Type Here to Get Search Results !

 


SUNNAH VERSUS BID'AH

AS-SUNNAH DAN DEFINISINYA

Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at

As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam[1].
  1. Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru.
  2. Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.
Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.

As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.

Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.

As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah[2].

As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya[3].

Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain:

a. Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.”[4]

b. Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.

Contoh:

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ

“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya”[5]

c. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya.

Contoh:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ: يَا بِلاَلُ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُوْراً فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.”[6]

Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulan dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.”[7]

Di antara makna Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang difahami oleh para Shahabat dan Salafush Shalih Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur-anul Karim

Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maksudnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’. Al-Qur-an menyifatkan As-Sunnah dengan makna hikmah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul di antara mereka yang akan membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada mereka dan mensucikan mereka (dari kelakuan-kelakuan yang keji), sesungguhnya Engkau Mahamulia lagi Mahabijaksana” [Al-Baqarah/2: 129]

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia bagi orang-orang yang beriman, ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari sifat-sifat jahat), dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata” [Ali ‘Imran/3: 164]

وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“… Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah dan mengajarkanmu apa-apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu amat besar.” [An-Nisaa’/4: 113]

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

“Sebutlah apa-apa yang dibacakan dalam rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab/33: 34]

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Dialah yang mengutus kepada ummat yang ummi seorang Rasul dari antara mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya. Yang membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.” [Al-Jumu’ah/62: 2]

Maksud penyebutan Al-Kitab pada ayat-ayat di atas adalah Al-Qur-an. Dan yang dimaksud dengan Al-Hik-mah adalah As-Sunnah.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah menyebut al-Kitab, yang dimaksud adalah Al-Qur-an dan menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar di negeriku dari para ahli ilmu yang mengerti Al-Qur-an berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.”[8]

Qatadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Begitu pula penjelasan dari al-Hasan al-Bashri”[9]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu…” [An-Nisaa’/4: 59]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah mengikuti dan As-Sunnah.”[10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Banyak dari Salafush Shalih berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Karena sesungguhnya yang dibaca di rumah-rumah isteri Nabi رَضِيَ اللهُ عَنْهُن selain Al-Qur-an adalah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab dan yang sepertinya bersamanya.”[11]

Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril Alaihissallam turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa As-Sunnah sebagaimana Al-Qur-an. Mengajarkan As-Sunnah itu sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur-an.”[12]

Dan lihat pula kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat ini (Al-Ahzaab: 34) dalam Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya dari tafsir Al-Qur-an bil ma’tsur.

Para Salafush Shalih memberi makna As-Sunnah dengan agama dan syari’at yang dibawa oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak dalam masalah ilmu dan amal, dan apa-apa yang diterima oleh para Shahabat, Tabi’in dan Salafush Shalih dalam bidang ‘aqidah maupun furu’.

Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Sunnah itu adalah tali Allah yang kuat.”[13]

‘Abdullah bin ad-Dailamy rahimahullah (dari pembesar Tabi’in) berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama ini adalah karena manusia meninggalkan As-Sunnah.”[14]

Imam al-Lalika-i membawakan penafsiran ayat:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا

“Kemudian kami jadikan kamu di atas syari’at dari perintah, maka ikutilah…” [Al-Jaatsiyah/45: 18]

“Yakni engkau berada di atas Sunnah.”[15]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berKedua

 “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari agama (ini).”[16]

As-Sunnah adalah yang dimaksud dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.
_______

Footnote:

[1] Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.
[2] Lihat kitab Irsyaadul Fuhuul asy-Syaukani (hal. 32), Fat-hul Baari (XIII/245-246), Mafhuum Ahlis Sunnah wal Jama’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 37-43).
[3] Lihat pada buku penulis, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 10).
[4] HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban no. 229), hadits ini hasan.
[5] HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no. 430), Shahih Ibni Majah (no. 345), al-Hakim (I/149) dan al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” At-Tirmidzi berkata: “Hasan shahih.” Lihat Shahih Ibni Majah (no. 344) dari Shahabat ‘Ammar bin Yasir.
[6] HR. Al-Bukhari (no. 1149) dan Muslim (no. 2458), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7] HR. Abi Dawud (no. 338-339), an-Nasa-i (I/213) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud (no. 366), cet. I/ Ghar-raas, th. 1423 H.
[8] Ar-Risaalah (hal. 78 no. (252)), tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.
[9] Lihat Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalikaaiy (I/78 no. 70-71), tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan.
[10] Tafsir Ibnu Katsir (I/568).
[11] HSR. Abu Dawud (no. 4604) dan Ahmad (IV/131).
[12] Fatawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (III/366).
[13] Asy-Syahru wal Ibanah, Ibnu Baththah al-‘Ukbary (no. 49).
[14] Sunan ad-Darimi (I/45).
[15] Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalika-i (I/76-77 no. 66).
[16] Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/436).




SUNNAH DAN BID'AH

Sunnah dengan makna apa-apa yang disyari’atkan oleh Rasul-Nya adalah lawan
dari bid’ah, yakni apa-apa yang baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Bid’ah menurut bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan[2].

Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata:

مَا اخْتُرِعَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

“Lafazh bid’ah pada asalnya bermakna apa saja yang diada-adakan yang tidak ada contoh sebelumnya.”

Di antara kata bid’ah yang dinamakan demikian ialah kata bid’ah yang terdapat dalam firman Allah:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah yang menciptakan langit dan bumi…” [Al-Baqarah/2: 117]

Maksudnya, kata بَدِيْعُ di sini bahwa Allah mengadakan atau menciptakannya dengan rupa (bentuk) yang tidak ada contoh sebelumnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Aku bukan seorang Rasul yang baru (bid’ah)…’” [Al-Ahqaaf/46: 9]

Maksud بِدْعاً di sini ialah: “Bukanlah aku seorang Rasul pertama yang membawa risalah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, bahkan telah banyak Rasul-Rasul yang telah mendahuluiku.”

Apabila dikatakan si fulan telah membuat satu bid‘ah, maka artinya si fulan telah mengadakan suatu jalan (cara) yang belum pernah ada orang yang melakukan sebelumnya[3].

Baca juga: Definisi Bid'ah

Bid’ah menurut syari’at ialah apa-apa yang diadakan oleh manusia baik perkataan maupun perbuatan di dalam agama dan syi’ar-syi’arnya yang tidak ada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya yang maksud mengerjakannya untuk ta’abbud (peribadahan)[4].

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan (agama) kami dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka (amalan) itu tertolak.”[5]

Dalam hadits lain dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاًً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal denganl satu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”[6]

Ketika Ibnu Taimiyyah mendefinisikan bid’ah, beliau berkata: “Bid’ah itu adalah apa-apa yang menyalahi Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ Salafush Shalih, baik masaah-masalah aqidah maupun masalah-masalah ibadah, seperti perkataan-perkataan orang-orang Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah, dan Jahmiyyah serta orang-orang yang beribadah sambil menari-nari dan bernyanyi di masjid-masjid.”[7]


Jadi, terkadang As-Sunnah dimaksudkan kepada lawan dari bid’ah. Bila dikatakan si fulan mengikuti Sunnah artinya si fulan beramal menurut apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu dan para Shahabatnya. Dan bila dikatakan si fulan berbuat bid’ah artinya si fulan beramal menyalahi apa-apa yang dilaksanakan Rasulullah dan para Shahabatnya Radhiyallahu anhum.

As-Sunnah yang dimaksud dalam pembahasan itu adalah arti Sunnah menurut pengertian ulama ushul, karena pengertian inilah yang digunakan dalam pembahasan dalil-dalil pokok dan kedudukannya dalam pembinaan dan pembuatan hukum syara’. Kendatipun demikian dalam analisis sejarah akan diketengahkan pula pengertian secara umum sebagaimana yang digunakan oleh ahli hadits.

_______

Footnote:

[1] Mafhuum Ahlis Sunnah (hal. 32, 35).
[2] Lihat kitab Lisaanul ‘Arab (I/342), Mukhtasharush Shihhah (hal. 43-44).
[3] Al I’tisham (I/49), tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
[4] Al I’tisham (I/50), tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
[5] HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha.
[6] HR. Muslim (no. 1718 (17)) dan selainnya.
[7] Majmu’ Fataawaa (XVIII/346 dan XXXV/414).


KHATIMAH

Sebagai akhir bahasan masalah ini, alangkah baiknya kita saling ingat dan mengingatkan, bahwa:

1. Wajib bagi setiap muslim mengimani semua hadits yang sudah shahih yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam masalah ‘aqidah maupun ahkam, baik yang mutawatir maupun hadits ahad. Semua wajib kita imani dan kita terima dengan sepenuh hati.

2. Bahwa hak tasyri’ (membuat syari’at) hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang akan menjelaskannya. Sedangkan bila yang ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallaam tidak terdapat dalam Al-Qur-an berarti beliau telah diizinkan Allah untuk menetapkan sya-ri’at itu. Dan bagi seorang mukmin bila diseru untuk berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya tiada pilihan lain baginya kecuali wajib taat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar, dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. [An-Nuur/4: 51]

3. Kita harus menjadi orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabat Ridwanullah ‘alaihim ajma’in, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. Karena tidak ada yang pantas untuk dijadikan contoh, panutan, dan teladan, melainkan terpatri pada sosok pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Kita tidak diperkenankan mengikuti tokoh-tokoh yang dianggap sebagai orang terkenal, yang dalam ‘aqidah dan amal mereka menyimpang dari apa yang sudah digariskan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan sudah semestinya kita menjauhi tokoh-tokoh filsafat yang telah banyak merusak ajaran Islam.

5. Pemahaman, pengamalan, dan dakwah yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah haruslah sebagaimana yang difahami, diamalkan, dan didakwahkan oleh Rasulullah Shallallahuu ‘alaihi wa sallam, dan para Shahabatnya, tidak boleh ada seorang pun yang menyalahi aturan dalam perkara ini.


