Type Here to Get Search Results !

 


MENGUNGKAP TIPU MUSLIHAT ABU SALAFY CS #2


[Artikel ini ditulis oleh Al-Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc. M. A, sebagai bantahan dari fitnah keji terhadap dakwah Salafiyyah yang mulia ini, melalui artikel yang ditulis orang yang menamakan dirinya Abu Salafi dan Salafi Tobat: by Admin]

Tuduhan Ustadz Abu Salafy Bahwasanya Ibnu Taimiyyah mencela Ali dan mencela Umar bin Al-Khottoob radhiallahu ‘anhumaa

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah pencipta alam semesta ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah dan keluarganya serta seluruh sahabatnya.

Alhamdulillah Al-Ustadz Abu Salafy telah menanggapi tulisan saya ((https://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/113-sekali-lagi-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-bag-2)) dan semakin jelas bagi saya aqidah Al-Ustadz. Tulisan beliau ini ((http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/15/ustadz-firanda-kebakaran-jenggot/)) meskipun singkat akan tetapi syarat dengan kebatilan. Oleh karenanya pada kesempatan ini saya kembali mencoba menanggapi tulisan Al-Ustadz ini yang masih dirindukan untuk bersua dengannya.

Al-Ustadz Abu Salafy berkata :

((Coba perhatikan alat ukur yang diandalkan ustadz Firandah dalam tuduhannya bahwa kami ini jangan-jangan adalah Syi’ah!

Pertama, kami mengutuk Mu’awiyah –‘alaih mâ yastahiq/semoga atasnya apa yang pantas baginya-.

Kami memaklumi jika ustadz Wahhhâbi kita yang satu ini keberatan apabila tuannya dibongkar kejahatan, kefasikan dan kemunafikannya. Sebab sepertinya kecintaan beliau dan juga kaum Wahhâbyyûn lainnya kepada Mu’awiyah terlalu dalam dan telah menyatu dengan qalbunya, seperti menyatunya kecintaan bani Israil kepada ‘ijl/patung anak sapi buatan Samiri! (maaf tanpa harus menyerupakan dengan bani Israil dalam segala sisinya, sebab ustdaz pasti mengerti bahwa dalam kaidah ilmu Balaghah/sastra Arab, wajhu syabah antara musyabbah dan musyabbah bihi/ titik temu keserupaan antara yang diserupakan dengan yang diserupai itu tidak mesti harus dalam segala sisinya!)  Allah SWT berfirman:

وَأُشْرِبُوْا فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ

“Dan karena kekafiran mereka, (kecintaan menyembah) anak sapi telah meresap di dalam hati mereka.” (QS. Al Baqarah;93)

Dan Allah SWT juga telah menetapkan sebuah kaidah baku dalam Al Qur’an bahwa:

الْمُنافِقُونَ وَ الْمُنافِقاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ.

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama… .”(QS at Taubah;67)

Karenanya, Allah SWT melarang kita menjadikan kaum kafir dan munafik sebagai kekasih kita. Allah SWT berfirman dalam awal surah al Mumtahanah:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَ عَدُوَّكُمْ أَوْلِياءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَ قَدْ كَفَرُوا بِما جاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَ إِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهاداً في‏ سَبيلي‏ وَ ابْتِغاءَ مَرْضاتي‏ تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَ أَنَا أَعْلَمُ بِما أَخْفَيْتُمْ وَ ما أَعْلَنْتُمْ وَ مَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَواءَ السَّبيلِ.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita- berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”

Dan apalagi membela dan berusaha mengajak orang lain untuk membelanya. Allah SWT berfirman:

وَ لا تُجادِلْ عَنِ الَّذينَ يَخْتانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كانَ خَوَّاناً أَثيماً.

“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.”

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَ لا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَ هُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ ما لا يَرْضى‏ مِنَ الْقَوْلِ وَ كانَ اللَّهُ بِما يَعْمَلُونَ مُحيطاً.

“mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.”

ها أَنْتُمْ هؤُلاءِ جادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا فَمَنْ يُجادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكيلاً.

“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat. Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah).” (QS an Nisâ’;107-109)

Lagi pula, kelak di hari kiamat, mereka yang saling membela di dunia atas dasar kebatilan seperti ini jusretu akan bermusuhan dan saling mengutuk!

Perhatikan Allah SWT berfirman:

وَ قالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثاناً مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَ يَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضاً وَ مَأْواكُمُ النَّارُ وَ ما لَكُمْ مِنْ ناصِرينَ.

“Dan berkata Ibrahim:” Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”)) Demikian perkataan Al-Ustadz Abu Salafy

Ustadz Abu Salafy juga berkata ((Dahulu para aimmah Ahlusunnah, kerena kecintaan mereka kepada Ahlulbait Nabi saw., mereka dikecam dan dituduh Syi’ah bahkan Rafidhah! Dan karena sikap tegasnya terhadap imâmul fiatil bâghiyah/pemimpin sekawanan kaum bughât/pembangkang/pemberontak yang disebut Nabi saw. (dalam hadis Imam Bukhari) sebagai penganjur kepada api neraka; Mu’awiyah putra Abu Sufyan -salah seorang aimmah kekafiran dan buah kemunafikan yang masih tersisa dan selamat dari tajamnya pedang para sahabat– … karena sikapnya itu, mereka juga dikecam sebagai Syi’ah! Dan tidak sedikit yang dibunuh oleh jiwa-jiwa busuk pembela kemunafikan dan kefasikan! Seperti Imam Syafi’i, Imam an Nasa’i dan lainnya))

Al-Ustadz juga berkata ((Kami benar-benar berharap dan menanti-nanti dari kaum Wahhâbi-Salafi untuk sedikit meluangkan waktu mereka membela Sayyidina Ali –karramallahu wajhahu- dari hujutan kaum sesat dan menyimpang seperti Ibnu Taimiyah dan kaum Nawâshib lainnya dan dari laknatan dan caci-makian para pendosa yang munafik! Mengapa kecemburuan atas Salaf itu sepertinya hanya terbatas pada Salaf yang fasik dan cenderung munafik?! Di mana Anda wahai ustadz Firanda dan kalian wahai kaum Wahhâbiyyûn ketika Sayyidina Ali –karramallahu wajhahu- dilaknati oleh Mu’awiyah)) Demikian perkataan Abu Salafy


Abu Salafy juga berkata:

((Ibnu Tamiyah –gembong kaum Mujassim dan pentolan yang selalu dibanggakan penyimpangan akidahnya dan kegilaan sikapnya terhadap Imam Ali dan Ahlulbait lainnya oleh kaum Wahhâbi, khususnya yang berbau Nashibi!))

Al-Ustadz Abu Salafy juga berkata 

((Sebagaimana menjadikan kami mengetahui sejauh mana kesunnian kaum Wahhâbiyyûn dan kemiripan mereka dengan kaum Nawâshib/para pembenci dan yang selalu menampakkan sikap sinis kepada keutamaan Ahlulbait Nabi saw., disamping tentunya bangga bermesraan dengan para pembenci Ahlulbait ra.))

Ustadz Abu Salafy juga berkata :

((Ustadz Firanda yang saya hormati, apakah pantas kita membela orang seperti Ibnu Taimiyah yang sudah jelas sikapnya terhadap Imam Ali ra. dan juga terhadap Sayyidina Umar ra.?)). Demikian perkataan Abu Salafy

Dalam nukilan diatas ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil :

Pertama : Abu salafy menuduh Ibnu Taimiyyah membenci Alul Bait dan selalu menampakan sikap sinis terhadap Ahlul Bait, bahkan menyatakan bahwasanya Ibnu Taimiyyah bangga bermesraan dengan para pembenci Ahlulbait ra

Selain itu Abu Salafy juga menuduh Ibnu Taimiyyah mencela Umar bin Al-Khottoob radhiallahu ‘anhu

Kedua : Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu adalah seorang munafiq yang kafir. Ayat-ayat yang disampaikan oleh Abu Salafy untuk melarang membela Mu’aawiyah adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan orang-orang kafir.

Seperti firman Allah “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama… .” (QS at Taubah;67). Dan ayat ini berkaitan tentang orang-orang munafiq yang kafir.

Demikian juga firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita- berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah kafir kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus” (QS Al-Mumtahanah ayat 1)

Ketiga : Abu Salafy juga menyatakan ayah Mu’aawiyah yaitu Abu Sufyaan radhiallahu ‘anhu sebagai gembong dan pemimpin orang kafir

Keempat : Abu salafy menyatakan bahwasanya Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dilaknat oleh Mu’aawiyah.

Empat pernyataan Abu Salafy diatas akan saya bahas satu persatu insyaa Allah ta’aala.

Tuduhan Ustadz Abu Salafy bahwasanya Ibnu Taimiyyah mencela Ali dan mencela Umar bin Al-Khottoob radhiallahu ‘anhumaa

Ustadz Abu salafy berkata :

((Ibnu Tamiyah –gembong kaum Mujassim dan pentolan yang selalu dibanggakan penyimpangan akidahnya dan kegilaan sikapnya terhadap Imam Ali dan Ahlulbait lainnya oleh kaum Wahhâbi, khususnya yang berbau Nashibi!))

