Allâh Azza wa Jalla dengan hikmah-Nya memilih dan mengistimewakan sebagian makhluk-Nya dan memutuskan pada mereka sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada siapapun yang mampu menghadang keputusan-Nya.
Dan di antara hikmah-Nya, Allâh Azza wa Jalla menjadikan bulan-bulan dalam setahun berjumlah sebanyak dua belas bulan. Dua belas bulan itu adalah Muharram, Shafar Rabi’ul Awwal, Rabi Tsâni, Jumadal Ula, Jumadal Akhir, Rajab, Sya’bân, Ramadhan, Syawwal, dan Dzul Qa’dah serta Dzul Hijjah.
Allâh Azza wa Jalla telah menentukan musim-musim kebaikan dan limpahan-limpahan barakah dari bulan-bulan tersebut, di antaranya dengan memilih empat bulan haram (suci) dari dua belas yang ada dalam setahun, yaitu Rajab, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram. Satu bulan menyendiri, yaitu bulan Rajab, datang sesudah bulan Jumadil Akhir dan sebelum bulan Sya’bân. Dan tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allâh ialah dua belas bulan dalam ketetapan Allâh di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. [At-Taubah/9:36]
Dalam empat bulan haram ini, Ulama mengatakan bahwa ganjaran amal-amal kebaikan akan dilipatkan bagi orang-orang yang beramal shaleh. Dan sebaliknya, hukuman dan akan diberatkan pada pelaku kejahatan dan kezhaliman di dalamnya.
Menyongsong Bulan Rajab Dengan Baik
Maka, ketika bulan Rajab menyapa seseorang dan mendatangi hidupnya, sehingga ia memperoleh kesempatan untuk menikmati usia dalam bulan tersebut, hendaknya menyikapinya dengan bijak dan baik. Pertama-tama, ia mensyukuri nikmat besar tersebut, sebab bersyukur adalah kaedah umum untuk merespon sebuah kenikmatan dari Allâh Azza wa Jalla , apapun nikmat tersebut, baik nikmat duniawi, apalagi kenikmatan yang berhubungan dengan agama, kesempatan beramal shaleh dan memperbaiki diri.
Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah berpesan, “Pujilah Rabb kalian yang telah memanjangkan usia kalian, sehingga kalian mendapatkan bulan Rajab”.[1]
Setelah itu, sikap seorang Muslim dan Muslimah yang mengetahui keagungan bulan Rajab adalah mengagungkannya dengan taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan.
Sebab, kesempatan yang baik dan peluang emas ini akan benar-benar menjadi kenikmatan bagi seorang hamba bagi dunianya dan akhiratnya, bila mengisinya untuk taat kepada Allâh Azza wa Jalla.
Seseorang seyogyanya mengambil pelajaran dari orang-orang terdekat yang ada di sekitarnya yang telah meninggal, baik itu karib-kerabat, kenalan maupun tetangga. Mereka telah berpisah dari orang-orang tercinta mereka dan kawan-kawan baik mereka. Mereka telah meninggalkan dunia dan seisinya menuju alam kubur. Mereka telah berpindah dari alam tempat beramal menuju alam pertama untuk pembalasan amal. Kebaikan dan keburukanlah yang menemani mereka.
Maka, ketika kesempatan emas untuk beramal dalam waktu yang istimewa, siapapun hendaknya memasang niat dan badan untuk menyambutnya dengan baik, dengan semangat beramal shalat dalam waktu tersebut.
Seorang Ulama dari generasi Tabi’in, Khâlid bin Ma’dân[2]rahimahullah (wafat tahun 103 H) berpesan:
إِذَا فُتِحَلِأَحَدِكُمْ بَابُالخَيْرِ فَلْيُسْرِعْ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ مَتَى يُغْلَقُ عَنْهُ
Bila telah terbuka bagi salah seorang dari kalian pintu kebaikan, hendaknya bersegera memasukinya. Sebab, sesungguhnya ia tidak tahu kapan pintu itu akan tertutup baginya.[3]
Di samping itu, konsekuensi lainnya adalah semestinya orang yang hendak memanfaaatkan kesempatan baik ini menghindarkan dirinya dari perbuatan-perbuatan maksiat secara umum. Karena perbuatan maksiat yang dikerjakan dalam waktu-waktu yang mulia seperti bulan Rajab, bertentangan dengan perintah untuk mengagungkannya.
Qatadah berkata, “Agungkanlah apa-apa yang diagungkan Allâh. Karena sesungguhnya perkara-perkara menjadi agung karena diagungkan Allâh Azza wa Jalla“.
Larangan berbuat maksiat disebutkan dengan tegas dalam ayat yang telah dikemukakan di atas dengan ungkapan, ‘janganlah kalian berbuat zhalim terhadap diri kalian padanya’. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu. [At-Taubah/9:36]
Tentang itu, Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu mengatakan, “(Janganlah kalian berbuat zhalim) pada semua bulan tersebut. Kemudian Allâh mengkhususkan empat bulan dari dua belas bulan yang ada, dan menjadikannya bulan haram dan mengagungkan kehormatannya, serta menjadikan dosa padanya lebih besar dan amal shaleh serta pahala (juga) lebih besar”.[4]
Tentang ayat di atas, Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah memaparkan dua makna, salah satunya, “Bahwa sesungguhnya ini merupakan larangan terhadap mereka dari berbuat kezhaliman dalam empat bulan tersebut, apalagi disertai adanya larangan berbuat zhalim pada setiap waktu, tujuannya untuk menegaskan bertambahnya tingkat keharamannya dan karena perbuatan zhalim di dalamnya lebih parah dibandingkan bila dikerjakan di bulan-bulan lain”.[5]
Sementara itu, Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah mengatakan, “Maka, janganlah kalian menzhalimi diri kalian di bulan-bulan haram tersebut, komitmenlah dengan ketentuan-ketentuan Allâh Azza wa Jalla , tegakkanlah kewajiban-kewajiban dari Allâh Azza wa Jalla, jauhilah larangan-larangan-Nya. Penuhilah hak-hak (yang menjadi kewajiban kalian) antara diri kalian dan Rabb kalian, dan antara diri kalian dan sesama manusia”.[6]
Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan, pada bulan haram tersebut, seorang hamba harus tetap mewaspadai syaithan yang akan selalu melancarkan tipu-daya, godaan dan bisikan-bisikan agar manusia santai saja dalam menyongsong bulan mulia itu.
Syaithan akan senantiasa antusias tanpa putus asa untuk menyesatkan anak-anak Adam, memalingkan mereka dari agama Allâh Azza wa Jalla, memerintahkan mereka melakukan perbuatan keji dan mungkar, mengesankan maksiat dengan gambaran yang indah dan melontarkan rasa benci dalam hati mereka terhadap amal ketaatan.
Demikianlah makar syaithan. Bila melihat seorang hamba menyukai amal shaleh, syaithan akan memberatkan hatinya untuk beramal. Jika syaithan tidak berhasil menghalang-halanginya dari amal shaleh, syaithan akan menyimpangkan hamba itu untuk berbuat berlebihan, melontarkan bisikan dan keragu-raguan dalam hatinya, sehingga melanggar ketentuan-ketentuan dalam ibadah.
Seseorang yang telah terkena bisikan syaithan dan terjerat oleh gadaannya, akan berat dan bermalas-malasan untuk berbuat amal shaleh, dan sebaliknya, akan mudah menerjang maksiat-maksiat.
Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah menyimpulkan, “ Sesungguhnya rasa malas untuk beramal dan meremehkan maksiat yang kalian dapati dalam jiwa kalian, merupakan pengaruh dari bisikan syaithan dan godaannya. Maka, bila kalian mendapatinya, mohonlah perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla darinya. Di situlah akan engkau dapatkan kesembuhan dan jalan keluar dari godaannya. Allâh Azza wa Jalla telah berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴿٢٠٠﴾إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaithan, maka berlindunglah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaithan, mereka ingat kepada Allâh, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. [A’râf/7:200-201]
Apakah Ada Amalan Khusus Pada Bulan Rajab?
Sekarang timbul pertanyaan, apakah ada amalan-amalan shaleh khusus yang dianjurkan untuk diutamakan umat Islam pada bulan Rajab?. Apakah disunnahkan berpuasa, qiyamullail atau amalan shaleh tertentu lainnya pada bulan Rajab?.
Pernyataan Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni asy-Syâfi’i rahimahullah, tokoh hadits pada abad ke-9 dengan karya fenomenalnya Fathul Bârî ini sudah menyimpulkan sebuah kesimpulan yang pantas dipedomani oleh umat. Beliau rahimahullah mengatakan dalam kitab yang beliau tulis untuk membahas keutamaan bulan Rajab, ‘Tabyînil Ajab bimâ warada fî Syahri Rajab, “Tidak ada hadits yang pantas dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, puasa bulan Rajab atau puasa pada hari tertentu dari bulan Rajab, (juga) tentang shalat malam tertentu di dalamnya. Dan Imam Abu Ismâ’îl al-Harbi rahimahullah telah mendahuluiku dengan penegasan tentang itu sebelumku”.[7]
Berdasarkan pernyataan di atas, seorang Muslim diperintahkan untuk meningkatkan kuantitas amal-amal shaleh dan tetap memperhatikan kualitasnya, tidak ada amalan khusus yang diistimewakan pada bulan Rajab ini, baik itu shalat, dzikir, puasa atau lain-lainnya.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni asy-Syâfi’i rahimahullah kembali menyimpulkan, “Adapun tentang hadits-hadits yang berbicara tentang keutamaan bulan Rajab, atau keutamaan puasa bulan Rajab atau puasa pada sebagian hari dari bulan Rajab, terbagi menjadi dua: (berderajat) dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu)”.[8]
Tidak Perlu Merayakan Malam Isra Mi’raj
Salah satu kebiasaan yang terjadi di tengah masyarakat di bulan Rajab, perayaan malam Isra Mi’raj. Tentang peristiwa Isra Mi’raj, pandangan yang sudah populer di tengah masyarakat, peristiwa penting itu terjadi pada tanggal 27 Rajab. Sementara Ulama Islam berselisih pendapat mengenai tanggal dan bulan terjadinya peristiwa tersebut.[9]
Baca Juga Nasehat Dalam Menghadapi Ikhtilaf Diantara Ikhwah Salafiyyin(1)
Imam Nawawi rahimahullah mengutip dua pendapat dalam Syarh Shahîh Muslim (2/209) dari Abu Ishaq al-Harbi, yaitu 27 Rabiul Awwal dan 27 Rabi’ul Akhir.
Pendapat berikutnya ialah terjadi pada tanggal 27 Rajab. Pendapat ini walaupun tidak memiliki dalil, baik dari hadits shahih, lemah ataupun palsu, dan tidak pernah diungkapkan oleh generasi Salaf, namun banyak orang meyakininya. Tidak itu saja, mereka pun mengistimewakan malam tersebut perayaan.
Sedangkan tahun Isra Mi’raj terjadi, az-Zuhri rahimahullah dan ‘Urwah rahimahullah menyatakan Isra Mi’raj terjadi setahun sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Diriwayatkan juga dari az-Zuhri, Isra Mi’raj terjadi pada tahun ke-5 kenabian.
Syaikh Ibnu Bâz rahimahullah mengatakan, “Malam yang terjadi padanya peristiwa Isra Mi’raj, hadits-hadits yang shahih sedikit pun tidak menyebutkannya secara spesifik, tidak pada bulan Rajab atau pada bulan lainnya. Dan setiap hadits yang menyebut waktunya dengan jelas tidak benar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut Ulama dalam bidang hadits”.
Kemudian beliau rahimahullah mengungkapkan kepastian adanya hikmah besar dari Allâh Azza wa Jalla terkait kejadian besar yang waktunya dilupakan oleh manusia. Seandainya penentuan waktu kejadian betul-betul ada (melalui dalil shahih), tetap saja kaum Muslimin tidak diperbolehkan untuk mengistimewakannya (malam Isra Mi’raj) dengan suatu ibadah, dan mereka pun tidak diperbolehkan untuk merayakannya. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah merayakannya dan tidak pula mengkhususkannya dengan ibadah tertentu. Sekiranya, hal itu masyru’, pastilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya kepada umat, dan para Sahabat pun mesti sudah menyampaikannya kepada kita. Mereka sudah meriwayatkan dari Nabi segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat Islam. Mereka tidak pernah melalaikan sedikit pun dari masalah agama. Bahkan, mereka adalah orang-orang terdepan dalam setiap kebaikan. Seandainya perayaan malam Isra Mi’raj disyariatkan, pastilah mereka akan menjadi generasi pertama yang menyelenggarakannya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga orang yang paling tulus dalam menasehati umat, sudah menyampaikan risalah dengan tuntas, melaksanakan amanah dengan baik, maka seandainya pengagungan dan perayaan malam Isra Mi’raj termasuk bagian dari agama, pastilah Beliau tidak melalaikan dan tidak menyembunyikannya. Dan ketika tidak ada pengagungan dan perayaan malam tersebut dari Beliau, maka dapat diketahui bahwa merayakan dan mengagungkan malam tersebut bukan berasal dari ajaran Islam sedikit pun”.[10]
Penutup
Bulan Rajab merupakan salah satu kesempatan emas bagi umat Islam umumnya, dan keluarga Muslim khususnya untuk berlomba dalam amal shaleh dengan berbagai jenisnya. Maka, kepala rumah-tangga dan ibu-ibu seyogyanya mengingatkan semua anggota keluarga mengagungkan bulan Rajab dengan sebaik-baiknya dan menghindari perbuatan maksiat di dalamnya.
Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk mengisi bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan dengan bijak dan tepat. Amin. (Ustadz Abu Minhal Lc)
_______
Footnote:
[1] Adh-Dhiyâ al-Lâmi minal Khuthabil Jawâmi’6/403
[2] Khâlid bin Ma’dân al-Himshi seorang imam negeri Syam. Berguru kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Abu Umâmah al-Bâhili Radhiyallahu anhu, Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu , ‘Abdullâh bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu anhu , Tsaubân Radhiyallahu anhu , Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu , Abu Dardâ dan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya.
[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam az-Zuhd hlm. 384. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ 4/540.
[4] Tafsir al-Qur`anil Azhim 4/36.
[5] Taisîrul Karîmir Rahmân hlm.383.
[6] Adh-Dhiyâ al-Lâmi minal Khuthabil Jawâmi’6/406.
[7] Tabyînil Ajab bimâ warada fî Syahri Rajabhlm.23.
[8] Ibid. hlm.33.
[9] Perbedaan pendapat ini disampaikan Syaikh Thariq Awadhullah, muhaqqiq kitab Tabyînil Ajab bimâ warada fî Syahri Rajab.
[10] Hukmu al-Ihtifal bi Lailatil Isrâ wal Mi’râj, dalam kumpulan makalah aqidah dengan judul Hirâsatut Tauhîd hlm. 56-57
Referensi: https://almanhaj.or.id/