Type Here to Get Search Results !

 


ADAB BERSIN, MEMBERI SALAM, DAN MENJILATI JARI

 

Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA

Adab-Adab Bersin

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: اَلْحَمْدُ الله, وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ يَرْحَمُكَ الله, فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ الله, فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ الله, وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ . أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ

“Jika salah seorang dari kalian bersin maka hendaknya dia mengatakan, “Alhamdulillāh.” Dan saudaranya yang mendengarnya meng-ucapkan, “Yarhamukallāh.” (semoga Allah merahmatimu) Jika saudaranya mengucapkan “Yarhamukallāh,” maka yang bersin tadi menjawab lagi dengan mengatakan “Yahdikumullāh wa yushlihu bā lakum” (semoga Allāh memberi petunjuk kepadamu dan semoga Allāh meluruskan/memperbaiki urusanmu).” (HR. Al-Bukhari)

Hadits ini berkaitan dengan adab bersin dan adab orang yang mendengar saudara muslimnya bersin.

    Pertama, berkaitan dengan orang yang bersin.

Orang yang bersin sebenarnya telah mendapatkan nikmat dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla sehingga dengan bersinnya itu keluarlah kotoran dari tubuhnya. Dia akan merasa lebih ringan daripada jika bersin tersebut terpendam dalam dirinya.  Bahkan sebagian orang menyatakan bahwasanya bersin itu menunjukkan sehatnya seseorang. Karena itu, hendaknya dia mengucapkan “Alhamdulillāh.”

Yang dimaksud di sini bukan orang yang bersin terus menerus yang menunjukkan bahwa dia sedang sakit. Tetapi kita berbicara tentang bersin yang kadang dialami oleh seseorang. Bersin seperti ini adalah nikmat yang menunjukkan tubuhnya sehat sehingga keluar dari tubuhnya bersin tersebut sehingga dia mengucapkan “Alhamdulillāh.”

Hal ini juga merupakan peringatan bagi kita, kalau sekedar bersin saja kita dianjurkan untuk memuji Allah atas nikmat tersebut dengan mengucapkan “Alhamdulillāh,” maka bagaimana lagi dengan nikmat-nikmat yang lain?

Oleh karena itu, hendaknya kita sering memuji Allah. Ketika kita mengucapkan “Alhamdulillāh” pada saat dzikir setelah shalat, hendaknya kita merenungkan dalam-dalam makna “Alhamdulillāh” itu. Betapa banyaknya nikmat yang  telah dikaruniakan Allah kepada kita, yang terkadang kita lupa untuk bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan lupa untuk memuji Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang memudahkan nikmat tersebut kepada kita.

Berikut ini adalah adab yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersin.

   Ketika bersin, beliau meletakkan tangan beliau di mulutnya atau meletakkan bajunya sehingga apa yang dikeluarkan ketika bersin itu tidak tersebar ke mana-mana.

   Ketika bersin, beliau melemahkan suaranya.

Dengan demikian, ketika seseorang bersin, hendaknya jangan menggelegarkan suaranya sekeras-kerasnya. Adapun jika dia tidak mampu menahan atau tidak menyengaja, maka itu tidak mengapa. Selain itu, ketika bersin hendaknya ia tidak memalingkan kepalanya kanan dan ke kiri tanpa menutupinya sehingga tersebarlah virus-virusnya.

Dengan mengikuti adab di atas, maka bersin kita tidak akan mengganggu orang lain baik suaranya maupun kotorannya.

    kedua, Adab orang yang mendengar seorang muslim bersin

Jika seorang muslim bersin kemudian mengucapkan “Alhamdulillāh,” maka orang yang mendengarnya hendaklah mengucapkan,

يَرْحَمُكَ اللهُ

“Semoga Allāh memberi rahmat kepada engkau.”

Maksudnya, Engkau telah mendapatkan nikmat, maka semoga Allāh menambah rahmat kepada engkau.

Para ulama berbicara bagaimana kalau ada orang yang bersin tetap tidak mengucapkan “Alhamdulillāh,”? Mereka berpendapat bahwa kita tidak mengucapkan “Yarhamukallāh” kepadanya.

Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyebutkan,

عَطَسَ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتْ الْآخَرَ ، فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ : هَذَا حَمِدَ الله ، وَهَذَا لَمْ يَحْمَدْ الله.

