إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَ فُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ
“Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan” (H.R Ahmad).
Fitnah syubhat ditangkal dengan keyakinan (di atas ilmu yang benar), adapun fitnah syahwat ditangkal dengan kesabaran. Oleh karena itu Allah Ta’ala menjadikan kepemimpinan agama bergantung kepada dua perkara ini (sabar dan yakin). Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah 24).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam agama akan dapat diraih. Allah Ta’ala menyatukan keduanya juga dalam firman-Nya:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 3).
Maka saling menasehati dalam kebenaran akan dapat melawan syubhat, dan saling menasehati dalam kesabaran akan menghentikan syahwat.
____
Penulis: dr. Adika Mianoki, Sp.S.
Sumber: https://muslim.or.id/
MEMBERSIHKAN HATI DARI FITNAH SYAHWAT DAN FITNAH SYUBHAT
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawasحفظه الله
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ، كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.
Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam, sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua : yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.”
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
Imam Muslim dalam Shahiih-nya (no. 144),
Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/405),
Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4218).
SYARAH HADIST:
Menurut bahasa, kata fitnah –bentuk tunggal dari kata fitan– berarti musibah, cobaan dan ujian. Makna kata ini berasal dari perkataan: فَتَنْتُ الْفِضَّةَ وَالذَّهَبَ, artinya aku uji perak dan emas dengan api agar dapat dibedakan antara yang buruk dan yang baik.[1]
Menurut istilah (terminologi), kata fitnah disebutkan berulang dalam al-Qur’ân pada 72 ayat, dan seluruh maknanya berkisar pada ketiga makna di atas.
Setiap hari hati manusia didera oleh fitnah. Fitnah terbagi dua macam, yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat (dan ini adalah fitnah yang paling besar). Keduanya bisa ada dalam diri seseorang, atau hanya salah satunya saja. Fitnah syahwat adalah fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sanjungan, wanita, dan yang lainnya. Fitnah syubhat adalah fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) menjelaskan tentang fitnah syubhat dan syahwat, “Fitnah syubhat ada karena lemahnya pengetahuan dan sedikitnya ilmu, apalagi jika dibarengi dengan jeleknya niat serta terturutinya hawa nafsu, maka itu adalah fitnah dan musibah yang besar. Maka katakanlah semaumu tentang orang sesat dan niatnya jelek, yang menjadi hakimnya adalah hawa nafsunya bukan petunjuk, dibarengi dengan lemahnya pengetahuan, tidak banyak tahu tentang ajaran yang dibawa Rasulullah, maka dia termasuk salah satu dari yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ
“… Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya …” [an-Najm/53:23]
Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan seseorang dari jalan Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
(Allâh berfirman), ‘Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allâh. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.’” [Shâd/38:26]
Dan ujung dari fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Dialah fitnahnya orang munafiqin, fitnahnya ahlul bid’ah sesuai dengan tingkatan kebid’ahan mereka. Mereka berbuat bid’ah dikarenakan fitnah syubhat yang menyebabkan al-haq menjadi tersamar bagi mereka dengan kebathilan, petunjuk tersamarkan dengan kesesatan.
Dan seseorang tidak akan selamat dari fitnah ini kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berhukum dengannya dalam masalah agama yang kecil maupun yang besar, yang zhahir maupun bathin, dalam masalah keyakinan dan perbuatan, hak-haknya dan syariatnya. Maka dia menerima hakikat iman, syariat Islam, dan apa-apa yang Allâh tetapkan berupa sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, serta nama-nama-Nya, dan apa-apa yang Allâh nafikan dari-Nya. Sebagaimana dia menerima dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kewajiban shalat, waktu-waktunya, dan jumlah raka’atnya, kadar nishab zakat dan orang-orang yang berhak menerimanya, kewajiban berwudhu dan mandi junub, serta puasa Ramadhan. Jadi dia tidak boleh menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul dalam satu urusan agama dan tidak dalam urusan agama yang lain, tetapi dia (harus) menjadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul dalam segala sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat dalam ilmu dan amal, dia tidak mengambil (syari’at) kecuali darinya. Jadi petunjuk itu tidak keluar dari perkataan dan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan semua yang tidak sesuai dengannya (dengan syari’at yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa) adalah kesesatan.
