احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[1]
Hadits ini adalah hadits yang masyhur, bahwasanya barangsiapa yang menjaga Allah maka Allah akan menjaganya. Hal ini sesuai dengan kaidah yang masyhur dalam Islam yaitu,
الجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ العَمَلِ
“Balasan sesuai dengan perbuatan.”
Maka dengan kaidah ini, barangsiapa yang menjaga Allah, niscaya Allah ﷻ akan menjaganya.
Apa maksud dengan menjaga Allah?
Secara sederhana, maksud dari menjaga Allah ﷻ adalah menjaga syariat-Nya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kita tahu tentunya Allah ﷻ tidak perlu dijaga. Akan tetapi ini adalah ushlub dalam bahasa Arab bahwasanya yang dimaksud dengan menjaga Allah adalah menjaga syariat-Nya, menjaga perintah-perintah-Nya dan menjaga batasan-batasan-Nya. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah ﷻ dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka dia akan dijaga oleh Allah ﷻ. Sejauh mana seseorang menjaga Allah, maka sejauh itu pula Allah ﷻ akan memberikan penjagaan baginya.
Sama halnya dengan perkataan sebagian orang yang mengambil firman Allah ﷻ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Pada dasarnya Allah ﷻ tidak perlu untuk ditolong, akan tetapi Allah ﷻ ingin melihat munculnya pejuang-pejuang yang memperjuangkan agama Allah ﷻ. Dan ketika mereka tidak ingin memperjuangkan agama Allah, niscaya Allah ﷻ akan menggantikan dengan yang lainnya. Asalnya agama Allah ﷻ pasti tertolong, akan tetapi Allah ﷻ akan beri kemuliaan bagi hamba-hamba-Nya yang ingin masuk dalam golongan orang-orang yang menolong agama Allah.
Demikian pula perkataan sebagian kita bahwa dakwah butuh para da’i-da’i. Kalau seseorang sudah berkecimpung dalam bidang dakwah, maka itu adalah kemuliaan baginya. Kalau dia tidak mau berkecimpung dalam dakwah, maka Allah ﷻ akan carikan orang yang lain yang mau turun berdakwah. Oleh karenanya jangan sampai seseorang merasa bahwa dirinya memiliki jasa terhadap Allah ﷻ.
Maka demikianlah, Allah ﷻ tidak perlu dijaga, akan tetapi Allah ﷻ ingin ada orang mulia yang menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larang-larangan-Nya. Karena sebagaimana Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12)
Dalam hadits qudsi Allah ﷻ juga berfirman,
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا
“Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta manusia dan jin, semuanya berada pada tingkat ketakwaan yang paling tinggi di antara kalian, maka hal itu sedikit pun tidak akan menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta jin dan manusia semuanya berada pada tingkat kedurhakaan yang paling buruk, maka hal itu sedikit pun tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku.”[2]
Artinya adalah jika seluruh manusia hatinya seperti Nabi Muhammad ﷺ, maka itu tidak akan menambah kekuasaan Allah ﷻ sama sekali. Demikian pula jika seluruh manusia memiliki hati seperti Iblis atau Fir’aun, maka hal tersebut sama sekali tidak akan mengurangi kekuasaan Allah ﷻ. oleh karenanya seseorang beribadah kepada Allah ﷻ itu untuk dirinya sendiri, dan jika dia kafir pun tidak akan mengurangi kekuasaan Allah ﷻ.
Maka perlu untuk kita tanamkan dalam benak kita bahwa jika kita menjaga Allah ﷻ, maka itu berarti kita menjaga diri kita sendiri. Oleh karenanya Nabi ﷺ membuat suatu kaidah dalam sabdanya,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[3]
Kisah Penjagaan Allah Terhadap Hamba-Nya Yang Menjaga Allah
Ada kisah yang Allah ﷻ sebutkan tentang penjagaannya terhadap orang-orang yang menjaga Allah, bahkan penjagaan tersebut bukan hanya dirinya, melainkan Allah ﷻ menjaga hingga keturunan-keturunannya juga dijaga oleh Allah ﷻ.