Al-Ustadz Abu Salafy juga berkata ((Sebagaimana menjadikan kami mengetahui sejauh mana kesunnian kaum Wahhâbiyyûn dan kemiripan mereka dengan kaum Nawâshib/para pembenci dan yang selalu menampakkan sikap sinis kepada keutamaan Ahlulbait Nabi saw., disamping tentunya bangga bermesraan dengan para pembenci Ahlulbait ra.))

Para pembaca yang budiman demikianlah Abu Salafy melakukan tipu muslihatnya sehingga mengesankan bahwasanya Ibnu Taimiyyah membenci Ahlul Bait terutama Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Oleh karenanya untuk mengungkap tipu muslihat Ustadz Abu Salafy ini maka saya akan mengutarakan hal yang sesungguhnya melalui poin-poin berikut ini:

Sikap Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang sesungguhnya yang jelas dan gamblang terhadap Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Yang hal ini akan jelas pada perkara-perkara berikut:

Pertama : Penjelasan Ibnu Taimiyyah tentang Ali radhiallahu ‘anhu merupakan Khalifah Rasyid yang mendapat petunjuk, dan orang keempat yang terbaik dari umat Muhammad shallallhu ‘alaihi wa sallam setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum. Demikian juga penjelasan beliau bahwasanya Ali lebih benar daripada Mu’aawiyah

Kedua : Penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang keutamaan Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu

Ketiga : Bantahan dan celaan Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap golongan Nashibiyyah yang memusuhi Ali bin Abi Tholib dan Ahlul Bait

Bantahan terhadap Al-Ustadz Abu Salafy, yang saya jelaskan melalui poin-poin berikut:

Pertama : Hakekat buku Minhaajus Sunnah

Kedua : Metode yang digunakan Ibnu Taimiyyah dalam membantah Rofidhoh dalam kitab Minhaajus Sunnah

Ketiga : Bantahan terhadap tuduhan Abu Salafy

Sikap Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang Sesungguhnya yang Jelas dan Gamblang Terhadap Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu.


Saya akan menjelaskannya melalui poin-poin berikut ini :

Pertama : Penjelasan Ibnu Taimiyyah tentang Ali radhiallahu ‘anhu merupakan Khalifah Rasyid yang mendapat petunjuk, dan orang keempat yang terbaik dari umat Muhammad shallallhu ‘alaihi wa sallam setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu a’nhum. Demikian juga penjelasan beliau bahwasanya Ali lebih benar daripada Mu’aawiyah

Beliau rahimahullah berkata :

((…Sesungguhnya telah sah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

“Khilafah kenabian selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu jadilah kerajaan”. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiallahu ‘anhum merekalah para Khulaafa’ Ar- Rosyidin dan para pemimpin yang mendapatkan petunjuk, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang mereka :

“Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaa’ Ar-Rosyidin, peganglah erat-erat sunnah-sunnah tersebut dan gigilah dengan geraham kalian, dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru, karena setiap perakra yang baru adalah bid’ah”

Banyak orang berselisih tentang khilafahnya Ali, dan mereka berkata : “Zaman Ali adalah zaman fitnah, tidak ada jama’ah (persatuan) di zaman Ali”. Ada kelompok yang berkata, “Adalah suatu yang adanya dua khalifah yang memimpin, Ali adalah khalifah dan Mu’aawiyah juga khalifah, karena umat tidak (seluruhnya) bersatu pada Ali, dan tidak teratur di masa khilafahnya Ali. Dan yang benar yang dipilih oleh para imam yaitu bahwasanya Ali radhiallahu ‘anhu termasuk para khulafaa’ur rosyidin dengan dalil hadits ini. Di zaman Ali, beliau menamakan dirinya sebagai Amiirul Mukminin (pemimpin kaum mukminin), dan para sahabat juga menamakan beliau dengan nama tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Barangsiapa yang tidak menyatakan Ali sebagai khalifah yang keempat maka ia lebih dungu daripada keledainya“)) demikian perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam (Majmuu’ Al-Fataawa 4/478-479)

Beliau juga berkata :

((Dan Imam Muslim juga meriwayatkan dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

“Akan membunuh ‘Ammaar kelompok yang membangkang“.

Hadits ini juga menunjukan akan sahnya keimaman (kepemimpinan) Ali dan wajibnya mentaati beliau, dan bahwasanya barangsiapa yang menyeru untuk taat kepada Ali berarti menyeru ke surga, dan barangsiapa yang menyeru untuk memerangi Ali  berarti menyeru kepada neraka –meskipun karena adanya takwil-, dan ini adalah dalil tentang tidak bolehnya memerangi Ali. Oleh karenanya orang yang memerangi Ali telah bersalah jika karena ada takwil atau pembangkang jika tanpa takwil. Dan inilah pendapat yang terkuat dari dua pendapat para sahabat kami, yaitu menyatakan salah bagi orang yang memerangi Ali. Dan ini merupakan para imam fiqih yang menjadikan permasalahan ini sebagai dalil tentang permasalahan memerangi para pemberontak (pembangkang) yang karena takwil)) (Majmuu’ Al-Fataawaa 4/437-438)

Perkataan-perkataan beliau rahimahullah yang lain tentang pembelaan beliau terhadap Ali bisa dilihat juga di Majmuu’ Al-Fataawaa 3/282, 382, 406 dan 4/433, 438, 440, 450, serta 35/51, 73, 77

Beliau juga berkata dalam buku Minhaajus Sunnah (yang dikatakan oleh Ustadz Abu Salafi adalah buku yang mencela Ali bin Abi Tholib):

“Ali radhiallahu ‘anhu tidaklah memerangi seseorang karena tidak menerima kepemimpinan orang tersebut, dan juga tidak seorangpun yang memerangi Ali karena tidak setuju dengan kepemimpinan beliau. Dan di masa khilafah beliau tidak seorangpun yang mengaku bahwasanya ia lebih berhak untuk memimpin daripada Ali, tidak seorangpun, tidak Aisyah, tidak juga Tolhah, tidak juga Az-Zubair, tidak juga Mu’aawiyah dan para sahabatnya, dan tidak juga khowarij. Bahkan seluruh umat mengakui kemuliaan Ali dan kedepanan beliau setelah terbunuhnya Utsmaan, dan bahwasanya tidak ada yang tersisa di kalangan para sahabat orang yang semisal Ali di zaman kepemimpinan beliau” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah 6/328-329)

Beliau juga berkata :

((Dan tidak seorangpun dari kalangan sahabat setelah mereka (Abu Bakar, Umar, dan Utsman-pent) yang lebih afdhol daripada Ali. Dan tidak ada sebuah kelompokpun dari kaum muslimin yang menyelisihi bahwasanya setelah khilafahnya Utsman tidak ada seorangpun di pasukannya Ali yang lebih afdhol daripada Ali. Tidak ada satu kelompokpun yang ma’ruf yang menyatakan Tolhah dan Az-Zubair lebih mulia daripada Ali, apalagi menyatakan bahwa Mu’aawiyah lebih afdhol daripada Ali.

Meskipun demikian mereka memerangi Ali karena ada syubhat yang mendatangi mereka. Mereka tidaklah memerangi Ali karena ada orang lain yang lebih afdhol daripada Ali, atau ada orang lain yang merupakan Imam selain Ali. Tolhah dan Az-Zubair sama sekali tidak menamakan diri mereka dengan nama kepemimpinan, dan tidak seorangpun yang membai’at mereka berdua karena kepemimpinan)) (Minhaajus Sunnah 6/330)

Beliau juga berkata :

((Mayoritas Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya Ali lebih afdhol daripada Tolhah dan Az-Zubair, apalagi Mu’aawiyah dan yang lainnya. Dan mereka berkata : Tatkala kaum muslimin terpecah di zaman Ali sehingga ada sekelompok memerangi Ali dan sekelompok yang lainnya berperang bersama (membela) Ali, maka Ali dan para pengikutnya adalah kelompok yang lebih utama di atas kebenaran daripada kelompok yang lainnya. Hal ini sebagaimana telah sah dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

“Akan keluar suatu firqoh tatkala kaum muslimin terpecah, firqoh yang keluar tadi akan diperangi oleh salah satu dari dua kelompok kaum muslimin yang lebih utama di atas kebenaran”

Firqoh yang keluar tersebut adalah khowarij yang keluar dari agama maka merekapun diperangi oleh Ali dan para pengikutnya. Maka diketahui bahwasanya kelompok Ali lebih utama di atas kebenaran dari Mu’awiyah dan para pengikutnya)) (Minhaajus Sunnah 4/358)

Kedua : Penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullah Tentang Keutamaan Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu


Selain membela Ali bin Abi Tholib, Ibnu Taimiyyah juga banyak menjelaskan keutamaan Ali, bahkan dalam kitab beliau Minhaajus Sunnah.