Jenis fitnah yang kedua yaitu fitnah syahwat. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan fitnah tersebut dalam firman-Nya:
كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلَاقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا ۚ أُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(Keadaan kamu kaum munafik dan musyrikin) seperti orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” [at-Taubah/9:69]
Maksudnya, bersenang-senanglah dengan bagian kalian di dunia dan syahwatnya. al-Khalâq yaitu bagian yang telah ditentukan. Kemudian Allâh Azza wa Jalla berfirman, وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا (dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkannya…” Percakapan yang bathil ini adalah syubhat.
Allâh Azza wa Jalla mengisyaratkan dalam ayat tersebut apa-apa yang bisa menimbulkan kerusakan hati dan agama, yaitu bersenang-senang dengan dunia (berupa harta dan anak-anak) dan percakapan-percakapan yang bathil. Karena kerusakan agama itu bisa terjadi dengan sebab keyakinan bathil dan membicarakannya, atau dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan ilmu yang benar. Yang pertama adalah bid’ah dan sejenisnya, dan yang kedua adalah kefasikan amalan. Kerusakan pertama merupakan kerusakan dari segi syubhat, dan yang kedua dari segi syahwat.
Karena inilah Ulama salaf berkata, “Berhati-hatilah dari dua jenis manusia : Pengekor hawa nafsu yang terfitnah oleh hawa nafsunya dan pecinta dunia yang telah dibutakan oleh dunia.”
Mereka juga berkata, “Berhati-hatilah dari fitnah orang alim yang fajir (menyimpang), dan orang yang suka beribadah tetapi bodoh, karena fitnah mereka berdua adalah fitnah bagi orang-orang yang terfitnah.”
Asal atau akar dari semua fitnah itu adalah perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at, dan hawa nafsu daripada akal. Yang pertama merupakan akar fitnah syubhat, dan yang kedua adalah akar fitnah syahwat.
Fitnah syubhat itu harus ditangkal dengan keyakinan, dan fitnah syahwat ditangkal dengan kesabaran. Karena itulah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kepemimpinan agama bergantung kepada dua perkara ini (sabar dan yakin). Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.” [as-Sajdah/32:24]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan sabar dan yakin, kepemimpinan dalam agama akan dapat diraih. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatukan keduanya juga dalam firman-Nya:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“…Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” [al-‘Ashr/103:3]
Maka saling menasehati dalam kebenaran akan dapat melawan syubhat, dan saling menasehati dalam kesabaran akan menghentikan syahwat. Allâh menyatukan keduanya dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi).” [Shâd/38:45]
al-Aidii adalah kekuatan dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan taat kepada-Nya, al-Abshâr adalah ilmu dalam agama Allâh. Perkataan para Ulama salaf pun berkisar pada pengertian tersebut.
Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat dapat dilawan, dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat dapat dilawan. Wallahul musta’an.”[2]
Penyakit syahwat juga dijelaskan dengan ayat dan hadits. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik.” [Ali ‘Imrân/3:14]
Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebaikan itu bukan dengan syahwat, akan tetapi kebaikan itu yaitu apa-apa yang disediakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagi siapa saja dari para hamba-Nya yang bertakwa dan selamat dari tujuan syahwat ini dan bersembunyi dari syahwat dengan apa-apa yang sudah dihalalkan oleh Allâh, serta sabar atas apa yang diharamkan oleh Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Katakanlah: Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu. Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allâh), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allâh. Dan Allâh Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. [Ali ‘Imrân/3:15]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa saja di antara mereka yang bersabar terhadap fitnah, niscaya akan selamat dari fitnah yang lebih besar. Sebaliknya, siapa saja yang terbenam dalam fitnah, niscaya akan jatuh ke dalam fitnah yang lebih buruk lagi. Jika orang yang tengah hanyut dalam fitnah segera bertaubat dengan benar niscaya dia akan selamat. Namun, jika ia tetap tenggelam di dalamnya berati orang itu berada di atas jalan orang yang binasa. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ الِنّسَاءِ.
“Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[3][4]
Penyakit syahwat juga dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga orang yang di dalam hatinya ada penyakit menginginkan sesuatu…” [al-Ahzâb/33: 32]
Hati yang sakit akan terganggu oleh syahwat sekecil apa pun dan tidak akan mampu menangkal syubhat yang mendatanginya. Sementara hati yang sehat dan kuat, meski sering didatangi syahwat atau syubhat, namun ia berhasil menghalaunya dengan pertolongan Allâh Azza wa Jalla dan dengan kekuatan iman dan kesehatannya.
Sedangkan penyakit syubhat adalah sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh...” [Al-Baqarah/2: 10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِـكُـلِّ أُمَّـةٍ فِتْنَـةً وَفِتْنَـةُ أُمَّـتِـي الْـمَـالُ.
Setiap ummat itu ada fitnahnya, dan fitnahnya ummatku adalah harta.[5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ الِنّسَاءِ
Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[6]
Fitnah ini akan masuk ke dalam hati manusia yang merupakan sebab hati menjadi sakit. Dan fitnah ini banyak sekali macamnya.
Di antara jenis fitnah syahwat:
- Melihat kepada perkara-perkara yang haram dilihat, sering memandang perempuan yang bukan mahram, membaca majalah porno, melihat gambar-gambar yang terbuka auratnya, menonton film cabul, menonton TV, sinetron, dan lain-lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
… فَزِنَـى الْـعَيْـنَيـْنِ الـنَّظَـرُ …
… dan zinanya kedua mata adalah dengan memandang…[7]
Menjaga pandangan dan kemaluan termasuk dalam tazkiyatun nufus. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [an-Nûr/24:30]
- Ikhtilâth (campur-baur laki-laki dan perempuan), khalwat (berdua-duaan laki-laki dan perempuan), pacaran, mabuk asmara (kasmaran), dan sebagainya. Pacaran hukumnya haram dalam Islam.
- Bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan sebagainya. Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram hukumnya haram.
- Zina, kumpul kebo, nikah mut’ah, dan sebagainya. Nikah mut’ah sama dengan zina. Zina itu haram dan dosa besar.
- Homosex dan sodomi yang merupakan perbuatan kaum Luth. Hukumnya haram dan dosa besar.
- Onani dan masturbasi. Hukumnya haram.
Adapun di antara jenis fitnah syubhat adalah sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh … [al-Baqarah/2:10]
Qatâdah, Mujâhid, dan lain-lain rahimahumullaah menafsirkan, “Di hatinya ada penyakit, yaitu penyakit syakk (keragu-raguan).”[8]
Fitnah syubhat adalah fitnah kesesatan, maksiat, bid’ah, kezhaliman, kebodohan, keyakinan, pemikiran, pemahaman yang sesat, aliran-aliran yang sesat, dan yang lainnya.
Fitnah syahwat membuat rusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dan fitnah syubhat membuat rusaknya ilmu dan keyakinan.
Tatkala manusia dihadapkan pada fitnah berupa syahwat dan syubhat, maka hati manusia akan terbagi menjadi dua macam:
Pertama, hati yang ketika datang fitnah langsung menyerapnya seperti spons yang menyerap air, lalu muncul titik hitam di tubuhnya. Ia terus menyerap setiap fitnah yang ditawarkan kepadanya sehingga tubuhnya menghitam dan miring. Bila sudah hitam dan miring ia akan berhadapan dengan dua malapetaka yang sangat bahaya:
- Tidak dapat membedakan mana yang ma’ruf (baik) dan mana yang munkar (buruk).
Terkadang penyakit ini semakin parah sehingga ia menganggap yang ma’ruf adalah munkar dan yang munkar adalah ma’ruf. Yang sunnah dianggap bid’ah dan yang bid’ah dianggap sunnah. Yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:
هَـلَـكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُـهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْـكِرْ قَلْبُـهُ الْـمُنْـكَـرَ.
Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran.[9]
- Menjadikan hawa nafsu sebagai sumber hukum yang lebih tinggi daripada apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , selalu tunduk kepada hawa nafsu dan mengikuti kemauan
Kedua, hati putih yang telah disinari oleh cahaya iman yang terang benderang. Jika hati semacam ini ditawari fitnah, ia akan mengingkari dan menolaknya sehingga sinarnya menjadi lebih kuat dan lebih terang.[10]
Nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Janganlah engkau jadikan hatimu seperti busa dalam menampung segala yang datang dan syubhat-syubhat, ia menyerapnya sehingga yang keluar dari busa tadi adalah syubhat-syubhat yang diserapnya tadi. Namun jadikanlah hatimu itu seperti kaca yang kokoh dan rapat (air tidak dapat merembes ke dalamnya) sehingga syubhat-syubhat tersebut hanya lewat di depannya dan tidak menempel di kaca. Dia melihat syubhat-syubhat tersebut dengan kejernihannya dan menolaknya dengan sebab kekokohannya. Karena kalau tidak demikian, apabila hatimu menyerap setiap syubhat yang datang kepadanya, maka hati tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi segala syubhat.[11]
Wajib diperhatikan oleh setiap muslim dan muslimah bahwa hati manusia senantiasa berbolak balik. Hati ini tidak mudah dikendalikan. Hati sangatlah mudah untuk berubah. Bisa jadi, di pagi hari seseorang masih dalam keadaan beriman, namun sore harinya berubah kafir, atau sore hari ia beriman tapi di pagi harinya ia berubah kafir. Di pagi hari ia masih mengikuti Sunnah, namun di sore harinya ia meninggalkan Sunnah. Di pagi hari ia memulai dengan amal-amal ketaatan namun di sore hari ia bermaksiat. Pagi hari ia memanfaatkan waktu dengan amal-amal yang bermanfaat, namun di sore harinya ia mengerjakan hal-hal yang sia-sia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا ، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا ، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih sebelum kedatangan fitnah-fitnah itu yang seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir karena ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit[12]
Inilah hati, yang selalu berbolak-balik karena ia berada di antara jari dari jari-jemari Allâh Yang Maha Penyayang. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada ummatnya untuk memperbanyak permohonan kepada Allâh agar diberikan ketetapan hati.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan:
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Anas melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh ! Kami telah beriman kepadamu dan kepada apa (ajaran) yang engkau bawa. Masihkah ada yang membuatmu khawatir atas kami?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
نَـعَمْ ، إِنَّ الْـقُـلُوْبَ بَـيْـنَ أُصْبُـعَـيْـنِ مِنْ أَصَابِعِ اللّٰـهِ يُـقَلِـّبُـهَـا كَـيْـفَ يَـشَاءُ.
Benar (ada yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Allâh, dimana Dia membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya.[13]
Hadits-hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, ‘Aisyah, Shahabat-Shahabat lainnya g .[14]
Al-Qur-an adalah penawar dari penyakit syahwat dan syubhat. Sebab, al-Qur’ân berisi bukti-bukti dan dalil-dalil mutlak yang bisa membedakan antara haq (benar) dan bathil sehingga penyakit-penyakit syubhat yang merusak ilmu, keyakinan, dan pemahaman bisa hilang. Karena seseorang bisa melihat segala sesuatu sesuai dalil dari al-Qur’ân dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Al-Qur’ân juga dapat mengobati penyakit syahwat karena di dalamnya terdapat hikmah dan petuah yang baik melalui targhîb (anjuran), tarhîb (peringatan), anjuran untuk bersikap zuhud terhadap dunia dan mengutamakan akhirat, contoh-contoh dan kisah-kisah yang mengandung banyak pelajaran dan petuah. Sehingga, apabila hati yang sehat mengetahui hal itu, ia akan menyukai hal-hal yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat, dan membenci segala yang merugikan dirinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari al-Qur’ân sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan bagi orang yang zhalim (al-Qur’ân) itu hanya akan menambah kerugian.” [Al-Isrâ’/17:82]
Setiap orang hendaklah mempelajari tanda-tanda (ciri-ciri) hati yang sakit dan hati yang sehat agar dapat mengetahui kondisi hatinya secara tepat. Bila hatinya sakit, ia harus berusaha untuk mengobatinya dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih serta senantiasa menjaga kesehatannya, mudah-mudahan kita meninggal dunia dengan hati yang selamat (sehat). Karena hati yang baik, sehat, dan selamatlah yang akan diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat.[15]
FAWAA-ID
- Hati adalah tempat ujian.
- Hati manusia setiap hari dimasuki oleh fitnah, baik fitnah syahwat maupun fitnah syubhat.
- Fitnah syahwat berkaitan dengan fitnah keduniaan, seperti harta, kedudukan, pujian, sedangkan fitnah syubhat berkaitan dengan fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
- Sumber fitnah syubhat yaitu perbuatan mendahulukan akal daripada syari’at sedangkan asal fitnah syahwat mendahulukan hawa nafsu daripada akal.
- Fitnah syubhat adalah fitnahnya orang-orang munafik dan ahlul bid’ah karena fitnah syubhat ini membuat mereka tidak memberdakan antara yang haq dan yang bathil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Semuanya menjadi rancu
- Fitnah syubhat bisa ditangkal dengan keyakinan dan fitnah syubhat ditolak dengan kesabaran.
- Hidup dan bersihnya hati merupakan pokok segala kebaikan, adapun mati dan gelapnya hati adalah pokok segala keburukan.
- Seseorang tidak akan selamat dari fitnah syubhat dan syahwat kecuali dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Fitnah syahwat bisa merusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan fitnah syubhat merusak ilmu dan keyakinan.
- Wajib bagi kita berhati-hati dalam berbicara dan beramal, jangan mengikuti langkah-langkah setan yang telah mengotori hati manusia dengan fitnah syubhat dan syahwat.
- Orang yang terkena fitnah syubhat atau syahwat tidak bisa membedakan lagi antara yang ma’ruf dan munkar, kecuali mengikuti hawa nafsunya.
- Obat yang paling mujarab untuk membersihkan hati adalah dengan menuntut ilmu syar’i berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, ikhlas, beriman dengan keimanan yang benar, serta menjauhkan perbuatan nifak dan bid’ah.
- Selalu berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca. Dan mudah-mudahan Allâh melindungi kita dari fitnah syahwat dan syubhat dan menunjuki kita di atas sunnah, menetapkan hati kita di atas Islam dan Sunnah, serta diberikan istiqamah sampai akhir hayat.
____
Footnote
[1] Lisânul ‘Arab (XIII/317).
[2] Ighâtsatul Lahfân fi Mashâyidisy Syaithân, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ditakhrîj oleh Syaikh al-Albâni dan ditahqiq oleh Syaikh Ali Abdul Hamid al-Halabi, (II/887-891), dengan sedikit diringkas.
[3] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhum.
[4] Ighâtsatul Lahfân fi Mashâyidisy Syaithân, (II/886). Lihat al-Fitnah wa Mauqiful Muslim minha, Dr. Muhammad Abdul Wahhab al-‘Aqil, cet. Daar Adhwa-us Salaf, hlm. 25.
[5] Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2336), Ahmad (IV/160), Ibnu Hibban (no. 2470-al-Mawârid), dan al-Hâkim (IV/318), lafazh ini milik at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shahabat Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 592).
[6] Shahih: HR. al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.
[7] Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6612), Muslim (no. 2657 (20)), Ahmad (II/276) dan Abu Dawud (no. 2152).
[8] afsîr Ibni Katsîr, tahqiq Sami Salamah, cet. Daar Thaybah, (I/180).
[9] Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al–Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (VII/257), “Rawi-rawinya adalah rawi-rawi kitab ash-Shahîh.”
[10] Lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahfân (hlm. 39-40) dan al-Bahrur Râ-iq fiz Zuhdi war Raqâ-iq (hlm. 54-55).
[11] Lihat Miftâh Dâris Sa’âdah (I/443) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[12] Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[13] Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2140), dan selainnya.
[14] Sunan at-Tirmidzi (no. 3522) dengan sanad yang shahih.
[15] Lihat buku penulis “Tazkiyatun Nufus”, hlm. 41-42, cet. Pustaka at-Taqwa.
Sumber: https://almanhaj.or.id/