الله عَنْ أَبِـيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأ َنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْـمُكْتُوْبَاتِ ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ ، وَأَحْلَلْتُ الْـحَلاَلَ ، وَحَرَّمْتُ الْـحَرَامَ ، وَلَـمْ أَزِدْ عَلَـى ذَلِكَ شَيْئًا ، أَأَدْخُلُ الْـجَنَّةَ ؟ قَالَ : « نَعَمْ». قَالَ : وَاللهِ ، لاَ أَزِيْدُ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا
"Dari Abu ‘Abdillâh Jâbir bin ‘Abdillâh al-Anshâri Radhiyallahu anhuma bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Bagaimana pendapat Anda jika aku melakukan shalat fardhu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?” Beliau menjawab, “Ya.” Laki-laki itu berkata, “Demi Allâh Azza wa Jalla , aku tidak akan menambah sedikit pun atas yang demikian itu.”
TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 15 (18)), Ahmad (III/316, 348), dan Abu Ya’ala (no. 1936, 2291), Abu ‘Awânah (I/4-5), dan Ibnu Mandah dalam Kitâbul Imân (no. 137).
SYARAH HADITS
Orang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini ialah an-Nu’mân bin Qauqal al-Khuzâ’i Radhiyallahu anhu , seorang Sahabat yang mengikuti Perang Badar dan terbunuh pada Perang Uhud.
1.Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rahmat bagi seluruh alam
Allâh Azza wa Jalla telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan yang akan menjerumuskan mereka ke neraka dan menuntun mereka ke jalah hidayah yang akan menyampaikan ke surga. Jalan ke sana adalah jalan yang jelas dan mudah. Allâh Azza wa Jalla memberikan batasan-batasannya dan mewajibkan adab-adabnya. Barang-siapa komitmen dan berpegang teguh akan disampaikan ke surga dan barangsiapa melewati batas dan menyalahinya akan dicampakkan ke dalam neraka. Sesungguhnya yang telah ditetapkan dan diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla ada pada batas kemampuan manusia karena Allâh Azza wa Jalla menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya. Inilah yang tampak dengan jelas pada petunjuk Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits ini dan hadits-hadits yang semisalnya.[1]
2. Rindu surga dan menempuh jalannya
Jâbir Radhiyallahu anhu menceritakan tentang seorang Mukmin yang bercita-cita masuk surga yang luasnya seperti langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Dia datang kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang jalannya dan meminta fatwa tentang amal yang akan memasukkannya ke dalam surga yang sangat luas, maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada yang diinginkannya untuk mewujudkan cita-citanya. A
Ada hadits yang semakna dengan hadits di atas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab Badui berkata, “Wahai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika aku kerjakan maka aku akan masuk surga.” Beliau menjawab,
تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ الْـمَكْتُوْبَةَ ، وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ الْـمَفْرُوْضَةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ
“Engkau beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.”
Orang itu berkata, “Demi (Allâh Azza wa Jalla) yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya sedikit pun selamanya dan tidak akan menguranginya. Ketika ia telah pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang senang melihat kepada seseorang dari penghuni surga, maka hendaklah ia melihat orang ini.” [2]
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillâh Radhiyallahu anhu bahwa seorang Arab Badui datang menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambutnya kusut, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Kabarkan kepadaku, shalat apa yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla atasku?” Beliau menjawab, “Shalat yang lima waktu, kecuali jika engkau mengerjakan salah satu yang disunnahkan.” Orang itu berkata, “Kabarkan kepadaku puasa apa yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atasku?” Beliau menjawab, “Puasa Ramadhan, kecuali jika engkau mau mengerjakan puasa yang sunnah.” Orang itu berkata, “Kabarkanlah kepadaku zakat apa yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atasku?” Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkannya tentang syari’at-syari’at Islam. Kemudian orang itu berkata, “Demi (Allâh Azza wa Jalla ) yang telah memuliakanmu dengan kebenaran, aku tidak mengerjakan suatu amalan sunnah dan aku tidak mengurangi apa yang telah Allâh Azza wa Jalla wajibkan atasku sedikit pun.” Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ia benar (jujur), ia akan beruntung.” Atau beliau bersabda, “Jika ia benar (jujur), ia akan masuk surga.”[3]
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab Badui bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian dia menyebutkan hadits semakna dengan di atas dan menambahkan di dalamnya, “Haji ke Baitullâh bagi yang mampu menuju ke sana.” Maka orang itu berkata, “Demi (Allâh Azza wa Jalla ) yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya dan tidak akan menguranginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ia benar (jujur), sungguh, ia akan masuk surga.”[4]
Yang dimaksud oleh orang Arab Badui itu adalah bahwa ia tidak menambahkan ibadah-ibadah sunnah selain dari shalat yang wajib, zakat yang wajib, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullâh. Jadi, ia bukan bermaksud tidak mengerjakan satu pun dari syari’at-syari’at Islam dan kewajiban-kewajiban selain ibadah di atas. Hadits-hadits di atas tidak menyebutkan sikap menjauhi hal-hal yang diharamkan, karena penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perbuatan-perbuatan yang memasukkan pelakunya ke surga.[5]
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang melaksanakan kewajiban dan menjauhi apa-apa yang diharamkan maka akan masuk surga. Dan banyak hadits-hadits yang menunjukkan bahwa masuk Surga itu dengan melaksanakan kewajiban mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , di antaranya: diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ ؛ إِلاَّ دَخَلَ الْـجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan, ‘Lâ ilâha illallâh (tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh Azza wa Jalla ) kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, kecuali ia masuk surga.”
Aku (Abu Dzar Radhiyallahu anhu) bertanya, “Meskipun ia berzina dan mencuri?” Beliau menjawab, “Meskipun ia berzina dan mencuri.” Beliau mengulanginya tiga kali, kemudian pada kali keempat beliau bersabda, “Meskipun Abu Dzar Radhiyallahu anhu tidak menyukainya.” Abu Dzar Radhiyallahu anhu pun keluar dan berkata, “Kendati Abu Dzar Radhiyallahu anhu tidak menyukainya.”[6]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَنَّ مُـحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَـى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ ، وَأَنَّ الْـجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ؛ أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّةَ عَلَـى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh Azza wa Jalla semata, tidak ada sekutu bagi-Nya; bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya, bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh Azza wa Jalla , Rasul-Nya, kalimat dan ruh-Nya yang dimasukkan kepada Maryam, bahwa surga itu benar, dan neraka itu benar, maka Allâh Azza wa Jalla memasukkannya ke dalam surga menurut apa yang ia amalkan.”[7] R
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ؛ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَـى النَّارِ
“Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh Azza wa Jalla dan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya, melainkan Allâh Azza wa Jalla mengharamkannya atas neraka.”[8]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَـى النَّارِ مَنْ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ اللهِ
“Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan, ‘Tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh Azza wa Jalla ,’ dan ia mencari wajah Allâh Azza wa Jalla dengannya.”[9]
Sejumlah Ulama mengatakan bahwa sesungguhnya kalimat tauhid sebagai sebab masuk ke dalam surga dan diselamatkan dari neraka. Tetapi ia memiliki beberapa syarat, yaitu melakukan berbagai kewajiban dan menjauhi penghalangnya yaitu menjauhi dosa-dosa besar.[10]
Al-Hasan rahimahullah berkata kepada al-Farazdaq, “Sesungguhnya kalimat lâ ilâha illallâh memiliki syarat-syarat. Maka jauhilah olehmu menuduh zina wanita-wanita yang menjaga kehormatannya.”[11]
Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih , “Bukankah kalimat lâ ilâha illallâh itu kunci surga?” Ia menjawab, “Benar, tetapi tidak ada satu kunci melainkan ia mempunyai gigi-gigi. Jika engkau datang dengan kunci yang bergigi, maka engkau akan dibukakan, jika tidak, tidak akan dibukakan baginya.”[12]
Sejumlah Ulama berkata bahwa hadits-hadits yang mutlak itu dibatasi, yaitu kalimat tauhid yang diucapkan dengan jujur (benar) dan ikhlas serta tidak melakukan maksiat terus-menerus.[13]
Realisasi hati terhadap makna lâ ilâha illallâh, kejujuran hati dengannya, dan keikhlasannya dengannya membuat hati beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla saja, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya, dan membuat hati tidak menjadikan makhluk sebagai tuhan yang disembah selain Allâh Azza wa Jalla . Jika itu terjadi, maka di hati tersebut tidak ada cinta, keinginan, dan maksud kepada apa yang tidak diinginkan Allâh Azza wa Jalla , dicintai-Nya, dan dikehendaki-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu dan taat kepadanya, mencintai dan membenci karenanya, maka sesuatu tersebut adalah Rabbnya. Jadi, barangsiapa tidak mencintai dan membenci kecuali karena Allâh Azza wa Jalla , tidak berloyal dan memusuhi kecuali karena Allâh Azza wa Jalla , sungguh, Allâh Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Dan barangsiapa mencintai hawa nafsunya, membenci karenanya, berdamai dan memusuhi karenanya, maka tuhannya ialah hawa nafsunya, seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya…” [al-Jâtsiyah/45:23]
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Orang yang dimaksud ialah orang yang tidak menginginkan sesuatu melainkan menurutinya.”
Qatâdah rahimahullah berkata, “Dia adalah orang yang setiap kali menginginkan sesuatu maka ia menurutinya dan setiap kali menghendaki sesuatu maka ia mengerjakannya. Wara’ dan takwa tidak dapat menghalanginya darinya.”
Demikian juga orang yang mematuhi setan dalam bermaksiat kepada Allâh Azza wa Jalla , maka ia telah menjadi hambanya. Seperti difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan?…” [Yâsîn/36:60]
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa realisasi makna lâ ilâha illallâh tidak sah kecuali bagi orang yang di hatinya tidak ada maksud untuk mencintai apa saja yang dibenci Allâh Azza wa Jalla . Jika di hati seseorang terdapat sesuatu darinya, maka itu mengurangi tauhid dan merupakan syirik yang tersembunyi. Oleh karena itu tentang firman Allah:
أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“…Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun…” [al-An’âm/6:151]
Mujâhid rahimahullah berkata, “Maksudnya, janganlah kalian mencintai selain Aku.”[14]
Dengan demikian menjadi jelaslah makna dari sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh Azza wa Jalla dengan benar dari hatinya, maka Allâh Azza wa Jalla mengharamkannya atas neraka.” Dan bahwa orang yang masuk neraka dari orang-orang yang mengucapkan kalimat tersebut tidak lain disebabkan karena minimnya kejujurannya dalam mengatakannya, karena jika kalimat tersebut diucapkan dengan jujur (benar), hati pun menjadi bersih dari apa saja selain Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa benar dalam mengucapkan lâ ilâha illallâh, ia tidak akan mencintai selain-Nya, tidak mengharap kecuali kepada-Nya, tidak takut kecuali kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak bertawakkal kecuali kepada Allâh Azza wa Jalla , dan tidak tersisa pada dirinya untuk lebih mendahulukan dirinya sendiri dan hawa nafsunya. Kapan saja dalam hatinya terdapat keinginan mendahulukan selain Allâh Azza wa Jalla , maka itu disebabkan sedikitnya kejujuran dalam mengucapkannya.[15]
Makna ini diperkuat oleh hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ؛ دَخَلَ الْـجَنَّـةَ
“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah lâ ilâha illallâh maka ia masuk surga.”[16]
Karena itu, orang yang hampir meninggal dunia hendaklah mengucapkan kalimat ” لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ” dengan ikhlas, taubat, menyesali dosa-dosa yang lalu, dan tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Pendapat ini dipilih oleh al-Khaththâbi dalam kitabnya khususnya tentang tauhid dan itu hal yang baik.[17]
3. Senantiasa melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan adalah pangkal kemenangan
An-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu bertanya apakah jika ia mengerjakan semua yang ditanyakannya dalam hadits di atas dan tidak menambahnya dengan keutamaan-keutamaan yang lain yang disunnahkan seperti mengerjakan ibadah-ibadah sunnah atau meninggalkan yang makruh, seperti wara’ terhadap hal-hal yang dimubahkan; apakah itu sudah cukup untuk dapat memasukkannya ke dalam surga yang merupakan harapan dan cita-citanya tertinggi bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan para pendahulu yang baik tanpa menyentuh adzab dan siksaan sedikit pun? Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan jawaban yang menenangkan hatinya, melapangkan dadanya, membahagiakan hatinya, memuaskan keinginannya, dan mewujudkan cita-citanya. Beliau menjawab, ”Ya.”
Jadi, apabila seorang Muslim mengerjakan yang wajib-wajib saja yang didasari dengan mengikhlaskan ibadah (tauhid) kepada Allâh Azza wa Jalla dan ittibâ’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhkan apa-apa yang diharamkan, maka ia akan masuk surga sebagaimana jawaban beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
4. Mendirikan shalat wajib di masjid
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu :
”Melakukan shalat yang fardhu.”
Maksudnya, shalat fardhu yang lima waktu yang diwajibkan Allâh Azza wa Jalla atas kita dalam sehari semalam, dan pelaksanaannya harus sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang beliau sabdakan:
صَلُّوْا كَمَـا رَأَيْتُمُوْنِـيْ أُصَلِّـيْ.
”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”[18]
Melakukan shalat lima waktu wajib dilakukan dengan berjama’ah di masjid. Sebagian besar para Sahabat berpendapat wajibnya melakukan shalat dengan berjama’ah di masjid dan tidak ada seorang Sahabat pun yang menyelisihinya.
Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Athâ` bin Abi Rabbâh, al-Hasan al-Bashri, al-Auzâ’i, Ibnu Khuzaimah, asy-Syâfi’i, al-Bukhâri, Ibnu Hibbân, Zhâhiriyyah, Ishâq bin Rahawaih dan seluruh ahlul hadits dan Hanâbilah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak dan tegas yang menunjukkan kewajibannya. Di antara dalil tersebut ialah: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلُ عَلَى الْـمُنَافِقِيْنَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِـيْهِمَـا َلأَ تَوْهُمَـا وَلَوْ حَبْوًا ، وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْـمُؤَذِّنَ فَيُقِيْمَ ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ آخُذَ شُعَلاً مِنْ نَارٍ فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لاَ يَـخْرُجُ إِلَـى الصَّلاَةِ بَعْدُ.
”Tidak ada shalat yang lebih berat atas kaum munafik dibandingkan shalat Shubuh dan ’Isya’. Seandainya mereka mengetahui pahala yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka mendatangi keduanya walaupun dengan merangkak. Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqâmah kemudian aku memerintahkan seseorang mengimami orang-orang, lalu aku mengambil seberkas api untuk membakar (rumah) orang yang tidak keluar menuju shalat (berjama’ah).”[19]
Ini adalah dalil yang jelas tentang wajibnya shalat berjama’ah, karena rumah orang yang meninggalkan perkara yang mustahab tidak mungkin hendak dibakar oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak diragukan lagi bahwa shalat fardhu apabila dikerjakan seorang hamba seperti yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia memiliki pengaruh yang besar bagi jiwanya, yaitu mensucikan dan membersihkannya dari yang mengotorinya; dan mendorong pelakunya melakukan perbuatan kebajikan dan mencegahnya dari perbuatan tercela. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ “…
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar…” [al-‘Ankabût/29:45]
5. Wajibnya puasa Ramadhan
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu :
”Berpuasa Ramadhan.”
Puasa di bulan Ramadhan termasuk rukun Islam yang telah diketahui. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
”Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [al-Baqarah/2:183]
Juga berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
"Islam dibangun atas lima pekara: (1) Persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh Azza wa Jalla dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh Azza wa Jalla , (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” [HR al-Bukhâri dan Muslim]
Dan seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam, siapa yang mengingkarinya maka ia kafir keluar dari Islam. Melakukan ibadah puasa harus seperti yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dan hendaklah tidak menyia-nyiakan tujuan dan kandungannya; hingga puasanya memberikan pengaruh bagi jiwa seorang hamba sehingga dapat mensucikannya, membersihkannya dan mewariskan ketakwaan.[20]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْـمَـانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[21]
6. Zakat dan haji
Mengerjakan dua rukun yang diwajibkan ini, yaitu zakat dan haji, adalah sebab diselamatkan dari neraka dan masuk surga, tanpa diadzab terlebih dahulu. An-Nu’mân Radhiyallahu anhu tidak menyebutkan keduanya, yaitu zakat dan haji sebagaimana ia menyebutkan tentang shalat dan puasa. Bisa jadi karena keduanya belum diwajibkan atau bisa juga karena penanya bukan orang yang terkena kewajiban tersebut disebabkan kefakiran atau ketidakmampuannya. Atau karena keduanya akan memasukkan ke dalam surga, karena artinya terkandung dalam keumuman lafazh : menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Juga menuntut untuk mengerjakan semua yang wajib, karena di antara yang halal itu ada yang hukumnya wajib dan meninggalkannya adalah haram. [22]
7. Meyakini keharaman apa yang Allâh Azza wa Jalla halalkan adalah kekafiran
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu :
”Aku menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.”
Sebagian Ulama menafsirkan menghalalkan yang halal dengan meyakini kehalalannya dan mengharamkan yang haram dengan meyakini keharamannya dan menjauhinya.[23] Ini sudah cukup meskipun ia tidak melakukan-nya, karena meyakini keharaman apa yang Allâh Azza wa Jalla halalkan atau meyakini kehalalan apa yang Allâh Azza wa Jalla haramkan menyebabkan kekafiran.[24]
Bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud menghalalkan yang halal adalah dengan melaksanakannya. Halal di sini berarti sesuatu yang tidak diharamkan maka masuk kepadanya sesuatu yang wajib, sunnah, dan mubah. Jadi, makna menghalalkan yang halal ialah mengerjakan apa saja yang tidak haram dan tidak melewati apa yang diperbolehkan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.[25]
Mengenai firman Allâh Azza wa Jalla:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
"Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi.” [al-Baqarah/2:121]
Sejumlah ulama Salaf, di antara mereka Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Mereka menghalalkan apa saja yang dihalalkan al-Kitâb, mengharamkan apa saja yang diharamkannya, dan tidak mengubahnya dari tempat aslinya.”[26]
Yang dimaksud dengan menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram adalah mengerjakan yang halal dan menjauhi yang haram. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ﴿٨٧﴾وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik…” [al-Mâidah/5:87-88]
Ayat ini turun disebabkan adanya suatu kaum yang menolak makan salah satu yang baik-baik karena zuhud terhadap dunia dan ingin hidup sengsara. Sementara sebagian mereka mengharamkannya terhadap dirinya sendiri, baik karena suatu sumpah atau karena memang mengharamkannya terhadap dirinya sendiri. Namun itu semua tidak menjadikan makanan itu menjadi haram. Dan sebagian mereka menolak makan sebagian yang baik bukan karena sumpah bukan juga karena mengharamkannya. Mereka semua dikatakan mengharamkan yang halal, dimana maksud menolak makanannya itu karena dianggap bisa membahayakan diri dan menjaga diri dari syahwat-syahwatnya.[27]
8. Membolehkan perkara yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla adalah kekafiran
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : “Mengharamkan yang haram.” Imam Ibnu Shalâh rahimahullah berkata, “Yang zhâhir bahwa yang dikehendaki dari perkataannya aku mengharamkan yang haram adalah dua hal: pertama, meyakini keharamannya dan kedua, tidak melakukan keharaman tersebut berbeda dengan menghalalkan yang halal; karena hal itu cukup dengan meyakini kehalalannya.”[28]
Di antara hal yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan atas kaum Muslimin ialah hendaklah mereka meyakini keharaman apa saja yang Allâh Azza wa Jalla haramkan dan tidak melakukannya; karena siapa yang meyakini kehalalan apa yang Allâh Azza wa Jalla haramkan maka ia dikafirkan meskipun ia tidak melakukan keharaman tersebut. Dan siapa yang meyakini keharaman apa yang Allâh Azza wa Jalla haramkan lalu ia melakukan keharaman itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwatnya maka ia tidak dikafirkan tetapi dianggap fasik dan tetap dikatakan sebagai seorang Muslim.
Haram menurut definisi ulama ushûl ialah apa yang diberikan pahala bagi orang yang meninggalkannya karena menjalankan perintah dan diberikan siksa bagi pelakunya.
Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allâh Azza wa Jalla , Pencipta manusia Yang Maha Mengetahui kemaslahatan mereka di dunia dan akhirat. Tidak halal bagi seorang hamba melampaui hak Rabb-nya. Barangsiapa melakukannya maka ia telah mengukuhkan dirinya sebagai tuhan bagi manusia dan sebagai sekutu bagi Rabb-nya dalam ulûhiyyah-Nya.[29]
Tetapi yang jelas, hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa mengerjakan kewajiban-kewajiban dan berhenti dari hal-hal yang diharamkan, ia masuk surga.[30]
9. Bolehnya meninggalkan hal-hal yang mustahab (disunnahkan)
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu :
”Dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?”
Maknanya: ”Aku tidak menambah pelaksanaan kewajiban tersebut dengan ibadah-ibadah sunnah.” Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan, ”Ya.” Ini sebagai dalil bahwa mengerjakan kewajiban, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram serta tidak melakukannya dapat memasukkan seorang hamba ke surga.
Akan tetapi orang yang meninggalkan ibadah-ibadah sunnah telah kehilangan keuntungan yang besar, pahala yang besar. Demikian pula ibadah-ibadah sunnah tersebut sebagai sebab mendatangkan kecintaan Allâh Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman dalam hadits qudsi:
…وَلاَ يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ…
”Dan tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”[31]
Selain itu, ibadah-ibadah sunnah dapat menambal kekurangan yang ada pada ibadah fardhu, mengangkat derajat seorang hamba di sisi Rabb-nya, dan membersihkan jiwanya. Para ulama Salaf adalah orang yang paling semangat melakukan ibadah-ibadah sunnah. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingatkannya tentang ibadah sunnah sebagai bentuk kemudahan dan kelapangan kepadanya karena ia adalah orang yang masih baru memeluk Islam.[32]
FAWAID HADITS
- Penjelasan tentang semangat para Sahabat dalam bertanya tentang ilmu.
- Kewajiban seorang Muslim ialah bertanya kepada para Ulama tentang perkara-perkara agama yang tidak diketahuinya.
- Selayaknya bagi ahli ilmu dan para pendidik untuk memperhatikan keadaan orang yang belajar kepadanya sebelum ia menyampaikan ilmu kepadanya sehingga ia dapat memberikannya ilmu yang sanggup ia amalkan.
- Anjuran memberi kabar gembira, memberikan kemudahan ketika menyebarkan ilmu.
- Sederhana dalam melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan dapat memasukkan ke surga.
- Amal shalih adalah sebab seseorang masuk surga .
- Prinsip pokok untuk masuk surga adalah mentauhidkan Allah k dan menjauhkan syirik.
- Penjelasan tentang cita-cita tertinggi para Sahabat adalah masuk surga dan dijauhkan dari neraka, bukan banyaknya harta, anak, dan kedudukan di dunia.
- Hadits ini juga sebagai bantahan terhadap thariqat Shûfiyah yang mengatakan bahwa seseorang beribadah bukan untuk masuk surga dan dijauhkan dari api neraka!
- Bahwa seorang Muslim jika hanya mencukupkan diri dengan shalat wajib saja maka tidak ada cela baginya dan ia tidak diharamkan masuk surga.
- Bahwa shalat dan puasa adalah salah satu sebab masuk surga. Seseorang tidak boleh melarang atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allâh Azza wa Jalla . Seseorang tidak boleh menghalalkan apa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla . Seorang hamba yang menghindarkan diri dari yang halal tanpa sebab yang syar’i adalah tercela dan tidak terpuji. Perkara haram adalah apa yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla dalam kitab-Nya atau melalui sabda Rasul-Nya. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram adalah umum pada setiap yang halal dan pada setiap yang haram. MARAJI’ Al-Qur-ân dan terjemahnya. Tafsîr Ibni Katsîr. Tafsîr ath-Thabari. Shahîh al-Bukhâri. Shahîh Muslim Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan yang empat. Musnad Abi ’Awânah. Musnad Abu Ya’la al-Mushîli. Mustadrak al-Hâkim. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi. Kitâbul Iman li Ibni Mandah. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis. Qawâ’id wa Fawâid minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
_______
Footnote
[2] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 1397) dan Muslim (no. 14).
[3] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 46), Muslim (no. 11 ), dan Ibnu Hibbân (no. 1721-At-Ta’lîqâtul Hisân). Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[4] Shahîh: HR. Muslim (no. 12).
[5] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/517).
[6] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 5827), Muslim (no. 94), dan Ahmad (V/166).
[7] Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 3435), Muslim (no. 28), Ahmad (V/313-314), dan Ibnu Hibbân (no. 207-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit Radhiyallahu anhu .
[8] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 128) dan Muslim (no. 32).
[9] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 425) Muslim (no. 33), dan Ibnu Hibbân (no. 223) dari ‘Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[10] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[11] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[12] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[13] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/523).
[14] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/524-525) dengan diringkas.
[15] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/526).
[16] Shahîh: HR. Ahmad (V/233, 247), Abu Dâwud (no. 3116), dan al-Hâkim (I/351).
[17] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/527).
[18] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 631). [19] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 657). [20] Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191). [21] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 38) dan Muslim (no. 760) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . [22] Lihat Al-Wâfi (hlm. 164). [23] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513). [24] Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191). [25] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513) [26] Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsîrnya (no. 1885-1886) dan al-Hâkim (II/266) dari Ibnu ‘Abbâs. Diriwayatkan pula oleh ath-Thabari (no. 1888-1889) dari Ibnu Mas’ûd. [27] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514). [28] Syarah Shahîh Muslim (I/175). [29] Lihat Qawâid wa Fawâid (hlm. 192-194) dengan diringkas. [30] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514). [31] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6502). [32] Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 194).
Referensi: https://almanhaj.or.id/