Beliau berkata :

((Keutamaan Ali dan kewaliannya bagi Allah serta tingginya manzilahnya di sisi Allah merupakan perkara yang sudah maklum (diketahui) -alhamdulillah- dari jalan-jalan (riwayat-pen) yang valid (sah) yang memberikan keyakinan, sehingga tidak membutuhkan (riwayat) dusta atau riwayat-riwayat yang tidak diketahui kebenarannya)) (Minhaajus Sunnah 8/165)

Beliau juga berkata

((Adapun Ali radhiyallahu ‘anhu tidak diragukan lagi bahwa dia termasuk orang yang mencintai Allah dan yang dicintai Allah … )) (Minhaajus Sunnah 7/218)

Beliau juga berkata

((Adapun status Ali sebagai ahlilbait merupakan sesuatu yang tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin, bahkan hal ini lebih diketahui oleh kaum muslimin daripada didatangkan dalil (tentang hal itu -pent), bahkan dia termasuk ahlibait dan keturunan bani hasyim yang paling utama setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau memutar pakaian beliau pada Ali, Fatimah, Hasan dan Husein, Beliau bersabda, “Ya Allah mereka ahlibaitku hilangkanlah dari mereka kekejian serta bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya)) (Majmuu Al-Fataawaa 4/496)

Beliau juga berkata

((Bukanlah dari golongan Ahlus sunnah orang yang menjadikan permusuhan kepada Ali merupakan ketaatan dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang menjadikan kebencian kepada Ali merupakan kebaikan, dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang memerintahkan untuk benci kepada Ali.

Juga bukanlah Ahlus Sunnah orang yang menjadikan semata-mata kecintaan kepada Ali merupakan keburukan dan kemaksiatan dan juga bukan Ahlus Sunnah orang yang tidak melarang hal ini.

Kitab-kitab Ahlusunnah dari seluruh golongan berisi penyebutan tentang keutamaan-keutamaannya, keistimewaan-keistimewaannya serta celaan terhadap orang-orang yang mendholiminya dari seluruh firqoh…

Bahkan mereka seluruhnya sepakat bahwa Ali memiliki kedudukan yang lebih mulia disisi Allah dan Rasul-Nya dan kaum mukminin daripada Muawwiyah, bapaknya dan saudaranya – yang mana ia(saudaranya ini) lebih baik dari dia(Muawwiyah). Ali lebih utama dari orang yang lebih utama dari Muawwiyah radhiyallahu ‘anhu.  Demikian juga As Saabiqunal Awaluun yaitu orang-orang yang berbait di bawah pohon (maksudnya para sahabat yang ikut bait ridhwan -pent) mereka semuanya lebih baik daripada para sahabat yang masuk islam ketika fathul Mekkah, pada mereka itu ada orang-orang yang lebih utama dari Muawwiyah, dan orang-orang yang berbait di bawah pohon lebih utama dari mereka itu semua, dan Ali lebih utama dari mayoritas para sahabat yang berbait di bawah pohon bahkan lebih baik dari mereka semua kecuali dari tiga orang. Tidak ada pada ahlussunnah yang menganggap adanya seorang yang lebih utama daripada Ali selain tiga orang (Abu Bakar, Umar dan Utsman –pent). Bahkan mereka mengutamakan Ali di atas seluruh mayoritas sahabat yang ikut perang badar, baiatul ridhwan  dan di atas orang –orang yang pertama-tama masuk islam dari kalangan muhajirin dan anshor)) (Minhaajus Sunnah 4/396)

Beliau juga berkata:

((Maka pertama-tama dikatakan, siapa yang menentang di dalam hal ini. Siapa yang mengatakan bahwa Ali bukanlah termasuk pedang di antara pedang-pedang Allah? Sabda Nabi yang terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa Allah memiliki pedang yang banyak dan tidak diragukan lagi bahwa Ali adalah termasuk pedang Allah yang paling agung. Tidak ada seorangpun dari kaum muslimin yang menganggap Khalid lebih utama daripada Ali, sampai dikatakan bahwa mereka menjadikan hal itu khusus bagi Khalid. Penamaan dengan hal itu terjadi dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits yang shahih. Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sesungguhnya Khalid adalah pedang diantara pedang-pedang Allah.

Kemudian yang kedua dikatakan, “Ali lebih mulia kedudukannya dibanding Khalid, lebih mulia dari orang yang memiliki keutamaan sebagai pedang Allah. Karena Ali memiliki keutamaan dalam ilmu, bayan, agama, iman serta lebih terdahulu (dalam masuk islam –pent). Dia dengan hal-hal ini lebih utama dari orang yang memiliki keutamaan sebagai salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah, karena pedang hanya khusus pada peperangan sedangkan Ali maka peperangan hanyalah salah satu keutamaan beliau. Berbeda dengan Khalid, peperangan menjadi keutamaannya yang membedakan dia dengan yang lainnya. Kholid tidaklah menjadi istimewa karena lebih dahulu dalam masuk islam, atau karena banyaknya ilmu dan besarnya zuhud. Kholid hanyalah menjadi istimewa karena peperangan, oleh sebab itu Khalid digelari dengan salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah )) (Minhaajus Sunnah 4/480)

((Tidak diragukan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang gagah berani, termasuk orang yang mana dengan jihadnya Allah telah menolong Islam, dia juga termasuk seniornya orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama masuk islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor, dan termasuk pemimpin orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berjihad dijalan Allah serta termasuk orang yang telah membunuh sejumlah besar dari orang-orang kafir dengan pedangnya.)) (Minhaajus Sunnah 8/76)

Beliau juga berkata :

((Adapun kezuhudan Ali terhadap harta maka sesuatu yang tidak diragukan lagi, …)) (Minhaajus sunnah 7/489)

Beliau juga berkata :

((Dan juga Ahlusunnah lebih besar kecintaannya terhadap orang-orang yang tidak memerangi Ali daripada kecintaan mereka terhadap orang-orang yang memeranginya serta lebih mengutamakan orang-orang yang tidak memerangi Ali di atas orang-orang yang memeranginya seperti Sa’ad bin Abi Waqqosh, Usamah bin Zaid, Muhammad bin maslamah, Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhum. Mereka-mereka ini lebih utama daripada orang-orang yang memerangi Ali dari kalangan ahlussunah.

Maka mencintai Ali dan tidak memeranginya adalah lebih baik daripada membencinya dan memeranginya berdasarkan ijma’ ahlussunnah. Mereka bersepakat akan wajibnya loyal terhadap Ali serta mencitainya. Mereka adalah orang yang sangat (bersemangat) untuk membela Ali, menyanggah orang yang mencelanya baik dari orang-orang khawarij dan yang selain mereka dari orang-orang nawashib. Akan tetapi setiap tempat ada pembicaraannya tersendiri.)) (Minhaajus Sunnah 4/395)

Maka dari nukilan perkataan-perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas nampak bagaimana sikap Ibnu Taimiyyah yang sesungguhnya kepada Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu


Ketiga : Celaan Ibnu Taimiyyah terhadap Nasibiyah (firqoh yang membenci Ahlul Bait)

Berikut ini perkataan-perkataan ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Minhaajus Sunnah yang mencela madzhab Nawasib/Nashibiyyah

Ibnu Taimiyyah berkata :

((Dan adapun Ahlus Sunnah maka mereka berwalaa’ kepada seluruh kaum mukminin dan mereka berbicara dengan ilmu dan keadilan. Mereka bukanlah termasuk orang-orang yang bodoh dan mengikut hawa nafsu. Mereka berbaroo’ (berlepas diri) dari jalannya Rofidhoh dan Nawaashib semuanya, dan mereka berwalaa kepada seluruh As-Saabiquun Al-Awwaluun, dan mereka mengetahui kedudukan, keutamaan, dan kemuliaan para sahabat. Mereka memperhatikan hak-hak Ahlul Bait yang disyariat’kan Allah bagi mereka, dan mereka tidak ridho terhadap apa yang dilakukan oleh Al-Mukhtaar dan para pendusta semisalnya dan juga apa yang dilakukan oleh Al-Hajjaaj dan orang-orang yang dzolim semisalnya)) (Minhaajus Sunnah 2/71)

Beliau juga berkata :

((Dan mereka itulah orang-orang  yang menegakan permusuhan kepada Ali dan orang-orang yang berwalaa kepadanya, dan merekalah yang telah menghalalkan untuk membunuh Ali. Dan salah seorang pemimpin mereka yaitu Abdurrahman bin Muljim Al-Muroodi telah membunuh Ali. Maka mereka itulah Nawashib (Nashibiyah), Khowaarij yang telah keluar (dari agama), tatkala mereka berkata bahwasanya Utsman dan Ali dan orang-orang yang bersama mereka berdua telah kafir murtad.)) (Majmuu’ Al-Fataawaa 4/468)

Beliau juga berkata –menjelaskan sikap beliau terhadap Ahlul Bait- :

((Jika disebutkan orang-orang yang dzolim seperti Hajjaaj bin Yuusuf dan yang semisalnya di sisi kami maka kami berkata sebagaimana firman Allah dalam  Alqur’an “Dan laknat Allah atas orang-orang yang dzolim”. Dan kami tidak suka untuk melaknat seseorang dengan ta’yiin (memvonis orang tertentu dengan laknat-pen). Dan sebagian ulama melaknat Hajjaaj, dan ini adalah madzhab yang diperbolehkan ijtihad di dalamnya. Akan tetapi pendapat ini (tidak memvonis laknat pada orang tertentu-pen) lebih baik dan lebih kami sukai.

