SEKILAS TENTANG AJARAN SUFI YANG DIADOPSI DARI LUAR ISLAM
Pengertian Sufi
Menurut pengakuan dari banyak peneliti baik dari kalangan Sufi maupun non Sufi, sepakat berpendapat bahwa kata Sufi belum ada kata sepakat tentang asal kata dari kalimat tersebut. Bahkan sebahagian tokoh-tokoh Sufi ada yang berpendapat bahwa definisi tasawuf hampir mendekati 2000 pendapat[1]. Penyebab utama dari banyaknya perbedaan tentang hakikat Sufi kembali kepada sekte dan fase-fase yang terdapat dalam pemikiran Sufi itu sendiri.
Definisi yang lebih dekat dan populer adalah bahwa asal kata Sufi dinisbakan kepada pakaian yang sering dipakai oleh orang-orang Sufi pada awal kemunculan mereka di kota Bashrah[2].
Kebiasaan orang-orang Sufi dahulu adalah memakai baju yang terbuat dari bulu domba yang tebal yang belum dihaluskan. Bulu domba dalam bahasa Arab disebut shuf, maka dari kalimat ini lahir istilah shufi atau shufiyah.
Sebagaian orang-orang Sufi berpendapat bahwa penamaan Sufi diambil dari istilah Ahlu Suffah, akan tetapi hal tersebut jauh dari segi bahasa dan fakta kehidupan ahli Suffah. Para Ahli Suffah tidak pernah berkeyakinan dan beribadah ala orang-orang Sufi.
Para Ahli Suffah tinggal di masjid untuk sementara waktu saja, sampai mereka memiliki tempat tinggal. Mereka juga orang-orang yang suka bekerja keras dan mencintai ilmu. Berbeda dengan orang Sufi yang berdiam diri di masjid karena malas bekerja dan berdalil itu sebagai bentuk tawakal. Pada hal tawakal bukanlah meninggal berusaha. Kemudian penggunaan istilah Sufi untuk orang-orang yang zuhud atau ahli ibadah tidak pernah dikenal pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun dikalangan para shahabat Radhiyallahu anhum.
Sejarah Awal Munculnya Sufi
Sebagaimana banyak perbedaan pendapat tentang makna Sufi demikian pula halnya tentang waktu kapan awal mula munculnya Sufi.[3]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa Sufi pertama sekali muncul di Bashrah dan yang pertama sekali memiliki pedepokan Sufi adalah teman-teman dari Abdul Wâhid bin Zaid. Waktu itu di Bashrah muncul suatu komunitas yang berlebih-lebihan dalam masalah zuhud, ibadah, takut pada Allâh Azza wa Jalla dan semisalnya.[4]
Diantara Ulama ada yang menyebutkan tentang sebab yang mendukung lahirnya Sufi di Bashrah adalah dikarenakan wilayah Bashrah sangat berdekatan dengan wilayah kebudayaan Persi dan kebudayaan Yunani. Jika kita teliti tentang ajaran Sufi maka prediksi ini tidak jauh dari kebenaran, karena kebanyakan kemiripan ajaran Sufi dengan ajaran kedua kebudayaan tersebut.
Orang yang pertama sekali dikenal dengan sebutan Sufi adalah Abu Hâsyim as-Sufi meninggal pada tahun 150 H. Kemudian secara berangsur-angsur Sufi mulai berkembang keberbagai daerah-darah Islam pada sekita akhir abad ke tiga hijriyah.
Beberapa Ajaran Sufi Yang Diadopsi dari Luar Islam
Sufi memiliki banyak sekte, kemudian masing-masing memilki tahapan atau tingkatan dalam ajaran mereka. Oleh sebab itu, bisa dimengerti jika ada sebagian Sufi merasa keberatan bila disebut ajaran mereka bersumber dari luar Islam. Namun, bila mereka telah sampai pada tahapan atau tingkat senior (tingkat hakikat) dalam ajaran Sufi, mereka akan terjebak dengan ajaran-ajaran tersebut. Topik bahasan kita dalam tulisan ini adalah pada tingkat senior dari kalangan Sufi. Atau Sufi yang ekstrim dalam melakukan berbagai macam bentuk bid’ah dalam agama, baik yang berhubungan dengan keyakinan maupun ibadah dan akhlak. Setelah diteliti ternyata kebanyakan dari ajaran tersebut teradopsi dari ajaran luar Islam, diantara mereka ada yang menyadarinya dan kebanyakan dari mereka belum mengetahuinya.
Berikut ini kita sebutkan beberapa ajaran di luar Islam yang teradopsi kedalam ajaran Sufi:
Ajaran Yahudi
Ada beberapa ajaran Sufi yang di adopsi dari ajaran Yahudi dianataranya dalam metode dan gaya berzikir yang dilagukan serta diiringi oleh berbagai alat musik. Seperti rebana, gambus, kecapi, guitar, seruling, gendang. Dan lain-lain. Sebagaimana yang dianjurkan dalam kitab “Perjanjian Lama” milik kaum Yahudi, “Biarkan orang-orang zionis bergembira dengan kekuasan mereka. Hendaklah mereka memuji-Nya dengan bergoyang dan memukul rebana …Haliluyaa… pujilah Tuhan dalam kesuciannya. Pujilah Dia dengan gambus dan kecapi. Pujilah Dia dengan memukul rebana dan bergoyang. Pujilah Dia dengan gitar dan seruling. Pujilah Dia dengan berbagai warna sorak-sorai“[5].
Disebutkan pula diantara sebab muasal penamaan pengikut nabi Musa Alaihissallam dari orang-orang Bani Israil dinamakan Yahudi adalah karena kebiasaan mereka ketika membaca Taurat mengangguk-anggukkan kepala. Hal ini dapat kita saksikan sendiri bagaimana orang-orang Yahudi ketika beribadah di depan Dinding Ratapan (tempat ibadah mereka) yang terdapat di masjid Aqsha.
Abu Bakar Tharthûsy mengatakan, “Bergoyang dalam berzikir dan berusaha agar pingsan, yang pertama sekali melakukannya adalah pengikut Samiri ketika mengajak mereka untuk menyembah ‘Ijil (anak sapi). Mereka bergoyang-goyang disekelilingnya dan pura-pura pingsan. Maka ia adalah agama para penyembah ‘Ijil. Barangsiapa menyerupai mereka berarti mereka termasuk golongan mereka”[6]
Apa yang disebutkan oleh Abu Bakar Tharthûsy benar-benar di kisahkan dalam kitab suci orang Yahudi pada lembaran Khuruj ayat 32[7]
Dalam ajaran sufi ada berbagai acara yang mereka anggap ibadah yang pelaksanaannya sama persis dengan cara beribadah orang-orang Yahudi yang kita sebutkan di atas. Ada acara yang disebut dengan zikir jamâ‘i, dubaan, rajaban, manaqiban, salawatan dan maulidan. Dalam acara-cara tersebut akan kita dapati alat-alat pujian yang digunakan orang-orang Yahudi dalam ibadah mereka. Seperti gambus, rebana, kadang-kadang dilengkapi dengan guitar dan seruling sambil berteriak-teriak dalam mengucapkan kalimat-kalimat pujian kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian hampir semua para Sufi kita dapatkan ketika berzikir, kepalanya digoyang kekanan dan kekiri. Bahkan ada yang benar-benar bergoyang sambil berdiri seperti dalam acara-acara sepesial mereka. Perbuatan tersebut mereka anggap sebagai ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla.
Acara-acara tersebut biasanya dilaksanakan malam hari dimulai dari jam 21.00 atau jam 22.00 sampai larut malam. Sebelum acara dimulai, biasanya semenjak sore sudah diputar melalui alat pengeras suara kaset nyanyi-nyanyian mulai dari kasidah, pop dan dangdut, bahkan kadang-kala jaipongan. Pelaksanaannya kadang-kadang di masjid atau di rumah salah seorang jam’ah Sufi. Mereka tidak perduli dengan orang-orang sekitar yang mau istirahat malam atau mungkin ada yang sakit. Kadang-kadang musik diputar saat orang-orang sedang melaksanakan shalat Maghrib dan Isa. Apa yang penulis sebutkan disini bukanlah mengada-ngada, akan tetapi sesuatu yang penulis saksikan dengan dua mata kepala, dan terdengar dengan dua telinga. Sebagai saksi dari apa yang penulis sebutkan disini adalah para mahasiswa kami yang selalu terganggu untuk belajar dan menulis tugas-tugas mereka.
Ajaran tasawuf seperti yang kita sebutkan diatas tidak hanya terdapat di masa sekarang saja akan tetapi sudah berjalan lama ditengah-tengah umat ini. Salah seorang Ulama telah mengupas permasalahan ini dalam sebuah karyanya dan menjelaskan tentang berbagai sisi kemungkaran dan kebatilan yang terdapat dalam ajaran Sufi tersebut. Dan Alhamdulillah penulis sendiri yang meneliti manuskrip kitab tersebut. Judul kitab tersebut adalah Annahyu ‘Anirraqshi was Samâ‘ karya al Imam al Hafizh Abu Muhammad Ad Dasyty wafat tahun 665H. Kitab tersebut dicetak dalam dua jilid oleh percetakan Wakaf Salam Riyadh-Saudi Arabia.
Kalau kita ambil dari tahun kehidupan Imam ad Dasyty berarti ajaran Sufi seperti yang kita sebutkan di atas sudah berjalan sejak sekitar delapan abad yang lalu. Namun, bila kita membaca kitab Imam ad Dasyty tersebut, justru para Ulama sebelumnya sudah banyak mengingkarti perbuatan tersebut. Bahkan sudah ada pada masa Imam Syâfi’i rahimahullah, karena imam ad Dasyty dalam kitabnya tersebut menyebutkan kecaman Imam Syâfi’i rahimahullah dan ulama-ulama lain terhadap komunitas Sufi yang ada pada masa mereka. Kala itu komunitas Sufi hanya melakukan dzikir atau membaca syair-syair zuhud dengan suara-suara yang sendukan. Imam Syâfi’i rahimahullah menyebut mereka sebagai orang Zindiq. Bagaimana jika seandainya Imam Syâfi’i rahimahullah dan para ulama tersebut menyasikan acara-acara komunitas Sufi yang kita sekarang ini?