Ada 2 orang yang bersin di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan “Yarhamukallāh” kepada satunya dan Nabi tidak mengucapkan “Yarhamukallāh” kepada yang satunya lagi.  Maka orang yang tidak diucapkan Yarhamukallāh protes; seraya berkata:

يَا رَسُوْلُ اللهِ، شَمَّتَّ هَذَا ، وَلَمْ تُشَمِّتْنِي

“Yā Rasūlullāh, engkau mengucap Yarhamukallāh kepada si fulan adapun kepada aku tidak?”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللَّهَ, وَ لَمْ تَحْمَدِ اللّهَ

“Si fulan tadi tatkala bersin mengucapkan Alhamdulillāh, adapun engkau tidak mengucapkan Alhamdulillāh.” (HR. Muslim)

Oleh karenanya, kalau orang yang bersin tidak mengucapkan “Alhamdulillāh” maka kita tidak menjawab “Yarhamukallāh.”

Diriwayatkan dari Al-Auzaa’i rahimahullāhu, tatkala ada seseorang bersin di hadapan Ibnul Mubarak dan dia tidak mengucapkan “Alhamdulillaah” maka Al-Auzaa’i bertanya pada dia, “Apa yang diucapkan oleh orang yang bersin?” Orang ini pun mengatakan, “Alhamdulillāh.” Maka Al-Auza’i kemudian mengucapkan “Yarhamukallāh.” (Fathul Baari 10/16) Seakan-akan Al-Auza’i mengingatkan kepada orang tersebut.

Terkadang seseorang lupa mengucapkan “Alhamdulillāh” atau karena saking sibuknya dia lupa mengucapkan “Alhamdulillāh.” Maka, boleh bagi kita mengingatkannya untuk mengucapkan  “Alhamdulillāh” sehingga kita pun mengucapkan “Yarhamukallāh” kepadanya.

Mengenai hukum mengucapkan “Yarhamukallāh?” itu sendiri, ada khilaf di antara para ulama.

  Sebagian ulama ada yang mengatakan hukumnya fardhu ‘ain. Dengan demikian, setiap orang yang mendengar orang bersin yang mengucapkan Alhamdulillāh harus mengucapkan “Yarhamukallāh.”

  Ada sebagian ulama yang mengatakan hukumnya fardhu kifayah. Dengan demikian, cukup sebagian orang yang mengucapkan “Yarhamukallāh.”

  Sebagian ulama ada yang mengatakan hukumnya sunnah secara mutlak.

Terlepas dari perbedaan hukum yang ada di kalangan para ulama, hendaknya kita berusaha menghidupkan sunnah ini.  Tidak penting apakah hukumnya sunnah,  , atau fardhu ‘ain, yang penting bagi kita adalah kita berusaha mengucapkan “Yarhamukallāh” kepada saudara kita yang bersin.

Timbul pertanyaan lain, “Bagaimana dengan orang yang bersin berulang-ulang karena sakit?”

Maka jawabannya, yang wajib bagi kita adalah mengucapkan “Yarhamukallāh” sekali saja. Ada juga yang mengatakan disunnahkan sampai tiga kali dan lebih dari itu tidak perlu.

Disebutkan dalam hadits Salamah ibnil Akwa radhiallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar ada seorang yang bersin di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Yarhamukallāh.”

ثُمَّ عَطَسَ أُخْرَ

Kemudian orang ini bersin lagi. Kemudian Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan:

اَلرَّجُلُ مَزْكُوْمٌ

“Si fulan ini sedang sakit flu.” (HR. Muslim)

Hal ini merupakan isyarat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika ternyata seseorang bersinnya tidak wajar, namun karena sakit, maka kita ubah do’anya. Do’anya bukan lagi “Yarhamukallāh” tapi kita mendo’akannya dengan doa,

شَفَاكَ اللهُ

“Semoga Allāh menyembuhkanmu.”

atau do’a-do’a yang berkaitan dengan orang yang sakit.

Setelah didoakan dengan“Yarhamukallāh,” maka orang yang bersin tadi disunnahkan mengucapkan:

يَهْدِيكُمُ الله, وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Semoga Allāh memberi hidayah kepadamu dan semoga Allah memperbaiki urusanmu.”

Jadi orang yang bersin ini membalas doa orang yang mendoakannya dengan mendoakannya pula.

Demikianlah indahnya adab yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim diajarkan untuk saling mendoakan dengan muslim lainnya. Hal ini jika dipraktikkan dan dipahami tentu akan menimbulkan kasih sayang di antara sesama muslim serta menghilangkan rasa hasad dan dengki di antara mereka. Dengan demikian tali ukhuwah di antara kaum muslimin akan menjadi semakin erat dan kuat.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap muslim dituntut untuk mempererat tali ukhuwah dan dituntut juga untuk menghilangkan segala sebab yang bisa menimbulkan perpecahan, perselisihan, buruk sangka, dan sejenisnya.

Peringatan:
  • Pertama: Disyariatkan tetap mendoakan “yarhmukallahu” bagi orang yang bersin jika diketahui ia telah memuji Allah (alhamdulillah) meskipun tidak terdengar suaranya
Ibnu Hajar rahimahulllah berkata:

أَنَّهُ يُشْرَعُ التَّشْمِيتُ لِمَنْ حَمِدَ إِذَا عَرَفَ السَّامِعُ أَنَّهُ حَمِدَ اللَّهَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْهُ كَمَا لَوْ سَمِعَ الْعَطْسَةَ وَلَمْ يَسْمَعِ الْحَمْدَ بَلْ سَمِعَ مَنْ شَمَّتَ ذَلِكَ الْعَاطِسَ فَإِنَّهُ يُشْرَعُ لَهُ التَّشْمِيتُ لِعُمُومِ الْأَمْرِ بِهِ لِمَنْ عَطَسَ

“Disyari’atkan untuk tetap mendoakan “yarhamukallahu” bagi orang yang bersin dan memuji Allah jika diketahui ia telah memuji Allah meskipun tidak kedengaran suaranya. Seperti jika seseorang mendengar suara bersin namun ia tidak mendengar adanya pujian kepada Allah (alhamdulillah) akan tetapi ia mendengar ada orang lain yang mendoakan “yarhamukallahu” maka disyari’atkan bagi orang tersebut untuk tetap mendoakan “yarhamukallahu” berdasarkan keumuman perintah mendoakan “yarhamukallahu” bagi orang yang bersin” (Fathul Baari 10/610)
  • Kedua: Disukai untuk mendoakan “yarhamukallahu” bagi orang yang bersin meskipun jauh jika tidak ada orang lain yang mendoakan “yarhamukallahu” kepadanya.
Ibnu Hajar lalu berkata juga:

فَإِنْ عَطَسَ وَحَمِدَ وَلَمْ يُشَمِّتْهُ أَحَدٌ فَسَمِعَهُ مَنْ بَعُدَ عَنْهُ اسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ حِينَ يَسْمَعُهُ وَقد أخرج بن عَبْدِ الْبَرِّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ عَنْ أَبِي دَاوُدَ صَاحب السّنَن أَنه كَانَ فِي سَفِينَةٍ فَسَمِعَ عَاطِسًا عَلَى الشَّطِّ حَمِدَ فَاكْتَرَى قَارِبًا بِدِرْهَمٍ حَتَّى جَاءَ إِلَى الْعَاطِسِ فَشَمَّتَهُ ثُمَّ رَجَعَ فَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَعَلَّهُ يَكُونُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ فَلَمَّا رَقَدُوا سَمِعُوا قَائِلًا يَقُولُ يَا أَهْلَ لسَّفِينَةِ إِنَّ أَبَا دَاوُدَ اشْتَرَى الْجَنَّةَ مِنَ اللَّهِ بِدِرْهَمٍ

“Jika ada orang yang bersin dan memuji Allah namun tidak seorangpun yang mendoakannya (dengan yarhamukallahu) dan ia mendengar bersinnya tersebut dari jauh maka disukai baginya untuk mendoakannya (dengan yarhamukallahu) tatkala ia mendengarnya memuji Allah. Ibnu Abdil Barr telah meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abu Dawud penulis Sunan Abi Dawud bahwasanya Abu Dawud sedang berada di sebuah kapal, lalu ia mendengar ada orang yang bersin di pinggir pantai dan memuji Allah. Maka Ibnu Mas’udpun menyewa perahu kecil dengan membayar satu dirham lalu ia pergi hingga mendatangi orang yang bersin tersebut lalu beliau mendoakan orang yang bersin tersebut dengan yarhamukallahu, setelah itu beliau kembali lagi ke kapal. Kemudian beliau ditanya tentang perbuatan beliau tersebut, maka beliau berkata, “Bisa jadi orang yang bersin tersebut termasuk orang yang dikabulkan doanya”. Tatkala orang-orang di atas kapal tidur mereka mendengar suara yang berkata, “Wahai penghuni kapal, sesungguhnya Abu Dawud telah membeli surga dari Allah dengan satu dirham” (Fathul Baari 10/610-611)

Yaitu Abu Dawud menjalankan sunnah Nabi mendoakan orang yang bersin tersebut, dan ia juga berharap didoakan oleh orang yang bersin terebut. Karena orang yang bersin tadi akan mendoakannya dengan “yahdikumullahu wa yushlihu balakum”.
  • Ketiga: Jika seseorang bersin dalam sholat maka disunnahkan baginya untuk tetap memuji Allah (mengucapkan alhamdulillah) akan tetapi dengan suara yang lirih. Dan bagi orang lain yang sedang sholat yang mendengarnya tidak boleh menjawab dengan yarhamukallahu sementara mereka sedang sholat. Karena dalam sholat dilarang berbicara dengan orang lain, dan dalam ucapan “yarhamukallahu” (semoga Allah merahmatimu) ada bentuk mengajak berbicara dengan orang lain. Berbeda dengan orang bersin yang mengucapkan “alhamdulillah’ karena sesungguhnya ia sedang memuji Allah dan tidak sedang berbicara dengan orang lain.
Dalam sebuah riwayat:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ، قَالَ: بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَقُلْتُ: يَرْحَمُكَ اللهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ، فَقُلْتُ: وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ، مَا شَأْنُكُمْ؟ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ، فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ، فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي، مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ، فَوَاللهِ، مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي، قَالَ: «إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ»

dari Mu’aawiyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, dia berkata, “Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari jamaah sholat yang bersin lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallaah (semoga Allah memberimu rahmat)’. Maka seluruh jamaah mengarahkan pandangannya kepadaku.” Aku berkata, “Ibuku kehilangan anaknya ! Ada apa gerangan dengan kalian?, kenapa kalian melihat kepadaku?” Merekapun menepukkan tangan-tengan mereka pada paha mereka. Tatkala aku tahu mereka menginginkan aku diam  akupun diam. Tatkala Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, maka sungguh -Ayah dan Ibuku sebagai tebusan untuk menebus Rasulullah-, aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelumnya maupun sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, “Sesungguhnya shalat ini, tidak dibolehkan di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.” (HR Muslim No. 537)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi tidaklah menegur sahabat yang bersin dan memuji Allah dalam sholat, akan tetapi yang ditegur adalah sahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami yang menjawab dengan mengucapkan “yarhamukallahu”.

Dalam hadits yang lain dari sahabat Rifa’ah bin Rofi’:

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ، فَقُلْتُ: الحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، مُبَارَكًا عَلَيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ، فَقَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلاَةِ؟، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ، ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلاَةِ؟، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ، ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ: أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: كَيْفَ قُلْتَ؟، قَالَ: قُلْتُ: الحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلاَثُونَ مَلَكًا، أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا

“Aku pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu aku bersin dan mengucapkan, “Alhamdulillaahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih, mubaarakan ‘alaih, kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardha (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi di dalamnya serta diberkahi di atasnya, sebagimana Rabb kami senang dan ridla).” Maka ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau berpaling ke arah kami seraya bertanya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Tidak ada seorang pun dari kami yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang kedua kalinya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Tidak ada seorang pun dari kami yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Maka aku menjawab, “Aku, wahai Rasulullah,” Beliau bertanya, “Apa yang engkau ucapkan tadi?” Aku menjawab, “Aku mengucapkan ‘Alhamdulillaahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih, mubaarakan ‘alaih, kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardha’.” Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sungguh ada tiga puluh lebih malaikat saling berebut untuk membawa naik kalimat tersebut.” (HR At-Tirmidzi No. 404 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Takhriij Al-Misykaah no. 951)


Adab-Adab Memberi Salam

Abū Hurairah berkata, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لِيُسَلِّمِ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ, وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ, وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

“Hendaknya yang muda memberi salam kepada yang lebih tua, yang berjalan hendaknya memberi salam kepada yang duduk dan yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.” (Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhari dan Imām Muslim)

Kata Al-Hāfizh Ibnu Hajar,

وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِم: وَالرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِي

“Dan dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah yaitu yang berkendaraan hendaknya memberi salam kepada yang berjalan.”

Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita tentang sunnah dua orang muslim yang saling bertemu atau sekelompok muslim yang bertemu dengan sekelompok yang lainnya.

Sebagaimana kita tahu bahwa Islam mengajarkan kepada setiap muslim agar saling menyebarkan salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَفْشُوْا السَّلاَم

“Tebarkanlah kan salam.”

Maka dalam hadits yang kita bahas ini Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam mengajar-kan kepada kita bagaimana adab dalam saling menyebarkan salam.

Di antara adab-adab dalam memberi salam, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan 4 adab sebagai berikut.

    Pertama

لِيُسَلِّمِ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ

“Hendaknya yang lebih muda terlebih dahulu memberi salam kepada yang lebih tua .”

Hal ini menunjukkan penghormatan kepada yang lebih tua. Sebagaimana Islam mengajarkan agar yang lebih muda menghormati yang lebih tua dan yang tua hendaknya menyayangi yang lebih muda.

    Kedua

وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ

“Orang yang berjalan (yang sedang lewat) hendaknya memberi salam kepada yang duduk.”

Ini mengajarkan kesopanan, di mana orang yang melewati suatu kaum dalam perjalanan hendaknya memberi salam kepada kaum tersebut. Ketika kita berjalan dan melewati seseorang atau sekumpulan orang, hendaknya kita memberi salam kepada mereka sebagai bentuk doa, penghormatan, dan menjunjung tinggi adab kesopanan. 