Adapun orang yang membunuh “Al-Husain” atau membantu dalam membunuhnya atau ridho dengan pembunuhan tersebut maka bagi dia laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima amalan wajibnya dan sunnahnya…

Kecintaan kepada Ahlul Bait di sisi kami merupakan kewajiban yang mendapatkan ganjaran di sisi Allah. Telah sah di sisi kami sebuah hadits dalam shahih Muslim dari Zaid bin Arqom beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkutbah kepada kami di sumber air yang disebut dengan Khumman yang terletak antara Mekah dan Madinah, “Wahai manusia, sesungguhnya aku meninggalkan bagi kalian dua perkara yang penting; Kitaabullah…. dan Kerabatku, Ahlul bait, Aku ingatkan kalian (untuk memperhatikan dan menghormati) Ahlul Bait, Aku ingatkan kalian (untuk memperhatikan dan menghormati) Ahlul Bait”

… Barangsiapa yang memusuhi Ahlul Bait maka bagi dia laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Allah tidak menerima darinya amalan wajib dan sunnah)) (Majmuu’ al-Fataawaa 4/487-488)

Bantahan Terhadap Tuduhan Abu salafy Terhadap Ibnu Taimiyyah

Setelah jelas bagi kita bagaimana sikap sesungguhnya Ibnu Taimiyyah terhadap Ali bin Abi Tholib dan juga terhadap Ahlul Bait secara umum maka saya akan beranjak pada tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh Al-Ustadz Abu Salafy.

Namun sebelumnya saya akan menjelaskan tentang :

Pertama : Hakekat buku Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah

Kitab Minhaajus Sunnah ditulis oleh Ibnu taimiyyah dalam rangka membantah sebuah kitab yang berjudul “Minhaajul Karoomah” yang ditulis oleh Ibnul Muthohhir Ar-Rofidhi

Kedua : Metode yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam membantah rofidhoh dalam buku Minhaajus Sunnah

Untuk menghadapi Rofidhoh ada dua metode yang mungkin untuk dilakukan;

Pertama: Dengan membantah syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh Rofidhoh satu persatu. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyyah tatkala membantah syubhat-syubhat yang disebarkan oleh kelompok-kelompok lain selain Rofidhoh. Akan tetapi cara ini menurut Ibnu Taimiyyah kuranglah tepat dan kurang bisa membungkam Rofidhoh. Oleh karenanya dalam buku Minhaajus Sunnah beliau berpaling ke metode yang kedua yaitu

Kedua: Membantah syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh Rofidhoh dengan syubhat-syubhat yang dihembuskan oleh orang-orang Nashibah. Dan metode ini memiliki beberapa keistimewaan ;

–          Setiap syubhat yang dihembuskan oleh rofidhoh mirip dengan syubhat yang dihembuskan oleh kaum Nasibiyyah. Sehingga Ibnu Taimiyyah tidak perlu repot dalam membantah rofidhoh. Karena setiap hujjah yang digunakan oleh Rofihdoh untuk mencela atau mengkafirkan Abu Bakr, Umar dan Utsman maka dibalik oleh Ibnu taimiyyah, karena hujjah tersebut mirip dengan hujjah yang digunakan oleh Nasibiyyah untuk mencela atau mengkafirkan Ali.

Sehingga Ibnu Taimiyyah memojokkan Rofidhoh untuk meninggalkan hujjah-hujjah yang mereka gunakan dalam rangka mencela atau mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsmaan. Jika tidak maka hujah-hujjah tersebut bisa digunakan oleh golongan Nashibiyyah untuk mencela atau mengkafirkan Ali bin Abi Tholib.

Oleh karenanya metode yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah ini merupakan metode yang menunjukkan hebatnya beliau rahimahullah dan lebih mampu untuk membungkam Rofidhoh daripada metode yang pertama.

–          Metode ini digunakan untuk menjelaskan bahwa madzhab yang benar adalah Madzhab Ahlus Sunnah yang merupakan madzhab tengah yang berada diantara dua madzhab yang ekstrim terhadap para sahabat yaitu madzhab Rofidhoh dan madzhab Nashibiyyah

–          Metode ini digunakan Ibnu Taimiyyah untuk memojokkan Rofidhoh bahwasanya tidak ada yang bisa membantah kaum Nashibiyyah kecuali Ahlus Sunnah.

Karenanya janganlah para pembaca heran tatkala Ibnu Taimiyyah menyampaikan perkataan-perkataan yang mencela Ali radhiallahu ‘anhu, karena beliau sedang menyebutkan hujjah-hujjahnya kaum Nashibiyyah dalam rangka untuk membungkam Rofidhoh. Adapun sikap beliau terhadap Ali dan ahlul bait yang sesungguhnya maka telah kita ketahui bersama sebagaimana dan telah lalu penjelasannya dengan gamblang dan jelas.

Perhatikan perkataan Ibnu Taimiyyah berikut ini :

((Adapun serorang rofidhoh jika ia mencela Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu dengan mengatakan bahwa Mu’aawiyah adalah seorang pembangkang dan dzolim, maka seorang Nashibi akan berkata kepadanya : “Ali pun demikian membangkang dan dzolim tatkala memerangi kaum muslimin untuk pemerintahannya, dan dia yang memulai peperangan dan menyergap mereka dan menumpahkan darah umat tanpa ada faedah bagi mereka, baik faedah agama maupun faedah duniawi. Pedang Ali di masa pemerintahannya terhunus bagi umat Islam dan tersimpan bagi orang-orang kafir.

Orang-orang yang mencela Ali ada beberapa kelompok,

Kelompok yang mencela Ali dan juga mencela orang-orang yang memerangi Ali seluruhnya.

Kelompok yang menyatakan fasiknya salah satu dari dua kelompok (kelompok Ali atau kelompok yang memerangi Ali-pen) tanpa menentukan manakah kelompok yang fasik, sebagaimana yang diucapkan oleh ‘Amr bin ‘Ubaid dan para ulama mu’tazilah. Mereka juga berkata tentang perang Jamal : “Telah fasik salah satu dari dua kelompok yang berperang”, akan tetapi tanpa menentukan manakah kelompok yang fasik. Dan mereka menyatakan bahwa Mu’awiyah fasiq.

Kelompok yang berkata bahwasanya Ali fasik, bukan Mu’aawiyah, sebagaimana dikatakan oleh kelompok Marwaaniyah.

Kelompok yang berkata bahwasanya pada awalnya Ali dalam kebenaran, akan tetapi tatkala menjadikan dua orang sebagai hakim maka Ali telah kafir dan murtad dari Islam, dan meninggal dalam keadaan kafir. Kelompok ini adalah khowaarij.

Maka kelompok Khowarij, kelompok Marwaniyah, dan banyak dari kelompok Mu’tazilah, dan yang lainnya mereka mencela Ali radhiallahu ‘anhu. Semuanya salah dalam hal ini, sesat dan mubtadi’)) (Minhaajus Sunnah 4/389-390)

Perhatikan juga perkataan beliau berikut ini :

((Dan mereka itulah orang-orang  yang menegakkan permusuhan kepada Ali dan orang-orang yang berwalaa kepadanya, dan merekalah yang telah menghalalkan untuk membunuh Ali. Dan salah seorang pemimpin mereka yaitu Abdurrahman bin Muljim Al-Muroodi telah membunuh Ali. Maka mereka itulah Nawashib (Nashibiyah), Khowaarij yang telah keluar (dari agama)….

Jika seandainya Si Nasibi (pembenci Ali-pen) ini berkata kepada seorang rofidhoh : “Sesungguhnya Ali adalah seorang yang kafir atau fasiq atau dzolim, atau Ali berperang demi kekuasaan, untuk meraih kepemimpinan dan bukan karena agama, dan Ali telah membunuh ribuan umat Islam dari umat Muhammad dalam perang Jamal, perang Shiffin, dan dalam perisitwa Haaruuroo’, dan Ali tidak membunuh seorang kafirpun setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ali tidak membuka satu kotapun (untuk perluasan kekuasaan Islam-pen), bahkan Ali memerangi Ahlul Kiblat (umat Islam-pen)“, dan perkataan-perkataan yang semisal ini yang diucapkan oleh orang-orang Nasibiyah yang memusuhi Ali radhiallahu ‘anhu, maka tidak ada yang bisa membantah perkataan orang-orang Nasibiyyah ini kecuali Ahlus Sunnah yang mencintai para As-Saabiquun Al-Awwaluun seluruhnya dan berwalaa’ kepada mereka (Adapun rofidhoh maka tidak bisa membantah Nasibiyyah-pen).

Maka Ahlus Sunnah akan berkata kepada Naasibiyyah : Telah sah dalam khabar yang mutawatir akan keimanan, hijrah, dan jihadnya Abu Bakr, Umar, Tolhah, dan Az-Zubair. Dalam Al-Qur’an Allah memuji mereka dan ridho kepada mereka. Demikian juga dalam hadits-hadits yang shahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memuji mereka baik secara khusus atau secara umum. Seperti sabda Nabi yang masyhuur :

“Kalau aku mau mengambil seorang kholil (kekasih) dari penduduk dunia maka aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai kekasih”

Dan sabda beliau (tentang Umar-pen) :

“Dahulu pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsuun (mendapat ilham), kalau ada seseorang dari umatku yang demikian maka dia adalah Umar”

Dan sabda beliau (tentang Utsman-pen): “Mengapa aku tidak malu kepada orang yang malaikat malu kepadanya”

Beliau juga bersabda kepada Ali :

“Aku akan memberikan bendera (kepemimpinan perang) kepada seseorang yang cinta kepada Allah dan rasulNya dan Allah dan RasulNya (juga) mencintainya, Allah akan memenangkan perang melalui kedua tangannya”

Dan sabda beliau (tentang Az-Zubair) : “Setiap nabi memiliki hawaari (para pengikut setia/para penolong), dan hawaariku adalah Az-Zubair”, dan sabda-sabda beliau yang semisal ini.

Adapun Rofidhi maka ia tidak akan mampu untuk menegakkan hujjah yang mengalahkan orang yang memusuhi Ali dari kalangan Nasibiyyah sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah (dalam membantah Nasibiyyah-pen) yang Ahlus Sunnah mencintai seluruh sahabat)) (Majmuu’ Al-Fataawaa 4/468-469)

Dari dua perkataan Ibnu Taimiyyah di atas bisa ditarik kesimpulan :

–          Ibnu Taimiyyah hanya menukil perkataan Nasibiyyah dalam rangka membantah Rofidhoh,

–          Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa seluruh kelompok yang mencela Ali adalah salah, sesat, dan mubtadi’

–          Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa Rofidhoh tidak akan mampu membantah Nashibiyyah sebagaimana bantahan Ahlus Sunnah terhadap Nashibiyyah

Tanggapan Terhadap Tuduhan-tuduhan Abu salafy:

Ustadz Abu Salafy berkata :

((Ustadz Firanda yang saya hormati, apakah pantas kita membela orang seperti Ibnu Taimiyah yang sudah jelas sikapnya terhadap Imam Ali ra. dan juga terhadap Sayyidina Umar ra.?)). Lihat ((http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/15/ustadz-firanda-kebakaran-jenggot/))

Al-ustadz Abu Salafy juga berkata :

((Tetapi, buat Ibnu Taimiyah, peperangan yang disulut musuh-muusuh Ali ra. Justeru menjadi kesempatan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja tanpa menghina dan menuduh Imam Ali ra. dengan tuduhan keji dan membuat bulu roma kita berdiri dari kebejatan ucapan dan analisa serta vonis kemunafikan yang ia lontarkan dengan tan tanggung jawab….

Dalam menilai peperangan Imam Ali ra., Ibnu Taimiyah bertaka:

وَعليٌ قاتَلَ لِيُطاعَ و يَتَصَرّفُ في النفوسِ و الأموال، فكيف يُجعَلُ هذا قتالاً غلى الدينِ؟!

“Ali berperang agar ia dita’ati dan berbuat sekehendaknya terhadap jiwa-jiwa dan harta-harta, lalu bagaimana peperangan seperti itu dijadikan peperangan demi agama?!” (Minhâj as Sunnah,8/329)

kemudian dalam kesempatan lain ia lebih meningkatkan tensi kecamannya atas Imam Ali ra. Yang menghalalkan darh-darah kaum Muslimin dengan tanpa izin Allah dan Rasul-Nya! Membunuh mereka hanya demi kekuasaannya semata! Walaupun seperti kebiasaannya, ia meminjam mulut kaum Nawâshib untuk menghujat Ali dan Syi’ahnya!

Ibnu Taimiyah begitu menikmati ketika menyajikan kecaman kaum Nawâshib, dan terkadang kecaman itu ia yang meramunya hanya saja ia nisbatkan kepada mereka!

Di sini Ibnu Taimiyah berkata, “Jika kaum Nawâshib berkata kepada kaum Rafidhah: Ali telah menghalalkan darah-darah kaum Muslimin dengan tanpa perintah Allah dan Rasul-Nya hanya demi kekuasaan, sementara Nabi saw. telah bersabda:

“mencaci maki seorang Muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.” Dan “jangan kalian kembali kafir sepeninggalku, sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain.” Maka Ali adalah kafir karena sebab itu! Maka hujjah kalian (Rafidhah) tidak lebih kuat dari hujjah kau Nawâshib…. “(Minhâj as Sunnah,4/499-500)

Ibnu Taimiyah juga membebankan ke pundak Imam Ali ra. Tangung jawab kerusakan dan korban yang banyak dari kalangan umat Islam dalam peparangan tersebut!

Ia berkata:

“Sesungguhnya Ali berperang demi wilayah/kekuasaan, dan karenanya banyak jiwa mati terbunuh. Pada masa kekuasaannya tidak pernah terjadi peperangan melawan kaum kafir tidak juga menaklukkan negeri-negeri mereka! Dan kaum Muslimin tidak semakin membaik… “(Minhâj as Sunnah,6/191)

Peperangan Imam Ali ra. Hanya menambah perpacahan di tengah-tengahnumat Islam! (Minhâj as Sunnah,7/243)

Semua yang salah hanya Ali ra…. Para pemberontak tidak patut dipersalahkan dan diminta bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan dampak-dampaknya!!

Demikianlah Ibnu Taimiya menilai Imam Ali ra.!! Lalu salahkan para ulama Ahlusunnah yang menvonisnya sebagai gembong kaum Munafik?!

Apa yang saya sajikan di atas baru setetes dari kejahatan mulut si anak taimiyah itu. Pada edisi berikutnya, Anda akan menyaksikan lebih banyak lagi!

Jadi janganlah Anda heran jika kaum Wahhabiyah, Nawâshin Modern; para pengikut dan pemuja kesesatan akidah Ibnu Taimiyah sekarang juga menghembuskan nafas beracun dan memuntahkan luapan kebencian mereka kepada Imam Ali dan keturunan beliau!

Sebab seperti disabdakan Nabi mulia: Tiada mencintai Ali melinakn orang mukmin dan tiada membencinya melaikan oraang munafik!!)) Demikianlah perkataan Ustadz Abu salafy yang meluap-luap penuh dengan emosi dan cacian !!! sebagaimana bisa dilihat di ((http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/26/fitnah-ibnu-taimiyah/)

Para pembaca yang budiman, telah saya jelaskan diatas bagaimana sikap yang sesungguhnya dari Ibnu taimiyyah terhadap Ali dan Ahlul bait. Adapun apa yang disampaikan oleh Ustadz Abu Salafy merupakan tipu muslihat yang ia lancarkan sehingga mengesankan bahwa Ibnu taimiyyah adalah seorang Nasibi, padahal telah jelas di atas bahwasanya Ibnu Taimiyyah sedang menukil perkataan Nashibiyyah dalam rangka membungkam dan memojokan Rofidhoh.

Adapun tuduhan ustadz Abu salafy bahwasanya Ibnu Taimiyyah menyatakan Ali berperang bukan karena agama akan tetapi karena kekuasaan maka sungguh ini merupakan kedustaan, penjelasannya sebagai berikut:

–          Telah dijelaskan bahwasanya bagaimana metode Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhaajus Sunnah dalam membantah Rofidhoh. Yaitu beliau rahimahullah menggunakan syubhat yang dilontarkan oleh Nashibiyyah untuk memojokan Rofidhoh (silahkan lihat kembali poin tentang metode Ibnu Taimiyyah dalam kitab Minhajus Sunnah sebagaimana telah lalu)

–          Dalam kitab minhaajus Sunnah Ibnu taimiyyah dengan tegas menjelaskan bahwsanya perkataan “Ali berperang bukan karena agama tetapi karena kekuasaan” merupakan perkataan Nashibiyyah

((Adapun serorang rofidhoh jika ia mencela Mu’aawiyah radhiallahu ‘anhu dengan mengatakan bahwa Mu’aawiyah adalah seorang pembangkang dan dzolim, maka seorang Nashibi akan berkata kepadanya : “Alipun demikian membangkang dan dzolim tatkala memerangi kaum muslimin untuk pemerintahannya, dan dia yang memulai peperangan dan menyergap mereka dan menumpahkan darah umat tanpa ada faedah bagi mereka, baik faedah agama maupun faedah duniawi. Pedang Ali di masa pemerintahannya terhunus bagi umat Islam dan tersimpan bagi orang-orang kafir)) (Minhaajus Sunnah 4/389)

–          Dalam kitab beliau yang lain beliau juga menegaskan bahwa hal ini merupakan perkataan Nasibiyyah

((Jika seandainya Si Nasibi (pembenci Ali-pen) ini berkata kepada seorang rofidhoh : “Sesungguhnya Ali adalah seorang yang kafir atau fasiq atau dzolim, atau Ali berperang demi kekuasaan, untuk meraih kepemimpinan dan bukan karena agama, dan Ali telah membunuh ribuan umat Islam dari umat Muhammad dalam perang Jamal, perang Shiffin, dan dalam perisitwa Haaruuroo’, dan Ali tidak membunuh seorang kafirpun setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ali tidak membuka satu kotapun (untuk perluasan kekuasaan Islam-pen), bahkan Ali memerangi Ahlul Kiblat (umat Islam-pen)”, dan perkataan-perkataan yang semisal ini yang diucapkan oleh orang-orang Nasibiyah yang memusuhi Ali radhiallahu ‘anhu)) (Majmuu’ Al-Fataawaa 4/468)

Maka bagaimana ustadz abu Salafy lantas menutup mata dan memaksakan perkataan tersebut adalah aqidah Ibnu Taimiyyah, sehingga akhirnya ustadz Abu Salafy memvonis Ibnu Taimiyyah yang telah berjihad melawan Tatar sebagai seorang munafiq??!!

Kesimpulan :

Pertama : Ustadz Abu Salafy telah melakukan tipu muslihat sehingga mengesankan bahwasanya Ibnu Taimiyyah adalah seorang Nashibi (pembenci Ahlul bait terutama Ali bin Abi Tholib) dengan cara mengambil perkataan Ibnu Taimiyyah secara sepotong-sepotong

Kedua : Dalam buku Minhaajus Sunnah yang dicela habis-habisan oleh Abu Salafy ternyata syarat berisi pujian dan pembelaan Ibnu Taimiyyah kepada Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Apakah Abu salafy telah membaca kitab Minhaajus Sunnah?, kenapa perkataan-perkataan yang jelas dari Ibnu Taimiyyah tidak ditampilkan?

Ini merupakan lagu lama yang ditempuh oleh Abu Salafy, meninggalkan perkataan yang jelas dan berusaha menampilkan perkataan yang tidak jelas. Sebagaimana yang telah ia lakukan terhadap perkataan Imam Al-Qurthubi dan Ibnul Jauzi sebagaiamana telah saya ungkap tipu muslihatnya dalam (https://www.firanda.com/index.php/home/31/113-sekali-lagi-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-bag-2)

Ketiga :  Diantara tuduhan Abu Salafy bahwasanya Ibnu Taimiyyah mencela Umar radhiyallahu ‘anhu, maka saya meminta bukti dari ustadz Abu Salafy.
Abu Salafy berkata ((Ustadz Firanda yang saya hormati, apakah pantas kita membela orang seperti Ibnu Taimiyah yang sudah jelas sikapnya terhadap Imam Ali ra. dan juga terhadap Sayyidina Umar ra.?)) (lihat http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/15/ustadz-firanda-kebakaran-jenggot/)

Ini adalah tuduhan Abu Salafy bahwasanya Ibnu Taimiyyah tidak hanya mencela Ali bin Abi Tholib akan tetapi juga mencela Umar bin Al-Khothoob. Maka saya berharap Ustadz Abu Salafy mendatangkan bukti, jika tidak maka ini akan dimasukan dalam daftar kebohongan ustadz Abu Salafy yang sedang saya kumpulkan.

Baca juga: Dimanakah Allah?


"Siapa yang berdusta Ibnu Taimiyyah atau Abu Salafy?"

Abu Salafy berkata

((Kepalsuan Atas Nama Salaful Ummah!

Dan sebelum saya menutup pembahasan ini, saya ingin mengajak Anda meneliti masalah ini dari tinjauan sejarah dan praktik kaum Salaf! Dimana kaum Wahhâbiyah sering kali dalam menolak atau menetapkan sesuatu keyakinan mendasarkannya atas praktik kaum Salaf; sahabat dan tabi’in serta generasi ketiga umat Islam!

Betapa sering kaum Wahhâbiyah menolak sebuah praktik tertentu yang dijalankan kaum Muslimin (selain wahhabi) dengan alasan bahwa Salaf umat ini tidak pernah mengerjakan praktik seperti itu!!

Dan untuk mendukung klaimnya, tidak jarang kaum Wahhâbiyah menolak data atau memalsu klaim bahwa Salaf tidak pernah mempraktikkannya! Sementara bukti-bukti saling menguatkan bahwa Salaf justru telah mempraktikkannya!

Dan dalam dunia pemalsuan klaim ijma’, sulit rasanya kita menemukan seorang tokoh yang berani memalsu lebih dari keberanian yang dimiliki Ibnu Taimiyah.

Dalam kasus kita ini, Ibnu Taimiyah dan para tokoh Wahhâbiyah tidak mau melewatkannya tanpa mengaku-ngaku dengan tanpa dasar bahwa tidak seorang pun dari Salaf yang melakukannya!

Ibnu Taimiyah berkata:

و لَم يذكر أحدٌ من العلماء أنه يشرع التوسل و الإستسقاء بالنبي والصالح بعد موته ولا فِي مغيبه، ولا استحبوا ذلك فِي الاستسقاء ولا فِي الاستنصار ولا غير ذلك مِن الأدعية. و الدعاءُ مخُّ العبادة

Dan tidak seorang pun dari para ulama mengatakan disyari’atkannya bertawassul dengan Nabi atau seorang shaleh setalah kematiannya dan di kala ia tidak hadir. Mereka tidak memustahabkan hal itu baik dalam istisqâ’ (doa memohon diturunkannya hujan), tidak pulah dalam doa memohon pertolongan dan doa-doa selainnya. Dan doa itu inti ibadah.”  (Ziyârahal Qubûr wa al Istijdâ’ bi al Maqbûr:43)

Dalam Risalah al-Hadiyyah as-Saniyyah disebutkan

Tidakk seorang pun dari Salaf umat ini; sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang memilih-milih menegakkan shaalat atau berdoa di sisi kuburn para nabi dan meminta dari mereka serta memohon bantuan/beristighatsah dengan mereka, tidak di kala ghaib mereka/di tempat jauh maupun di hadapan kuburan mereka.”  (Al Hadiyyah as Saniyyah:162. Terbitan al Manâr- Mesir)

Mungkin seorang pemula yang belum banyak mengetahui sajarah para sahabat dapat tertipu dengan ucapan di atas dan menganggapnya benar, akan tetapi anggapan itu akan segera sirna dan terbukti kepalsuan dan kebatilannya ketika ia telah mengetahui sejarah para sahabat walaupun hanya sekilas saja! Sebab ia akan dibuat melek dengan data-data akurat bahwa ternyata para sahabat, tabi’in dan generasi demi generasi umat Islam telah menjalankan prakti beristighatsah dengan Nabi saw….

Dalam kesempatan ini, saya hanya akan membawakan beberapa contoh sebagai pembuktian awal, dan bagi yang berminat mengetahuniya dengan lengkap dipersilahkan merujuk kitab-kitab para ulama Ahlusunnah yang khusus berbicara masalah tersebut! )).

Demikian perkataan Abu Salafy, lalu ia menyebutkan tiga atsar dari salaf yang mendukung aqidahnya ini, yaitu atsar dari Abu Bakr, kemudian dari Ali bin Abi Tholib dan Imam Malik radhiallahu 'anhum.

Setelah itu Abu Salafy berkata :

((Inilah sekelumit data dan riwayat yang menerangkan kebiasaan dan praktik para as-Salaf ash-Shaleh; generasi sahabat dan tabi’in serta tabi’ut tabi’in dalam bertawassul, berdoa di hadapan pusara suci baginda Rasulullah saw. Serta memohon dari beliau untuik berkenan mendoakan dan memhohonkan ampun, maghfirah yang diklaim kaum Wahhâbiyah sebagai syirik dan menyekutukan Allah. Semoga sekelumit data di atas dapat membuka pikiran kita akan kebenaran praktik kaum Muslimin yang dikecam kaum Wahhâbiyah!)) demikian perkataan Abu Salafy (silahkan lihat http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/22/226/)

Para pembaca yang dimuliakan Allah, dalam tulisan ini Abu Salafy dengan berani menyatakan bahwasanya kaum Wahhabiah (khususnya Ibnu Taimiyyah) telah berdusta atas nama salaful Ummah. Kemudian Abu Salafy menyebutkan riwayat-riwayat yang menunjukan kedustaan kaum Wahhabi. Oleh karena itu saya akan mencoba memaparkan hakekat yang sebenarnya siapakah yang telah berdusta…???

Saya mengingatkan kembali para pembaca agar membaca kembali tulisan-tulisan saya yang menjelaskan tipu muslihat dan kedustaan Abu Salafy. Yang telah menggelari dirinya dengan Abu Salafy untuk menipu umat, dan ternyata ia sama sekali tidak mengikuti madzhab salaf. Dalam tulisannya ini juga ia nekad berdusta atas nama salaf. Sungguh… tuduhan yang ia berikan kepada kaum Wahhabiyah lebih pantas untuk ia pikul. Wallahu musta'aan.

Abul Qoosim Al-Ashbahaani (wafat tahun 535 H) berkata tentang Ahlul Ahwaa' :

يَحْتَجُّ بِقَوْلِ التَّابِعِي عَلَى قَوْلِ النَّبِيِّ  أَوْ بِحَدِيْثٍ  مُرْسَلٍ ضَعِيْفٍ عَلَى حَدِيْثٍ مُتَّصِلٍ قَوِيٍّ، ... صَاحِبُ الْهَوَى كَالْغَرِيْقِ يَتَعَلَّقُ بِكُلِّ عُوْدٍ ضَعِيْفٍ أَوْ قَوِيٍّ ... وَصَاحِبُ الْهَوَى لاَ يَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يَهْوَى

"Pengikut hawa nafsu berdalil dengan perkataan tabi'in untuk menentang sabda Nabi, atau berdalil dengan hadits mursal yang dho'iif (lemah) untuk menentang hadits yang bersambung dan kuat… Pengikut hawa nafsu seperti orang yang tenggelam, ia bergantung pada setiap batang kayu yang lemah atau yang kuat… pengikut hawa nafsu tidaklah mengikuti kecuali nafsunya"(Al-Hujjah fii bayaan Al-Mahajjah 2/233-234)

Sungguh permisalan yang indah dari Abul Qoosim Al-Ashbahaani… pengikut hawa nafsu memang hanya mengikuti hawa nafsunya, ibarat seorang yang akan tenggelam maka tangannya berusaha meraih apa saja untuk menjadi tempat pegangan…. tidak peduli kayu yang lemah… yang ternyata tidak bisa menyelamatkannya.. Tatkala aqidah yang ia yakini tidak dibangun di atas dalil maka atsar apa saja yang bisa dijadikan hujjah maka ia segera berpegang teguh tidak perduli apakah dalil tersebut lemah atau tidak.

Sungguh yang sangat saya sayangkan adalah sikap ustadz Abu Salafy yang –jago mengkritik ilmu hadits Syaikh Al-Albani rahimahullah- ternyata berkali-kali berdalil dengan atsar salaf yang lemah untuk mendukung aqidahnya, sebagaimana telah lalu saya ungkapkan ulahnya ini tatkala menukil atsar dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu, Zainal Abidin, dan Ja'far Sahdiq rahimahumallah. (lihat http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs)

Demikian pula pada tulisan ini, ia berusaha menggambarkan kepada pembaca bahwa bertawassul kepada orang mati merupakan kebiasaan salaf, kebiasaan para sahabat dan para tabi'in.

Oleh karenanya saya ingin menjelaskan kedudukan atsar-atsar tersebut, apakah atsar-atsar tersebut shahih? ataukah lemah?

Pendahuluan :

Para pembaca yang budiman, permasalahan isnad merupakan permasalahan yang sangat penting, terlebih lagi sanad dari hadits-hadits atau atsar-atsar yang dijadikan dalil untuk permasalahan hukum. Terlebih lagi jika dijadikan dalil untuk permasalahan aqidah. Sesungguhnya aqidah yang benar merupakan keyakinan yang wajib diyakini oleh seorang mukmin hingga ia bertemu Robbnya. Akan tetapi tentunya aqidah yang benar harus dibangun di atas dalil yang benar dan shahih. Maka sungguh merupakan hal yang sangat menyedihkan dan memilukan tatkala kita mendapati seseorang yang membangun aqidahnya di atas dalil yang lemah, di atas hadits yang dho'iif… apalagi dibangun di atas atsar yang lemah… terlebih lagi jika atsar yang lemah tersebut dijadikan tameng untuk membantah begitu banyak dalil dari Al-Qur'an maupun as-sunnah yang bertentangan dengan aqidahnya (baca = hawa nafsunya). Terlebih lagi jika atsar-atsar yang lemah tersebut digunakan untuk mencela para ulama bahkan menuduh mereka berdusta…!!!??

Yang sungguh menyedihkan ini semua telah terkumpul pada sang ustadz Abu Salafy, yang berulang-ulang menjadikan atsar yang lemah untuk memperolok-olok kaum wahhabi, bahkan menuduh mereka telah berdusta. Namun… siapakah yang sesungguhnya telah berdusta..???!!!

Syu'bah bin Al-Hajjaaj rahimahullah berkata :

إِنَّمَا نَعْلَمُ صِحَّةَ الْحَدِيْثِ بِصِحَّةِ الإِسْنَادِ

"Sesungguhnya kami hanyalah mengetahui shahihnya suatu hadits dengan shahihnya isnad" (At-Tamhiid, Ibnu Abdil Barr 1/57)

Sufyaan Ats-Tsauri rahimahullah berkata :

المَلاَئِكَةُ حُرَّاسُ السَّمَاءِ وَأَصْحَابُ الْحَدِيْثِ حُرَّاسُ الأَرْضِ

"Para malaikat adalah penjaga langit dan para ahli hadits adalah penjaga bumi" (Syarof Ashaab Al-Hadiits, Khathiib Al-Baghdaadi hal 91)

Ali bin Al-Madiini berkata :

التَّفَقُّهُ فِي مَعَانِي الْحَدِيْثِ نِصْفُ الْعِلْمِ، وَمَعْرِفَةُ الرِّجَالِ نِصْفُ الْعِلْمِ

"Mempelajari makna hadits adalah setengah ilmu dan mengenali rawi-rawi adalah setengah ilmu" (Siyar A'laam An-Nubalaa' 11/48)

Ibnul Mubaarok berkata :

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

"Isnad bagian dari agama, kalau bukan karena isnad maka siapa saja yang berkehendak akan mengucapkan apa yang dia kehendaki" (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam muqoddimah shahihnya)

Maka saya berkata –sebagaimana yang dikatakan para salaf- kepada Ustadz Abu Salafy tatkala ia berdalil dengan atsar-atsar tanpa menyebutkan sanadnya :

سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ

"Sebutkan nama-nama rawi-rawi kalian" (Sebagaimana yang dihikayatkan oleh Ibnu Sirin dari para salaf, lihat Muqoddimah shahih Muslim)

Adapun atsar-atsar yang dijadikan dalil oleh Abu Salafy adalah sebagai berikut:

Pertama : Atsar dari Abu Bakar radhiallahu 'anhu

Abu salafy berkata ((Setelah wafat Rasulullah saw. Abu Bakar ra. datang melayatnya dan berkata:

اُذْكرْنا يا مُحمدُ عندَ رَبِّكَ، و لْنكُن فِي بالِكَ

Wahai Rasulullah, ingatlah kami di sisi Tuhanmu dan hendaknya kami selalu dalam benakmu.” (Ad-Durar as-Saniyyah; Sayyid Zaini Dahlan asy Syafi’i: 36))"

Firanda berkata :

Sanggahan terhadap Abu Salafy melalui poin-poin berikut:

Pertama : Saya sudah mengecek kitab Ad-Durar As-Saniyyah, dan ternyata Sayyid Zaini Dahlan tidak menyebutkan sama sekali sanad dari atsar ini. Dan ustadz Abu Salafy juga tidak menyebutkan sanad atsar ini, bukankah sang ustadz adalah pakar hadits yang jago mengkritik Syaikh Albani?

Kedua : Apakah buku Ad-Durar As-Saniyyah kitab hadits dan atsar??, tentunya bukan. Apakah Sayyid Dahlan meriwayatkan atsar-atsar dalam kitabnya ini dengan sanadnya sendiri?, tentu tidak !!. Ustadz Abu Salafy tentunya tahu akan hal ini, karena ia pakar hadits, atau lebih tepatnya pakar mengkritik syaikh Albani. Lantas kok bisa-bisanya ustadz Abu Salafy berdalil dengan sebuah atsar dari sebuah buku yang bukan buku hadits dan atsar, kemudian tanpa mengecek keabsahan sanad atsar tersebut, kemudian membangun sebuah aqidah di atas atsar yang tidak jelas seperti ini !!???

