Type Here to Get Search Results !

 


UNTUK PARA PENOLAK KHABAR AHAD

DALIL PARA PENOLAK KHABAR AHAD

Di muka telah dijelaskan, bahwa As-Sunnah menurut sampainya kepada kita terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Kemudian para ulama membahas lagi dari segi wurudnya menjadi qath’i dan zhanni.

Yang dimaksud dengan dalil qath’i ialah dalil mutawatir, sedangkan dalil zhanni ialah dalil yang diambil dari hadits ahad. Qath’i maksudnya ialah pasti dan tidak diragukan lagi sedangkan zhanni ialah dalil yang kepastian kebenarannya di bawah qath’i.

Dalam hal penolakan khabar ahad, yang paling menonjol ialah kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mereka menolak hadits ahad karena adanya kaidah berfikir yang menyatakan bahwa akal adalah sumber kebenaran (yang lebih populer dikenal dengan dalil ‘aqli). Menurut mereka bila ada dalil naqli (dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah) yang bertentangan dengan akal, maka akallah yang didahulukan. Lebih-lebih bila dalil itu berkenaan dengan soal ‘aqidah atau perkara ghaib, maka mereka meragukan dan menolaknya.

Syaikh Mahmud Syaltut adalah termasuk tokoh yang dapat dikatakan mewakili mereka yang menolak khabar ahad di zaman ini. Ia adalah seorang tokoh pendukung gerakan Syaikh Muhammad ‘Abduh yang sering disebut sebagai motor gerakan Pembaharuan Islam atau tajdid?!

Dalam bukunya, Syaltut berkata, “Sungguh telah bersepakat para ulama, bahwasanya dalil ‘aqli yang benar kaidahnya dengan rujukannya kepada kebaikan dan kepentingan manusia adalah merupakan dalil yang meyakinkan dan dapat menghasilkan keimanan yang semestinya. Adapun dalil naqli, maka sungguh banyak dari ulama yang berpendapat bahwa ia bukanlah merupakan dalil yang meyakinkan dan dapat menghasilkan keimanan yang semestinya, serta dalil ini tidak pula dapat menetapkan perkara ‘aqidah. Kaidah seperti ini ditetapkan oleh para ulama karena masalah ‘aqidah adalah lapangan pembahasan yang sangat luas dengan berbagai kemungkinan yang banyak, sehingga mustahil untuk ditetapkan hanya dengan dalil naqli semata. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa dalil naqli itu dapat menghasilkan keyakinan dan dapat menetapkan perkara ‘aqidah, mereka meletakkan syarat untuk diterimanya dalil naqli dalam hal ‘aqidah hanyalah yang qath’i saja, baik qath’i dalam periwayatannya ataupun qath’i dalam dalalahnya. Yang dimaksud qath’i dalam periwayatannya ialah tidak boleh ada padanya sedikit pun keraguan dalam hal sampainya riwayat tersebut kepada kita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti hanyalah riwayat mutawatir saja. Sedangkan yang dimaksud qath’i dalalahnya adalah sebagai syarat diterimanya riwayat mutawatir dalam bidang ‘aqidah, di mana keterangan yang terdapat dalam riwayat tersebut sifatnya muhkam (yakni gamblang dan jelas), sehingga tidak menerima adanya kemungkinan diartikan kesana-kemari. Maka apabila naqli memenuhi syarat tersebut, barulah ia dapat diterima sebagai berita yang harus diyakini dan pantas untuk menetapkan perkara ‘aqidah.”

Selanjutnya Syaltut menyatakan: “Perkara ‘aqidah tidak ditetapkan oleh hadits, karena perkara ‘aqidah adalah perkara yang harus diimani. Sehingga iman itu artinya ialah keyakinan yang pasti dan tidaklah sampai kepada keyakinan yang pasti kecuali yang qath’i riwayatnya maupun dalalahnya. Ini berarti hanya riwayat mutawatir saja yang bisa diterima. Karena itu hadits yang riwayatnya tidak sampai ke derajat mutawatir tidak lebih hanyalah zhan (dugaan semata). Dan dalil zhanni tidaklah dapat menetapkan perkara ‘aqidah.”

Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai berikut:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesung-guhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Yunus/10: 36]

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’aam/6: 116]

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm/53: 27-28]



TANGGAPAN DAN BANTAHAN ATAS PENOLAKAN KHABAR AHAD

Dalam hal ini sesungguhnya kita harus meneliti dan memeriksa kembali makna zhan dalam ayat-ayat itu menurut penafsiran para Shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Sesungguhnya zhan (dugaan) yang termaktub dalam ayat-ayat di atas adalah untuk menggambarkan keyakinan orang-orang kafir dan kaum musyrikin. Mereka itu hanya mengikuti dugaan saja dalam ber’aqidah, hingga keyakinan mereka tidaklah sampai kepada tingkat kepastian.

Zhan yang dimaksud dalam ayat-ayat itu adalah dusta, yaitu yang diyakini oleh orang-orang musyrik. Dan yang menguatkan pengertian ini ialah lanjutan firman Allah berikut ini:

إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“…Mereka itu hanyalah mengikuti dugaan saja, dan sesungguhnya mereka itu hanyalah berdusta.” [Al-An’aam/6: 116]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“… Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm/53: 28]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan surat an-Najm/53 ayat 28 berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai ilmu yang benar dan tidak pula ucapan mereka. Bahkan mereka telah berdusta, omongannya palsu, mengada-ada, dan telah berbuat kekufuran yang keji. Mereka itu hanyalah mengikuti zhan yang tidak punya kepastian sedikit pun, dan mereka tidak berada di atas kebenaran sama sekali. Sungguh telah diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبَ الْحَدِيْثِ

‘Jauhilah oleh kalian zhan (sangka-sangka), karena zhan itu adalah seburuk-buruk omongan dusta.’

Maka jauhilah dirimu dari orang-orang yang menolak kebenaran, dan tinggalkanlah mereka.[1]”

Sebenarnya dasar berfikir mereka hingga membedakan antara ‘aqidah dan ahkam dalam penggunaan hadits ahad sebagai hujjah merupakan dasar pemikiran filsafat yang dimasukkan ke dalam Islam[2]. Tentu saja hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salafush Shalih dan empat Imam madzhab. Pada hakekatnya mereka tidak punya dalil baik dari Al-Qur-an maupun dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini. Adapun ayat-ayat yang mereka jadikan dasar adalah berkenaan dengan orang-orang kafir dan musyrik.

Alangkah bodohnya orang yang mengambil ayat sepotong-sepotong kemudian dijadikan hujjah sebagai dasar pemikiran tanpa melihat ayat-ayat lain dan hadits-hadits maupun pendapat para Salafush Shalih. Mereka lakukan yang demikian karena sudah sedemikian jauhnya mereka dari pemahaman Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para Shahabat Ridwanullah ‘alaihim ajma’in, dan mereka sudah terlalu disibukkan dengan pendapat-pendapat tokoh filsafat dan sekte-sekte sesat.

Mereka juga menggunakan riwayat yang menunjukkan bahwa sejumlah Shahabat tidak menggunakan hadits ahad, misalnya saja Abu Bakar yang menolak hadits dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, beliau baru menetapkannya setelah hadits tersebut dikuatkan oleh Muhammad bin Maslamah. Demikian pula ‘Umar telah menolak hadits riwayat Abu Musa tentang isti’dzan (yaitu minta izin masuk rumah setelah salam tiga kali), dan baru menerapkannya setelah dikuatkan oleh Abu Sa’id. Juga Abu Bakar dan ‘Umar menolak riwayat yang disam-paikan oleh ‘Utsman berkenaan dengan pemberian izin Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam untuk menolak Hakam al-Asyja’iy menge-nai mufawwadhah (hadits mengenai mahar yang tidak sempat dibayar). Bahkan ‘Ali tidak mau menerima hadits ahad sebelum mengangkat sumpah rawinya, terkecuali hadits yang diriwayatkan Abu Bakar. Begitu pula ‘Aisyah menolak khabar ahad Ibnu ‘Umar tentang disiksanya mayit karena ratapan tangisan keluarganya[3].

Jawaban Terhadap Riwayat-Riwayat di Atas

Tidak diragukan lagi bahwa para Shahabat telah melaksanakan hukum atas dasar hadits ahad. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam berita-berita mutawatir dan dalil-dalil serta perbuatan yang dilaksanakan atas dasar hadits ahad. Sekiranya terdapat berita bahwa para Shahabat menangguhkan beberapa khabar ahad, hal ini tidaklah merupakan dalil bahwa mereka tidak beramal atas dasar khabar ahad, akan tetapi mereka melakukan yang demikian semata-mata karena hati-hati atau didorong oleh keinginan untuk berbuat baik atas dasar landasan yang kokoh. Contoh penolakan Abu Bakar terhadap khabar yang diterima dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, bukan karena beritanya bersifat ahad, tetapi beliau menangguhkannya menanti adanya orang yang menguatkan khabar tersebut atau (dimungkinkan) adanya tambahan keterangan. Hal ini dilakukan beliau dengan alasan bahwa menurut pendapatnya, syari’at Islam menetapkan hak waris bagi nenek seperenam bagian. Karena pendapat itu tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an, maka haruslah diusahakan dan ditetapkan dengan segala kehati-hatian. Tetapi setelah Muhammad bin Maslamah menguatkan bahwa ia pun menerimanya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi menerima hadits tersebut dan mengamalkannya. Demikian pula halnya penolakan ‘Umar terhadap khabar Abu Musa.

Pada intinya, kejadian-kejadian tersebut di atas merupakan pelajaran yang gamblang bagi para Shahabat dan generasi berikutnya yang menemukan sesuatu hal yang baru dalam Islam, apa lagi menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus dilakukan dengan hati-hati. Karena itulah ‘Umar berkata, “Saya bukan meragukanmu, tapi hal ini menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Kehati-hatian seperti ini bisa diajukan dalam setiap kejadian yang berkaitan dengan penerimaan hadits, tapi tujuannya bukan menolak penggunaan hadits ahad sebagai hujjah. Karena kalau kehati-hatian ini tidak dilakukan, maka tidak akan terjalin mata rantai antara Shahabat yang terdahulu dengan yang kemudian mengenai pengamatan dan pengamalan khabar ahad. Mata rantai antara Shahabat kepada Shahabat yang lainnya tidak keluar kedudukannya sebagai khabar ahad, walaupun diriwayatkan oleh dua atau tiga rawi.

Sehubungan dengan ini al-Amidi berkata sebagai berikut: “Riwayat yang ditolak atau yang ditangguhkan semata-mata karena tampak kontradiksi (bertentangan) atau tidak terpenuhi persyaratan periwayatan, bukan alasan untuk menolak penggunaan hadits ahad, bahkan di kalangan para Shahabat telah sepakat untuk mengamalkan khabar ahad. Oleh karena itu, terdapat kesepakatan bahwa Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah hujjah, walaupun dibolehkan meninggalkan dan menangguhkan (ketika itu) karena adanya faktor luar yang dapat mempengaruhinya.[4]”

_______

Footnote:

[1] Tafsir  Ibnu Katsir (IV/269).
[2] Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 54)
[3] Al-Ihkam lil Amidy, dinukil dari as-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 192)
[4] As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 193-194)


DALIL-DALIL TENTANG WAJIBNYA BERHUJJAH DENGAN HADITS AHAD DALAM BIDANG ‘AQIDAH

A. Dalil Pertama

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah/9: 122]

Di dalam ayat ini Allah menganjurkan kaum mukminin agar mereka memperdalam agama tafaqquh fiddin kepada apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak diragukan lagi bahwa yang dipelajari oleh mereka bukan hanya yang berkaitan dengan furu’ dan ahkam saja, bahkan seorang guru dan murid sudah semestinya memulai pelajaran dari hal-hal yang lebih penting dari yang penting, dan satu hal yang tidak bisa disangkal dan sudah merupakan aksioma bahwa ‘aqidah lebih penting dari ahkam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menganjurkan satu tha-ifah untuk memperdalam ‘aqidah dan ahkam, agar kelak mereka dapat memperingatkan kaumnya sekembali me-reka dari memperdalam pengetahuan agama, baik ‘aqidah maupun ahkam.