Akhirul kalam, penulis berharap kepada Allah agar kiranya tulisan ini bermanfaat untuk kita semua dan menjadi suatu amalan yang ikhlas dengan mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang senantiasa berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan jadikanlah kami istiqamah di atas Sunnah.

Wallaahu a’lam bish Shawaab.

سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

_____

MARAJI:
  1.     Musnad Ahmad, Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir
  2.     Shahih Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari
  3.     Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi
  4.     Sunan Abi Dawud, Sulaiman bin al-Ast’ats as- Sijistani
  5.     Sunan at-Tirmidzi, Abu Isa at-Tirmidzi
  6.     Sunan an-Nasa’i , Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i
  7.     Sunan Ibni Majah, Muhammad bin Yazid al-Qazwini
  8.     Sunan ad-Darimi, Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman bin al-Fadhl bin Bahrain ad- Darimi (wafat th 255H)
  9.     Mustadrak al-Hakim, Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi
  10.     Sunan al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Hussain al-Baihaqi
  11.     Fat-hul Baari (Syarah Shahih al-Bukhari), al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, cet Darul Fikr
  12.     Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi
  13.     Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, cet. I. Darul Kutub al-Ilmiyyah-Beirut, th 1412H
  14.     Tafsir Ibnu Katsir, al-Hafizh Ibnu Katsir, cet. Darus Salam
  15.     Tafsir Fat-hul Qadir, Muhammad bin Ali asy-Syaukani
  16.     Irsyaadul Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani
  17.     Mukhtasharush ash-Shawaa-iq al-Mursalah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Sayyid bin Ibrahim, cet. Daar Zamzam, th. 1414H
  18.     Al-Ihkaam fii Ushuulil Ahkaam, Abu Muhammad Ali bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi
  19.     Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, tahqiq Tharuiq bin Awadhullah bin Muhammad
  20.     Ar-Risalah, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (wafat th 205H), tahqiq Syaikh Ahmad  Muhammad Syakir, cet. Maktabah al-Ilmiyyah – Beirut
  21.     As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ al-Islami, Dr Musthafa as- Siba’i cet. II. Al-Maktab al-Islami th 398H
  22.     Ushulul Hadits, Dr Muhammad ‘Ajjaj al-Khathiib, cet. IV. Darul Fikr, tahun 1401H
  23.     Al-Hadits Hajjatun bin Nafsihi fil Aqaa-id wal Ahkaam, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. I, Daarus Salafiyyah, th 1406H
  24.     Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Imam al-Laalikaa-iy, tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan
  25.     Syarah Aqidah Thahawiyyah, Imam Ibnu Abil Izz, tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. VIII, al-Maktab al-Islami – Beirut, th.1404H
  26.     Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim al-Ashimiyah Najdi, cet. Saudi Arabia
  27.     Mafhum Ahlis Sunnah wal Jama’ah inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Nashir bin Abdul Karim al-Aql, cet. Darul Wathan.
  28.     Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet II, Pustaka At-Taqwa – Bogor, th 2005M
  29.     Jaami’ Bayaanil Ilmi wa Fadhlihi, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairy
  30.     Dirasaat fil Hadits an-Nabawy wa Tarikh Tadwinihi, Dr Muhammad Mushtafa al-A’zhumy, cet. I. al-Maktab al-Islami, th 1405H/1985M
  31.     Miftahul Jannah fi Ihtijaj bis Sunnah, Imam as-Siuyuthi, tahqiq Badr al-Badr
  32.     Difa’anis Sunnah wa Raddu Syubahi Mustasyriqin wal Kutabil Mu’aahirin, Dr Muhammad bin Muhammad Abu Syubhah
  33.     Al-Baitsul Hatsits li Ikhtisari Ulumil Hadits, Ibnu Katsir, tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir.
  34.     Qawaidul Tahdits, Syaikh Jamaluddin al-Qasimi
  35.     Ushul Hadits, Dr Muhammad Ajjaj al-Khathib, cet. IV. Darul Fikr, th 1401H
  36.     I’lamul Muwaqqi’in an Rabbil Alamin, Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub, terkenal dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751H) ta’liq dan takhrij Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Aalu Salman, cet.I. Daar ibnul Jauzi, th 1423H
  37.     Ar-Risalah, Imam asy-Syafi’i, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir
  38.     Asy-Syahru wal Ibanah, Ibnul Baththah al-Ukbary
  39.     Taisir Musthalahil Hadits, Dr Mahmud Tha-han
  40.     Al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, tahqiq Syaikh Salim bin I’ed al-Hilali
  41.     Taqriibul Tahdziib, Ibnu Hajar al-Atsqalani
  42.     Al-Ishaabah fii Tamyiizis Shahaabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani
  43.     Silsilah Ahaadits Dha’ifah wal Maudhu’ah, juz III. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
  44.     Qamus Lisaanul Arab
  45.     Qamus al-Muhith
  46.     Mukhtaarush Shahih
  47.     Perbedaan Pokok antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah Imamiyah dalam Aqidah. Drs Dahlan Bashry, Lc. Media Da’wah
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]