Pertanyaan:
Saya punya saudara muslim mengikuti pendapat sebagian orang yang membolehkan musik. Ketika saya ketengahkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunah, dia mengatakan, “Kalau ayat ia tidak ada pengharaman musik secara jelas akan tetapi penafsiran oleh para mufasir. Kalau hadits, saya belum tahu tentang keshahihannya. Saya akan mencarinya akan hal itu. Dia memberikan syubhat kepadaku yang ada seraya mengatakan, “Apa yang saya tahu bahwa Islam itu agama (sesuai) logika dan mantik. Dan ia tidak mengharamkan sesuatu kecuali ada keburukan terhadap seseorang. Apa keburukan musik? Kenapa anda menghendaki pikiranku beku dan menyerahkan sepenuhnya ke nash? Perlu diketahui bahwa saya telah berikan kepadanya ceramah tentang ‘Fitnah Taqdimul Aqli ‘Alan Naqli (fitnah mengedepankan logika dibandingkan Quran dan sunah)’ dari anda. Tapi tidak bermanfaat baginya meskipun dia sampai selesai mendengarkan semuanya. Apa bantahan seperti saudaraku ini, semoga Allah memberkati anda.
Jawaban:
Alhamdulilah
Kesimpulannya, teman anda menyampaikan tiga bantahan terkait haramnya musik:
Dia membantah kesimpulan dari ayat tersebut, dengan alasan bahwa itu hanya penafsiran ulama tafsir
Dia belum mengetahui keshahihan hadits tentang haramnya musik.
Dia berpendapat bahwa nyanyian tidak ada keburukannya. Kenapa Islam mengharamkannya?
Bantahan pengambilan dalil dari ayat yaitu firman Allah ta’ala:
وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” [Luqman/31: 6]
Jawabannya adalah:
Siapa ahli tafsir yang menjadikan ayat tersebut sebagai dalil haramnya musik? Mereka adalah jumhur (mayoritas) ulama tafsir, tokohnya adalah tiga ulama para shahabat dan pakar fikih dan tafsir. Mereka adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Umar radhiallahu anhum. Tidak ragu lagi, bahwa para shahabat adalah orang yang paling mengetahui di umat ini dengan maksud Allah dalam Kitab-Nya. Mereka orang arab yang benar-benar fasih, tidak mengubah penafsirannya meskipun ada jalan lainnya.”[1]
Bagaimana teman anda membolehkan mengabaikan penafsiran para shahabat terhadap Al-Qur’an? Apalagi di antara mereka ada Abdullah bin Abbas, orang yang paling mengerti tentang tafsir di kalangan umat ini, berkat doa Nabi sallallahu alaihi wa sallam padanya, “Ya Allah ajarkan kepadanya takwil (tafsir).”[2]
Adapun bantahan teman anda terkait dalil dari hadits, hakekatnya ia bukan bantahan. Akan tetapi sikap menunggu akan keshahihkan sampai dia mencari akan hal itu. Orang yang menunggu akan keshahihkan suatu hadits, tidak dibolehkan meniadakan penetapan yang ditunjukkan oleh hadits. Yaitu pengharaman alat musik. Seharusnya dia tidak meniadakan pengharaman nyanyian yang diikuti dengan musik. Sampai akhirnya menyimpulkan hadits yang ada sebagai hadits lemah tidak shahih. Sedangkan menunggu keshahihkan hadits sampai dia mengkajinya, kemudian dia menolak pengharaman muski, adalah sikap yang benar.
Kenyataannya, hadits tentang pengharaman alat musikk ada dalam shahih Bukhari, tak diragukan, dia adalah hadits shahih. Bahkan bukan hanya satu hadits tentang akan hal itu, akan tetapi banyak hadits lainnya.
Disebutkan oleh Ibnu Qoyim rahimahullah dalam kitabnya ‘Igotsatul Lahfan’. Kalau haditsnya itu shahih, maka bagi orang mukmin seharusnya menerima dan mengamalkannya. Tidak boleh bersikap menunggu untuk menerima hadits sebelum disodorkan kepada akalnya untuk menerimanya.
Perkataan teman anda ‘Kenapa anda ingin aku membekukan logikaku dan menyerahkan sepenuhnya kepada nash?’ ini perkataan berbahaya yang tidak keluar dari orang mukmin yang bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Apa arti menetapkan risalah kalau dia masih menunggu penerimaan sabda Rasulullah sallahu alaihi wa sallam sebelum diterima akalnya? Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً
” Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” [Al-Ahzab/33: 36]
Allah Azza Wajalla juga berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’/4: 65].
Pengharaman musik tidak ada perbedaan di kalangan para Imam Islam. Mazhab empat telah sepakat akan pengharamannya. Apa yang dinukil tentang adanya perbedaan, itu adalah perbedaan syaz (nyeleneh) yang tidak perlu dihiraukan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Mazhab Imam Empat mengatakan bahwa alat musik semuanya haram. Tidak disebutkan dari seorangpun pengikut Imam bahwa alat musik itu ada perbedaan.”[3]
Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, “Tidak selayaknya orang yang memiliki ilmu bersikap menunggu akan pengharaman itu – maksudnya nyanyian dan musik- minimal dikatakan bahwa ia adalah kebiasaan orang fasik dan peminum khamar.”[4]
Al-Albany rahimahullah mengatakan, “Oleh karena itu, empat mazhab sepakat pengharaman semua alat musik.” (Silsilah Shahihah, 1/145).
Kami telah sebutkan dalil-dalil hal itu dari Kitab dan Sunah serta perkataan para shahabat dalam jawaban soal no. 5000
Tidak patut bagi seorang muslim setelah mengetahui hukum agama yang dibangun atas dalil syari secara shahih kecuali mengatakan ‘Kami mendengarkan dan kami mentaatinya’. Dia tidak dibolehkan membantah dengan batil, tidak juga boleh ragu-ragu dalam menerimanya sebelum disodorkan kepada akalnya, kemudian dia melihat apakah dia terima atau tidak.
Adapun bantahan teman anda bahwa musik tidak ada keburukannya, itu bantahan yang aneh, tidak berbobot setelah menyalahi realita dan perasaan. Apalagi dia menyalahi agama. Nyanyian ini menghalangi dari zikir kepada Allah, menumbuhkan kenifakan dalam hati, menimbulkan kemunkaran dan kehinaan. Kami sebutkan kepada anda sebagian apa yang dikatakan oleh para ulama tentang keburukan nyanyian dan musik. Di antaranya adalah:
1. Menumbuhkan nifak dalam hati
Perkara ini telah dinyatakan dalam riwayat shahih berupa perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu dan lainnya. Dan ini keburukan besar yang menimpa orang yang melampaui syariat Allah. Ibnu Qoyim rahimahullah telah menjelaskan bahwa nyanyian menumbuhkan nifaq dalam hati dalam penjelasan panjang dan berbobot.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Kalau dikatakan, dari sisi mana musik dapat menumbuhkan nifak dalam hati dibanding kemaksiatan lainnya?” Dikatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa para shahabat adalah orang yag paliang paham tentang kondisi hati dan amalannya serta obat dan penyakitnya. Mereka adalah dokter hati, tanpa menyeleweng dari jalannya.
Ketahuilah bahwa nyanyian mempunyai dampak khusus dalam mencelupkan hati dengan kenifakan dan tumbuhnya dalam hati. Sebagaimana tumbuhnya tumbuhan dengan air. Diantara kekhususannya adalah dia melalaikan hati, menghalangi memahami Al-Qur’an, mentadaburi dan mengamalkan di dalamnya. Karena Al-Al-Qur’an dan nyanyian tidak akan berkumpul selamanya dalam hati. Karena keduanya saling bertolak belakang.
Karena Al-Qur’an melarang mengikuti hawa nafsu, menyuruh iffah (menjaga diri), menjauhi syahwat jiwa, dan sebab-sebab penyimpangan. Melarang mengikuti langkah-langkah syetan. Sementara nyanyian menyuruh lawannya dari itu semua. Membuatnya seperti baik, menggelorakan jiwa ke syahwat penyimpangan, sehingga mengeluarkan dari dalamnya, menggerakkan ke jelekan semua. Dan kecanduannya dapat membuat berat Al-Qur’an dalam hati, tidak suka mendengarkannya. Kalau ini bukan nifak, maka tidak ada hakekat kenifakan.
Rahasia dari masalahan ini adalah bahwa quran syetan (music) selamanya tidak akan berkumpul dengan Al-Qur’an firman Allah dalam hati.