Ketika Imam Syâfi’i menyebut tentang hukum at-Taghbîr, “Itu adalah rekayasa orang-orang Zindiq untuk melalaikan manusia dari al-Qur’ân”[8]
Dalam salah satu ungkapan, beliau rahimahullah berkata, “Aku meninggalkan sesuatu di Baghdad yang disebut dengan Taghbîr. Hasil rekayasa orang-orang Zindiq, agar bisa menjauhkan manusia dari al-Qur’ân”[9]
Ibnu Khaldun rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya al Muqaddimah [10], “Taghbîr adalah berdendang, jika dengan syair-syair disebut nyanyi, dan apabila dengan tahlilan disebut Taghbîr“.
Demikian pula Imam Azhari menjelaskan dalam kitabnya Tahdzîbullughah [11], “Bila mendengar zikir dan do’a yang dilagukan mereka itu bergoyang, maka dari sini mereka dinamakan kaum Mughabbirah“.
Dalam masyarakat Sufi mendengar lantunan syair-syair yang diiringi dengan gendang dan rebana serta alat musik lainnya lebih meresab dalam hati mereka dari pada mendengarkan al-Qur’ân. Dan yang lebih mengherankan adalah biasanya acara-acara tersebut lebih ramai dari pada shalat berjamâ’ah di masjid. Jadi mereka kalau berzikir, salawatan ,dubaan dan rajaban berjama’ah akan tetapi shalatnya sendiri-sendiri, bahkan banyak diantara mereka yang melalaikan shalat. Apalagi kalau acara-acara tersebut pelaksanaannya sampai larut malam maka saat waktu shalat subuh masuk mereka ngantuk dan tidur nyenyak, lalu shalat Shubuhnya lewat. Na’ûzubillâh min dzalik.
Berikut kita sebutkan perkataan para Ulama tentang Tahgbîr:
Yazîd bin Hârun rahimahullah mengatakan, “Tahgbîr adalah bid’ah dholalah, tiada yang melakukannya kecuali orang fasiq.”[12]
Salah seorang Ulama Syâfi’iyah Abu Thayib ath-Thobarit mengatakan, “Sesungguhnya apa yang diyakini oleh kelompok ini (Sufi) adalah menyelisihi ijmâ‘ (kesepakatan) kaum Muslimin. Karena tidak ada diantara mereka yang menjadikan hal itu sebagai agama dan keta’atan. Menurut pandanganku hal tidak boleh dilakukan di masjid-masjid dan dijâmi’-jâmi’, karena tempat-temapt tersebut adalah tempat yang dimuliakan dan dihormati. Perbuatan kelompok ini adalah meneylisihi ijmâ‘ para Ulama”[13]
Berkata Imam Abu Bakar Tharthûsyi rahimahullah, “Kelompok ini (Sufi) telah menyelisihi jamâ’ah kaum Muslimin. Karena menjadikan nyanyi-nyanyian sebagai agama dan keta’atan. Dan mereka melakukannya di masjid-masjid dan tempat-tempat yang terhormat lainnya. Tidak ada seorangpun dari kalangan umat ini yang berpendapat membolehkannya.[14]”
Kalau kita lihat ajaran Islam, maka kita dapati bahwa Islam itu berseberangan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Sufi tersebut. Berikut ini kita coba kemukan bebrapa dalil dari al-Qur’ân dan Sunnah serta perkataan para Ulama mengenai metode dan gaya ibadah orang-orang sufi yang tersebut di atas. Firman Allâh Azza wa Jalla:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan pengaruhilah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu. [al-Isrâ/17:64]
Ayat di atas adalah sanggahan Allâh Azza wa Jalla kepada Iblis yang enggan sujud, lalu Iblis meminta diberi tangguh sampai hari kiamat, maka Allâh Azza wa Jalla memberi tangguh kepadanya dan mempersilakannya memperdaya anak Adam dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan suaranya. Menurut Imam Mujâhid salah seorang pakar tafsir dimasa Tâbi’iin mengatakan: bahwa yang dimaksud dengan suaramu dalam ayat di atas ialah, “Nayanyi-nyanyian dan seruling”[15]
Dan firman Allâh Azza wa Jalla:
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ اِلَّا مُكَاۤءً وَّتَصْدِيَةًۗ
Sembahyang mereka di sekitar Baitullâh itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.. [al-Anfâl/8:35]
Ayat tersebut celaan bagi kaum musyrikin yang beribadah disekitar Ka’bah dengan bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh komunitas Sufi ketika mereka melakukan Dubaan atau yang semisalnya. Mereka bersorak sorai dan bertepuk tangan.
Dan firman Allâh Azza wa Jalla:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۖ وَّيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ
Dan di antara manusia yang membeli membeli ucapan yang melalaikan untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allâh Azza wa Jalla tanpa ilmu, dan menjadikankannya sebagai bahan olok-olokan. Bagi mereka adalah azab yang menghinakan. [Luqmân/31:6]
Hampir seluruh ahli Tafsir dari kalangan para Shahabat dan Tâbi’în mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lahwal hadits (ucapan yang melalaikan) dalam ini adalah nyanyi-nyanyian.[16]
Dalam ayat di atas terdapat celaan dan ancaman bagi orang yang suka mendengarkan nyanyi-nyanyian. Apabila yang dinyanyikan itu bait-bait yang menyebut nama Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya serta do’a dan zikir-zikir yang terdapat dalam al-Qur’ân maka ini adalah bagian dari memperolok-olok nama Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n serta ayat-ayat-Nya !? Maka baginya di akhirat kelak adalah azab yang menghinakan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نُهِيْتُ عَنِ النوح صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ ((إنما نهيت عن النوح عن صوتين أحمقين فاجرين صوت عند نغمة لهو ولعب ومزامير شيطان وصوت عند مصيبة خمش وجوه وشق جيوب ورنة شيطان))
“Sesungguhnya Aku dilarang dari dua suara; suara ketika memperoleh nikmat; bermain dan senda gurau dan seruling setan. Dan suara ketika ditimpa musibah; memukul muka dan merobek apakaian serta tangisan setan“[17].
Berkata Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, “Nyanyi itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati”[18]
Fudhail Ibnu ‘Iyâdh rahimahullah mengatakan, “Nyanyi adalah mantera zina, bila mantera zina telah berkumpul bersama pandangan dan sentuhan, maka sungguh telah sempurna sebab-sebabnya.”[19]
Imam Ahmad rahimahullah penah ditanya tentang kasidah (syair-syair zuhud yang dilagukan), beliau menjawab, “Itu adalah bid’ah, tidak boleh ikut duduk bersama mereka.”[20]
Hujah Sufi dalam membolehkan bergoyang saat berzikir
Diantara hujjah mereka dalam memboleh bergoyang ketika saat berzikir, mereka berhujjah dengan kisah yang disebutkan dalam sebuah hadits tentang orang Habasyah yang melakukan permainan pedang di masjid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[21]
Jawaban terhadap argumentasi orang Sufi tersebut adalah:
- Permainan pedang yang dilakukan orang-orang Habasyah tersebut bukan bergoyang-goyang akan tetapi dalam bentuk atraksi perperangan. Seperti maju menyerang musuh sambil mengayunkan pedang atau mundur sambil menangkis pedang lawan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab beliau Syarah Shahîh Muslim [22]
- Orang-orang Habasyah melakukan itu sebagai sarana latihan ketangkasan dalam menghadapi musuh, bukan sekedar main-main belaka.
- Kemudian tidak ada diantara mereka yang menganggap itu sebagai ibadah dan melakukan gerakan-gerakan serupa ketika mereka berzikir.
Diantara orang-orang Sufi ada pula yang berhujjah dalam menhentak-hentakkan kaki mereka saat bergoyang dengan kisah Nabi Ayyûb Alaihissallam ketika diperintahkan Allâh Azza wa Jalla menghentakkah kakinya kebumi.[23]
Jawaban atas hujjan mereka tersebut adalah:
- Nabi Ayyûb Alaihissallam melakukan itu atas perintah Allâh Azza wa Jalla agar keluar mata air dari bumi sebagai obat dari penyakit yang beliau derita. Apakah orang-orang sufi menemukan perintah dari Allâh Azza wa Jalla atau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan hal yang sama ketika berzikir. Apakah orang-orang Sufi memiliki penyakit seperti Nabi Ayyûb Alaihissallam?
- Nabi Ayyûb Alaihissallam melakukan itu bukan dalam rangka berzikir pada Allâh Azza wa Jalla , atau memandang itu sarana beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena Nabi Ayyûb Alaihissallam tidak pernah mengulangi melakukannya ketika beliau telah sembuh. Apalagi melakukannya dalam berzikir?
- Kisah Nabi Ayyûb Alaihissallam telah diketahui oleh para Shahabat sebelum kita, namun tidak ada seorangpun dianatara mereka yang menggambil pelajaran dari kisah tersebut dalam metode berzikir, atau mengajurkan hal serupa.
- Ibnu ‘Uqail rahimahullah berkata, “Jika orang-orang sufi berhujjah dengan kisah Nabi Ayyûb Alaihissallam dalam perbuatan mereka tersebut. Berarti kita juga boleh berhujjah dengan kisah Nabi Musa Alaihissallam yang memukul batu dengan tongkat atas bolehnya memukul muka orang sufi dengan tongkat.”[24]
- Imam Ghazali mengatakan, “Bergoyang dalam berzikir adalah kebodohan yang ada di atas pundak seseorang, tidak mungkin ia tinggalkan kecuali dengan kesusahan”[25].
Di sini Imam Ghazali berpendapat bahwa kebiasaan bergoyang dalam berzikir adalah perbuatan orang yang bodoh dan sulit untuk ditinggal. Kenapa sulit? Karena sudah kecanduan dan menganggapnya sarana ibadah.
Hujah Sufi dalam membolehkan nyanyian
Diantara hujjah orang sufi dalam membolehkan bernyanyi dalam berzikir, mereka berhujjah dengan sebuah hadits yang menceritakan tentang dua anak kecil melagukan syair-syair tentang perang Bu’ats pada hari lebaran di rumah ‘Aisyah Radhiyallahu anha. Tatkala Abu Bakar Radhiyallahu anhu masuk, ia menegur kedua anak kecil tersebut. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu bakar, “Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, karena setiap umat memiliki hari lebaran dan hari ini adalah hari lebaran kita“[26].