- Kisah Ummu Sulaim dan Abu Thalhah
Ummu Sulaim adalah seorang wanita saleh dan telah dijamin masuk surga oleh Nabi ﷺ dalam sabda beliau,
رَأَيْتُنِي دَخَلْتُ الجَنَّةَ، فَإِذَا أَنَا بِالرُّمَيْصَاءِ، امْرَأَةِ أَبِي طَلْحَةَ
“Aku melihatku (bermimpi) memasuki surga. Di sana aku bertemu rumaysha, istri dari Abu Thalhah.”[4]
Siapakah wanita saleh ini? Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bercerita,
قَالَ مَالِكٌ أَبُو أَنَسٍ لِامْرَأَتِهِ أُمِّ سُلَيْمٍ، وَهِيَ أُمُّ أَنَسٍ: إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَرِّمُ الْخَمْرَ، فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى الشَّامَ فَهَلَكَ هُنَاكَ، فَجَاءَ أَبُو طَلْحَةَ فَخَطَبَ أُمَّ سُلَيْمٍ، فَكَلَّمَهَا فِي ذَلِكَ، فَقَالَتْ: يَا أَبَا طَلْحَةَ، مَا مِثْلُكَ يُرَدُّ، وَلَكِنَّكَ امْرُؤٌ كَافِرٌ، وَأَنَا امْرَأَةٌ مُسْلِمَةٌ، لَا يَصْلُحُ لِي أَنْ أَتَزَوَّجَكَ، فَقَالَ: مَا ذَاكَ دَهْرُكِ قَالَتْ: وَمَا دَهْرِي؟ قَالَ: الصَّفْرَاءُ وَالْبَيْضَاءُ، قَالَتْ: فَإِنِّي لَا أُرِيدُ صَفْرَاءَ وَلَا بَيْضَاءَ، أُرِيدُ مِنْكَ الْإِسْلَامَ، فَإِنْ تَسْلَمْ فَذَاكَ مَهرِيْ، وَلَا أَسْأَلُكَ غَيْرَة
“Berkata Malik ayahnya Anas kepada istrinya Ummu Sulaim (Ibunya Anas), ‘Sesungguhnya laki-laki itu (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) mengharamkan khamr’. Maka dia (Malik) pergi hingga ke negeri Syam, kemudian dia meninggal di sana. Kemudian datanglah Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, maka dia mengatakan kepada Ummu Sulaim mengenai itu. Maka Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak layak ditolak, akan tetapi Anda seorang musyrik sementara aku seorang muslimah, karena itu tidak boleh bagiku menikah denganmu’. Abu Thalhah berkata, ‘Apa keinginanmu agar aku bisa menikahimu?’. Ummu Sulaim berkata, ‘Apa keinginanku?’. Abu Thalhah berkata, ‘Emas dan perak?’. Ummu Sulaim berkata, ‘Aku tidak mengharap emas dan perak, aku ingin Islam darimu, jika Anda masuk Islam maka itulah maharku, aku tidak meminta yang lain’.”[5]
Akhirnya Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Maka jadilah Abu Thalhah sebagai bapak tiri Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Dari pernikahan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, lahirlah seorang anak yang Abu Thalhah sangat cinta kepada anak tersebut. Anak tersebut adalah Abu Umair yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercanda kepadanya dengan menanyakan burung peliharaannya yang telah mati. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam waktu itu berkata kepadanya,
يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ
“Wahai Aba Umair, apa yang terjadi dengan burung kecilmu itu?”[6]
Abu Umair inilah anak Abu Thalhah dari pernikahannya dengan Ummu Sulaim. Kemudian Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bercerita dalam Musnad Imam Ahmad,
اشْتَكَى ابْنٌ لِأَبِي طَلْحَةَ، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَتُوُفِّيَ الْغُلَامُ، فَهَيَّأَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ الْمَيِّتَ. وَقَالَتْ لِأَهْلِهَا: لَا يُخْبِرَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ أَبَا طَلْحَةَ بِوَفَاةِ ابْنِهِ، فَرَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَمَعَهُ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْمَسْجِدِ مِنْ أَصْحَابِهِ. قَالَ: مَا فَعَلَ الْغُلَامُ؟ قَالَتْ: خَيْرُ مَا كَانَ، فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِمْ عَشَاءَهُمْ، فَتَعَشَّوْا وَخَرَجَ الْقَوْمُ، وَقَامَتِ الْمَرْأَةُ إِلَى مَا تَقُومُ إِلَيْهِ الْمَرْأَةُ، (وفي رواية أخرى: ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا كَانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ، فَوَقَعَ بِهَا) فَلَمَّا كَانَ آخِرُ اللَّيْلِ، قَالَتْ: يَا أَبَا طَلْحَةَ، أَلَمْ تَرَ إِلَى آلِ فُلَانٍ اسْتَعَارُوا عَارِيَةً فَتَمَتَّعُوا بِهَا، فَلَمَّا طُلِبَتْ كَأَنَّهُمْ كَرِهُوا ذَاكَ. قَالَ: مَا أَنْصَفُوا، قَالَتْ: فَإِنَّ ابْنَكَ كَانَ عَارِيَةً مِنَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَإِنَّ اللَّهَ قَبَضَهُ فَاسْتَرْجَعَ وَحَمِدَ اللَّهَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، (وفي رواية أخرى: فَقَالَ: أَعْرَسْتُمَا اللَّيْلَةَ، قَالَ: نَعَمْ) فَقَالَ: «بَارَكَ اللَّهُ لَكُمَا فِي لَيْلَتِكُمَا» ، فَحَمَلَتْ بِعَبْدِ اللَّهِ فَوَلَدَتْهُ لَيْلًا، وَكَرِهَتْ أَنْ تُحَنِّكَهُ حَتَّى يُحَنِّكَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَحَمَلْتُهُ غُدْوَةً، وَمَعِي تَمَرَاتُ عَجْوَةٍ، فَوَجَدْتُهُ يَهْنَأُ أَبَاعِرَ لَهُ، أَوْ يَسِمُهَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ وَلَدَتِ اللَّيْلَةَ، فَكَرِهَتْ أَنْ تُحَنِّكَهُ حَتَّى يُحَنِّكَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَمَعَكَ شَيْءٌ؟» قُلْتُ: تَمَرَاتُ عَجْوَةٍ، فَأَخَذَ بَعْضَهُنَّ فَمَضَغَهُنَّ، ثُمَّ جَمَعَ بُزَاقَهُ فَأَوْجَرَهُ إِيَّاهُ، فَجَعَلَ يَتَلَمَّظُ، فَقَالَ: «حُبُّ الْأَنْصَارِ التَّمْرَ» قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ سَمِّهِ، قَالَ: «هُوَ عَبْدُ اللَّهِ»
“Anak Abu Thalhah menderita sakit. Sementara Abu Thalhah pergi ke masjid, anak tersebut meninggal. Lalu Ummu Sulaim mengurus jenazah anaknya dan berpesan kepada keluarganya, ‘Jangan salah seorang pun dari kalian mengabarkan kepada Abu Thalhah tentang kematian putranya’. Kemudian Abu Thalhah pulang kepada keluarganya, bersama teman-temannya dari masjid. Dia berkata, ‘Bagaimana kondisi anak kita?’. Ummu Sulaim berkata, ‘Lebih baik dari sebelumnya’. Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makanan kepada suami dan tamunya dan mereka pun makan, setelah itu mereka pulang. Dan Ummu Sulaim menyiapkan diri sebagaimana harusnya seorang istri (dalam riwayat yang lain, Ummu Sulaim berhias lebih cantik daripada hari biasanya hingga Abu Thalhah menggaulinya). Di akhir malam Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu terhadap suatu keluarga, mereka meminjam suatu barang, dan mereka betul-betul dapat menikmati barang tersebut, lalu ketika yang punya barang memintanya, mereka enggan mengembalikannya?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Mereka tidak adil’. Lalu Ummu Sulaim melanjutkan perkataannya, ‘Sesungguhnya anakmu adalah titipan Allah dan Dia sudah mengambilnya’. Maka Abu Thalhah mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan memuji Allah. Ketika pagi sudah tiba Abu Thalhah bergegas menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (menceritakan kejadian yang dialaminya). (Dalam riwayat lain Rasulullah berkata, ‘Apakah semalam kalian berhubungan?’ Abu Thalhal berkata, ‘Iya’). Maka Rasulullah berkata, ‘Semoga Allah ﷻ memberkahi malam kalian berdua’. Maka Ummu Sulaim hamil dan melahirkan di malam hari. Ummu Sulaim tidak mau mentahnik putranya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mentahniknya. Maka aku pun membawanya (putra Abu Thalhah) pada pagi hari dengan membawa kurma ajwa kepada Rasulullah. Lalu aku mendapati beliau sedang memberi tanda bagi unta-untanya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya semalam Ummu Sulaim telah melahirkan seorang anak, dan dia tidak mau mentahniknya sebelum engkau melakukannya’. Kemudian Rasulullah berkata, ‘Apakah engkau membawa sesuatu?’ Aku berkata, ‘Beberapa kurma Ajwa’. Maka beliau mengambil beberapa biji kurma dan mengunyahnya, lalu beliau mengumpulkannya seraya memasukkannya ke dalam mulut bayi tersebut, maka bayi tersebut menghisap-hisap jari Nabi. Kemudian Nabi berkata, ‘Kurma adalah sesuatu yang paling disukai oleh orang Anshar’. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikanlah nama kepada bayi ini’. Beliau bersabda: ‘Namanya Abdullah’.”[7]
Ini adalah gambaran seorang suami istri yang luar biasa keimanannya. Bahkan istrinya Ummu Sulaim pun tidak kalah luar biasa dalam menyembunyikan kesedihannya, hingga dia mampu mengajak suaminya untuk menggauilinya. Dan suaminya pun tatkala diberi tahu akan kematian anaknya, dia tetap tenang mengucap kalimat istirja’ bahkan memuji Allah ﷻ.
Abdullah bin Abi Thalhah ini kemudian tumbuh menjadi anak yang saleh dan meninggal dalam medan jihad fii sabilillah. Dia memiliki sepuluh anak laki-laki yang semuanya Ahli Qira`ah. Lima di antaranya adalah Ahli Hadits yang terkenal, yaitu Ishaq, Ismail, Ya’qub, Abdullah dan ‘Amr. Yang paling terkenal di antara lima anaknya ini adalah Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah yang juga sekaligus guru dari Imam Malik rahimahullah. Lihatlah bagaimana Allah ﷻ menjaga Abu Thalhah, putranya, dan bahkan menjaga cucu-cucunya.
Inilah di antara makna “Jika engkau menjaga Allah, niscaya Allah akan menjagamu”. Saat ini kita hidup di zaman yang banyak terjadi fitnah. Kita khawatir anak-anak kita rusak dengan pergaulan pemuda di zaman ini. Betapa banyak perzinaan terjadi karena pergaulan antara laki-laki dan wanita yang salah. Bahkan homoseksual pun terjadi di mana-mana. Jika Allah tidak menjaga anak-anak kita, maka kita pun pasti tidak bisa menjaga mereka. Oleh karenanya kita butuh penjagaan Allah agar anak kita bisa terjaga. Dan di antara caranya adalah kita sendiri berusaha menjadi orang tua yang saleh, agar anak-anak kita dijaga oleh Allah ﷻ.
- Kisah dua anak Yatim
Dalam surah Al-Kahfi Allah ﷻ bercerita tentang bagaimana penjagaan Allah ﷻ terhadap orang yang menjaga Allah ﷻ. Dan kisah ini mengaitkan antara Nabi Musa dan Nabi Khadir ‘alaihimassalam. Allah ﷻ berfirman,
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
“Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia (Khadir) menegakkannya. Dia (Musa) berkata, ‘Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu’.” (QS. Al-Kahfi : 77)
Nabi Musa ‘alaihissalam di ayat ini bermaksud mempertanyakan perbuatan Nabi Khadir tersebut. Karena untuk apa dia melakukan hal itu sementara penduduk kampung tersebut berbuat buruk kepada mereka (tidak mau menjamunya). Maka Nabi Khadir bercerita,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَسمْرِي
“Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri.” (QS. Al-Kahfi : 82)
Nabi Khadir menjelaskan bahwa di bawah tembok itu ada harta kedua anak yatim itu. Maka Allah ﷻ menyuruh beliau untuk memperbaiki tembok tersebut agar harta itu tersembunyi dan tidak diambil oleh orang lain.
Tidak ada sebab khusus yang Nabi Khadir sebutkan tentang perbuatannya memperbaiki tembok tersebut kecuali karena orang tua mereka adalah orang saleh. Sebagian ulama seperti Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
حُفِظَا بِصَلَاحِ أَبِيهِمَا، وَلَمْ يُذْكَرْ لَهُمَا صَلَاحٌ
“Mereka dijaga karena kesalehan orang tuanya, dan keduanya tidak disebut sebagai anak yang saleh.”[8]
Yang disebut saleh adalah orang tuanya dan bukan kedua anak yatim tersebut. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyebutkan,
فَانْتَفَعَا بِصَلَاحِ أَبِيْهِمَا وَلَيْسَ مِنْ سَعْيِهِمَا
“Mereka mendapat manfaat dari kesalehan kedua orang mereka, dan bukan dari usaha mereka.”[9]
Bahkan dalam sebagian riwayat para salaf menyebutkan bahwa orang tua yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang tua (kakek) mereka yang ketujuh,
كَانَ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الْأَبِ الصَّالِحِ سَبْعَةُ آبَاءٍ
“Antara mereka berdua dan orang tua mereka yang saleh ada tujuh ayah.”[10]
Artinya adalah Allah ﷻ menjaga tujuh turunannya. Ini menunjukkan bahwa ayahnya tersebut adalah orang yang luar biasa dalam kesalehan dan dalam menjaga Allah ﷻ. Bahkan karena kesalehan orang tua mereka Allah ﷻ sampai mengirim Nabi Khadir untuk memperbaiki tembok kedua anak tersebut.
Oleh karenanya kesalehan seseorang sangat berpengaruh dengan nasib anak-anak kita. Kalau kita ingin anak-anak kita dijaga oleh Allah ﷻ, maka berusahalah kita menjadi orang tua yang saleh. Maka bagaimana anak-anak kita menjadi anak yang saleh, sementara hobi kita menonton sinetron serta film-film yang mengumbar aurat? Bagaimana kita ingin agar anak saleh sementara kita sendiri tidak saleh, Atau sementara diri kita masih sering bermaksiat. Sa’id Ibnul Musayyib pernah berkata,
إِنِّي لَأُصَلِّي فَأَذْكُرُ وَلَدِي فَأَزِيدُ فِي صَلَاتِي
“Aku Shalat, kemudian aku ingat anakku. Maka aku menambah shalatku.”[11]
Maka jika seseorang ketika ingin melakukan kesalahan, ingatlah bahwa dampak dari kesalahan itu bisa mengenai anak-anaknya. Oleh karenanya selain seseorang berdoa, dia juga harus bertakwa kepada Allah ﷻ serta harus berusaha untuk menjadi pribadi yang saleh.
Inilah di antara buah dari menjaga Allah ﷻ. Maka barangsiapa yang bisa menjaga Allah ﷻ, niscaya Allah akan menjaganya. Oleh karenanya Allah ﷻ berfirman dalam Al-Quran,
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar-Ra’d : 11)
Yang dimaksud malaikat menjaga seorang hamba di sini adalah jika hamba tersebut akan mendapat keburukan maka akan dipalingkan. Jika akan terjerumus dalam kecelakaan maka akan dijauhkan. Allah ﷻ mengirim malaikat-malaikat untuk menjaga orang-orang yang beriman. Dan betapa sering Allah ﷻ palingkan kita dari kerusakan atau keburukan, bukan karena tiba-tiba, akan tetapi karena Allah ﷻ yang mengaturnya agar kita terhindar dari keburukan tersebut.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa terkadang Allah ﷻ memberikan penjagaannya kepada kita dalam hal-hal yang kita senangi, semangati, dan yang kita inginkan. Contohnya adalah ada seseorang yang semangat meraih harta hingga telah masuk dalam perdagangan, akan tetapi dia tidak berhasil. Dia menyangka bahwa itu adalah kekalahan baginya, padahal terkadang itu adalah cara Allah ﷻ untuk memalingkannya. Karena Allah ﷻ tahu bahwa jika dia berdagang dan kaya, maka ia menjadi lupa kepada Allah ﷻ. Bukankah Allah ﷻ telah berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Bisa jadi ada seseorang yang bersusah payah dalam upayanya mencapai jabatan tertentu, akan tetapi Allah ﷻ membuat dia kalah sehingga tidak tercapai. Karena bisa jadi jika dia menang, maka dia bisa lupa dengan Allah ﷻ, lupa dengan Al-Quran, lupa dengan pengajian, sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Akan tetapi Allah ﷻ tahu bahwa dia belum pantas untuk mendapatkan hal tersebut. Dan yang seperti ini adalah contoh penjagaan Allah ﷻ kepada seorang hamba.
Orang yang menjaga Allah ﷻ, niscaya urusannya akan dimudahkan oleh Allah. Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah ﷻ niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Maka jika seseorang ternyata memiliki banyak masalah, banyak yang menzaliminya, hendaknya dia introspeksi diri karena jangan-jangan masalahnya ada pada dirinya. Bisa jadi segala kesulitan itu ada karena dia bermasalah dengan Allah ﷻ, atau dia bermaksiat, atau menzalimi orang lain. Ketahuilah bahwa orang mukmin telah pasti akan mendapat ujian, akan tetapi solusi bagi mereka juga pasti. Maka jika solusi tidak kita temukan, maka introspeksilah diri kita. Karena bisa jadi masalahnya ada pada diri kita.
Penulis: DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
____
Footnote:
[1] HR. At-Tirmidzi no. 2516, Abu Isa berkata hadits ini hasan shahih
[2] HR. Muslim no. 2577
[3] HR. At-Tirmidzi no. 2516, Abu Isa berkata hadits ini hasan shahih
[4] HR. Bukhari no. 3679
[5] Ahkamul Janaiz 1/24
[6] HR. Bukhari no. 6129
[7] HR. Ahmad no. 12047
[8] Tafsir Ibnu Katsir 18/91
[9] Jami’ul Masail 5/203
[10] Tafsir Ath-Thabari, 15/363
[11] Tafsir Al-Baghawi 1/789
Sumber: https://bekalislam.firanda.net/