Istilah tha-ifah menurut bahasa digunakan untuk satu orang atau lebih. Seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal ‘aqidah, tentu Allah tidak menganjurkan kepada mereka untuk menyampaikan da’wah. Allah memberikan alasan dengan da’wah itu agar mereka berhati-hati.

Ayat di atas merupakan nash bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah di dalam mendakwahkan masalah ‘aqidah dan ahkam[1].

B. Dalil Kedua

Allah Sub berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [Al-Israa’/17: 36]

Kata walaa taqfu, artinya jangan kamu ikut dan jangan pula kamu mengamalkannya. Yang sudah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak masa Shahabat, mereka mengikuti khabar ahad dan mengamalkannya. Dengan khabar ahad itu mereka tetapkan masalah-masalah ghaib dan hakekat i’tiqadiyah, misalnya tentang awal diciptakannya makhluk dan tentang tanda-tanda hari Kiamat, bahkan mereka juga menetapkan sifat-sifat Allah dengan khabar ahad. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat untuk menentukan masalah ‘aqidah, maka kalau demikian para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam semuanya mengikuti sesuatu yang mereka tidak mempunyai ilmu padanya? Perkataan atau pendapat seperti ini tidak mungkin akan diucapkan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai muslim[2].

C. Dalil Ketiga

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat/49: 6]

Ayat ini menunjukkan jika ada seorang yang adil membawa kabar, maka terima dan jadikanlah hujjah tanpa perlu diselidiki lagi.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan dengan pasti tentang harusnya diterima khabar ahad, dan tidak perlu lagi diselidiki. Seandainya khabar itu tidak memberikan faedah ilmu, niscaya akan diperintahkan untuk diselidiki hingga didapat faedah ilmu. Hal ini menunjukkan diterimanya khabar ahad ialah apa yang dilakukan oleh para Salafush Shalih dan para imam, bahwa mereka akan senantiasa berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begini, beliau telah melakukan ini, memerintahkan, dan melarang begini dan begitu”. Dan juga kebanyakan dari Shahabat di dalam meriwayatkan hadits seorang dari mereka berkata, “Telah bersabda Rasulullah”, meski ia pun mendengar dari Shahabat yang lain. Ini merupakan persaksian dari orang yang meriwayatkan, dan merupakan satu kepastian tentang apa-apa yang mereka nisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu, niscaya ia menjadi saksi atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ilmu.”[3]

D. Dalil Keempat

Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya menunjukkan tentang wajibnya menerima hadits ahad sebagai hujjah. Sunnah Nabi Shallallahu ‘laihi wa sallam ini telah dilaksanakan oleh para Shahabat pada masa hidup beliau ataupun sesudah wafatnya. Dan ini menunjukkan satu dalil yang qath’i tentang tidak adanya perbedaan antara hadits ahad dalam bidang ‘aqidah maupun bidang ahkam.

Dalil-dalil amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini sebagai berikut:

    Dari Malik bin Huwairits Radhiyallahu anhu, ia bercerita, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kami tinggal di sisi beliau sekitar dua puluh hari, dan Rasulullah adalah seorang yang penuh kasih sayang dan mengerti perasaan orang. Maka ketika kami telah rindu kepada keluarga kami, beliau bertanya tentang siapa yang kami tinggalkan di rumah? Kami pun memberitahukan kapada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِرْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوْا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْاهُمْ وَمُرُوْهُمْ وَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.

“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian masing-masing, dan tinggallah kalian di tengah keluarga kalian, dan ajarilah mereka untuk mengamalkannya, dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”[4]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh masing-masing mereka untuk mengajarkan keluarganya, dan pengajaran itu mencakup ‘aqidah dan ahkam, bahkan ‘aqidah adalah masalah yang pokok dalam ajaran agama. Sekiranya khabar ahad tidak dapat dipakai sebagai hujjah, maka perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada artinya sama sekali. Jadi khabar ahad wajib dipakai dalam penyampaian ajaran Islam di segala bidang.

    Dari Anas bin Malik: “Bahwasanya penduduk Yaman datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, utuslah bersama kami seorang yang akan mengajari kami As-Sunnah dan Islam.’” Kata Anas, “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan Abu Ubaidah, seraya berkata:

هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ

“Ini adalah orang yang terpercaya bagi ummat ini.”[5]


Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan penyampaian ajaran Islam kepada seorang Shahabat. Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Lagi pula ada beberapa hadits shahih yang mengisahkan beberapa Shahabat yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke beberapa negeri untuk mengajarkan Islam yang mencakup ‘aqidah dan ahkam, seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy’ariy, dan lain-lainnya.

    Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma: “Ketika orang-orang sedang shalat Shubuh di Quba, tiba-tiba datang seorang yang berkata, ‘Sesungguhnya tadi malam telah turun ayat Al-Qur-an kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau diperintahkan untuk menghadap Kiblat (ke Makkah) dalam shalat, maka hendaklah kalian sekarang menghadap Kiblat’, ketika itu mereka shalat menghadap ke Syam. Maka (setelah mendengar perintah itu) mereka pun berputar menghadap ke Ka’bah.”[6]

Ini juga nash yang tegas, bahkan para Shahabat menerima khabar ahad untuk menghapus perintah menghadap ke Baitul Maqdis, dan kemudian mereka menghadap Ka’bah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka, bahkan mereka bersyukur atas kejadian yang demikian itu.”

Ahli Quba’ adalah golongan Anshar yang selalu paling dulu mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka shalat menghadap ke Syam, karena memang diperintahkan demikian oleh Allah. Mereka tidak akan meninggalkan ketetapan Allah kecuali berdasarkan hujjah yang kokoh, sekalipun belum bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pemindahan arah Kiblat itu. Mereka pindah arah Kiblat atas dasar khabar ahad, karena pembawa kabar tersebut menurut pandangan mereka termasuk orang-orang adil dan terpercaya.

Mereka meninggalkan kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis beralih menghadap ke Ka’bah sesuai dengan khabar ahad. Mereka tidak akan melakukannya dengan sembarangan melainkan dengan kabar yang dapat menjadikan hujjah secara mantap tentang masalah tersebut, yang berasal dari orang terpercaya. Karena tidak mungkin mereka berpindah arah Kiblat melainkan mereka yakin bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah.

    Sa’id bin Jubair meriwayatkan sebagai berikut: “Saya pernah berkata kepada Ibnu ‘Abbas bahwa al-Bikali menganggap Musa yang disebut sebagai Shahabat Khidir itu bukan Musa Bani Israil. Ibnu ‘Abbas menjawab, ‘Telah berdusta musuh Allah itu.’ Juga telah mengabarkan kepadaku Ubay bin Ka’ab, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhutbah di hadapan kami, kemudian beliau mengungkapkan riwayat tentang Musa dan Khidir. Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa Musa Bani Israil itulah yang merupakan Shahabat Khidir.”

Kata Imam asy-Syafi’i, “Ibnu ‘Abbas yang dikenal sebagai orang faqih dan taat serta berhati-hati dalam melaksanakan agama, memastikan khabar ahad Ubay bin Ka’ab itu benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan dengan dalil itu Ibnu ‘Abbas berani mendustakan Nauf al-Bikali tatkala ia mengisahkan kabar Ubay bin Ka’ab yang ia terima dari Rasulullah, bahwa Musa Bani Israil itu Shahabat Khidir.”

Perkataan Imam asy-Syafi’i ini menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara ‘aqidah dan ahkam di dalam menggunakan hadits ahad sebagai hujjah[7].

E. Keterangan Para Ulama Tentang Masalah Hadits Ahad

Para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu mengingatkan ummat Islam agar mereka yakin bahwa hadits atau khabar ahad merupakan hujjah dalam soal ‘aqidah dan ahkam. Berikut keterangan para ulama tentang masalah hadits ahad. Penulis akan memulai dari keterangan Imam asy-Syafi’i, karena beliaulah yang pertama kali membahas tentang hadits ahad dengan panjang lebar dalam kitabnya ar-Risalah dengan judul Dalil-Dalil Tentang Penggunaan Hadits Ahad sebagai Hujjah mulai dari halaman 401 sampai 453, setelah itu dilanjutkan lagi sampai halaman 460, dan kitab ini ditahqiq oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.

Dalil-dalil yang dibawakan Imam asy-Syafi’i adalah dalil-dalil mutlak yang mencakup tentang ‘aqidah dan ahkam. Bahasan itu beliau tutup dengan perkataan: “Dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah dicukupkan dengan hadits-hadits yang disebutkan di atas, sekalipun masih banyak yang lainnya. Demikianlah membentang jalan yang tiada putus-putusnya sejak zaman ulama Salaf (para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in) yang kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudah mereka sehingga sampailah pada apa yang kita saksikan sekarang ini. Dan begitu pula diceritakan kepada kita oleh ulama sebelum kita, yang mereka menerimanya dari ulama dari berbagai negeri.” Selanjutnya beliau berkata, “Patut pula ditambahkan bahwa tidak kudapati seorang pun dari fuqaha kaum muslimin yang ikhtilaf dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah.”

Dengan perkataan lain, semua ulama Islam dari dahulu sampai sekarang mengakui predikat khabar ahad sebagai hujjah yang mencakup berbagai kebutuhan. Sebagaimana Imam asy-Syafi’i telah menampakkan penjelasan dengan dalil-dalil yang gamblang dan tegas dari Al-Qur-an, As-Sunnah, perilaku Shahabat, Tabi’in, Ta-bi’ut Tabi’in, dan para ulama tentang keharusan menerima khabar ahad serta menggunakannya sebagai hujjah.

Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Sekelompok dari ahli ilmu Kalam (yakni kaum Mu’tazilah) beranggapan bahwa masalah ‘aqidah haruslah dengan dalil qath’i dan tidak diterima dalil dalam masalah ini kecuali dalil qath’i. Bahkan mereka menganggap wajib yang demikian ini dalam pembahasan ‘aqidah guna meyakini segala masalah dalam bidang ini.”

Pernyataan dan keyakinan ahli kalam seperti ini jelaslah salah dan menyimpang dari Al-Qur-an dan As-Sunnah serta ijma’ Salafush Shalih dan para Imam Muj-tahidin. Karena pada kenyataannya para ahli ilmu kalam tersebut adalah orang yang tidak konsekuen dengan ketetapan mereka sendiri. Di mana dalam pembahasan ‘aqidah mereka berdalil dengan teori-teori filsafat yang rancu, yang nilainya itu jauh lebih rendah di bawah kedudukan dalil zhanni yang mereka tolak.”

Cara berfikir ahlu bid’ah dari kalangan ahli ilmu Kalam adalah terbalik, mereka terima perkataan para filosof tanpa mempermasalahkan qath’i dan zhanni, tapi bila datang Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sudah sah, mereka menolaknya dan hanya mau menerima yang qath’i saja. Cara berfikir seperti ini adalah sangat terbalik menurut pandangan syari’at Islam.

Selanjutnya beliau rahimahullah berkata, “…Dan kabar ahad yang diriwayatkan oleh seorang Shahabat atau dua orang (yakni khabar ahad) apabila sudah dapat diterima dan dibenarkan, maka kabar itu memberi faedah ilmu menurut jumhur ulama, dan sebagian orang ada yang menamakan (khabar ahad) itu adalah kabar mustatidh. Dan sahnya ilmu di sini ialah hasil ijma’ ulama, sedangkan ummat ini tidak akan ijma’ dalam kesalahan. Karena itu hasil dari hampir seluruh isi Shahih al-Bukhari – Muslim disepakati keshahihannya oleh Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan Asyaa’irah. Dan hanya kelompok ahli ilmu Kalam yang menyalahi dalam masalah ini sebagaimana yang sudah diuraikan tadi.[8]”

Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah menyatakan: “Hadits ahad walaupun mempunyai kemungkinan benar dan salah, akan tetapi untuk diterimanya suatu kabar tentulah melalui proses penyeleksian yang teliti yang hanya dapat dilakukan oleh para ahli yang telah meluangkan waktunya untuk meneliti hadits dan membahas biografi para rawi tentang kehidupan mereka serta perkataan mereka (dengan sangat hati-hati sekali), dan mereka tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam walau satu kalimat, dengan diancam bunuh sekalipun. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak dilakukan oleh seorang saja, bahkan banyak dilakukan oleh banyak ahli dalam bidang ini, sehingga sedikit sekali kesalahan yang dilakukan oleh para peneliti…[9]”

Para ulama Ahlus Sunnah bila mendapatkan nash yang shahih, maka mereka tidak akan berpaling dan tidak akan meninggalkan nash itu karena bertentangan dengan akal atau karena ada pendapat si fulan atau yang lainnya. Begitulah semestinya kita bersikap terhadap nash yang sampai kepada kita, karena nash tersebut telah diteliti dengan cermat oleh para pakar hadits sejak dahulu sampai hari ini. Menurut jumhur ulama khabar ahad wajib diterima dan sangat berfaedah untuk memperkuat ‘aqidah kita.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah telah membahas masalah ini dengan luas sekali dalam kitabnya Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah, dan di samping itu ia juga membahas tentang wajibnya mengikuti As-Sunnah dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin. Perkataan Ibnul Qayyim sudah dijelaskan di muka dan pada dalil ketiga tentang wajibnya berhujjah dengan hadits ahad.

Sebenarnya masih banyak pendapat para ulama terdahulu tentang keharusan menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah, seperti Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ihkaam fil Ushuulil Ahkaam oleh al-Amidi, dan kitab-kitab lainnya. Tetapi pendapat-pendapat para ulama di atas telah cukup mewakili, dan banyak kita dengar pula pendapat ulama mu’ashir (zaman sekarang) yang banyak menghabiskan waktunya untuk mentakhrij hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau dikenal sebagai muhaddits (ahli Hadits) abad ini, itulah ia Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Pendapat yang mengatakan tidak boleh berpegang dengan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah adalah suatu pendapat atau perbuatan yang diada-adakan (atas nama agama). Singkatnya, dalil-dalil Al-Qur-an, As-Sunnah, amalan para Shahabat, dan pendapat para ulama menunjukkan dengan pasti bahwa kita wajib menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam permasalahan syari’at, baik dalam bentuk ‘aqidah maupun ahkam. Dan orang yang memilah-milah antara ‘aqidah dan ahkam di dalam berhujjah dengan hadits ahad adalah suatu perbuatan bid’ah yang tidak dikenal oleh para ulama Salaf.

Dalam kitabnya yang lain, beliau berkata, “Secara praktek sangat sulit membedakan antara ‘aqidah dan ahkam, karena ‘aqidah harus diiringi dengan amal, dan amal harus disertai keyakinan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus para Shahabat, seperti Mush’ab ke Madinah, Mu’adz ke Yaman, dan yang lainnya, beliau memerintahkan agar mereka menyampaikan masalah ‘aqidah dan amal. Amal tidak terbatas pada anggota tubuh saja, bahkan amal hati termasuk pokok bagi amal anggota tubuh, karena amal anggota tubuh selalu mengikuti amal hati. Setiap masalah harus disertai iman dalam hati, membenarkannya dan mencintainya, yang demikian adalah amal, bahkan merupakan pokok amal.”

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______

Footnote:

[1] Lihat al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaaid wal Ahkam (hal. 55-56).
[2] Lihat al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaaid wal Ahkam hal. 56.
[3] Lihat al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaaid wal Ahkam hal. 57.
[4] HR. Al-Bukhari (no. 7246).
[5] HR. Muslim no. 2419 (54)) dan al-Bukhari meriwayatkan secara ringkas (no. 3745).
[6] HR. Al-Bukhari (no. 403) dan Muslim (no. 526 (13))
[7] Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 58-60).
[8] Lihat Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah (hal. 531, dst) tahqiq Sayyid bin Ibrahim, cet. Daar Zamzam, th. 1414H.
[9] Syarah ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 355-356) tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany