Pertanyaan:
Ustadz, mohon dijelaskan tentang hukum mengikuti salah satu dari empat madzhab, sikap kita tehadap mereka yang bermadzhab dan yang mewajibkan bermadzab, serta sejauh mana kebenaran klaim bahwa mereka mengikuti salah satu imam tersebut, terutama di negeri ini.
Jawaban:
Pertanyaan serupa pernah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah, beliau menjawab:
“Empat imam mahdzab memiliki kapasitas ilmu yang berbeda. Karena tentunya tidak ada seorang pun yang menguasai semua ajaran Nabi, dan tidak ada seorang pun manusia yang menguasai keseluruhan ilmu yang ada. Sehingga mereka kadang berbeda pada beberapa hal. Namun, mereka adalah para imam besar. Mereka memiliki pengikut yang merumuskan madzhab mereka. Pengikut para imam ini mengumpulkan pembahasan-pembahasan serta fatwa-fatwa para imam. Kemudian ditulis dalam banyak kitab sehingga menyebarlah madzhab mereka dan dikenal banyak orang. Yaitu disebabkan pengikut para imam yang menuliskan dan mengumpulkan pembahasan dan fatwa dari para imam tersebut.
Sebagian diantara empat imam madzhab kadang terjerumus dalam kesalahan. Karena kadang sebagian mereka belum mengetahui hadits yang berkaitan dengan masalah tertentu. Lalu mereka berfatwa dengan ijtihad. Sehingga, dengan sebab ini, mereka memfatwakan yang salah. Sedangkan sebagian imam yang lain mengetahui hadits yang berkaitan, sehingga mereka berfatwa dengan fatwa yang benar. Hal seperti ini banyak terjadi dalam berbagai masalah yang mereka bahas, semoga Allah merahmati mereka semua. Oleh karena itulah Imam Malik berkata:
ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبر
“Setiap orang boleh menolak dan boleh ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kuburan ini“, yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
Namun tentang memilih salah satu pendapat madzhab, ini hanya layak dilakukan oleh orang yang serius belajar agama. Dan merekapun tetap tidak boleh taqlid terhadap salah satu madzhab. Selain itu, jika seseorang menisbahkan diri pada madzhab tertentu karena ia memandang kaidah-kaidah, landasan dan kesesuaian terhadap dalil secara umum pada madzhab ini, ini dibolehkan. Namun tetap ia tidak boleh taklid baik kepada Asy Syafi’i, atau kepada Imam Ahmad, atau kepada Imam Malik, atau kepada Imam Abu Hanifah atau yang selain mereka. Yang wajib baginya adalah melihat sumber pendapat dan cara pendalilan dari para imam tersebut. Pendapat yang lebih kuat dalilnya dari beberapa pendapat yang ada, maka itulah yang diambil. Sedangkan dalam perkara ijma, tidak boleh ada yang memiliki pendapat lain. Karena para ulama tidak mungkin bersepakat dalam kebatilan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما منا إلا رادٌ ومردود عليه إلا صاحب هذا القبرلا تزال طائفة من أمتي على الحق منصورة…. الحديث
“Akan selalu ada sekelompok orang (thaifah) dari ummatku yang teguh di atas kebenaran, mereka ditolong oleh Allah.”
Dan jika para ulama telah bersepakat, maka merekalah thaifah yang dimaksud.
Bagi orang yang paham agama, wajib baginya untuk memperhatikan dalil dalam masalah khilafiyah. Jika pendapat Imam Abu Hanifah didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Asy Syafi’i didukung dalil, maka ini yang diambil. Jika pendapat Imam Malik didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Imam Ahmad didukung dalil, ini yang diambil. Demikian juga, jika pendapat Imam Al Auza’i didukung dalil, ini yang diambil. Jika pendapat Ishaq bin Rahawaih didukung dalil, ini yang diambil, dan seterusnya. Wajib mengambil pendapat yang berdasarkan dalil dan wajib meninggalkan pendapat yang tidak berdasarkan atas dalil. Karena Allah Ta’ala berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10)
Kesimpulannya, wajib bagi orang yang paham agama untuk mengembalikan setiap permasalahan khilafiyah kepada dalil. Pendapat yang dalilnya paling kuatlah yang diambil.
Sedangkan orang awam, yang wajib bagi mereka adalah bertanya kepada orang yang berilmu yang ada di masanya. Yaitu orang alim yang dapat memilihkan pendapat yang menurutnya paling mendekati teladan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Orang alim tersebut juga wara’, sangat memahami ilmu agamanya, dan masyarakat pun percaya terhadap keilmuannya. Orang awam sebaiknya merujuk dan bertanya kepada mereka. Sehingga dapat dikatakan madzhab orang awam ini adalah madzhab sang ulama yang ia tanya.
Namun perlu ditekankan, orang awam sebaiknya merujuk pada ulama -baik yang ada di negerinya atau di luar negerinya- yang dikenal ketinggian kapasitas ilmunya, ia mengikuti kebenaran, ia menjaga shalat 5 waktu, ia dikenal sebagai ulama yang mengikuti sunnah Nabi, ia memanjangkan janggut, tidak isbal, bebas dari tuduhan dari ulama yang lain, dan pertanda-pertanda lainnya yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang istiqamah. Maka jika anda ditunjukkan kepada seorang ulama, dan dari zhahirnya nampak tanda-tanda kebaikan dan ia pun dikenal kapasitas ilmunya, silakan bertanya kepadanya tentang hal-hal yang anda belum paham dalam masalah agama. Alhamdulillah, Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Allah semaksimal kemampuan kalian.” (QS. At Taghabun: 16)
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Anbiya: 7)
[Sampai di sini penjelasan beliau, dikutip dari Fatawa Nurun ‘Ala Ad Darb Juz 1, http://binbaz.org.sa/mat/4729]
Mengenai mayoritas orang yang menisbahkan diri kepada salah satu mahdzab di negeri kita, yaitu mahdzab Syafi’i, kami pernah menanyakan kepada Syaikh Ali Salim Bukair hafizhahullah saat berkunjung ke Indonesia, beliau adalah seorang faqih (pakar fiqih) Mazhab Syafi’i dan Anggota Majelis Syura negeri Yaman. Beliau mengatakan bahwa pada realitanya kebanyakan orang yang mengaku bermadzab Syafi’i adalah pengikut madzhab Syafi’i dalam masalah furu’, dan mereka banyak menyelisihi mahdzab Syafi’i dalam perkara ushul dan banyak mengikuti pendapat ulama Syafi’iyyah zaman belakangan yang menyelisihi qoul mu’tamad (pendapat yang dijadikan pegangan utama madzhab Syafi’i).
Wallahu’alam.
Yulian Purnama
Sumber: https://konsultasisyariah.com/