    Ketiga

وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ

“Hendaknya kelompok yang berjumlah sedikit terlebih dahulu memberi salam kepada kelompok yang jumlahnya banyak” 

Hal ini juga suatu bentuk penghormatan.

    Keempat

وَالرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِي

“Yang naik kendaraan hendaknya memberi salam kepada yang sedang berjalan.” 

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang berkendaraan seakan-akan ada sesuatu yang membuatnya bisa merasa lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak berkendaraan. Hal itu dapat mengganggu sifat tawādhu’nya. Karena itu, sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah hendaknya ia bertawādhu’ kemudian memberi salam kepada orang yang tidak berkendaraan.  Hal ini juga merupakan salah satu bentuk kesopanan.

Keempat adab yang dijelaskan di atas menurut para ulama hukumnya sunnah. Artinya, tidak mengapa jika orang yang lebih tua memberi salam terlebih dahulu kepada yang lebih muda. Tidak masalah jika yang duduk memberi salam terlebih dahulu kepada yang berjalan. Bukanlah tercela jika kelompok yang jumlahnya lebih banyak memberikan salam terlebih dahulu kepada kelompok yang jumlahnya kecil. Demikian pula orang yang berjalan boleh memberikan salam terlebih dahulu kepada orang yang berkendaraan.

Kadangkala, orang yang lebih tua sengaja memberi salam kepada anak kecil dalam rangka membuat dirinya tawādhu’ dan dalam rangka mengajarkan kepada anak-anak kecil tersebut sunnahnya memberi salam, sehingga dengan demikian sunnah memberi salam itu tetap lestari. Hal seperti ini pernah pula dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga  merupakan sunnah pula jika kita terlebih dahulu memberi salam kepada anak-anak kecil.

Disebutkan dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى اللّه عليه وسلّم مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ

“Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam melewati anak-anak, dan Rasūlullāh memberi salam kepada mereka.” (HR. Muslim) 

Hal ini merupkan salah satu bentuk pengajaran kepada anak-anak bahwa apabila sesama muslim bertemu, hendaknya saling mengucapkan salam. Dengan demikian, sunnah saling mengucapkan salam yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tetap hidup di kalangan umat Islam. Hal ini juga mengajarkan sikap tawādhu’ kepada setiap orang tua.  Tidak mengapa bagi orang tua untuk mengucapkan salam terlebih dahulu kepada anak-anak muda atau bahkan anak kecil sebagai bentuk sikap tawādhu’orang tua sekaligus sebagai bentuk kasih sayang orang tua kepada yang lebih muda.

Peringatan:

Pertama : Jika bertemu dua orang yang setara, dua orang yang sama-sama berkendaraan, dua orang yang sama-sama sedang berjalan, dua orang yang sama-sama usianya, maka yang terbaik diantara keduanya adalah yang lebih dahulu memulai mengucapkan salam. Berdasarkan keumuman hadits:

وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

“Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai memberi salam” (HR Al-Bukhari No. 6077 dan Muslim No. 2560) (lihat Fathul Baari 11/16)

Kedua : Jika sekelompok orang banyak melewati sekelompok orang yang sedikit yang sedang duduk, maka manakah yang lebih dahulu memberi salam?, apakah yang kelompok banyak -karena merekalah yang lewat-?, ataukah kelompok yang sedikit meskipun mereka sedang duduk -karena mereka lebih sedikit-? Al-Imam An-Nawawi dan Al-Muhallab berpendapat bahwa yang mulai memberi salam adalah yang lewat, karena orang yang lewat hukumnya seperti orang yang masuk ke dalam rumah. (Lihat Fathul Baari 11/16-17)

Ketiga : Jika sedikit (atau seseorang) bertemu dengan yang banyak maka tentu yang sedikit yang mulai memberi salam. Jika yang sedikit (atau seseorang) memberi salam maka hendaknya ia memberi salam secara umum kepada yang banyak, dan janganlah ia mengkhususkan salam kepada sebagian orang saja dari yang banyak tersebut. Karena jika salam hanya dikhususkan kepada sebagian orang maka hal ini tidaklah menambah ulfah (kedekatan) akan tetapi sebaliknya akan menimbulkan kerenggangan, padahal tujuan memberi salam adalah untuk menumbuhkan kedekatan dan kasih sayang (lihat Fathul Baari 11/18).

Wallahu a’lam.


Adab-Adab Memberi Salam dalam Rombongan

Dari ‘Ali bin Abi Thālib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ, وَيُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ

“Jika ada sekelompok orang (sebuah jama’ah) melewati jama’ah yang lain, maka cukup salah seorang dari jama’ah yang lewat tersebut untuk memberi salam. Dan sebaliknya, demikian juga jama’ah yang disalami maka cukup satu orang bagi mereka untuk membalas salam tersebut.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi) 

Hadits ini sanadnya lemah karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Sa’īd bin Al-Khuzā’i Al-Madani. Dan dia adalah perawi yang dha’īf.

Al-Imam Al-Bukhāri menyatakan “fīihi nazhar” (sang perawi ada penilaian/masalah). Demikian juga Abū Hatim dan Abu Zur’ah mengatakan “dha’īful hadits” (haditsnya lemah). Kemudian juga Daruquthni mengatakan “laysa bilqawiy” (orangnya tidaklah kuat). Oleh karenanya, secara sanad hadits ini adalah lemah.

Akan tetapi Syaikh Al-Albani rahimahullāhu menyebutkan syawāhid yang menguatkan hadits ini. Yang dimaksud dengan syawahid adalah hadits-hadits yang maknanya sama tetapi diriwayatkan dari shahābat-shahābat yang lain. Dan syawāhid tersebut seluruhnya sanadnya juga lemah.

Oleh karenanya Syaikh Al-Albani mengatakan,

لَعَلَّ الْحَدِيْثَ بِهَذِهِ الطُّرُقِ يَتَقَوَّى فَيَصِيْرُ حَسَنًا، بَلْ هَذَا هُوَ الظَّاهِرُ

“Mungkin dengan banyaknya jalan-jalan yang lain dari hadits ini, maka hadits ini menguat dan menjadi menjadi hadits yang hasan. Bahkan memang dzohirnya ini hadits hasan” (Irwaul Golil 3/244)

Oleh karenanya, hadits ini juga dihasankan oleh Syaikh Al-Bassam dalam kitabnya Taudhihul Ahkām. Intinya, hadits ini wallāhu a’lam bish-shawāb, ada yang mendha’īfkan dan ada yang menghasankan.

Hadits ini menjelaskan bahwasa di antara adab yang berkaitan dengan memberi salam adalah jika ada sekelompok jama’ah yang melewati jama’ah yang lain maka cukuplah salah seorang di antaranya yang memberi salam, karena hukumnya adalah fardhu kifayah.

إِذَا قَامَ بِهِ الْبَعْضُ سَقَطَ عَنِ الْبَاقِيْنَ

“Kalau seorang sudah melakukannya, maka yang lain tidak perlu lagi wajib untuk mengucapkan salam.”

Demikian juga dalam hal menjawab salam. Apabila ada seseorang yang datang kemudian memberi salam kepada jama’ah, “Assalāmu’alaykum.” Maka tidak wajib bagi seluruh jama’ah tersebut menjawabnya, tetapi cukup salah seorang di antara mereka.

Akan tetapi, para ulama mengatakan; seandainya mereka menjawab seluruhnya maka itu lebih baik dan lebih afdhal. Demikian pula seandainya seluruh orang dalam jama’ah tersebut mengucapkan salam, “Assalāmu’alaykum,” maka hal itu juga lebih afdhal.

Keutamaan itu didasarkan pada hadits,

أَفْشُوا السَّلامَ

Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Tebarkanlah salam.” (HR. Muslim, dari shahābat Abū Hurairah )

Hadits ini penunjukannya umum. Oleh karenanya, siapa saja dari anggota jam’ah berhak untuk memberikan salam dan menjawab salam. Dengan demikian, jika jama’ah beramai-ramai mengucapkan salam atau beramai-ramai menjawab salam, maka hal itu lebih afdhal, meskipun tidak sampai ke tingkat wajib. Yang wajib adalah cukup salah satu yang memberi salam dan satu yang menjawabnya.

Adab lain yang perlu disampaikan juga dalam pembahasan ini adalah firman  Allāh Subhānahu wa Ta’āla dalam Al Quran,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Jika kalian diberi salam dengan suatu salam maka jawablah dengan salam yang lebih baik atau yang semisalnya.” (QS. An-Nisā: 86)

Dalam ayat ini, kita diperintahkan untuk menjawab salam yang diucapkan kepada dengan jawaban yang semisal atau yang lebih baik. Ini adalah sesuatu yang penting dan harus diperhatikan. Jika kita bertemu dengan saudara kita kemudian dia mengucapkan salam, “Assalāmu’alaykum wa rahmatullāh,” maka hendaknya kita menjawab dengan jawaban yang sama dengan mengucapkan “Wa’alaykumussalam wa rahmatullāhi.” atau kita menjawab dengan jawaban yang lebih baik dengan mengucapkan, “Wa’alaykumussalam wa rahmatullāhi wa barakātuh.” Dengan demikian, kita berusaha menjawab salam sebagaimana apa yang dia sampaikan atau lebih baik daripada apa yang dia sampaikan

Adapun Jika saudara kita mengatakan dengan salam yang terlengkap “Assalāmu’alaykum warahmatullah wa barakatuhu,” maka maksimal kita hanya bisa menjawab dengan jawaban yang sama, “Wa’alaykumussalām warahmatullahi wa barakatuhu”, karena itulah salam yang terlengkap yang dicontohkan oleh Nabi.

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، ثُمَّ زَادَ شَيْئًا مَعَ ذَلِكَ أَيْضًا، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَهُوَ يَوْمَئِذٍ قَدْ ذَهَبَ بَصَرُهُ، مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا الْيَمَانِي الَّذِي يَغْشَاكَ فَعَرَّفُوهُ إِيَّاهُ، قَالَ: فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «إِنَّ السَّلَامَ انْتَهَى إِلَى الْبَرَكَةِ»

Dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Athoo’ ia berkata : Pernah aku duduk di sisi Ibnu ‘Abbas, lalu seseorang dari negeri Yaman masuk menemui beliau dan berkata, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” kemudian ia menambahkan sesuatu pada salamnya tersebut. Ibnu Abbas -tatkala itu sudah dalam kondisi buta- berkata, “Siapakah ini?”, Mereka berkata, “Ini adalah seorang dari Yaman yang datang menemuimu” -mereka pun memperkenalkannya kepada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas lalu berkata, “Sesungguhnya salam itu berakhir pada “wabarakatuh”” (Atsar riwayat al-Imam Malik dalam Al-Muwathho’ 2/959 dalam bab al-‘amal fi as-salaam No. 2)

Ibnu ‘Abbas menegur orang yang mengucapkan salam dengan lafal yang lebih dari yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Qurthubi berkata tentang ucapan salam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu”,

وهذا النِّهَايَةُ فَلَا مَزِيدَ

“Ini adalah puncak tertinggi salam, dan tidak ada tambahan lagi” (Tafsir al-Qurthubi 5/299)

Menjawab salam dengan yang semisal atau dengan yang lebih baik juga dapat ditinjau dari sisi cara pengucapan salam. Misalnya saudara kita datang memberi salam kepada kita sambil tersenyum memandang wajah kita, maka kita pun berusaha memandangnya dengan tersenyum kepadanya. Karena, mungkin ada sebagian orang yang karena keangkuhan dalam dirinya, jika diucapkan salam kepadanya, maka dia menjawab tanpa mau tersenyum atau bahkan tanpa melihat kepada saudaranya yang mengucapkan salam tersebut. Padahal Allāh mengatakan,

فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Jawablah dengan lebih baik atau yang sama.”

Karena itu, kalau saudara kita mengucapkan salam kepada kita dengan senyum, maka minimal kita juga tersenyum. Kalau saudara kita itu senyumnya berseri-seri, maka kita pun tersenyum berseri-seri.

Demikianlah adab yang diajarkan oleh Islam. Karena itu hendaknya kita tidak menganggap enteng masalah mengucapkan dan menjawab salam ini. Cukuplah hadits Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam berikut sebagai penyemangat bagi kita untuk melaksanakan adab-adab dalam mengucapkan dan menjawab salam.

لا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلامَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai beriman, dan kalian tidak akan beriman kecuali sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang suatu amalan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai? Maka tebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim, dari shahābat Abū Hurairah radhiallahu ‘anhu).

Wallahu a’lam.


Anjuran Menjilati Jari Sesudah Makan

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم: «إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian makan makanan jangan dia usap tangannya sampai dia menjilat tangannya tersebut. Atau dia menjilatkan tangannya tersebut.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Kata Ibnu Hajar, “Diriwayatkan oleh Imām Bukhari dan Imām Muslim.”

Hadits ini menjelaskan tentang salah satu adab dari adab-adab makan, yaitu seseorang yang makan hendaknya menghabiskannya sampai bersih. Adab yang agung dalam Islam mengajarkan kepada kita agar menjauhkan diri dari sikap tabdzīr yang juga akan menjauhkan kita dari sikap kufur nikmat.

Ketika makan, seorang muslim diajarkan untuk mengambil makanan sesuai keperluannya kemudian menghabiskannya sehingga tidak ada terbuang secara sia-sia. Lebih dari itu, Islam mengajarkan agar sisa-sisa makanan terkecil yang tertinggal di jari-jari, sendok, dan piring saat kita akan mengakhiri makan juga dibersihkan, dengan cara dijilat. Hal ini dilakukan agar makanan yang telah kita ambil untuk kita makan benar-benar habis sampai bersih dan tidak ada yang terbuang sia-sia.

Hal ini merupakan salah satu bentuk syukur dan penghargaan kita terhadap nikmat makanan yang telah dikaruniakan Allah kepada kita. Kita tidak membiarkan makanan yang telah dikaruniakan Allah itu terbuang percuma karena kita tidak memakannya sampai bersih. Bayangkan kalau makanan yang lezat yang belum habis, yang menempel pada jari-jari, sendok, atau piring kita, kemudian  kita buru-buru mencuci tangan, sendok, atau piring tersebut, sehingga mengalirlah makanan tersebut bersama kotoran-kotoran. Ini merupakan bentuk dari tidak bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Oleh karenanya, Islam mengajarkan kita untuk bersyukur atas segala nikmat yang Allāh berikan kepada kita.

Sesungguhnya nikmat makanan yang telah diberikan Allah kepada kita merupakan karunia yang bisa jadi sangat diharapkan oleh saudara-saudara kita di belahan bumi lain yang sedang dilanda kelaparan. Sesuap yang kita sia-siakan, bisa jadi adalah sesuap makanan yang saudara-saudara kita berdoa kepada Allah untuk mendapatkannya. Karena itu, kita harus menghargai nikmat makanan tersebut. Selain itu, kita tidak pernah tahu, di bagian manakah Allah SUBHANAHU WA TA’ALA meletakkan keberkahan di antara makanan-makanan yang kita makan.  Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada para sahabatnya,

إِنَّكُمْ لاَ تَدْرُونَ فِى أَيِّهِ الْبَرَكَةُ

“Kalian tidak tahu di bagian mana makanan tersebut yang ada keberkahannya.” 

Bisa jadi Allah meletakkan keberkahan itu di suapan-suapan awal yang kita makan, bia jadi di tengah-tengah kita makan, dan bisa jadi Allah meletakkan berkah makanan itu di bagian-bagian terkecil dari penghabisan makan kita, yang tersisa di piring, menempel di sendok, atau menempel di jari-jari kita. Kita tidak pernah tahu. Karenanya, untuk memburu keberkahan itu, kita berusaha menghabiskan makanan itu sampai bagian-bagian terakhir yang menempel di piring, sendok, dan atau jari-jari kita.

Keberkahan adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh setiap muslim. Apabila kita mendapatkan keberkahan dari suatu makanan, maka apa yang kita makan tersebut akan berpengaruh terhadap ibadah kita, kesehatan tubuh kita, dan banyak hal dalam hidup kita. Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya berusaha untuk menghabiskan makanannya agar bisa mendapatkan keberkahan makanan itu meskipun sampai harus menjilati jari-jari sendiri demi memastikan tidak ada makanan yang tercecer di sana.

Adapun perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَوْ يُلْعِقَهَا

“Atau dia jilatkan kepada orang lain.”

Maka, maksudnya adalah seperti antara suami dan istri.

Di antara bentuk cinta dan kasih sayang suami-istri adalah istri terkadang menjilat tangan suaminya atau suami menjilat tangan istrinya ketika akan mengakhiri makan dalam rangka memastikan semua makanan tidak ada yang terbuang sia-sia. Hal ini merupakan salah satu perkara yang disunnahkan. Tidak masalah, bahkan dianjurkan, bagi suami istri untuk saling menyuapi ketika makan dan saling menjilati tangan pasangannya ketika selesai makan. Insya Allah hal seperti ini akan dapat semakin menumbuhkan rasa cinta di antara mereka.

Makna lain dari kalimat “atau dia jilatkan kepada orang lain” adalah antara ayah dengan anak, ini tidak mengapa dan diajarkan dalam Islam.

Oleh karenanya, jangan dengarkan perkataan sebagian orang yang merendahkan adab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Mereka mengatakan, “Apa itu Islam, kok adabnya buruk? Sampai menjilat-jilat jari.  Ini adalah perkara yang menjijikkan”

Perkataan seperti itu tidaklah benar. Karena maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah kita berlaku jorok dengan  menjilat-jilat jari ketika sedang makan. Tetapi maksudnya adalah kita membersihkan jari-jari kita ketika selesai makan untuk memastikan tidak ada makanan yang tercecer sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dengan demikian, tidak ada sedikit pun makanan yang kita buang, karena semuanya kita makan.

Ingatlah masih banyak orang-orang miskin yang kesulitan mendapatkan makan. Masih banyak orang-orang yang kelaparan di berbagai belahan bumi lain. Apakah pantas jika kita menyia-nyiakan makanan dan membuang-buangnya? Alangkah baiknya jika sisa-sisa tersebut kita habiskan seluruhnya sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang telah memberi kita makan serta dalam rangka mencari keberkahan makanan itu, yang kita tidak tahu di mana Allah Subhānahu wa Ta’āla meletakkannya.