Type Here to Get Search Results !

 


HADITS AHAD HUJJAH DALAM AQIDAH


Pembaca sekalian, di antara klaim yang dibawa oleh sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam adalah seruan untuk tidak menerima hadits ahad secara total, melainkan hanya menerimanya sebagai argumen dalam perkara selain aqidah saja. Berikut ini adalah ringkasan yang kami ambil dari beberapa fatwa ulama terkait kewajiban umat untuk menerima hadits shahih dalam beragama, baik aqidah maupun hukum syariat, ahad, atau mutawatir. Semoga Allah Ta’ala mudahkan.

Apa Itu Hadits Ahad?

Definisi ringkas mengenai hadits ahad sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Mahmud Thahhan dalam Taisir Musthalah Al Hadith, secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Adapun secara istilah, ialah mencakup seluruh hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu hadits ahad dalam definisi ini lebih luas dan mencakup kategori:

  •     Hadits masyhur, hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi dalam tiap thabaqat (generasi perawi), atau lebih dari tiga selama tidak mencapai derajat bilangan perawi mutawatir.
  •     Hadits aziz, hadits yaitu diriwayatkan oleh dua orang perawi dalam tiap thabaqat.
  •     Hadits gharib, hadits yaitu diriwayatkan oleh satu orang perawi.

Maka suatu anggapan yang keliru dari sebagian orang yang mendefinisikan hadits ahad sebagai hadits gharib saja. Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa hadits ahad yang derajatnya shahih memiliki dua konsekuensi:

    Hadits ahad berfaidah zhan, yaitu adanya persangkaan terhadap keshahihan penisbatan hadits tersebut dari sisi penukilannya. Karena hadits ahad tidak mencapai tingkatan jazm (pasti) sebagaimana hadits mutawatir, oleh karenanya masih mengandung kemungkinan kesalahan, lupa, keliru dalam periwayatan, dari para perawinya atau sebagiannya. Namun faidah zhan bertingkat-tingkat, sehingga terkadang hadits ahad justru bisa berfaidah ilmu apabila terdapat qarinah (indikasi) yang menguatkannya, dan menjadi syahid (saksi) atasnya sehingga menghapus kemungkinan untuk salah, lupa, dan keliru dalam periwayatan.

    Wajib mengamalkannya, apabila hadits tersebut dalam hal syariat, dan wajib membenarkannya apabila hadits tersebut dalam hal aqidah. Hal ini berlaku apabila hadits ahad tersebut berstatus shahih atau hasan.

Awal Munculnya Tasykik (Peraguan) Terhadap Kehujjahan Hadits Ahad

Sebagian ahli kalam berdalil bahwa aqidah tidak bisa diambil melainkan dari dalil yang berfaidah yakin saja. Sehingga masalah ini harus diambil dari dalil yang qath’i (pasti) baik itu tsubut (eksplisit) dan dalalah (implisit). Mereka berdalil bahwasanya dalil-dalil zhanniyah tidak berfaidah melainkan zhann (persangkaan) saja, dan zhann tidak boleh dijadikan sebagai argumen dalam aqidah. Mereka beralasan dengan firman Allah Ta’ala,

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأَنْفُسُ

“Mereka hanya mengikuti zhann, dan apa yang diingini oleh keinginannya” (QS. An Najm: 14).

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti zhann, dan sesungguhnya zhann itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” (QS. An Najm: 28)

Dan ayat-ayat lainnya di mana Allah mencela kaum musyrikin karena mereka mengikuti zhann, dan mereka berdalil dengan ayat tersebut dan semisalnya. Padahal zhann dalam ayat tersebut bukanlah zhann yang mereka maksudkan, karena nash-nash yang mereka tolak berargumen dengannya (yaitu diantaranya hadits ahad –pen) itu adalah az zhann ar rajih (sangkaan yang kuat). Adapun zhann yang dimaksud dalam ayat yang mereka pakai sebagai argumen, adalah zhann dalam arti as syakk (keraguan) yang menduga-duga dan mengira-ngira suatu hal. Dalam An Nihayah wa Al Lisan disebutkan:

الظن: الشك يعرض لك في الشيء فتتحققه وتحكم به

“Zhann: Suatu dugaan (hipotesis) yang ditawarkan mengenai sesuatu hal, agar supaya dibenarkan atau dihukumi dengannya”

Inilah zhann yang Allah Ta’ala melarang kaum musyrikin untuk mengikutinya, hal ini ditegaskan pula dalam firman Allah Ta’ala

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan” (QS. Al An’aam : 116)

Adapun zhann rajih tidak termasuk dalam hal itu. Seandainya termasuk, maka semua dalil syara’ haruslah qath’i, padahal yang terjadi tidaklah seperti itu. Mayoritas dalil syar’i adalah zhanni, dalalah (dalam hal pendalilannya) maupun tsubut (dalam hal penetapan keshahihannya), atau dalalah dan tsubut. Padahal para shahabat dan tabi’in tidaklah mereka membatasi dalam mengambil darinya permasalahan aqidah dan selainnya. Para sahabat dan tabi’in juga ketika menerima hadits tidak menanyakan berapa jumlah keseluruhan perawinya, kalau sangat banyak (mutawatir) baru mereka terima, kalau sedikit (ahad) mereka tolak. Tidak demikian.

Web Islamweb asuhan Syaikh Abdullah Al Faqih dalam fatwanya juga menjelaskan,

وأما التفريق بينهما فبدعة أول من أحدثها أهل الأهواء من القدرية والجهمية والمعتزلة والمتكلمين ومن سار على دربهم ليردوا الأدلة التي تنقض بدعهم، ولم يزل الصحابة والتابعون وأهل السنة والحديث يحتجون بهذه الأخبار في مسائل الاعتقاد والأحكام من غير تفريق بينهما ولم ينقل عن أحد منهم أنه جوز الاحتجاج بها في مسائل الأحكام دون الإخبار عن الله وأسمائه وصفاته، بل لا يعرف خلاف في هذه المسألة عن أحد ممن يعتد به من أهل العلم

“Adapun membedakan antara keduanya (argumentasi hadits ahad dalam aqidah dan syariat –pen) adalah bid’ah yang awalnya dibuat oleh pengikut hawa nafsu, dari kalangan Qadariyyah, Jahmiyyah, Mu’tazilah, ahli kalam, dan mereka yang mengikuti jalan mereka. Mereka melakukan hal tersebut dalam rangka menolak dalil-dalil yang mematahkan bid’ah mereka. Adapun para shahabat, tabi’in, ahlus sunnah dan ahlul hadits, mereka senantiasa berargumen dengan khabar ahad dalam masalah aqidah dan hukum. Tanpa membedakan antara keduanya, dan tidak dinukil dari mereka satupun perkataan bahwa khabar ahad hanya bisa dijadikan argumen dalam perkara hukum, bukan dalam perkara mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah. Bahkan tidak diketahui adanya khilaf dalam masalah ini dari seorang pun ulama”

قال الإمام الشافعي في كتابه ـ الرسالة: ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة: أجمع المسلمون قديماً وحديثاً على تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه، بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد إلا وقد ثبته جاز لي ولكن أقول: لم أحفظ عن فقهاء المسلمين أنهم اختلفوا في تثبيت خبر الواحد بما وصفت من أن ذلك موجود على كلهم.

“Al-Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab beliau Ar Risalah, ‘Apabila satu orang boleh berbicara dalam suatu cabang ilmu tertentu, maka kaum muslimin, yang lalu maupun yang sekarang, juga telah bersepakat atas validnya berargumen dengan hadits ahad dan mencukupkan diri dengannya. Dan tidak diketahui seorang pun fuqaha’ dari kaum muslimin kecuali mereka menetapkan validitas argumen dengan hadits ahad.’ Akan tetapi aku berkata, ‘Aku tidak hafal adanya seorang pun fuqaha kaum muslimin yang berselisih dalam masalah penetapan khabar ahad (kalimat ini merupakan bentuk tawadhu dari Imam Syafii dalam masalah ini –pen)’”.

وقال الإمام ابن القيم: وأما المقام الثامن: وهو انعقاد الإجماع المعلوم المتيقن على قبول هذه الأحاديث وإثبات صفات الرب تعالى بها، فهذا لا يشك فيه من له أقل خبرة بالمنقول، فإن الصحابة ـ رضي الله عنهم ـ هم الذين رووا هذه الأحاديث وتلقاها بعضهم عن بعض بالقبول ولم ينكرها أحد منهم على من رواها، ثم تلقاها عنهم جميع التابعين ـ من أولهم إلى آخرهم. مختصر الصواعق المرسلة.

“Al-Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata, ‘Adapun tingkatan yang kedelapan: Meyakini telah bersepakatnya umat atas hal-hal yang telah diketahui dan diyakini, yaitu dengan menerima hadits-hadits dan menetapkan sifat-sifat Rabb Ta’ala dengannya. Dalam hal ini tidak boleh meragukan suatu khabar yang sedikit penukilnya, yaitu dari kalangan shahabat radhiyallahu ‘anhum. Merekalah yang meriwayatkan hadits-hadits dan sebagian mereka saling bertemu satu sama lain dan saling menerima kabar tersebut, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkari riwayat (ahad) tersebut. Kemudian bertemulah mereka dengan segenap tabi’in, dari awal sampai akhir’” (Mukhtashar As Shawa’iq Al Mursalah).

قال الإمام أبو حاتم ابن حبان ـ ت354هـ ـ في مقدمة صحيحه: فأما الأخبار فإنها كلها أخبار آحاد، إلى أن قال: وأن من تنكب عن قبول أخبار الآحاد فقد عمد إلى ترك السنن كلها، لعدم وجود السنن إلا من رواية الآحاد. الإحسان في تقريب صحيح ابن حبان.

“Al-Imam Abu Hatim ibn Hibban (w. 354 H) dalam muqaddimah Shahihnya berkata, ‘Adapun khabar, maka sesungguhnya seluruhnya (atau sebagian besar –pen) adalah khabar ahad.’ Sampai perkataan beliau, ‘Sesungguhnya barangsiapa yang menolak dan tidak menerima khabar ahad, maka ia telah berpegang pada prinsip meninggalkan sunnah seluruhnya. Karena sunnah tidak akan terwujud tanpa adanya riwayat ahad (karena saking banyaknya riwayat ahad yang menjadi hujjah dalam masalah aqidah maupun syariat –pen)’” (Al Ihsan fii Taqrib Shahih Ibn Hibban).

Hadits Ahad Hujjah dalam Aqidah dan Syariat dengan Ijma’ Para Ulama

وقال الإمام ابن عبد البر ـ وهو يتكلم عن خبر الواحد وموقف العلماء منه: وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات ويعادي ويوالي عليها ويجعلها شرعاً وديناً في معتقده، على ذلك جميع أهل السنة. انتهى من كتابه ـ التمهيد.

“Al-Imam Ibn Abdil Barr berkata mengenai khabar ahad dan sikap para ulama terhadapnya, ‘Seluruh ulama berpegang dengan khabar ahad yang ‘adl dalam masalah aqidah, mereka menetapkan loyalitas dan permusuhan dengan khabar ahad, meyakininya sebagai sumber dalam syariat dan agama, dan seluruh ahlus sunnah bersepakat dalam hal ini –selesai kutipan dari kitab At Tamhid.’”

قال ابن تيمية معلقاً على هذا الإجماع الذي نقله ابن عبد البر: قلت: هذا الإجماع الذي ذكره في خبر الواحد العدل في الاعتقادات يؤيد قول من يقول: إنه يوجب العلم، وإلا فما لا يفيد علماً ولا عملاً كيف يجعل شرعاً وديناً يوالي عليه ويعادي؟. انتهى.

“Ibnu Taimiyah berkata mengomentari klaim ijma’ dari Ibn Abdil Barr, ‘Ijma’ ini yang telah disebutkan dalam hal khabar ahad al-‘adl adalah argumen dalam masalah aqidah, bahwa mereka berkata, ‘Hadits ini menghasilkan ilmu’, adalah benar. Karena apabila hadits ahad tidak berfaidah ilmu dan amal, bagaimana syariat dan agama, permusuhan dan loyalitas bisa terbentuk (tanpa hadits ahad –pen)?’” –selesai.

Menjawab Syubhat dan Keraguan Tentang Hadits Ahad

Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin dalam Fatawa Al ‘Aqidah hal. 18 menjelaskan kekeliruan pendapat ini dalam beberapa poin:

    Pendapat ulama yang menyatakan hadits ahad hanya berfaidah zhann (persangkaan) tidaklah mutlak. Bahkan khabar ahad bisa berfaidah yakin apabila ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan benarnya khabar tersebut. Sebagaimana telah sepakat ummat untuk menerima hadits-hadits (yang shahih) tersebut. Misalnya hadits Umar ibn Al Khathab radhiyallahu ‘anhu,

    إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

    “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya”

    ini khabar ahad, padahal kita telah yakin dan mengetahui bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam-lah yang mengucapkannya. Inilah yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam ibn Taimiyah, Al Hafizh Ibn Hajar, dan selainnya.

    Bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wa sallam telah mengutus beberapa shahabat seorang diri untuk menjelaskan pokok-pokok aqidah, yaitu persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak selain Allah dan Muuhammad adalah Utusan Allah, dan mengutusnya sebagai hujjah yang tetap. Sebagaimana diutusnya Mu’adz ke Yaman, dan pengutusan beliau adalah hujjah yang ditetapkan bagi penduduk Yaman agar menerimanya.

    Apabila kita katakan bahwa masalah aqidah tidak bisa ditetapkan dengan khabar ahad, dapatlah kita katakan: masalah syariat juga tidak bisa ditetapkan dengan khabar ahad juga. Karena masalah praktik hukum amaliyah beriringan dengan aqidah bahwasanya Allah Ta’ala memerintahkan hal tersebut, atau melarang sesuatu hal. Apabila argumen ini diterima, maka tertolaklah berbagai hal dalam masalah syariat. Dan apabila argumen ini ditolak, maka tertolaklah pula pendapat bahwa aqidah tidak bisa ditetapkan melalui khabar ahad. Karena tidak ada beda antara keduanya.

    Alhasil, khabar ahad apabila menunjukkan indikasi kebenarannya, menghasilkan ilmu. Khabar ahad menjadi argument yang valid dalam perkara amaliyah maupun ilmiyah. Tidak ada satu pun dalil untuk membedakan keduanya. Barangsiapa yang menisbatkan hal tersebut kepada para imam dalam agama ini, tentang pembedaan antara keduanya maka ia harus menunjukkan sanad yang shahih, kemudian menjelaskan dalil tersebut.

    Bahwa Allah Ta’ala memerintahkan untuk kembali pada perkataan ahli ilmu, bagi siapa saja yang jahil, tidak tahu atau bodoh, dan hal ini adalah di antara masalah yang agung dalam aqidah, yaitu risalah. Allah Ta’ala berfirman,

    وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ * بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ

    “Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab” (QS. An Nahl: 43-44).

Kaidah dalam Mengambil Khabar Ahad Sebagai Sumber Aqidah

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menjelaskan kaidah yang sangat berguna bagi kita dalam mengurai permasalahan ini dan tetap mengambil aqidah dari khabar ahad, sebagai berikut.

وأما المتواتر فالصواب الذي عليه الجمهور: أن المتواتر ليس له عدد محصور ، بل إذا حصل العلم عن إخبار المُخبِرين كان الخبر متواترا ، وكذلك الذي عليه الجمهور أن العلم يختلف باختلاف حال المخبِرين به ، فرب عدد قليل أفاد خبرُهم العلم بما يوجب صدقهم ، وأضعافهم لا يفيد خبرهم العلم ؛ ولهذا كان الصحيح أن خبر الواحد قد يفيد العلم إذا احتفت به قرائن تفيد العلم ؛ وعلى هذا فكثير من متون الصحيحين متواتر اللفظ عند أهل العلم بالحديث وإن لم يعرف غيرهم أنه متواتر ؛ ولهذا كان أكثر متون الصحيحين مما يعلَمُ علماء الحديث علما قطعيا أن النبي صلى الله عليه وسلم قاله ، تارة لتواتره عندهم ، وتارة لتلقي الأمة له بالقبول ، وخبر الواحد المتلقَّى بالقبول يوجب العلم عند جمهور العلماء من أصحاب أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد ، وهو قول أكثر أصحاب الأشعري كالإسفراييني وابن فورك ؛ فإنه وإن كان في نفسه لا يفيد إلا الظن ؛ لكن لمَّا اقترن به إجماع أهل العلم بالحديث على تلقيه بالتصديق ، كان بمنزلة إجماع أهل العلم بالفقه على حكمٍ مستندين في ذلك إلى ظاهر أو قياس أو خبر واحد ، فإن ذلك الحكم يصير قطعيا عند الجمهور ، وإن كان بدون الإجماع ليس بقطعي ؛ لأن الإجماع معصوم ، فأهل العلم بالأحكام الشرعية لا يُجمعون على تحليل حرام ولا تحريم حلال ، كذلك أهل العلم بالحديث ، لا يُجمعون على التصديق بكذب ولا التكذيب بصدق ، وتارة يكون علم أحدهم لقرائن تحتف بالأخبار ، توجب لهم العلم ، ومَن عَلِمَ ما عَلِمُوه حَصَلَ له مِن العلم ما حصل لهم

“Adapun tentang mutawatir yang benar adalah pendapat jumhur : bahwasanya mutawatir tidak ada bilangan tertentu dalam jumlah perawinya. Bahkan apabila suatu khabar menghasilkan ilmu dari perawinya, maka itu disebut khabar mutawatir. Demikian pula dengan pendapat jumhur bahwa ilmu itu bermacam-macam tergantung kondisi yang memberi khabar. Maka betapa banyak hadits yang jumlah perawinya sedikit namun berfaidah ilmu dan wajib untuk membenarkannya. Namun hadits yang lebih dha’if dari itu tidak berfaidah ilmu. Hal itu dikarenakan pendapat yang shahih adalah bahwasanya khabar ahad bisa berfaidah ilmu apabila ada qarinah (indikasi) yang berfaidah ilmu. Oleh karena itu ada banyak matan-matan hadits dari Shahihain yang mutawatir secara lafaz menurut ulama pakar hadits padahal ulama lainnya tidak mengetahui bahwa itu mutawatir. Hal ini dikarenakan para ulama hadits sebagai dalil qath’i (jelas) bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam memang mengatakannya, kadang karena derajatnya mutawatir di sisi mereka, kadang karena ummat bersepakat menerimanya. Maka khabar ahad yang ummat bersepakat menerimanya maka itu wajib berfaidah ilmu menurut jumhur ulama dari madzhab Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, dan Ahmad, dan pendapat mayoritas ulama Asy’ariyah seperti Al Isfiraini ibn Furik. Sehingga hadits ahad meskipun sendirinya tidak berfaidah selain hanya zhann, namun bisa berfaidah ilmu karena memiliki indikasi berupa ijma’ ulama bahwa mereka menerima dan membenarkan isinya. Hal itu sesuai tingkatan ijma’ ahli ilmu dengan fiqh (pemahaman) mereka dalam menghukumi periwayatan itu dengan makna ekxplisit, dengan qiyas, atau sebagai khabar ahad. Sehingga khabar ahad bisa menjadi qath’i dengan ijma’ jumhur ulama, dan apabila tiada ijma’ maka statusnya tidak bisa terangkat menjadi qath’i. Karena ijma’ adalah ma’shum, sehingga para ulama seluruhnya tidak mungkin mereka berijma’ (bersepakat) untuk menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal. Begitu pula dengan ijma’ ahli hadits, tidak mungkin mereka bersepakat untuk membenarkan khabar yang dusta, tidak pula mendustakan khabar yang benar. Terkadang salah seorang dari mereka mengetahui indikasi suatu khabar yang menjadikannya berfaidah ilmu, maka barangsiapa yang mengetahui tentang hal tersebut maka jadilah khabar itu menghasilkan ilmu bagi mereka.” –selesai dari Majmu’ Fatawa 40/18-41

    ____

Tulisan ini merupakan rangkuman yang kami ambil dari berbagai fatwa berikut ini :

   http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=61928&fromCat=542

   http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=119118&fromCat=542

   http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=28926

   http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=129539

   http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=129610

    http://islamqa.info/ar/126571

    http://islamqa.info/ar/130918

Penyusun: Yhouga Pratama A.

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags