Type Here to Get Search Results !

 


ADAB BERSIN DAN MEMAKAI SANDAL

  

Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA

Adab-Adab Bersin

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: اَلْحَمْدُ الله, وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ يَرْحَمُكَ الله, فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ الله, فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ الله, وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ . أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ

“Jika salah seorang dari kalian bersin maka hendaknya dia mengatakan, “Alhamdulillāh.” Dan saudaranya yang mendengarnya meng-ucapkan, “Yarhamukallāh.” (semoga Allah merahmatimu) Jika saudaranya mengucapkan “Yarhamukallāh,” maka yang bersin tadi menjawab lagi dengan mengatakan “Yahdikumullāh wa yushlihu bā lakum” (semoga Allāh memberi petunjuk kepadamu dan semoga Allāh meluruskan/memperbaiki urusanmu).” (HR. Al-Bukhari)

Hadits ini berkaitan dengan adab bersin dan adab orang yang mendengar saudara muslimnya bersin.

    Pertama, berkaitan dengan orang yang bersin.

Orang yang bersin sebenarnya telah mendapatkan nikmat dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla sehingga dengan bersinnya itu keluarlah kotoran dari tubuhnya. Dia akan merasa lebih ringan daripada jika bersin tersebut terpendam dalam dirinya.  Bahkan sebagian orang menyatakan bahwasanya bersin itu menunjukkan sehatnya seseorang. Karena itu, hendaknya dia mengucapkan “Alhamdulillāh.”

Yang dimaksud di sini bukan orang yang bersin terus menerus yang menunjukkan bahwa dia sedang sakit. Tetapi kita berbicara tentang bersin yang kadang dialami oleh seseorang. Bersin seperti ini adalah nikmat yang menunjukkan tubuhnya sehat sehingga keluar dari tubuhnya bersin tersebut sehingga dia mengucapkan “Alhamdulillāh.”

Hal ini juga merupakan peringatan bagi kita, kalau sekedar bersin saja kita dianjurkan untuk memuji Allah atas nikmat tersebut dengan mengucapkan “Alhamdulillāh,” maka bagaimana lagi dengan nikmat-nikmat yang lain?

Oleh karena itu, hendaknya kita sering memuji Allah. Ketika kita mengucapkan “Alhamdulillāh” pada saat dzikir setelah shalat, hendaknya kita merenungkan dalam-dalam makna “Alhamdulillāh” itu. Betapa banyaknya nikmat yang  telah dikaruniakan Allah kepada kita, yang terkadang kita lupa untuk bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan lupa untuk memuji Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang memudahkan nikmat tersebut kepada kita.

Berikut ini adalah adab yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bersin.

   Ketika bersin, beliau meletakkan tangan beliau di mulutnya atau meletakkan bajunya sehingga apa yang dikeluarkan ketika bersin itu tidak tersebar ke mana-mana.

   Ketika bersin, beliau melemahkan suaranya.

Dengan demikian, ketika seseorang bersin, hendaknya jangan menggelegarkan suaranya sekeras-kerasnya. Adapun jika dia tidak mampu menahan atau tidak menyengaja, maka itu tidak mengapa. Selain itu, ketika bersin hendaknya ia tidak memalingkan kepalanya kanan dan ke kiri tanpa menutupinya sehingga tersebarlah virus-virusnya.

Dengan mengikuti adab di atas, maka bersin kita tidak akan mengganggu orang lain baik suaranya maupun kotorannya.

    kedua, Adab orang yang mendengar seorang muslim bersin

Jika seorang muslim bersin kemudian mengucapkan “Alhamdulillāh,” maka orang yang mendengarnya hendaklah mengucapkan,

يَرْحَمُكَ اللهُ

“Semoga Allāh memberi rahmat kepada engkau.”

Maksudnya, Engkau telah mendapatkan nikmat, maka semoga Allāh menambah rahmat kepada engkau.

Para ulama berbicara bagaimana kalau ada orang yang bersin tetap tidak mengucapkan “Alhamdulillāh,”? Mereka berpendapat bahwa kita tidak mengucapkan “Yarhamukallāh” kepadanya.

Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang menyebutkan,

عَطَسَ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتْ الْآخَرَ ، فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ : هَذَا حَمِدَ الله ، وَهَذَا لَمْ يَحْمَدْ الله.

Ada 2 orang yang bersin di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan “Yarhamukallāh” kepada satunya dan Nabi tidak mengucapkan “Yarhamukallāh” kepada yang satunya lagi.  Maka orang yang tidak diucapkan Yarhamukallāh protes; seraya berkata:

يَا رَسُوْلُ اللهِ، شَمَّتَّ هَذَا ، وَلَمْ تُشَمِّتْنِي

“Yā Rasūlullāh, engkau mengucap Yarhamukallāh kepada si fulan adapun kepada aku tidak?”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

إِنَّ هَذَا حَمِدَ اللَّهَ, وَ لَمْ تَحْمَدِ اللّهَ

“Si fulan tadi tatkala bersin mengucapkan Alhamdulillāh, adapun engkau tidak mengucapkan Alhamdulillāh.” (HR. Muslim)

Oleh karenanya, kalau orang yang bersin tidak mengucapkan “Alhamdulillāh” maka kita tidak menjawab “Yarhamukallāh.”

Diriwayatkan dari Al-Auzaa’i rahimahullāhu, tatkala ada seseorang bersin di hadapan Ibnul Mubarak dan dia tidak mengucapkan “Alhamdulillaah” maka Al-Auzaa’i bertanya pada dia, “Apa yang diucapkan oleh orang yang bersin?” Orang ini pun mengatakan, “Alhamdulillāh.” Maka Al-Auza’i kemudian mengucapkan “Yarhamukallāh.” (Fathul Baari 10/16) Seakan-akan Al-Auza’i mengingatkan kepada orang tersebut.

Terkadang seseorang lupa mengucapkan “Alhamdulillāh” atau karena saking sibuknya dia lupa mengucapkan “Alhamdulillāh.” Maka, boleh bagi kita mengingatkannya untuk mengucapkan  “Alhamdulillāh” sehingga kita pun mengucapkan “Yarhamukallāh” kepadanya.

Mengenai hukum mengucapkan “Yarhamukallāh?” itu sendiri, ada khilaf di antara para ulama.

  Sebagian ulama ada yang mengatakan hukumnya fardhu ‘ain. Dengan demikian, setiap orang yang mendengar orang bersin yang mengucapkan Alhamdulillāh harus mengucapkan “Yarhamukallāh.”

  Ada sebagian ulama yang mengatakan hukumnya fardhu kifayah. Dengan demikian, cukup sebagian orang yang mengucapkan “Yarhamukallāh.”

  Sebagian ulama ada yang mengatakan hukumnya sunnah secara mutlak.

Terlepas dari perbedaan hukum yang ada di kalangan para ulama, hendaknya kita berusaha menghidupkan sunnah ini.  Tidak penting apakah hukumnya sunnah,  , atau fardhu ‘ain, yang penting bagi kita adalah kita berusaha mengucapkan “Yarhamukallāh” kepada saudara kita yang bersin.

Timbul pertanyaan lain, “Bagaimana dengan orang yang bersin berulang-ulang karena sakit?”

Maka jawabannya, yang wajib bagi kita adalah mengucapkan “Yarhamukallāh” sekali saja. Ada juga yang mengatakan disunnahkan sampai tiga kali dan lebih dari itu tidak perlu.

Disebutkan dalam hadits Salamah ibnil Akwa radhiallahu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar ada seorang yang bersin di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Yarhamukallāh.”

ثُمَّ عَطَسَ أُخْرَ

Kemudian orang ini bersin lagi. Kemudian Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan:

اَلرَّجُلُ مَزْكُوْمٌ

“Si fulan ini sedang sakit flu.” (HR. Muslim)

Hal ini merupakan isyarat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, jika ternyata seseorang bersinnya tidak wajar, namun karena sakit, maka kita ubah do’anya. Do’anya bukan lagi “Yarhamukallāh” tapi kita mendo’akannya dengan doa,

شَفَاكَ اللهُ

“Semoga Allāh menyembuhkanmu.”

atau do’a-do’a yang berkaitan dengan orang yang sakit.

Setelah didoakan dengan“Yarhamukallāh,” maka orang yang bersin tadi disunnahkan mengucapkan:

يَهْدِيكُمُ الله, وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Semoga Allāh memberi hidayah kepadamu dan semoga Allah memperbaiki urusanmu.”

Jadi orang yang bersin ini membalas doa orang yang mendoakannya dengan mendoakannya pula.

Demikianlah indahnya adab yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang muslim diajarkan untuk saling mendoakan dengan muslim lainnya. Hal ini jika dipraktikkan dan dipahami tentu akan menimbulkan kasih sayang di antara sesama muslim serta menghilangkan rasa hasad dan dengki di antara mereka. Dengan demikian tali ukhuwah di antara kaum muslimin akan menjadi semakin erat dan kuat.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap muslim dituntut untuk mempererat tali ukhuwah dan dituntut juga untuk menghilangkan segala sebab yang bisa menimbulkan perpecahan, perselisihan, buruk sangka, dan sejenisnya.

Peringatan:
  • Pertama: Disyariatkan tetap mendoakan “yarhmukallahu” bagi orang yang bersin jika diketahui ia telah memuji Allah (alhamdulillah) meskipun tidak terdengar suaranya
Ibnu Hajar rahimahulllah berkata:

أَنَّهُ يُشْرَعُ التَّشْمِيتُ لِمَنْ حَمِدَ إِذَا عَرَفَ السَّامِعُ أَنَّهُ حَمِدَ اللَّهَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْهُ كَمَا لَوْ سَمِعَ الْعَطْسَةَ وَلَمْ يَسْمَعِ الْحَمْدَ بَلْ سَمِعَ مَنْ شَمَّتَ ذَلِكَ الْعَاطِسَ فَإِنَّهُ يُشْرَعُ لَهُ التَّشْمِيتُ لِعُمُومِ الْأَمْرِ بِهِ لِمَنْ عَطَسَ

“Disyari’atkan untuk tetap mendoakan “yarhamukallahu” bagi orang yang bersin dan memuji Allah jika diketahui ia telah memuji Allah meskipun tidak kedengaran suaranya. Seperti jika seseorang mendengar suara bersin namun ia tidak mendengar adanya pujian kepada Allah (alhamdulillah) akan tetapi ia mendengar ada orang lain yang mendoakan “yarhamukallahu” maka disyari’atkan bagi orang tersebut untuk tetap mendoakan “yarhamukallahu” berdasarkan keumuman perintah mendoakan “yarhamukallahu” bagi orang yang bersin” (Fathul Baari 10/610)
  • Kedua: Disukai untuk mendoakan “yarhamukallahu” bagi orang yang bersin meskipun jauh jika tidak ada orang lain yang mendoakan “yarhamukallahu” kepadanya.
Ibnu Hajar lalu berkata juga:

فَإِنْ عَطَسَ وَحَمِدَ وَلَمْ يُشَمِّتْهُ أَحَدٌ فَسَمِعَهُ مَنْ بَعُدَ عَنْهُ اسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ حِينَ يَسْمَعُهُ وَقد أخرج بن عَبْدِ الْبَرِّ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ عَنْ أَبِي دَاوُدَ صَاحب السّنَن أَنه كَانَ فِي سَفِينَةٍ فَسَمِعَ عَاطِسًا عَلَى الشَّطِّ حَمِدَ فَاكْتَرَى قَارِبًا بِدِرْهَمٍ حَتَّى جَاءَ إِلَى الْعَاطِسِ فَشَمَّتَهُ ثُمَّ رَجَعَ فَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَعَلَّهُ يَكُونُ مُجَابَ الدَّعْوَةِ فَلَمَّا رَقَدُوا سَمِعُوا قَائِلًا يَقُولُ يَا أَهْلَ لسَّفِينَةِ إِنَّ أَبَا دَاوُدَ اشْتَرَى الْجَنَّةَ مِنَ اللَّهِ بِدِرْهَمٍ

“Jika ada orang yang bersin dan memuji Allah namun tidak seorangpun yang mendoakannya (dengan yarhamukallahu) dan ia mendengar bersinnya tersebut dari jauh maka disukai baginya untuk mendoakannya (dengan yarhamukallahu) tatkala ia mendengarnya memuji Allah. Ibnu Abdil Barr telah meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Abu Dawud penulis Sunan Abi Dawud bahwasanya Abu Dawud sedang berada di sebuah kapal, lalu ia mendengar ada orang yang bersin di pinggir pantai dan memuji Allah. Maka Ibnu Mas’udpun menyewa perahu kecil dengan membayar satu dirham lalu ia pergi hingga mendatangi orang yang bersin tersebut lalu beliau mendoakan orang yang bersin tersebut dengan yarhamukallahu, setelah itu beliau kembali lagi ke kapal. Kemudian beliau ditanya tentang perbuatan beliau tersebut, maka beliau berkata, “Bisa jadi orang yang bersin tersebut termasuk orang yang dikabulkan doanya”. Tatkala orang-orang di atas kapal tidur mereka mendengar suara yang berkata, “Wahai penghuni kapal, sesungguhnya Abu Dawud telah membeli surga dari Allah dengan satu dirham” (Fathul Baari 10/610-611)

Yaitu Abu Dawud menjalankan sunnah Nabi mendoakan orang yang bersin tersebut, dan ia juga berharap didoakan oleh orang yang bersin terebut. Karena orang yang bersin tadi akan mendoakannya dengan “yahdikumullahu wa yushlihu balakum”.
  • Ketiga: Jika seseorang bersin dalam sholat maka disunnahkan baginya untuk tetap memuji Allah (mengucapkan alhamdulillah) akan tetapi dengan suara yang lirih. Dan bagi orang lain yang sedang sholat yang mendengarnya tidak boleh menjawab dengan yarhamukallahu sementara mereka sedang sholat. Karena dalam sholat dilarang berbicara dengan orang lain, dan dalam ucapan “yarhamukallahu” (semoga Allah merahmatimu) ada bentuk mengajak berbicara dengan orang lain. Berbeda dengan orang bersin yang mengucapkan “alhamdulillah’ karena sesungguhnya ia sedang memuji Allah dan tidak sedang berbicara dengan orang lain.
Dalam sebuah riwayat:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ، قَالَ: بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، فَقُلْتُ: يَرْحَمُكَ اللهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ، فَقُلْتُ: وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ، مَا شَأْنُكُمْ؟ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ، فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ، فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي، مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ، فَوَاللهِ، مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي، قَالَ: «إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ»

dari Mu’aawiyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, dia berkata, “Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari jamaah sholat yang bersin lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallaah (semoga Allah memberimu rahmat)’. Maka seluruh jamaah mengarahkan pandangannya kepadaku.” Aku berkata, “Ibuku kehilangan anaknya ! Ada apa gerangan dengan kalian?, kenapa kalian melihat kepadaku?” Merekapun menepukkan tangan-tengan mereka pada paha mereka. Tatkala aku tahu mereka menginginkan aku diam  akupun diam. Tatkala Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, maka sungguh -Ayah dan Ibuku sebagai tebusan untuk menebus Rasulullah-, aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelumnya maupun sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, “Sesungguhnya shalat ini, tidak dibolehkan di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.” (HR Muslim No. 537)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi tidaklah menegur sahabat yang bersin dan memuji Allah dalam sholat, akan tetapi yang ditegur adalah sahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami yang menjawab dengan mengucapkan “yarhamukallahu”.

Dalam hadits yang lain dari sahabat Rifa’ah bin Rofi’:

صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَطَسْتُ، فَقُلْتُ: الحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، مُبَارَكًا عَلَيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ، فَقَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلاَةِ؟، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ، ثُمَّ قَالَهَا الثَّانِيَةَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلاَةِ؟، فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ، ثُمَّ قَالَهَا الثَّالِثَةَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ فِي الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ رِفَاعَةُ بْنُ رَافِعٍ ابْنُ عَفْرَاءَ: أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: كَيْفَ قُلْتَ؟، قَالَ: قُلْتُ: الحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مُبَارَكًا عَلَيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ ابْتَدَرَهَا بِضْعَةٌ وَثَلاَثُونَ مَلَكًا، أَيُّهُمْ يَصْعَدُ بِهَا

“Aku pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu aku bersin dan mengucapkan, “Alhamdulillaahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih, mubaarakan ‘alaih, kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardha (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi di dalamnya serta diberkahi di atasnya, sebagimana Rabb kami senang dan ridla).” Maka ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau berpaling ke arah kami seraya bertanya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Tidak ada seorang pun dari kami yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang kedua kalinya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Tidak ada seorang pun dari kami yang menjawab, beliau lalu bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya, “Siapa yang berbicara waktu shalat?” Maka aku menjawab, “Aku, wahai Rasulullah,” Beliau bertanya, “Apa yang engkau ucapkan tadi?” Aku menjawab, “Aku mengucapkan ‘Alhamdulillaahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiih, mubaarakan ‘alaih, kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardha’.” Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, sungguh ada tiga puluh lebih malaikat saling berebut untuk membawa naik kalimat tersebut.” (HR At-Tirmidzi No. 404 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Takhriij Al-Misykaah no. 951)


Adab-Adab Memakai Sandal 

Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc, MA

Al-Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāh membawakan hadits dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu,

وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ, وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ, وَلْتَكُنْ اَلْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ, وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ

Beliau berkata, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian menggunakan sandal, maka mulailah dengan menggunakan sandal bagian kanan. Jika dia melepaskan sandalnya maka hendaknya dia mulai dengan melepaskan sandal yang kiri terlebih dahulu. Maka jadikanlah sandal yang kanan yang pertama kali dipakai dan jadikanlah sandal yang kanan pula yang terakhir dilepas.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Hadits ini adalah hadits yang shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya, juga diriwayatkan oleh Imām Mālik dan Abū Dāwūd.

Hadits ini merupakan salah satu dari kaidah umum yang disebutkan oleh para ulama, yaitu bahwasanya merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:

  1.     Mendahulukan yang kanan dalam perkara-perkara yang baik.
  2.     Menggunakan/mendahulukan yang kiri dalam perkara-perkara yang buruk. 

Dalam suatu hadits yang bersumber dari ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā dalam Shahihain, beliau berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ»

“Bahwasanya Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam suka menggunakan (mendahulukan) yang kanan dalam memakai sandal, menyisir rambut, bersuci dan dalam segala perkara.”  (HR Al-Bukhari No. 168 dan 5926)

Ini adalah dalil bahwasanya untuk segala perkara yang baik maka Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan kita untuk mendahulukan yang kanan. Contohnya, bersisir, memakai sandal, memakai baju, makan dan minum menggunakan tangan kanan, dan mengambil perkara-perkara yang baik menggunakan tangan kanan.  Bahkan disebutkan bahwa Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala ber-tahallul, yang Beliau cukur terlebih dahulu adalah bagian kepala yang kanan, baru kemudian bagian kepala yang kiri.

Dari Anas bin Malik

«لَمَّا رَمَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَمْرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ وَحَلَقَ نَاوَلَ الْحَالِقَ شِقَّهُ الْأَيْمَنَ فَحَلَقَهُ، ثُمَّ دَعَا أَبَا طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيَّ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ، ثُمَّ نَاوَلَهُ الشِّقَّ الْأَيْسَرَ»، فَقَالَ: «احْلِقْ فَحَلَقَهُ، فَأَعْطَاهُ أَبَا طَلْحَةَ»، فَقَالَ: «اقْسِمْهُ بَيْنَ النَّاسِ»

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammelempar jamrat al-‘Aqobah dan menyembelih onta-onta beliau dan mencukur gundul maka sang pencukur menggunduli bagian kanan kepala beliau. Lalu beliau memanggil Abu Tholhah al-Anshoriy lalu beliau memberikan rambutnya kepada Abu Tholhah. Kemudian beliau memegang bagian kiri kepala beliau lalu beliau berkata, “Cukur gundul” Lalu dicukurlah kepala beliau lalu beliau memberi rambutnya kepada Abu Tholhah, lalu beliau berkata, “Bagi-bagikanlah rambut itu kepada orang-orang” (HR Muslim No. 1305)

Adapun dalam perkara-perkara yang buruk, maka kita mendahulukan atau menggunakan yang kiri. Contohnya, bersuci dari kotoran dengan menggunakan tangan kiri, mengambil barang-barang yang kotor menggunakan tangan kiri, masuk ke dalam WC mendahulukan kaki kiri, dan lain-lain.

Di antara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal ini (praktik dalam mendahulukan yang kanan dalam perkara yang baik dan mendahulukan yang kiri dalam perkara yang buruk) adalah adab menggunakan sandal.

Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian menggunakan sandal, maka mulailah dengan menggunakan sandal bagian kanan. Jika dia melepaskan sandalnya maka hendaknya dia mulai dengan melepaskan sandal yang kiri terlebih dahulu. Maka jadikanlah sandal yang kanan yang pertama kali dipakai dan jadikanlah sandal yang kanan pula yang terakhir dilepas.”

Mengapa demikian? Karena menggunakan sandal merupakan perkara yang baik, merupakan karamah (perbuatan yang mulia), yaitu menjaga kaki dari kotoran dan dari hal-hal yang bisa mengganggu, maka kita mendahulukan kaki kanan ketika memakai sandal. Sebaliknya,  melepaskan sandal dari kaki adalah perkara yang kurang baik, karena kita menghilangkan penjagaan terhadap kaki. Maka disunnahkan ketika kita melepaskan sandal, kita mendahulukan kaki kiri. Demikianlah sunnahnya.

Para pembaca yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’ālā, Perkara ini (memakai dan melepas sandal) adalah perkara yang kita lakukan setiap hari. Kita memperhatikan atau tidak, maka tetap saja kita memakai sandal dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika demikian, tidakkah kita ingin mendapatkan pahala?

Bagaimana caranya meraih pahala dari memakai sandal? Caranya adalah,  ketika memakai sandal kita niatkan dengan memakai sandal di kaki kanan terlebih dahulu. Kemudian, ketika memasukkan kaki kanan ke dalam sandal, maka kita teringat sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian otomatis Allāh akan memberikan pahala. Demikian pula halnya ketika kita ingin melepas sandal, maka kita lepas sandal dari kaki kiri terlebih dahulu karena kita ingat sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun kebiasaan kebanyakan orang jika memakai sandal mendahulukan kaki kanan dan ketika melepaskan pun juga mendahulukan kaki kanan (memakai dan melepaskan sandal dengan mendahulukan kaki kanan), maka kurang sempurna sunnahnya. Sunnah yang sempurna adalah mendahulukan kaki kanan ketika memakai sandal dan mendahulukan kaki kiri ketika melepaskannya.

Di akhir pembahasan ini, saya ingatkan bahwa para ulama telah ijma’ bahwa memakai sandal dengan mendahulukan kaki  kanan hukumnya adalah sunnah, tidak sampai pada derajat wajib. Akan tetapi, merupakan perkara yang tercela jika seseorang dengan sengaja memakai sandal dengan mendahulukan kaki kiri setelah mengetahui sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Kita tidak mengatakan bahwa dengan mendahulukan kaki kiri ketika memakai sandal itu dia berdosa. Akan tetapi kita katakan bahwa dia menyelisihi sunnah dan menyelisihi sunnah itu adalah perbuatan yang buruk meskipun tidak sampai pada derajat berdosa.

Wallahu a’lam.

Sumber Kedua

Adab-Adab Memakai Sandal

Dari ‘Ali bin Abī Thālib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَا يَمْشِ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ, وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا, أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا

Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian berjalan memakai satu sandal saja, tetapi hendaknya dia memakai sandal kedua-duanya atau dia melepaskannya kedua-duanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita tentang larangan memakai sandal sebelah (kanan saja atau kiri saja). Hendaknya kita memakai kedua sandal (sepasang) atau melepaskan sama sekali.

Disebutkan dalam beberapa hadist bahwa Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam kadang-kadang berjalan tanpa memakai alas kaki.  Hal ini menunjukkan bahwa sesekali kita boleh berjalan tanpa menggunakan alas kaki sama sekali.

Adapun ‘illah (sebab) dilarangnya memakai satu sandal saja, terdapat beberapa pendapat di kalangan para ulama, yaitu sebagai berikut.

    Pendapat pertama menyatakan bahwa kita dituntut untuk berbuat adil dalam segala hal, termasuk berbuat adil terhadap anggota tubuh kita. Maka tidak boleh bagi kita memakai sandal hanya pada satu kaki, karena hal itu berarti bahwa kita tidak adil pada satu kaki yang lainnya.

    Pendapat kedua mengatakan jika kita hanya memakai satu sandal saja, maka dikhawatirkan kaki yang satunya akan ter-kena gangguan, seperti tertusuk paku atau duri. Karena itu, diperintahkan untuk memakai sandal pada kedua kaki. Namun ini pendapat kurang kuat karena Nabi membolehkan berjalan bahkan dengan melepas kedua sendal sekaligus.

    Pendapat ketiga mengatakan bahwa ‘illah-nya karena berjalan dengan satu sandal saja akan menarik perhatian, sedangkan kita diperintahkan untuk menjauhi “syuhrah”, yaitu melakukan sesuatu yang bisa menarik perhatian dan menimbulkan ketenaran. Apalagi ketenaran dalam hal yang aneh-aneh se-perti memakai sebelah sandal ini.

    Ketenaran yang disebabkan karena memakai baju yang bagus yang tampil beda dibandingkan orang lain sehingga menarik perhatian orang banyak (libāsusy-syuhrah) saja adalah sesuatu yang dilarang[1], apalagi ketenaran yang disebabkan oleh perilaku aneh berupa berjalan dengan memakai sandal sebelah seperti ini. Bisa jadi kita malah akan dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak, seperti dituduh gila atau stress. Karenanya, hal ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah Islam menjaga adab dan kemuliaan seorang manusia.

    Pendapat keempat, mengatakan bahwa di antara ‘illah larangan ini adalah karena perbuatan seperti ini termasuk meniru setan.

Dalam hadits yang shahih Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَمْشِي بِالنَّعْلِ اْلوَاحِدَة

“Sesungguhnya syaithān berjalan dengan satu sandal saja.”

Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh Imām Thahawi dalam Syarah Musykil Al-Aatsaar dan disebutkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullāh dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah hadits no. 348.

Terhadap kabar ghaib seperti ini kita harus mengimaninya. Kita beriman kepada kabar yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa setan memakai sandal hanya sebelah ketika berjalan, sebagaimana  kita juga beriman kepada hadits-hadits yang menyebutkan bahwa setan makan dan minum dengan tangan kiri, syaitan memberi dan mengambil juga dengan tangan kiri.

Dalam hadits Ibnu Umar Nabi bersabda:

«لَا يَأْكُلَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِشِمَالِهِ، وَلَا يَشْرَبَنَّ بِهَا، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ، وَيَشْرَبُ بِهَا»، قَالَ: وَكَانَ نَافِعٌ يَزِيدُ فِيهَا: «وَلَا يَأْخُذُ بِهَا، وَلَا يُعْطِي بِهَا»

“Janganlah salah seorang dari kalian makan dengan tangan kirinya, dan jangan pula minum dengan tangan kirinya, karena syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya”. Nafi’ (maula ibnu Umar) memberi tambahan, “Dan janganlah ia mengambil (sesuatu) dengan tangan kirinya dan janganlah memberi dengan tangan kirinya” (HR Muslim No. 2020)

Dalam hadits Abu Hurairoh Nabi bersabda:

«لِيَأْكُلْ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ، وَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ، وَلْيَأْخُذْ بِيَمِينِهِ، وَلْيُعْطِ بِيَمِينِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ، وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ، وَيُعْطِي بِشِمَالِهِ، وَيَأْخُذُ بِشِمَالِهِ»

“Hendaknya salah seorang dari kalian makan dengan tangan kanannya dan minum dengan tangan kanannya, mengambil dengan tangan kanannya dan memberi dengan tangan kanannya, karena syaitan makan dengan tangan kirinya, minum dengan tangan kirinya, memberi dengan tangan kirinya dan mengambil dengan tangan kirinya” (HR Ibnu Majah No. 3266 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Karena memakai sandal sebelah termasuk perbuatan setan, maka kita harus menyelisihnya. Sebab kita diperintahkan untuk menyelisihi syaithan. Kalau kita tahu bahwa syaithan berjalan dengan satu sandal maka larangan untuk berjalan dengan satu sandal menjadi semakin keras.

Dari keempat pendapat di atas, muncullah khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama tentang hukum berjalan dengan satu sandal saja, apakah larangan ini sampai pada tingkatan haram atau hanya sampai pada derajat makruh saja.

Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa memakai satu sandal saja hukumnya haram. Dengan demikian, tidak boleh bagi seorang muslim berjalan dengan satu sandal saja. Dia harus memakai kedua-duanya atau melepaskan kedua-duanya. Akan tetapi, banyak ulama yang menjelaskan bahwa hukumnya tidak sampai pada derajat haram, tetapi hanya sampai derajat makruh saja.

Sebagian ulama menukil ijma’ dalam hal ini, seperti Imām Nawawi rahimahullāh -dan demikian juga ulama yang lainnya- yang mengatakan bahwa ijma’ ulama mengatakan hukumnya makruh. Dikatakan makruh dan tidak sampai haram karena menurut mereka (para ulama di antaranya Imām Nawawi), ini adalah masalah adab (pengarahan) saja. Maka segala pelarangan dalam permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan adab dan pengarahan maka hukumnya tidak sampai haram tapi hanya sampai pada derajat makruh.

Adapun Ibnu Hazm Azh-Zhāhiri menyatakan bahwasanya berjalan dengan satu sandal hukumnya haram.

Wallāhu a’lam bish-shawāb, terlepas dari hukumnya haram atau makruh, yang penting bagi kita adalah berusaha menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu kita tidak berjalan dengan memakai satu sandal, tetapi kita pakai dua-duanya atau kita lepas dua-duanya.

Semua penjelasan di atas adalah dalam kondisi jika kita sedang berjalan. Bagaimana jika dalam kondisi tidak berjalan? Bagaimana jika kita sedang duduk kemudian memakai sandal yang kanan dulu kemudian yang kiri. Tentunya ini tidak masalah karena yang dilarang adalah ketika sedang berjalan.

Adapun misalnya kita sedang berdiri di atas satu sandal sementara kaki yang satu lagi belum sempat kita pakaikan sandal/sepatu, maka inipun in syā Allāh tidak mengapa karena larangan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan seseorang yang sedang berjalan. Wallāhu Ta’āla a’lam bish shawāb.

_______

Footnote:

[1] Nabi melarang menggunakan pakaian syuhroh dalam sabdanya:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شهرةٍ منَ الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang memakai pakaian ketenaran di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat”(HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh AL-Albani)

Dan yang dimaksud dengan pakaian syuhroh -sebagaiamana penjelasan para ulama- antara lain:

Pertama : Pakaian yang terlalu indah dan mahal sehingga dijadikan sarana untuk berlebih-lebihan dan kesombongan. Nabi bersabda:

كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا مَا لم يُخالطْ إِسْرَافٌ وَلَا مَخِيلَةٌ

“Makan dan minumlah, bersedakahlah dan pakailah pakaian, selama tidak tercampur dengan sikap berlebih-lebihan dan kesombongan” (HR Ahmad, An-Nasaai, dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al-Albani)

Ibnu Abbas berkata

كُلْ مَا شِئْتَ، وَالبَسْ مَا شِئْتَ، مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ: سَرَفٌ، أَوْ مَخِيلَةٌ

“Makanlah sesukamu, berpakainlah sesukamu, selama engkau tidak terkena dua perkara, berlebih-lebihan dan kesombongan” (Atsar riwayat Al-Bukhari dalam shahihnya 7/140)

Kedua: Pakaian yang terlalu usang sehingga menarik perhatian. Karena syari’at memerintahkan kita untuk memakai pakaian yang wajar dan sedang.

Sufyan Ats-Tsauri berkata:

كَانُوا يَكْرَهُونَ الشُّهْرَتَيْنِ , الثِّيَابَ الْجِيَادَ الَّتِي يُشْتَهَرُ فِيهَا , وَيَرْفَعُ النَّاسُ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ , وَالثِّيَابَ الرَّدِيئَةَ الَّتِي يُحْتَقَرُ فِيهَا , وَيُسْتَذَلُّ دِينُهُ

“Para salaf dahulu membenci dua ketenaran, pakaian yang indah yang menjadikan tenar sehingga orang-orang memperhatikannya, dan pakaian yang jelek yang jadi bahan hinaan dan menjadikan agama pemakainya direndahkan” (Islaah al-Maal, karya Ibnu Abid Dunya, hal 113 No. 403)

As-Sarokhsi (ulama madzhab hanafi) berkata:

وَالْمُرَادُ أَنْ لَا يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنْ الْحُسْنِ وَالْجَوْدَةِ فِي الثِّيَابِ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ أَوْ يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنْ الثِّيَابِ الْخَلَقِ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، فَإِنَّ أَحَدَهُمَا يَرْجِعُ إلَى الْإِسْرَافِ وَالْآخَرَ يَرْجِعُ إلَى التَّقْتِيرِ وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا

“Yang dimaksud adalah tidak memakai pakaian yang dipuncak keindahan dan keelokan sehingga menjadi pusat perhatian (ditunjuk-tunjuk oleh jari-jari) atau memakai pakaian yang sangat usang sehingga mejadi pusat perhatian. Yang pertama (dilarang) karena sebab “berlebih-lebihan” dan yang kedua (dilarang) karena sebab “membuat lari orang”. Dan sebaik-baik perkara adalah yang tengah. (Al-Mabsuuth 30/268)

Ketiga: Pakaian yang modelnya aneh sendiri (tidak sesuai dengan pakaian masyarakat setempat) sehingga menjadi pusat perhatian

Sumber: https://firanda.com/