Dalil Nama Allah As-Sittir
Di antara Asmaul Husna adalah as-Sittir (السِتِّيرُ). Arti nama Allah as-Sittir ialah Yang Maha Menutupi hamba-hamba-Nya.
Nama Allah subhanahu wa ta’ala as-Sittir ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi dalam hadits sebagaimana berikut.
عَنْ يَعْلَى أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلاً يَغْتَسِلُ بِالْبَرَازِ بِلاَ إِزَارٍ، فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
Dari Ya’la, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat seseorang mandi di tempat terbuka dan lapang tanpa memakai penutup tubuhnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu naik mimbar seraya memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya. Beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Menutupi, menyukai sifat malu dan tertutup. Jika seseorang di antara kalian mandi, hendaknya menutup diri.” (Sahih, HR. Abu Dawud, an-Nasai, dan Ahmad; Syaikh al-Albani menilainya sahih dalam kitab Irwa’ul Ghalil, 7/367)
Arti Nama Allah As-Sittir
Ibnul Qayyim mengatakan dalam bait-bait Nuniyyah-nya,
وَهُوَ الْحَيِيُّ فَلَيْسَ يَفْضَحُ عَبْدَهُ عِنْدَ التَّجَاهُرِ مِنْهُ بِالْعِصْيَانِ
لَكِنَّهُ يُلْقِي عَلَيْهِ سِتْرَهُ فَهُوَ السِّتِّيْرُ وَصَاحِبُ اْلغُفْرَانِ
Dan Dialah Yang Maha Pemalu, Dia tidak akan membeberkan aib hamba-Nya
saat dia terang-terangan melakukan kemaksiatan,
Namun, Dia justru melontarkan tirai menutupinya
Dialah Yang Maha Menutupi dan Maha Pemberi ampunan
Berikut ini penjelasan Syaikh Muhammad Khalil Harras tentang bait syair di atas.
“Seorang hamba terang-terangan bermaksiat kepada-Nya, padahal dia sangat membutuhkan-Nya dan paling lemah di hadapan-Nya. Namun, dia justru memakai nikmat-nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala dengan kesempurnaan sifat ketidakbutuhan-Nya terhadap makhluk dan kesempurnaan sifat kemampuan-Nya, Dia malu untuk menyingkap tabir aib hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala justru menutupinya dengan sebab-sebab yang Dia subhanahu wa ta’ala siapkan. Setelah itu, Allah subhanahu wa ta’ala memaafkan dan mengampuninya. Hal ini seperti dalam hadits Ibnu Umar,
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mendekatkan seorang mukmin kepada-Nya lalu Allah subhanahu wa ta’ala menutupkan padanya penutup-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah mengetahui dosa ini?”
Hamba itu pun mengatakan, “Ya, wahai Rabbku.”
Hingga ketika Allah subhanahu wa ta’ala meminta dia mengakui dosanya dan dia pun yakin bakal hancur, Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan kepadanya, “Aku telah tutup dosa itu padamu di dunia. Dan, pada hari ini aku ampuni kamu.”
Karena Allah Maha Pemalu dan Menutupi, Dia menyukai sifat malu dan tidak mengumbar aib hamba-Nya. Maka dari itu, barang siapa menutupi aib seorang muslim, Allah subhanahu wa ta’ala akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala juga membenci orang yang terang-terangan melakukan kefasikan (maksiatnya) dan terang-terangan dengan kekejiannya. Di antara orang yang paling dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah orang yang bermalam melakukan maksiat dan Allah subhanahu wa ta’ala menutupinya, lalu dia sendiri yang membuka tutup aib itu di pagi harinya.
Allah subhanahu wa ta’ala juga mengancam orang-orang yang suka tersebarnya kekejian di tengah-tengah kaum muslimin dengan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat. Dalam sebuah hadits,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ
“Semua umatku diberi maaf kecuali orang-orang yang terang-terangan (dengan dosanya).” (Syarah Nuniyyah)
Buah Mengimani Nama Allah As-Sittir
Dengan mengimani nama Allah subhanahu wa ta’ala as-Sittir, kita merasakan betapa sayangnya Allah kepada kita. Kita sebagai hamba yang selalu bersalah, sedikit banyak kita melakukan maksiat, tetap saja Allah subhanahu wa ta’ala menutupi aib-aib kita sehingga orang lain tidak mengetahui dosa-dosa kita. Seandainya Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan dosa itu bisa tercium, entah seperti apa bau kita masing-masing. Semua orang pun akan mengetahui dosa kita.
Seorang ulama bernama Muhammad bin Wasi’ dengan tawadhu dan rendah hati mengatakan,
لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدِرَ أَحَدٌ يَجْلِسُ إِلَيَّ
“Andai dosa itu memiliki bau, tentu tidak ada seorang pun yang mampu duduk bersamaku.” (Ighatsatul Lahafan, pasal “Wa fi Muhasabatin Nafs ‘Iddatu Mashalih”)
Atas itu semua, rasa syukur kepada-Nya harus senantiasa kita haturkan, sekaligus ampunan-Nya kita harapkan.
Dengan mengimani nama Allah as-Sittir juga, kita mengambil kesimpulan terlarangnya mengumbar aib. Demikian pula bahwa siapa saja yang mengumbar aib, berarti dia telah berbuat kesalahan yang kedua setelah kesalahannya yang pertama. Ini akan menambah dosanya sehingga ia terancam tidak diampuni.
Wallahu a’lam.
(Ustadz Qomar Z.A., Lc.)
Sumber: https://asysyariah.com/