Begitu juga di antara tanda kenifakan adalah sedikit mengingat Allah, malas menunaikan shalat, shalat dengan cepat, sedikit sekali anda dapatkan orang yang terkena fitnah dengan nyanyian kecuali sifatnya seperti ini. “Umar bin Abdul Aziz menulis surat ke pendidik anaknya, agar pertama kali yang diyakini dari adab adalah benci terhadap mainan (yang melalaikan). Karena permulaannya dari setan dan ujungnya kemarahan Allah (Rahman). Karena saya diberitahu dari orang terpercaya bahwa suara musik dan sengaja mendengarkan lagu dan permainan itu dapat menumbuhkan kenifakan dalam hati sebagaimana tumbuhnya rumput di atas air. Nyanyian merusak hati, kalau hati sudah rusak, maka akan tumbuh kenifakan.
Kesimpulannya, jika orang yang berakal memperhatian kondisi penyanyi dan ahli zikir dan Al-Qur’an, akan terlihat baginya kecerdasan para shahabat, dan pengetahuan mereka akan obat hati dan penyakitnya. Wabillahit taufiq.[5]
2. Nyanyian adalah ajakan kepada zina atau ruqyah zina
Ini –juga – termasuk keburukan nyanyian dan musik yang besar. Ibnu Qoyim rahimahullah telah menjelaskan hal itu. Seraya mengatakan, “Jika musik dinamakan sebagai ‘Ruqyah Zina’ ini adalah nama yang sesuai dengan yang isinya, kata yang cocok dengan maknanya. Tidak ada ruqyah zina yang lebih tepat darinya.
Penamaan ini dikenal dari Fudoil bin Iyad. Yazid bin Walid mengatakan, “Wahai Bani Umayah ! jauhi nyanyian, karena ia mengurangi ras malu, menambah syahwat, menghancurkan sifat wibawa, sesungguhnya ia menggantikan khamar, melakukan apa yang dilakukan orang mabuk. Kalau anda memang harus melakukan, maka jauhi wanita. Karena nyanyian mengajak ke zina.”
Muhammad bin Fadl Al-Azdi mengatakan, “Khatiah Syair’ menginap di (tempat) orang arab. Bersamanya anak wanitanya ‘Malikah’ ketika telah memasuki malam, beliau mendengarkan nyanyian. Maka beliau mengatakan kepada pemilik rumah,”Hentikan hal ini dariku.” Lalu dia (pemilik rumah) berkata, “Apa yang anda tidak suka?” Maka dia menjawab, “Sesungguhnya nyanyian itu yang menuntun kefajiran (keburukan). Dan saya tidak ingin dia mendengarkannya ini,” maksudnya anak perempuannya. “Engkau harus hentikan, kalau tidak saya akan keluar dari rumahmu.”
Jika penyair lisannya dapat memukai orang dan orang arab takut celaannya, khawatir akibat nyanyian, dan takut menggoda dirinya, bagaimana lagi dengan yang lainnya?
Jika bersama musik juga berkumpul rebana, biduanita, joget, berlenggak lenggok, kalau ada wanita yang mengandung karena musik, pasti dia akan akan mengandung dari nyanyian ini.”[6]
Nyanyian yang mereka bicarakan dampaknya itu adalah nyanyian pada masanya, yang tidak ada pada zaman kita. Karena apa yang ada pada zakam kita sekarang, orang fasik orang fajir sendiri mengeluh dari para penyanyi yang ada dan bahkan mereka menolak ‘Lagu video clip’ di zaman kita ini, karena di dalamnya ada penampilan seronok, kotor, porno, hilang rasa malu, sehingga menyebabkan sebagian penyanyi menuntut untuk melarang menyiarkan di televisi karena dapat menjadi sebab tumbuhnya syahwat dan tersebarnya kerusakan.
Terakhir kali, masalahnya sudah jelas seterang matahari di siang hari. Dari sisi hukum nyanyian, dampak negatifnya dan sisi keburukannya yang besar.
Wallahu a’lam.
Disalin dari islamqa
________
[1] Ibnu Qayim dalam kitab ‘Igotsatul Lahfan, 1/433
[2] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dishahihkannya serta disetujui oleh Az-Zahabi. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani di Silsilah Shahihah, no. 2589.
[3] Majmu Fatawa, 11/ 576, 577
[4] Igotsatul Lahfan, 1/228
[5] Igotsatul Lahfan Min Mashayidis Syaithan, 1/248-251
[6] Igotsatul Lahfan, 1/24-247
Referensi : https://almanhaj.or.id/6433-membantah-dan-mengklaim-bahwa-musik-tidak-ada-keburukannya.html