Orang-orang Sufi menjadikan hadits ini sebagai hujjah untuk membolehkan nyanyi secara umum atau dalam berzikir secara khusus.
Jawaban para Ulama terhadap kekeliruan dalam memahami hadits tersebut:
- Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberi pengecualian kepada anak-anak kecil pada hari lebaran atau acara pernikahan saja. Adapun orang dewasa tidak ada dalil yang membolehkannya, atau diluar waktu yang disebutkan. Dan perbuatan itu sama sekali tidak dianggap sebagai sarana ibadah. Adapun orang-orang sufi melakukannya setiap saat dan dianggap sebagai sarana ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Ditambah lagi yang melakukannya orang-orang yang sudah dewasa. Dan tidak pernah seorangpun dari para Shahabat maupun para Ulama melakukannya apalagi menganjurkannya.
- Jika nyanyi tersebut dilakukan sepanjang waktu berarti tidak ada artinya pengecualian yang terdapat dalam hadits tersebut.
- Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengingkari perbuatan dua anak kecil tersebut karena ia mengetahui itu dilarang oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun anak kecil yang melakukannya, akan tetapi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan pada hari lebaran bagi anak kecil. Ini membuktikan bahwa hal itu pada dasarnya terlarang.
- Para Ulama juga menjelaskan bahwa syair yang dibolehkan pada hari lebaran khusus bagi anak kecil tersebut dengan syarat tidak mengadung unsur-unsur negatif. Seperti mengandung nilai-nilai kesyirikan, celaan atau kata-kata yang memancing hawa nafsu.
- Kemudian syair-syair yang dilagukan anak-anak kecil tersebut tidak seperti lagu-lagu yang ada di zaman sekarang yang diiringi dengan musik dan dengan suara yang mengiurkan. Bahkan sebelumnya dilakukan latihan berkali-kali.
- Dalam lafazh hadits tersebut menyebutkan bahwa kedua anak kecil bukanlah penyanyi. Dijelaskan oleh para Ulama maksudnya bahwa keduanya tidak memiliki kebiasaan menyanyi. Kemudian alasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya karena hari itu adalah hari lebaran sebagai saat untuk bergembira bagi anak-anak.
- Jika orang-orang Sufi berhujjah dalam kebiasaan mereka dengan perbuatan anak kecil yang terdapat dalam hadits tersebut. Berarti orang-orang Sufi suka mencontoh dan menyerupai perbuatan anak-anak kecil.
- Berkata Ibnu Hajar al-AsQalâni rahimahullah , “Sekelompok orang-orang Sufi berhujjah dengan hadits ini dalam membolehkan nyanyi dan mendengarkannya baik dibantu alat musik maupun tidak. Cukup untuk membantah paerkataan mereka dengan ungkapan ‘Aisyah Radhiyallahu anha dalam hadits tersebut “Keduanya bukalah penyanyi“. Kemudia Ibnu Hajar rahimahullah menukil perkataan Imam Qurthubi rahimahullah, “Adapun bid’ah yang biasa dilakukan orang-orang Sufi adalah hal yang tidak ada perselisihan tentang keharamannya ….. bahkan mereka sampai kepada puncak kebodohan sehingga menjadikannya sebagai ibadah dan amal shaleh serta menganggap hal itu membuahkan kebaikan. Ini adalah peninggalan orang-orang zindiq”[27].
Kemudian orang-orang Sufi juga berhujjah dalam perbuatan mereka tersebut dengan pengecualian yang dibolehkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat walimah pernikahan[28].
Jawabannya adalah adanya pengecualian pada saat walimah pernikahan itu menunjukkan bahwa di luar acara walimahan perbuatan itu terlarang. Kalau tidak, tentu tidak perlu dikecualikan kalau seandainya dibolehkan dalam setiap saat.
Ajaran Nasrani
Ada beberapa ajaran Sufi yang di adopsi dari ajaran Nasrani diantaranya Tarbiyah Ruhiyah.
Dalam agama Nasrani tarbiyah ruhiyah dilakukan dengan beberapa bentuk. Mulai dari menghindari segala kenikmatan dunia, seperti tidak mengkosumsi sesuatu yang enak dan lezat, tidak memakai pakaian bagus, menjauhi pernikahan sampai pada tinggkat bersemedi di gua-gua. Saat mereka menganggap telah mencapai punjak kesucian jiwa, mereka meyakini bahwa Zat Allâh Azza wa Jalla menyatu dengan diri mereka. Yang mereka sebut dalam istilah mereka: manyatunya Lahût dengan Nasût.
Hal serupa juga ditiru oleh orang-orang sufi dalam mentarbiah dirinya untuk mencapai tingkat hakikat. Bila mereka telah sampai pada tingkat hakikat, mereka akan dapat mengetahui hal-hal yang ghaib sekalipun. Bahkan yang lebih eksrim lagi mereka menganggap diri mereka telah bersatu dengan Tuhan. Ketika itu mereka meyakini tidak perlu lagi menjalankan perintah-perintah agama. Menurut mereka perintah-perintah agama adalah bagi orang yang belum sampai pada tingkat hakikat.
Kemudian juga dalam referensi orang-orang sufi sering menukil cerita-cerita rahib Nasrani.
Kesamaan lain adalah tidak menikah dengan alasan agar lebih fokus beribadah demi mendapatkan surga. Ajaran ini terdapat dalam Injil Matius fasal 19 ayat 12, yang berbunyi: “Ada orang yang tidak kawin,… ia membuat dirinya demikian karena kerajaan surga. Barangsiapa yang dapat melakukan maka hendaklah ia melakukannya“.
Dalam surat Paulus kepada penduduk Karnitus fasal 7 ayat 1, berbnyi: “Sangat baik bagi seorang lelaki untuk tidak menyentuh wanita“.
Berkata salah seorang tokoh sufi Abu Sulaiman ad-Dârâny, “Tiga hal barangsiapa yang mencarinya maka sesungguhnya ia telah condong pada dunia; mencari kebutuhan hidup, menikahi wanita dan menulis hadits“.
Jika kita bandingkan apa yang diungkapkan oleh tokoh Sufi ini dengan apa yang terdapat dalam ajaran Nasrani tidak jauh beda. Menurut orang sufi menyiksa diri dengan tidak makan dan minum serta tidak tidur adalah salah satu cara untuk menyucikan jiwa. Bahkan bila ia sampai mengalami kondisi tidak sadarkan diri, ia akan dibuka baginya hijab, lalu dari kondisi itu ia akan menerima ilham dan ilmu ladunni. Bahkan ada diantara mereka yang meyakini akan menyatu dengan Tuhan.
Diantara ajaran Injil Matius fasal 10 ayat 9 dan 10, berbunyi: “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat“.
Demikian bunyi ayat-ayat Injil Matius tentang anjuran meninggalkan segala hal yang dibutuhkan oleh seseorang dalam mempertahankan hidup dalam perjalanannya. Hal yang sama akan kita dapatkan pula dari ungkapan-ungkapan tokoh sufi sebagaimana yang sudah sebutkan di atas.
Bagaimana pula aqidah hulûl dalam agama Nasrani ? Mari kita simak apa yang terdapat dalam Injil Matius pada fasal 10 ayat 20: “Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu; Dia yang akan berkata-kata di dalam kamu“.
Artinya ruh Tuhan menyusup kedalam diri seorang rahib yang sudah layak untuk di masuki oleh Roh tersebut. Setelah melalui proses penyucian jiwa dengan metode seperti yang kita sebutkan sebelumnya. Demikian pula orang sufi meyakini hal yang sama, bila seorang wali telah sampai pada tingkat hakikat maka sebahagian sifat Tuhan akan menyusup ke dirinya. Menurut mereka dari situ seorang sufi akan memiliki atau mengalami hal-hal yang diluar kemampuan manusia yang mereka sebut sebagai karamah. Jika kita membaca tentang biografi dan kisah orang-orang sufi kita akan mendapatkan cerita yang menggambarkan hal tersebut.
Bila hal di atas kita bandingkan dengan ajaran Islam akan terlihat hal yang sangat bertolak belakang. Islam memrintahkan untuk beramal akan tetapi juga melarang melupakan kenikmatan dunia yang menjadi bagian mereka. Yang dilarang Islam adalah mendahulukan kesenangan dunia dan melalaikan kesenangan akhirat. Islam adalah agama yang seimbang dalam segala hal; baik dalam ideologi maupun ibadah dan akhlak.
Berikut ini kita kemukakan beberapa dalil yang menjelaskan akan hal tersebut:
Firman Allâh Azza wa Jalla:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allâh Azza wa Jalla kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah berbuat baik kepadamu. [al-Qashash/28:77]
Dalam ayat ini sangat jelas Allâh Azza wa Jalla menyuruh kita untuk mencari karunia-Nya baik yang berhubungan dengan kebahagian akhirat maupun kenikmatan duniawi.
Dan firman Allâh Azza wa Jalla:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبٰتِ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ ٨٧ وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allâh Azza wa Jalla halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh Azza wa Jalla telah rezekikan kepadamu”. [Al-Maidah/5:87-88]
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla dengan jelas melarang kita melampaui batas yang telah ditentukan Allâh Azza wa Jalla, seperti mengharamkan seseuatu yang dihalalkan Allâh Azza wa Jalla, melakukan ibadah yang tidak pernah diperintahkan Allâh Azza wa Jalla.
Diriwayakan dalam sebuah hadits, ada tiga orang sahabat mendatangi sebagian isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang bagaimana ibadah beliau jika beliau berada di rumah beliau. Ketika mereka mendengar jawaban dari isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka memandang bahwa ibadah mereka sangat sedikit sekali bila dibanding dengan ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah diampuni dosanya yang berlalu dan yang akan datang. Lalu mereka ingin bersungguh-sungguh untuk beribadah. Diantara mereka ada yang ingin shalat malam tanpa tidur, yang lain ingin berpuasa setiap hari tanpa berbuka seharipun, yang ketiga tidak mau menikah. Saat berita itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau marah dan menasehati mereka bertiga secara langsung dan juga menasehati kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي رواه البخاري ومسلم
Apakah kalian yang mengatakan begini-begini ? Demi Allâh saya adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allâh diantara kalian. Akan tetapi saya berpuasa juga berbuka, saya shalat malam numun juga tidur, dan saya mengawini wanita. Barangsiapa tidak suka pada sunnahku! Maka ia tidak termasuk golonganku.
Bila kita lihat kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau juga makan daging, minum susu, menyisir rambut dan memakai wangi-wangian.
Ketika beliau ditanya tentang sesorang yang memakai pakaian bagus apakah itu termasuk kategori sombong ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab tidak, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Benarkah disebut karamah, hal-hal yang dimiliki para sufi setelah mereka melakukan berbagai bentuk pratek ibadah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya?
Para Ulama kita menjelaskan tidak semua hal luar biasa yang dialami atau terjadi pada seseorang dinilai sebagai karamah dari Allâh Azza wa Jalla . Karena hal-hal luar biasa itu ada tiga bentuk; Ada yang disebut karamah dan ada pula yang berbentuk tipuan setan, kemudian ada pula yang disebut sebagai tanda-tanda semakin dekatnya hari kiamat. Karena sebelum hari kiamat akan banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh-aneh.
Bisa disebut karamah bila seseorang tersebut melaksanakan ibadah-ibadah yang berdasarkan ilmu yang terdapat dalam al-Qur’ân dan Sunnah. Lalu ia mengamalkan ilmunya tersebut dengan meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat g . Kemudian tidak terindikasi terlibat dalam berbagai acara-acara yang menyimpang dari ajaran dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun bisa juga hal luar biasa yang dialami atau terjadi pada seseorang itu sebagai tipuan dari setan. Sebagaimana terjadi pada orang-orang yang merubah syari’at yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggantinya dengan ajara-ajaran yang direkayasanya sendiri atau setan yang merekayasa utnuk mereka. Seperti yang pernah dialami oleh salah seorang teman kami. Ia pernah ditawari oleh seseorang yang dianggap wali/kiyai untuk memiliki ilmu kebal, tahan pedang dan senjata tajam lainnya. Sang wali memiliki ilmu tersebut dan bisa diturunkan kepadanya. Caranya sangat mudah, yaitu berzikir selama empat puluh hari dalam kelambu yang ada dalam rumahnya. Kemudian saat berizikir ia membayangkan wajah sang wali dengan melihat foto yang terpajang dalam kelambu tersebut.
Jika seseorang yang tidak memiliki ilmu agama yang cukup, akan melihat secara sepintas bahwa hal itu tidak ada masalah. Dan menilainya sebagai perbuatan baik, karena berzikir adalah ibadah yang mulia.
Namun bagi orang yang mengerti agama dan aqidah yang benar akan menilai bahwa perbuatan itu menyimpang dari beberapa segi:
- Pertama, dari segi tujuan zikir yaitu untuk mendapatkan kekebalan ? Kalau dengan cara berzikir bisa kebal dari senjata tajam pasti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat orang yang pertama sekali melakukannya dan memperoleh keutamaan tersebut. Namun dalam kenyataan mereka bisa cedera bahkan meninggal dalam peperangan ?!
- Kedua, Dari segi mengkhususkan waktu dan tempat ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajurkan dan menentukan waktu selama empat puluh hari secara terus-menerus berzikir. Atau harus dalam kelambu yang di dalamnya dipajang foto sang wali/kiyai ? Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajurkan berzikir kapan dan dimana saja, tanpa perlu meninggalkan perkerjaaan dan kewajiban-kewajiban agama yang lainnya.
- Ketiga, Jika ia berzikir selama empat puluh hari terus-menerus dan tidak boleh keluar dari tempat semediannya? Bagaimana shalat berjam’ahnya dan shalat Jum’atnya? Ini adalah cara setan menyesatkan seseorang yaitu mengutamakan amalan sunnah daripada amala-amalan wajib. Atau mengutamakan amalan-amalan bid’ah daripada amalan-amalan sunnah. Dan lebih sesat lagi menjadikan perkara-perkara yang diharamkan dalam agama sebagai sarana ibadah! Seperti nyanyian dan jogetan.
- Keempat, Kenapa harus membayangkan wajah sang wali/kiyai saat berzikir tersebut? Kalau yang dibayangkan wajah sang wali/kiyai saat berzikir ini berarti menjadikannya sebagai tuhan yang terdapat dalam kadungan makna zikir yang dibacanya?
Dari sini dapat kita ukur apakah perkara yang luar biasa yang dialami seseorang apakah datang dari Allâh Azza wa Jalla atau datang dari setan? Dalam kehidupan orang-orang yang dianggap memilki karamah sangat banyak cerita-cerita serupa. Padahal itu buka karamah tapi tipu-daya setan dalam menyesatkan manusia. Bagaimana mungkin orang yang menyimpang dalam menjalankan ajaran agama akan memiliki karamah?!
Apakah ada orang sesat dan orang kafir sekalipun memiliki peristiwa-peristiwa yang luar biasa?
Jawabannya ada, seperti Dajjal dan beberapa kisah nabi-nabi palsu, diantara mereka ada yang bisa menghilang dari penglihatan manusia. Karena ia disembunyikan oleh setan-setan yang membelanya.
Demikian pula Dajjal dapat melakukan hal-hal yang luar biasa, sebagai fitnah bagi umat yang hidup dimasanya. Dan kebanyakan manusia tertipu oleh Dajjal. Karena ia bisa menghidupkan seseorang yang sudah mati dan mendatangkan hewan ternak yang banyak. Namun dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup itu bukan orang telah mati, akan tetapi setan yang menjelma menyerupai orang yang sudah mati tersebut dan menjelma menjadi onta-onta yang banyak.[29]
Demikian pula sebelum hari kiamat akan banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang luar biasa atau aneh di tengah-tengah kehidupan manusia, sebagai tanda-tanda semakin dekatnya hari kiamat. Sebagai contohnya hadits yang diriwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia menceritakan, “Seekor Srigala mendekati gerombolan kambing yang digembalakan, lalu ia menangkap satu ekor kambing dan lari. Ketika itu sang pengembala langsung mengejar Srigala tersebut dan dapat menyelamatkan kambing yang ditangkapnya. Lalu Srigala itu naik ke sebuah bukit yang rendah seraya berkata kepada si pengembala kambing, “Engkau telah merebut rizki yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepadaku, engkau telah merebutnya dariku.” Sang pengembala keheranan dan berkata, “Demi Allâh aku belum pernah melihat Srigala berbicara seperti pada hari ini”. Srigala menimpali ungkapan si pengembala, “Lebih ajib lagi seorang laki-laki yang berada dianatar dua bukit batu. Ia menceritakan kepada kalian apa yang telah berlalu dan apa yang akan datang”. Si pengembala itu adalah seorang Yahudi. Lalu ia menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masuk Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan kisahnya tersebut, kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya itu adalah salah satu tanda dari tanda-tanda dekatnya hari kiamat. Boleh jadi seseorang keluar rumah, ia tidak pulang sampai berbicara kepadanya sendal dan tongkatnya memberitahukan tentang apa yang menimpa keluarganya setelah ia tinggalkan.[30]
Dari kisah di atas ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil:
- Pertama, peristiwa yang luar biasa tidak mutlak sebagai karamah bagi seseorang yang mengalaminya seperti kisah di atas yang dialami oleh seorang Yahudi yang belum masuk Islam.
- Kedua, peristiwa yang luar biasa yang dialami seseorang bukanlah mutlak sebagai ukuran kemuliaannya disisi Allâh Azza wa Jalla . Karena boleh jadi peristiwa tersebut sebagai salah satu tanda dari tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat.
- Ketiga, peristiwa luar biasa tidaklah khsusus pada orang-orang shaleh, akan tetapi bisa dialami oleh orang kafir bahkan binatang sekalipun. Seperti dalam kisah srigala ini, sandal dan tongkat bisa berbicara. Bukan berarti bahwa srigala, sandal dan tongkat itu memilki karamah atau kesaktian! Dan bisa diminta menyembuhkan penyakit dan lain sebagainya. Demikian pula manusia walaupun ia mengalami hal-hal yang luar biasa bukan berarti ia kita sembah dan kita seru, kita minta untuk melakukan sesuatu untuk kita. Seperti mencarikan jodoh, memberi ajimat pelaris, minta kesembuhan dan lain sebagainya.
Demikian yang dapat kami jelaskan, sebetulnya masih banyak ajaran-ajaran agama lain yang diadopsi oleh komunitas sufi, seperti ajaran agama Majusi, Hindu, Budha, Konghucu, kepercayaan animisme, agama Yunani kuno dan lain-lain. Akan tetapi sisi-sisi yang diadopsi hampir sama. Seperti bergoyang-goyang ketika berzikir, ajaran seperti ini terdapat dalam ajaran Yahudi, Animisme, Hindu dan Budha. Demikian pula melagukan ayat-ayat dan syair-syair zuhud, ajaran seperti ini terdapat dalam ajaran Hindu, Budha dan Nasrani.
Karena antara satu agama dengan agama yang lainnya dari agama-agama tersebut salimg memilki kemiripan dari sisi teologi dan sistem peribadatan dalam mencapai kesucian jiwa. Atau mungkin diantara agama-agama tersebut ada yang mengadopsi ajaran agama lain, seperti ajaran Trinitas dalam agama Nasrani diambil dari ajaran Yunani kuno.
Allahu Al hady Ila Sawaai As Sabiil
Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA
_______
Footnote:
[1] lihat Tashawuf al Mansya’ wal Masdar, Ilahi Zhahir, hlm. 37; Firaq Mu’âsharah, 2/578; Mashâdir Talaqqi ‘inda Sûfiyah, Shâdiq Sâlim, hlm. 34.
[2] lihat Majmû’ Fatâwâ, Ibnu Taimiyah, 11/6, 195.
[3] lihat Mashâdir Talaqqi ‘inda Sûfiyah, Shâdiq Sâlim, hlm. 39.
[4] lihat Majmû’ Fatâwâ, Ibnu Taimiyah, 11/6.
[5] lihat Mazmûr, hlm. 149-150; Firaq Mu’âsharah, ‘al ‘Awâji, 2/123.
[6] lihat Tahrîmus Samâ‘, hlm. 269-270, Tafsîr Qurtubi,10/366, 11/238.
[7] lihat an Nahyu ‘Anirraqshi was Samâ’, 2/559.
[8] lihat an Nahyu ‘Anirraqshi was Samâ’, 2/556.
[9] lihat Hilyatul Auliyâ, Abu Nu’aim”: 9/146.
[10] lihat hal: 427.
[11] lihat hal: 8/122.
[12] Diriwayat oleh Khalâl dalam al Amr bil Ma’rûf, hlm. 107.
[13] lihat kitab beliau Jawâbus Samâ‘ dalam bentuk manuskrib lembaran:2/b,dan kitab an Nahyu ‘Anirraqshi was Samâ’, 2/547.
[14] lihat kitab beliau Tahrîmus Samâ‘, hlm. 166-167 ” dalam bentuk manuskrib lembaran:2/b, dan an Nahyu ‘Anirraqshi was Samâ’, 2/548.
[15] lihat Tafsîr Thabari, 15/118, Hilyatul Auliyâ, Abu Nu’aim”: 3/298.
[16] silakan lihat tafsir ayat tersebut dalam kitab-kitab tafsir para ulama.
[17] H.R. Imam Tirmizi, no (1005). Dan Tirmizi menilai hadits ini sebagai hadits hasan.
[18] Diriwayat oleh Imam Baihaqi dalam Syu’abil Imân, 4/278.
[19] Diriwayat oleh Ibnu Abi Dunya dalam Dzammil Malâhi, hlm. 55.
[20] Diriwayat oleh Khalâl dalam al Amr bil Ma’rûf, hlm. 105.
[21] lihat haditsnya dalam Shahîh Muslim, no (892).
[22] lihat Syarah Shahîh Muslim 6/186.
[23] lihat al-Qur’ân Surat Shâd, ayat ke-42.
[24] lihat Talbîs Iblîs, Ibnul Jauzi: 316, Tafsîr Qurthubi,15/215.
[25] lihat Talbîs Iblîs, Ibnul Jauzi: 318, Tafsîr Qurthubi, 10/263.
[26] lihat haditsnya dalam Shahîh al-Bukhâri, no (952) dan Shahîh Muslim, no (892).
[27] lihat Fathul Bâri, 2/442.
[28] lihat haditsnya dalam Sunan Tirmizi, no. 1088; Sunan Nasa’i, no. 3369, 3370; dan Sunan Ibnu Mâjah, no. 1900.
[29] lihat kisah Dajjal dalam kitab Qishah al Masih ad Dajjal, Imam al Albâni.
[30] H.R. Imam Ahmad dalam Musnad, no. (8049) dan Abdurrazaq dalam Mushannaf, no. 20808
Referensi: https://almanhaj.or.id/
MENGENAL BEBERAPA KEYAKINAN SUFI
Tasawuf merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada para filosof dan ahli syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam hal ini, kita akan membatasi kajian masalah sufi dengan berkedok Islam. Kedok Islam ini dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya. Maka barangsiapa yang meneliti dan mengamati gerak-geriknya, niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan Islam. Baik menyangkut aqidah, prilaku dan pendidikan.
Mengenal Beberapa Keyakinan Sufi
Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui agama-Nya.
Yakni, dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut secara ringkas ditampilkan keyakinan-keyakinan mereka.
Ilmu Laduni
Istilah ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala tentang nabi Khidir:
وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”. [Al-Kahfi/18 : 65].
Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut mereka, adalah disingkapnya alam ghaib bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung dengan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[1]. Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
“Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada kalian semua“. [Al-Baqarah/2 : 282].
Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut Syi’ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah[2].
Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu, diantaranya:
- Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar’i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi : “Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya“[3]. Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani, “Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia“[4]
- Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha’if (lemah), munkar dan maudhu’ (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami, “Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati. Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami : “Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku”. Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-Hadits) mengatakan : “Telah mengabarkan kepada kami Fulan”. Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?. Tentu akan dijawab: “Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal”. “(Kemudian) dari Fulan (lagi)”. Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : “Ia telah meninggal”[5]. Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, “Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali”[6]. Dikatakan oleh Asy-Sya’rani, “Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf”[7].
- Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut :”Sembunyikan auratmu”[8]. Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.
Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan sebagaimana diungkap diatas:
- Pertama. Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.
Padahal Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang berbeda-beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa.
Sesungguhnya para nabi tersebut dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad shalallallahu ‘alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia hingga hari kiamat. Telah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Adalah para nabi diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia“. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].
لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَلَا يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ وَمَاتَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Tidak seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka” [Hadits Shahih Riwayat Muslim I/93]
Aqidah semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
“Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan“. [Saba’/34 : 28]
Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua“. [Al-A’raf/7: 158]
Dan siapa saja yang ‘alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul yang ummi ini. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan petunjuk nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِى لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
“Seandainya Musa turun, lalu kalian semua mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh sesatlah kalian. Aku adalah bagian kalian, dan kalian adalah bagian dari umat-umat yang ada“. [Riwayat Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman, dan lihat pula dalam Irwa’al-Ghalil karangan Al-Bani hal. 1588]
Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup, selalu berhubungan dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah kepadanya, seperti nama-nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur’an secara nyata :
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ
“Dan tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi“. [Al-Anbiya’/22: 34]
مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ أَوْ مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ الْيَوْمَ مَنْفُوسَةٍ يَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak ada satu jiwapun yang bernafas pada hari ini yang datang dari zaman seratus tahun sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup“. [Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Jabir]
Hadits-hadits yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama hadits.[9]
- Kedua. Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
“Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)“. [Al-Baqarah/2 : 282]
Hal itu bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan pemahaman ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang disyari’atkan dan diwajibkan atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّمَاالْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar“. [Hadits Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda’. Lihat Silsilah Ash-Shahihah 342]
Kata innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.
- Ketiga. Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Berkenan dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas mencari ilmu semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, “Iblis menginginkan untuk menutup jalan tersebut dengan cara yang paling samar. Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah mengamalkannya bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini para penipu itu telah menyembunyikan masalah pengamalannya[10]. Dan tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ
“Maukah Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun kepada setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan), dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta“. [Asy-Syu’ara/ : 221-223])
أَلَمْ تَرَ أَنَّا أَرْسَلْنَا الشَّيَاطِينَ عَلَى الْكَافِرِينَ تَؤُزُّهُمْ أَزًّا ﴿٨٣﴾ فَلَا تَعْجَلْ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا ﴿٨٤﴾ يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِينَ إِلَى الرَّحْمَٰنِ وَفْدًا ﴿٨٥﴾ وَنَسُوقُ الْمُجْرِمِينَ إِلَىٰ جَهَنَّمَ وِرْدًا
“Tidaklah kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ? Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka dengan perhitungan yang teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. Dan kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga“. [Maryam/19 : 83-86]
Adapun pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan bagian dari iman yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang tersembunyi, dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan dalam hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman[11]. Jadi bila ada perkataan mereka semacam ini: “Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku” tidak lain adalah perkataan khurafat.
- Keempat. Sebagian mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu. Seperti, kata Ibnu Arabi, “Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. Saat itu di tangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kitab. Maka sabdanya kepadaku, ‘Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam’. Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa’at darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. tanpa mengurangi dan menambahinya”.
Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah Sebagai Berikut:
Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang memenuhi kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 70-72), meyakini bahwa Fir’aun itu telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung (yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari’at. Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan terperdaya. Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. Tetapi yang demikian itu mustahil, karena setan tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
“Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku“. [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah, mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami’ dan ziyadahnya V/293]
Berdasarkan keterangan diatas, maka kita berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para pengikutnya adalah dajjal-dajjal Khurasan. Sedang perkataan-perkataan mereka dusta dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.
Penulis: Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
_______
Footnote:
[1] Ihya ‘Ulummuddin, Al-Ghazali, I/19-20 dan III/26, cet. Istiqomah, Qahirah.
[2] Minhaj As-Sunnah, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, hal. 226
[3] Quwat Al-Qulub, III/35
[4] Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibnu Arabi, I/37.
[5] Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 226 dan Al-Futuhat Al-Makkiyah, I/365.
[6] Al-Kawakib Ad-Durriyah, hal. 246 dan Rasail, Ibnu Arabi, hal.4.
[7] Al-Mizan, I/28.
[8] Tablis Iblis, hal. 370.
[9] Al-Manar Al-Munif, Ibnu Qayim Al-Jauziyah.
[10] Shaid Al-Khaathir, Ibnu Jauzi, I/144-146.
[11] Syarah Al-Ushul Al-Isyrin, hal 27.
Referensi: https://almanhaj.or.id/
SYARIAT DAN HAKIKAT
Para pemimpin sufi mengatakan, bahwa setiap ayat mempunyai unsur lahir dan bathin. Atau, Islam itu terdiri dari syari’at dan hakikat. Syari’at, bila dibandingkan dengan hakikat, laksana buih. Hakikat merupakan tingkatan paling sempurna, puncak dan sangat tinggi dalam tangga peribadahan Islam.
Cara agar mampu untuk mencapainya adalah dengan memiliki ilmu laduni, kasyaf Rabbani serta Faidh Ar-Rahmani. Dalihnya, hadits yang diriwayatkan imam Bukhari dari Abu Hurairah:
حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ ، فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُومُ
“Aku menghafalkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua kantung ilmu. Adapun salah satunya telah aku sebarkan. Sedangkan lainnya, bila ku sebarkan akan dipotong tenggorokan ini“. [Hadits Riwayat Bukhari dalam kitab Fitan]
Padahal ini sebagai isyarat dari beliau rahimahullah tentang akan tidak adanya kaitan antara ilmu batin dan ilmu zhahir. Kalau tidak begitu, pasti beliau akan mencantumkannya dalam Al-‘Ilm. Sesungguhnya, Al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan masalah tersebut secara rinci dalam kitabnya, Fathu Al-Bari I/216.
Oleh karena itu, barangsiapa menyatakan Islam terdiri dari lahir dan batin, berarti dia telah menyangka Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menghianati tugas kerasulannya. Tapi, inilah kenyataannya. Mereka berkeyakinan, Rasulullah hanya menyampaikan yang zhahir saja. Sedang, yang batin beliau beritahukan kepada orang-orang tertentu[1].
Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas dari yang mereka kaitkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah, malaikat Jibril serta orang-orang shalih dari kalangan yang beriman menyaksikan yang demikian itu. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini Aku sempurnakan untuk mu agamamu, dan Aku lengkapkan untukmu semua ni’mat-Ku serta Aku ridhai bagimu Islam sebagai agama“. [Al-Maidah/5 : 3]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meminta persaksian dihadapan segenap manusia muslim yang berkumpul di bawah Jabal Ar-Rahmah pada hari haji akbar. Kata beliau, “Sesungguhnya, kalian akan ditanya tentang aku. Maka, apakah yang akan kalian katakan ?” Jawab mereka : “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Rabb-mu dan telah menunaikannya. Engkau telah menasehati umatmu dan menunaikan kewajibanmu”.
Lantas beliau bersabda seraya mengacungkan telunjuknya ke arah langit dan menggerak-gerakkannya kehadapan manusia : “Ya Allah, saksikanlah. Ya Allah, saksikanlah“. [Potongan dari hadits Jabir bin Abdullah tentang hajinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di-tahqiq ulang Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Hijjah An-Nabi, hal. 37-41].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menyatakan secara terang-terangan, dan hal ini sebagai hujjah nyata guna menampar setiap pendusta dan yang suka berbuat dosa. Kata beliau:
“Sesungguhnya seorang nabi tidak mengenal main isyarat (dengan mata)“. [Hadits Shahih Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dari Anas. lihat Shahih Al-Jami’ II/303]
Maksudnya memberi isyarat dengan isyarat rahasia. Hal ini agar tidak ada seorangpun yang berburuk sangka yang menyebabkan tumbuhnya keyakinan, bahwa dalam agama Allah ada rahasia yang tidak banyak diketahui manusia.
Yang semakna dengan hadits ini adalah sabdanya : “Sesungguhnya tidak selayaknya bagi seorang nabi mempunyai mata yang khianat“. [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Hakim dari Sa’id. Lihat Shahih Al-Jami’ II/307]
Al-Hulul wa Al-Ittihad
Sebagaimana kelomppok sufi berkhayal, siapa saja yang menempuh jalan ilmu batin, pada akhirnya akan mencapai tingkatan melebur bersama dzat Allah. Ketika itulah ia menempati dzat tersebut, hingga bercampur sifat ketuhanan dengan tabiat kemanusiaan. Bentuk lahirnya manusia, tetapi hakikat batinnya adalah sifat ketuhanan.
Orang-orang yang berpikiran demikian, misalnya Al-Hallaj, ibnu Al-Faradh, Ibnu Sab’in dan lainnya dari kalangan sufi. Berikut ini kami paparkan sebagian perkataan mereka: Al-Hallaj berkata[2] :
Maha Suci yang menampakkan sifat kemanusiannya,
Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang,
Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya,
Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum,
Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti
jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain.
Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab
yang tergambar dalam seluruh bentuk pada
hamban-Nya, Fulan.[3]
Dan Ibnu Al-Faradh berkata[4] :
Tidaklah aku shalat kepada selainku,
dan tidaklah shalatku kepada selainku
ketika menunaikan dalam setiap raka’atku.
Dan cukuplah bagi orang-orang sufi merasakan kesedihan tatkala Ibnu Al-Faradh berpayah-payah dibalik fatamorgana. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, tatkala menceritakan keadaan Ibnu Al-Faradh: “Orang yang mengucapkan sya’ir tersebut ketika meninggalnya mengucapkan syair sebagai berikut:
Jika kedudukanku dalam cinta disisi-Mu,
tidak seperti yang pernah aku jumpai,
maka sesungguhnya aku telah membuang-buang umurku.
Angan-angan yang menancap dalam diriku beberapa lama,
dan pada hari ini aku mengiranya sebagai mimpi kosongku belaka.
At-Tusturi berkata[5]:
Akulah yang dicintai dan yang mencintai, tidak ada selainnya.
Para syaikh tasawuf tersebut mencari-cari dalih dengan hadits yang berbicara masalah wali. Padahal, segala dalih dan alasan itu tak mendukung mereka. Misalnya sebuah hadits:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلِيَّ عَبْدِيْ بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلِيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. ولايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا. وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ لأُعطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ
“Tidak henti-hentinya seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan perbuatan-perbuatan yang disunnahkan hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, dan penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, dan tangannya yang dia julurkan, dan kakinya yang dia langkahkan. Maka, jika ia meminta kepada-Ku, sungguh aku akan beri. Dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya“. [Hadits Riwayat Bukhari, akan tetapi kami ringkas sesuai dengan makna pembahasan].
Hadits ini menunjukan dengan sangat adanya pembedaan dan pemisahan. Dalam hal ini ada ‘Abid (yang beribadah) dan Ma’bud (yang diibadahi). Sa-il (yang meminta) dan Mas-ul (yang diminta), ‘A-idz (yang minta perlindungan) dan Mu’idz (yang melindungi). Sedang, orang-orang sufi tersebut mengaku bahwa Allah berdiam dalam dzat hambanya. Yaitu, jika Dia menjadi dia dan keduanya menjadi dua dzat yang menyatu.
Betapa anehnya ! Bagaimana akal orang-orang sufi tersebut menerimanya dengan cara membenarkan kebohongan ini ? Dan bagaimana pula hingga lisan mereka mengulang-ngulangnya ? Sungguh, Kursi-Nya seluas langit dan bumi, maka bagaimana mungkin jasad manusia dapat menampung-Nya ?.
Adapun hadits berikut:
“Langit dan bumi-Ku sempit bagi-Ku, akan tapi hati hamba-Ku yang beriman lapang bagi-Ku”
Maka hadits ini adalah hadits palsu menurut kesepakatan para ulama ilmu hadits.
Wihdah Al-Wujud
Pemahaman hulul wa al-ittihad mengantarkan para sufi pada perkataan wihdah al-wujud. Istilah ini berdasar pola pikir orang-orang sufi bermakna, bahwa dalam hal ini tidak ada yang wujud kecuali Allah. Maka, tidaklah segala yang nampak ini kecuali penjelmaan dzat-Nya semata. Yaitu, Allah. Maha Suci Allah, Rabb kita, Rabb yang Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan.
Ibnu Arabi berkata: “Tidak ada yang tampak ini kecuali Allah, dan tidaklah Allah mengetahui kecuali Allah“.
Dan termasuk dalam keyakinan ini adalah orang-orang yang mengatakan :”Akulah Allah, Maha Suci Aku”. Seperti, Abu Yazid Al-Bustahmi[6].
Katanya: “Rabb itu haq dan hamba itu haq. Maka, betapa malangku. Siapakah kalau demikian yang menjadi hamba ? Jika aku katakan hamba, maka yang demikian itu haq, atau aku katakan Rabb, sesungguhnya aku hamba”.
Dikatakan pula [7]: “Suatu saat hamba menjadi Rabb tanpa diragukan, dan suatu saat seorang hamba menjadi hamba tanpa kedustaan”.
Keberanian mereka kepada Allah sampai puncaknya ketika tukang sya’ir mereka, Muhammad Baha’uddin Al-Baithar mengatakan [8]: “Tidaklah anjing dan babi itu melainkan sesembahan kita, dan tidaklah Allah itu melainkan rahib-rahib yang ada dalam gereja-gereja”.
Pensyarah kitab Aqidah At-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi, berkata :”Perkataan yang demikian itu mengantarkan manusia pada teori hulul wa al-ittihad. Hal ini lebih keji daripada kafirnya orang-orang Nashrani. Karena orang-orang Nashrani mengkhususkan menyatunya Alllah hanya dengan Al-Masih, sedangkan mereka memberlakukan secara umum terhadap seluruh mahluk. termasuk keyakinan mereka pula, bahwa Fir’aun dan kaumnya memiliki kesempurnaan iman, sangat mengenal Allah secara hakiki.
Termasuk dari cabangnya pula, bahwa para penyembah berhala berada diatas kebenaran, dan mereka sesungguhnya beribadah kepada Allah, tidak kepada lainnya. Keyakinan lainnya, tida ada perbedaan dalam penghalalan dan pengharaman antara ibu, saudara perempuan dan yang bukan mahram. Dan tidak ada perbedaan antara air dengan khamer, zina dengan nikah. Semuanya itu berasal dari sumber yang satu. Dan termasuk cabangnya pula, bahwa para nabi mempersempit manusia. Maha Tinnggi Allah dari apa yang mereka katakan”[9].
Keyakinan semacam ini merupakan puncak tertinggi dari kekafiran, yang dengannya hancurlah seluruh agama, membatalkan seluruh syari’at, dihalalkan seluruh perkara yang diharamkan, dan disamakannya orang yang beriman dengan orang fasik, orang bertaqwa dengan orang binasa, muslim dengan mujrim, yang hidup dengan yang mati. Berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ ﴿٣٥﴾ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ ﴿٣٦﴾ أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ
“Apakah Kami hendak menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang yang suka berbuat dosa, bagaimana kalian dengan apa yang kalian putuskan. Apakah kalian mempunyai kitab yang dapat dibaca ? [Al-Qalam/68 : 35-37].
Benar, mereka mempunyai kitab selain Al-Qur’an. yaitu, Al-Fushush Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiyah. Dan telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Apakah Kami hendak menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih seperti orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi. Ataukah Kami hendak menjadikan orang-orang yang bertaqwa seperti orang-orang kafir“. [Shad/38: 28].
Dan apa yang kami paparkan di sini bukanlah hasil istimbath kami dan bukan pula ijtihad. Akan tetapi, semua itu adalah perkataan mereka yang diucapkan dengan lisannya. Yang syaikh paling senior diantara mereka selalu mengulang kekafirannya dan menyatakan kefasikannya.
Bila pembaca menghendaki hakikat yang kami paparkan dan dalil yang kami kukuhkan, maka lihatlah kitab Al-Fathu Ar-Rabbani dan Al-Faidh Ar-Rahmani, karangan Abdul Ghani An-Nablisi hal. 84,85,86,87.
Semoga Allah memaafkan kita.
Penulis: Syaikh Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
_____
Footnote:
[1] Ihya’Ulumuddin, Al-Ghazali, I/19
[2] Ath-Thawasin. Al-Hallaj, cet. Masoniyah, hal. 139
[3] Tablis Iblis, Ibnul Jauzi, hal.145.
[4] Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, XI/247-248
[5] Ma’arij At-Tashawuf Ila Laqaiq At-Tashawuf, Ahmad Bin ‘Ajibah, hal.139.
[6] Al-Futuhat Al-Makiyah, I/354.
[7] Fushush Al-Hikam, hal.90
[8] Shufiyat, hal.27
[9] Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, hal.79
Referensi: https://almanhaj.or.id/
CAHAYA (NUR) MUHAMMADI
Termasuk dalam madzhab wihdah al-wujud, ialah adanya keyakinan dikalangan orang-orang sufi tentang masalah Aqthab, Autad, Abdal, Aghwats, An-Najba (yakni beberapa istilah status, jabatan atau peringkat dikalangan sufi), bahwa ruh Allah berdiam pada diri mereka sehingga merekalah yang mengatur apa yang ada.
Mereka menduduki kedudukan Allah dalam mencipta dan mengatur. Yang demikianpun termasuk keyakinan Syi’ah terhadap para imamnya. Seperti dikatakan Khumeini dalam kitabnya Al-Hukumah Al-Islamiyah hal.52 : “Sesungguhnya imam mempunyai kedudukan yang terpuji dan derajat yang tinggi, dan kekuasaan untuk mencipta serta tunduk di bawah kekuasaannya seluruh unsur dari semesta ini. Dan termasuk madzhab kami yang sangat penting pula, bahwa para imam kita mempunyai kedudukan yang tidak dapat diraih oleh para malaikat terdekatpun, dan tidak pula oleh nabi yang didekatkan. Dan berdasarkan riwayat-riwayat yang ada pada kita, dengan hadits-haditsnya, bahwa Rasul teragung Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para imam, mereka semua, sebelum adanya alam semesta ini berupa cahaya yang dijadikan Allah mengelilingi Ars-Nya”[1].
Sesungguhnya orang-orang sufi, dimana beribu-ribu kaum muslimin dari segala penjuru dirangkul mereka, lalai ketika mengangkat orang-orang tersebut (para imamnya) ke derajat ketuhanan atau yang mendekati hal itu. Yaitu menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkedudukan diantara mereka dalam mengatur semesta, baik masalah penciptaan dan pengaturan, mendatangkan manfaat dan memberikan madharat, qadha dan qadar …. Maka, mulailah mereka mengada-ngadakan perkataan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teori Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah yang mengeluarkan Rasulullah dari alam manusia dan menjadikannya cahaya (nur). Dari cahaya Muhammad itulah seluruh mahluk diciptakan.
كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
” … Sungguh besar perkataan yang keluar dari mulut mereka. Tiadalah yang mereka katakan itu kecuali dusta“. [Al-Kahfi /18: 5]
Berikut ini sebagian dari perkataan mereka:
- Muhammad Adalah Asal Semesta.
- “Sesungguhnnya akal yang pertama adalah dinasabkan kepada Muhamad. Karenanya Allah menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak bagi Jibril dan merupakan asal dari seluruh alam semesta“[2].
- Muhammad Di Atas ‘Arsy.
- “Mahluk yang pertama adalah debu, dan mahluk yang pertama yang berwujud secara hakiki adalah Muhammad yang disifatkan istiwa’ di atas ‘Arsy Ar-Rahmani, yaitu ‘Arsy ilahi[3].
- Cahaya Muhammad (Nur Muhammadi) Adalah Cahaya Allah.
- Muhammad Adalah Penjaga Atas Semesta.
- Semesta Diciptakan Karena Muhammad.
- Ibnu Nabatah Al-Mishri berkata :
- Kalau bukan karenanya, tidak adalah bumi dan tidak pula ufuk.
- Tidak pula waktu, tidak pula mahluk, tidak pula gunung.
- Muhammad Mengetahui Yang Ghaib.
Berikut ini dalil-dalil mereka yang mereka sembunyikan di balik punggung-punggunya:
Hadits pertama
“Pertama kali yang diciptakan Allah adalah cahaya nabimu, wahai Jabir” [Hadits Palsu]
Hadits kedua
“Aku sudah menjadi nabi sedangkan Adam masih berwujud antara air dan tanah“. [Hadits Palsu. Lihat Syarah Jami’ash-Shagir III/91 dan Asna Al-Mathalib hal. 195]
Ini adalah perkataan yang sangat lemah dan matan-nya mungkar. Bukankah air adalah bagian dari tanah ? Adapun hadits shahih berlafadz: ” Aku sudah menjadi Nabi, sedangkan Adam adalah keadaan antara ruh dan jasad“, tetapi ini pada ilmu Allah yang azali.
Hadits ketiga
“Kalau tidak karena engkau, maka bintang-bintang itu tidak diciptakan“. [Shan’ani berkata bahwa hadits ini Palsu dan disepakati Imam Syaukani dalam kitab Fawaid Al-Majmu’ah hl. 116]
Padahal sesungguhnya Allah telah menutup berbagai jalan menuju perbuatan yang melebih-lebihkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah, sesungguhnya aku ini adalah manusia seperti kamu semua. Hanyasanya diwahyukan kepadaku (wahyu). Sesungguhnya sesembahanmu adalah sesembahan yang Esa. Maka barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal dengan amalan yang shalih dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya“. [Al-Kahfi /18: 110]
Dan berfirman Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا
“Katakanlah, Maha Suci Rabbku. Bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul ?“. [Al-Isra/17: 93]
Dan berfirman Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah, tidaklah aku mengatakan kepada kalian semua bahwa aku mempunyai perbendahaaran Allah, tidak pula aku mengetahui yang ghaib, tidak juga aku katakan bahwasanya aku ini malaikat. Tidaklah aku mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, apakah sama orang yang melihat dengan orang yang buta ? Apakah kalian semua tidak berpikir ?“. [Al-An’am/6: 50]
Telah bersabda pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ
“Janganlah kalian semua melebih-lebihkan aku seperti orang-orang Nashrani melebih-lebihkan Isa anak Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba, maka katakanlah hamba Allah dan utusan-Nya“. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan telah bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Sesungguhnya aku ini adalah manusia yang dapat marah pula“. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan riwayat lainnya yang sangat banyak. Inilah sifat-sifat kemanusiaan yang di sandang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak lahirnya hingga bertemu dengan Rabbnya. Beliaulah yang mengajak manusia untuk mencontohnya dan menempuh jejak-jejaknya.
Kalau bukan dari alam kita, tidaklah kita diperintahkan untuk mengikuti beliau dan menjalani sunah-sunahnya. Siapakah yang lebih benar perkataannya dari Allah, sedangkan Dia telah menyetujui hakikat ini melalui lafadz-lafadz Qur’ani yang pasti dan terinci:
وَقَالُوا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ مَلَكٌ ۖ وَلَوْ أَنْزَلْنَا مَلَكًا لَقُضِيَ الْأَمْرُ ثُمَّ لَا يُنْظَرُونَ﴿٨﴾وَلَوْ جَعَلْنَاهُ مَلَكًا لَجَعَلْنَاهُ رَجُلًا وَلَلَبَسْنَا عَلَيْهِمْ مَا يَلْبِسُونَ
“Mereka berkata, kenapa tidak diturunkan kepada kita malaikat ? kalau diturunkan kepada mereka malaikat, maka pasti telah diselesaikan perkaranya (dengan dibinasakan mereka semua) kemudian mereka tidak diberi tangguh. Dan kalau seandainya Kami turunkan malaikat, pasti akan Kami jadikan dia seorang manusia, Kami-pun akan jadikan mereka tetap ragu sebagaimana mereka kini ragu“. [Al-An’am/6 : 8-9]
Dan ketahuilah, semoga Allah menambahkan ilmu kepadamu, semesta ini adalah mahluk yang diciptakan dengan tujuan tertentu. Yaitu beribadah kepada Allah. Seperti dinyatakan dalam firman-Nya.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku“. [Adz-Dzariyat/51 : 56]
Pendididkan Sufi
Supaya ajaran tasawuf mencapai tujuannya, mereka kenakan pada tokoh-tokohnya sifat bebas dari dosa (‘ishmah). Selain itu, menuntut kepada muridnya agar bersikap seperti mayit di tangan yang memandikannya. Maka janganlah engkau melampauinya dengan mengambil ilmu sufi dari guru lain, karena seorang murid yang menimba ilmu dari dua guru ibarat seorang wanita di tangan dua lelaki[4].
Ibnu Arabi berkata : “Sesungguhnya termasuk syarat imam batin, hendaklah ia ma’shum (bebas dari dosa)[5]” Katanya lebih lanjut : “Dan engkau, wahai para murid yang tertipu dan tersesat, bantulah apa yang diinginkan terhadap engkau. Dan bersangka baiklah, jangan membantah. Bahkan yakinilah. Dan manusia dalam masalah ini mempunyai perkataan yang banyak. Tapi terserah dirilah, niscaya engkau akan selamat. Dan Allah lebih mengetahui perkataan para walinya[6].
Kami tidak mengetahui kenapa banyak ulama kaum muslimin berdiam diri terhadap kekufuran dan keingkaran yang bersembunyi dalam pakaian Islam yang bertujuan menipu, menyesatkan serta mengajak kaum muslimin untuk meyakininya serta menegakan agama mereka di atas asasnya ? Sesungguhnya termasuk suatu kebaikan jihad di sisi Allah untuk menghapuskan fitnah ini dari kalangan muslimin, karena sesungguhnya fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Kenapa kaum muslimin tidak terang-terangan memerangi mereka secara keseluruhan demi tumbangnya kepalsuan-kepalsuan yang telah memburamkan keindahan Islam ?.
Bahkan kenyataannya banyak kaum muslimin yang tersembelih kesesatan dan kekufuran ini. Dan tidaklah menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian ini kecuali usaha para ulama Islam untuk menyingkap kebatilan-kebatilan tadi dengan berbagai bahasa dan dengan berbagai kedudukan. Maka wahai Rabbku, bangkitkanlah orang-orang yang memperbaharui agama-Mu ini, karena sesungguhnya kaum sufi telah kembali bangkit dengan wajah baru pula.
(Disadur dari kitab Al-Islam fi-Dha’u Al-Kitab wa As-Sunnah, cet.II, hal. 81-97)
Penulis: Asy-Syaikh
Salim Al-Hilali dan Ziyad Ad-Dabij
_______
Footnote:
[1] Al-Hukumat Al-Islamiyah, Khumeini, hal. 52
[2] Al-Insan Al-Kamil lil Jalil, hal.4
[3] Futuhat Al-Makkiyah, I/152
[4] Ihya’ Ulumuddin, I/50-51 dan III/75-76
[5] Futuhat Al-Makkiyah, III/183
[6] Muqaddimah Al-Futuhat, I/5
Referensi: https://almanhaj.or.id/
DUNIA DICIPTAKAN KARENA NUR (CAHAYA) NABI MHUHAMMAD SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM?
Proses tashfiyah dan tarbiyah , pemurnian ajaran Islam dan mendidik umat dengan ajaran yang sesuai dengan syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , harus tetap menjadi langkah acuan dalam mendakwahkan Islam. Hal ini dikarenakan masih ada keyakinan-keyakinan tidak benar yang merasuki kalbu umat. Bak rumah yang berpondasi rusak, maka aqidah yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi ini pun akhirnya merusak umat dan berperan besar dalam menimbulkan perpecahan demi perpecahan. Di antara aqidah yang diyakini kebenarannya, padahal merupakan aqidah yang salah, aqidah Nur Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
HAKIKAT AQIDAH NUR MUHAMMAD
Di antara keyakinan keliru yang digagas oleh aqthâb (tokoh) Sufi, disebarkan dan dibela oleh mereka, aqidah Nur Muhammad. Mereka pun membakukan ushul (landasan-landasan) untuk membenarkan aqidah ini dalam kitab-kitab yang mereka tulis dan dalam syair-syair mereka susun. Hanya, meski cukup terkenal aqidah ini, namun para Ulama mereka belum satu kata dalam mendefinisikannya secara detail dan jelas. Masing-masing menyampaikannya sesuai dengan perasaan dan apa yang terbetik pada firasatnya (?!).
Mereka mengatakan, “(Yang dimaksud Nur Muhammad) bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diciptakan dari cahaya, dan yang pertama kali diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla adalah cahaya Muhammad; dan bumi seisinya diciptakan karena Rasûlullâh, kalaulah tidak ada beliau, maka bumi tidak akan pernah ada dan diciptakan”
Yûsuf Ismâil an-Nabhâni salah satu pembela ideologi ini menjelaskan makna istilah yang aneh ini dengan berkata, “Ketahuilah, bahwasannya tatkala kehendak al-Haq (Allâh) berhubungan dengan penciptaan para makhluk-Nya, Allâh Azza wa Jalla telah menampakkan haqiqat Muhammad dari cahaya-cahaya-Nya, kemudian dengan sebabnya tersingkaplah seluruh alam dari atas hingga bawahnya …….kemudian terpancarlah darinya sumber ruh-ruh, sedangkan dia (Muhammad) merupakan jenis (ruh) yang paling tinggi di atas segala jenis dan sebagai induk terbesar bagi seluruh makhluk yang ada.” [1]
Ini mengandung pengertian bahwasanya Allâh Azza wa Jalla menciptakan Muhammad dari cahaya-Nya dan bahwa Dia Azza wa Jallamenciptakannya sebelum penciptaan Adam, bahkan sebelum menciptakan seluruh alam. Dan bahwa segala sesuatu diciptakan dari cahaya Muhammad.
Salah satu dari tokoh mereka juga mengatakan, “Kalaulah tidak ada dia (Muhammad), matahari, bulan… bintang, lauh, dan Qolam tidak akan pernah diciptakan”.[2]
MELURUSKAN AQIDAH NUR MUHAMMAD
Apa yang mereka sampaikan di atas, adalah anggapan-anggapan yang batil dan pernyataan-pernyataan yang tidak memiliki bukti (dasar) dari al-Qur`ân maupun Hadits Nabi yang shahih. Dan tatkala mereka dimintai dalil yang shahih dan jelas serta tidak kontradiktif dengan nash-nash yang ada, mereka malah berhujjah dengan hadits-hadits yang seluruhnya berderajat maudhû (palsu). Di antaranya:
لَوْلَاكَ مَا خُلَقَتِ الْأَفْلاَكُ
Kalau tidak ada kamu, bintang-bintang tidak diciptakan [3]
كُنْتُ نَبِياًّ وَلاَ آدَمَ وَلاَ مَاءَ وَلاَ طِيْنَ
Aku menjadi nabi, sedang Adam, air dan tanah belum ada [4]
إِنَّهُ كَانَ نُوْرًا حَوْلَ الْعَرْشِ فَقَالَ : يَا جِبْرِيْلُ: أَنَا كُنْتُ ذَلِكَ النُّورَ
Sesunggunya dia (Muhammad) dulu adalah cahaya yang ada di sekeliling Arsy. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Jibril, aku dulu adalah cahaya itu” [5]
Hadits-hadits ini berderajat palsu, sementara sanad (para perawi yang meriwayatkannya) dan matannya (teks haditsnya) pun munkar. Sungguh aneh, mereka menggunakan hadits-hadits palsu ini untuk menguatkan aqidah Nur Muhammad, padahal mereka mengatakan tidak bolehnya menggunakan hadits Ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah, walaupun terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim !!! Apakah pantas hadits-hadits seperti ini dijadikan hujjah (dasar) dalam agama?! Bagaimana mereka bisa menggunakan hadits-hadits tersebut sebagai hujah padahal bertentangan dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku [ad-Dzâriyât/51:56]
Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam ayat ini bahwa Dia Azza wa Jalla tidak menciptakan jin dan manusia seluruhnya termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali untuk tujuan ibadah kepada-Nya saja. Tujuan mengadopsi kesesatan ini, agar mereka dapat menghilangkan makna tauhid. Bagaimana bisa khurofat ini melekat pada sebagian akal kaum Muslimin, seolah-olah mereka belum pernah membaca ayat di atas. Mungkin saja, karena kebodohan (tentang agama) yang terlalu parah telah bermain pada akal mereka.
Tentang keyakinan mereka bahwa Nabi Muhammad berasal dari cahaya, bukan seperti manusia dalam hal penciptaannya, keyakinan tersebut bertentangan dengan nash-nash yang telah ada dalam al-Qur`ân, seperti firman Allâh Azza wa Jalla:
قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا
Katakanlah, “Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” [al-Isrâ/16:93]
Dan juga menyelisihi firman Allâh Azza wa Jalla berikut yang menyatakan adanya nabi dan rasul sebelum beliau:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Katakanlah, “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [al-Ahqâf/46:9]
Barangsiapa yang mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai manusia dan meyakininya berasal dari cahaya yang tidak memiliki bayangan, sungguh orang tersebut telah menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ia menginginkan untuk mengagungkan beliau.
Syaikh Ibnu Bâz rahimahullah berkata tentang aqidah Nur Muhammad, “Sehubungan dengan perkataan sebagian manusia dan khurofi, serta kalangan Sufi bahwa ‘beliau (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) diciptakan dari cahaya’ atau ‘yang pertama kali diciptakan adalah cahaya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ini semua kabar (riwayat) yang tidak ada asalnya, seluruhnya kebatilan, merupakan berita palsu yang tidak ada dasarnya (sama sekali) sebagaimana telah disebutkan di muka”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “(Pernyataan) bahwa dunia diciptakan karena (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kalau tidak ada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dunia tidak akan pernah ada, juga tidak akan diciptakan makhluk (lainnya), ini merupakan kebatilan, tidak ada asalnya, ini perkataan yang rusak. Allâh Azza wa Jalla menciptakan dunia agar Dia k dikenal, diketahui dan diibadahi (oleh makhluk, manusia). Allâh Azza wa Jalla menciptakan dunia dan seluruh makhluk agar dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kekuasaan dan ilmu-Nya, agar ibadahi, tidak ada sekutu bagi-nya, bukan karena (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (Nab) Nuh Alaihissalam, ataupun (Nabi) Isa Alaihissallam maupun karena nabi lainnya. Allâh menciptakan seluruh makhluk agar mereka beribadah kepada-Nya. Allâh berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku [ad-Dzâriyât/51:56]
Di sini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Dia menciptakan mereka agar beribadah kepada-Nya, bukan karena Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dalam kandungan ayat di atas, diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [al-Hijr/15:99]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
Allâh-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allâh berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu [ath-Thalâq/65:12]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا
Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah [Shâd/38:27]”
Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Ini semua yang engkau dengar (ada di tengah masyarakat) merupakan kebatilan, tidak ada dasarnya sama sekali (dalam Islam), Allâh Azza wa Jalla tidak menciptakan makhluk, tidak jin, manusia, langit dan bumi dan makhluk lainnya bukan lantaran Muhammad, bukan juga karena rasul yang lain. Akan tetapi, menciptakan semua makhluk dan dunia untuk tujuan agar Allâh Azza wa Jalla diibadahi dan menjadi sarana mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya”[6].
Dengan demikian, sudah jelas, penyimpangan aqidah Nur Muhammad yang diyakini oleh sebagian orang (kaum Sufi). Sebuah keyakinan yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada umat Islam. Maka, harus disingkirkan jauh-jauh dari umat Islam.
Wallâhu a’lam
Penulis: Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra MA.
_______
Footnote:
[1]. Al-Anwâr al-Muhammadiyyah hlm. 9
[2]. Tanbîhul Hudzdzâq hlm. 27, nukilan dari Huqûqin Nabiyyi , DR. Muhammad Khalîfah at-Tamîmi, 2/714
[3]. As-Silsilah adh-Dha’îfah hadits no. 282
[4]. As-Silsilah adh-Dha’îfah hadits no. 303
[5]. As-Silsilah adh-Dha’îfah hadits no. 1/474
[6]. Fatâwa Nûr ‘ala ad-Darb 1/96-100
Referensi: https://almanhaj.or.id