allah, dan bukan makhluk Allah.
‘Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ – أَوْ قَالَ: الْعِبَادُ – عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا ” قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: ” لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ، ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مِنْ [بُعْدٍ كَمَا يَسْمَعُهُ مِنْ] قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ، وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ، حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ، وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ، حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، حَتَّى اللَّطْمَةُ ” قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟ قَالَ: ” بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ
“Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat -atau bersabda dengan redaksi ‘hamba’- dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan dan dalam keadaan ‘buhman’. Kami bertanya, ‘Apakah buhman itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak memakai pakaian sehelai benang pun.’ Kemudian ada suara yang memanggil mereka, yang didengar oleh orang-orang yang jauh sebagaimana didengar oleh orang-orang yang dekat, ‘Aku adalah sang Raja, Aku adalah Dayyan (Pemberi balasan). Tidaklah patut bagi seorang penduduk neraka untuk masuk neraka, sedangkan dia mempunyai hak atas seorang dari penduduk surga sampai Aku memberikan haknya. Juga tidaklah patut seseorang dari penduduk surga untuk masuk surga, sedangkan seseorang dari penduduk neraka mempunyai hak atas dirinya sampai Aku memberikan haknya, meskipun satu tamparan sekalipun.’”
(Jabir bin ‘Abdullah) bertanya, “Bagaimana ini?’ Kami mendatangi Allah ‘Azza wa Jalla dalam keadaan telanjang dan tidak berkhitan, dan tidak memakai sehelai benang pun?”
Beliau bersabda, “Kalian datang dengan kebaikan dan keburukan” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 16042. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Tambahan lafal hadits dalam kurung siku berasal dari pen-tahqiq Musnad Imam Ahmad (Syaikh Syu’aib Al-Arnauth) setelah mengumpulkan berbagai kitab hadits lainnya yang juga meriwayatkan hadits ini.
‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ بِالْوَحْيِ، سَمِعَ أَهْلُ السَّمَاءِ لِلسَّمَاءِ صَلْصَلَةً كَجَرِّ السِّلْسِلَةِ عَلَى الصَّفَا، فَيُصْعَقُونَ، فَلَا يَزَالُونَ كَذَلِكَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ جِبْرِيلُ، حَتَّى إِذَا جَاءَهُمْ جِبْرِيلُ فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالَ: فَيَقُولُونَ: يَا جِبْرِيلُ مَاذَا قَالَ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ: الْحَقَّ، فَيَقُولُونَ: الْحَقَّ، الْحَقَّ
“Jika Allah berbicara (menyampaikan) wahyu, maka penduduk langit mendengar (suara) gemerincing seperti gesekan rantai di atas batu licin, hingga mereka pun pingsan. Dan mereka pun terus-menerus dalam kondisi seperti itu hingga datanglah Jibril. Ketika Jibril datang, mereka pun sadar.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu mereka berkata, wahai Jibril, apa yang disampaikan oleh Rabbmu?” Jibril menjawab, “Kebenaran.” Mereka pun berkata, “Kebenaran, kebenaran” (HR. Abu Dawud no. 4738, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits-hadits di atas semuanya menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berbicara dengan suara yang didengar oleh makhluk-Nya, sehingga tidaklah meninggalkan keraguan sedikit pun bagi para pencari kebenaran. Juga menunjukkan bahwa kalam Allah itu bukan makhluk. Hadits-hadits yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, namun kami cukupkan dengan menyebutkan beberapa hadits di atas saja.
Bersambung ke: Sifat kalam antara aqidah Ahlus-Sunnah, Jahmiyah, dan Asy'ariyah #2
***
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D
____.
Catatan kaki:
[1] Pembahasan ini disarikan dari kitab (dengan sedikit penambahan): Al-Asyaa’iroh fil Mizaani Ahlis Sunnah karya Syaikh Faishal bin Qazar Al-Jaasim (seorang ulama ahlus sunnah dari negeri Kuwait), penerbit Al-Mabarrat Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an was Sunnah Kuwait cetakan ke dua tahun 1431, hal. 510-512.