Ketiga : Atsar ini telah dihukumi lemah oleh pakar hadits Al-Haafizh Abul Fadhl Zainuddin Al-'Irooqi Asy-Syafi'i (wafat tahun 806 H) dalam kitabnya "Al-Mughni 'an haml Al-Asfaar", ia berkata :

"Hadtis bahwasanya tatkala sampai kepada Abu Bakr kabar (tentang wafatnya nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-pen) maka beliaupun masuk ke rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan iapun menyolatkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan kedua matanya bercucuran air mata dan isakannya naik seperti suara menelan seteguk air, namun dalam kondisi demikian beliau tetap tegar baik sikap maupun perkataan. Maka beliaupun bertelungkup kepada Nabi lalu menyingkap kain yang menutup wajah Nabi…al-hadits hingga perkataan Abu Bakr : "Dan jagalah ia pada kami". Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunyaa di kitab Al-'Azaa' dari hadits Ibnu Umar dengan sanad yang lemah" (Al-Mughni 'an Haml Al-Asfaar dicetak bersama kitab Ihyaa' di bagian catatan kaki. Lihat Ihyaa' Uluumuddiin 4/459 cetakan Daar Ihyaa Al-Kutub Al-'Arobiyyah)

Keempat : Isi dari atsar ini agak aneh, bagaimana Abu Bakar berkata "Wahai Muhammad". Bukankah Allah telah berfirman

لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain) (QS An-Nuur : 63)

Dalam ayat ini sangatlah tegas Allah mengharamkan terhadap umat ini untuk memanggil Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana jika sebagian kita memanggil sebagian yang lain. Hal ini jelas dipraktekan oleh para sahabat, oleh karenanya kita dapati dalam ribuan hadits para sahabat yang kedudukan mereka jauh dari kedudukan Abu Bakr jika memanggil Nabi maka mereka berkata "Yaa Rasuulallah" atau "Yaa Nabiyyallah". Lantas bagaimana orang terbaik umat ini Abu Bakr As-Siddiiq radhiallahu 'anhu memanggil Nabi dengan perkataan yang kasar "Wahai Muhammad" !!???.

Hal ini merupakan keanehan… dan sepertinya ustadz Abu Salafy juga sadar akan hal ini, oleh karenanya ia tidak amanah tatkala menerjemahkan atsar tersebut. Ia terjemahkan "Wahai Rasulullah", padahal terjemahan yang benar adalah "Wahai Muhammad".

Kedua : Atsar dari Ali bin Abi Tholib
Abu Salafy berkata :
((Al Hafidz Abu Abdillah Muhammad ibn Musa an-Nu’mâni meriwayatkan dalam kitabnya Mishbâh adz-Dzalâm Fî al-Mustaghîtsîn Bi Khairil Anâm dengan sanad bersambung kepada Sayyidina Ali ra., beliau berkata, “Ada seorang Arab baduwi datang tiga hari setelah kami mengebumikan Rasulullah saw.. orang itu melemparkan badannya ke pusara Nabi saw. Dan menaburkan tanahnya ke atas kepalanya sambil meratap:

يا رسولَ الله! قلتَ فسمِعْنَا قولَكَ، ووَعَيْتَ عن اللهِ سبحانه و وعَيْنَا عنْكَ، و كان فيما أنزَلَ: { و لو أنَّهُم إِذْ ظلَموا أنفُسَهُم جاءوكَ فاستغفروا اللهَ و استغفر لَهُم الرسولَ لَوجدُوا اللهَ توابًا رحيمًا} و قد ظَلأَمتُ نفسِيْ وجِئْتُكَ تستغفِر لِي. فَنُودِيَ منَ القبْرِ: إنه قد غُفِرَ لَكَ.

Wahai Rasulullah, engkau berkata dan aku mendengar ucapanmu, engkau mengerti dari Allah SWT dan aku mengerti darimu. Dan di antara yang Allah turunkan adalah, “Sekiranya mereka ketika berbuat zalim terhadap diri mereka datang kepadamu lalu mereka memohon ampunan dari Allah dan engkau memohonkan ampunan bagi mereka pastilah mereka mendapati Allah Maha penerima taubat dan Maha rahmat.” Aku telah menzalimi diriku dan aku datang kepadamu agar engkau memohonkan ampunan bagiku.”

Lalu terdengar suara dari pusara itu, orang itu telah diampuni.!”

Riwayat di atas telah disebutkan as-Samhûdi dalam kitabnya Wafâ’ al Wafâ’, 2/1361 dan beliau banyak menyebutkan riwayat-riwayat serupa pada Bab kedelapan)) demikian perkataan ustadz Abu Salafy

Firanda berkata :

Seperti kebiasaannya, tatkala ustadz Abu Salafy sadar bahwa atsar ini adalah atsar yang lemah maka iapun tidak menampilkan sanad atsar ini. Abu salafy hanya menyebutkan sumber ia mengambil atsar ini, yaitu dari kita Wafaa al Wafaa' karya As-Samhuudi.

Berikut ini saya nukilkan langsung dari kitab Wafaa Al-Wafaa sehingga nampak jelas para perwai sanad atsar ini, As-Samhudi berkata :

"Atsar ini diriwayatkan oleh Abul Hasan Ali bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karkhi, dari Ali bin Muhammad bin Ali, ia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Al-Haitsam At-Thooi, ia berkata : Telah mengabarkan kepadaku Ayahku dari ayahnya dari Salamah bin Kuhail dari Ibnu Sodiq dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu" (Wafaa al-Wafaa 4/1362-1362)

Perawi-perawi dalam sanad atsar ini adalah :

1.      Abul Hasan Ali bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karkhi : Saya tidak menemukan tarjamah (biografi) perawi ini. Maka tolong ustadz Abu Salafy mendatangkan biografi perawi ini, jika tidak maka perwai ini adalah majhuul

2.      Ali bin Muhammad bin Ali : Saya juga tidak menemukan tarjamah (biografi) perawi yang dimaksud ini. Maka tolong ustadz Abu Salafy mendatangkan biografi perawi ini, jika tidak maka perwai ini adalah majhuul

3.      Ahmad bin Muhammad Al-Haitsam At-Thooi : Saya juga tidak menemukan tarjamah (biografi) perawi yang dimaksud ini. Maka tolong ustadz Abu Salafy mendatangkan biografi perawi ini, jika tidak maka perwai ini adalah majhuul

4.      Muhammad Al-Haitsam At-Thooi : Saya juga tidak menemukan tarjamah (biografi) perawi yang dimaksud ini. Maka tolong ustadz Abu Salafy mendatangkan biografi perawi ini, jika tidak maka perwai ini adalah majhuul

5.      Al-Haitsam At-Thoo'i (wafat 207 H), ia adalah Al-Haitsam bin 'Adi At-Thoo'i, Abu Abdirrahman Al-Manbiji, kemudian Al-Kuufi.

Berikut perkataan para ulama hadits tentang perawi ini (sebagaimana penjelasan Ibnu Hajr Al-'Asqolaani rahimahullah dalam Lisaanul Mizaan 8/361, tarjamah no 8312) ;

Imam Al-Bukhari berkata : "Tidak tsiqoh, ia berdusta"

Yahyaa bin Ma'iin berkata : "Tidak tsiqoh, ia berdusta"

Abu Dawud berkata : "Pendusta"

An-Nasaai berkata : "Matruuk"

6.      Salamah bin Kuhail (wafat 123 H), ia adalah Salamah bin Kuhail bin Hushoin Al-Hadhromi, Abu Yahya Al-Kuufi. Seorang tabiin tsiqoh (lihat biografinya di Tahdziibul Kamaal 11/313, tarjamah no 2467)

7.      Ibnu Shoodiq : Saya tidak menemukan biografinya, semoga ustadz Abu Salafy bisa mendatangkan biografinya. Akan tetapi saya kawatir ada tashiif dalam kitab Wafaa al-Wafaa. Yang seharusnya adalah Abu Soodiq –yang ma'ruuf meriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu a'nhu- bukan Ibnu Shoodiq. Dan inilah yang benar, bahwa yang dimaksud dalam sanad adalah Abu Shodiq, karena termasuk yang meriwayatkan dari Abu Shdodiq adalah Salamah bin Kuhail dan Abu Shodiq sendiri meriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib (lihat Tahdziib At-Tahdziib 4/538). Jika yang dimaksud adalah Abu Shodiq maka ia adalah –sebagaimana perkataan Ibnu Hajr rahimahullah- :

"Abu Shoodiq Al-Azdii Al-Kuufi Muslim bin Yaziid, Abu Shoodiq Al-Azdi Al-Kuufi. Dikatakan namanya adalah Muslim bin Yaziid, dan dikatakan juga (namanya adalah) Abdullah bin Naajid. Shoduuq, dan haditsnya dari Ali (bin Abi Tholib) mursal" (Taqriib At-Tahdziib 1161)

Ibnu Hajar juga berkata dalam kitabnya yang lain

"Ia melakukan irsaal dari Abu Mahdzuuroh, Ali bin Abi Thoolib, dan Abu Huroiroh" (Tahdziib At-Tahdziib 4/538)

8.      Ali bin Abi Tholib radhiallahu 'anhu: beliau adalah khalifah yang keempat dari Khulafaa Rosyidiin, dan telah dijamin masuk surga oleh Nabi shallalhu 'alaihi wa sallam

Para pembaca yang dimuliakan Allah, setelah melihat biografi para perawi di atas maka bisa kita lihat ternyata beberapa penyakit dalam sanadnya, yaitu :

-         4 perawi yang majhul, padahal Abu salafy tahu bahwasanya sanad yang salah satu perawinya majhuul adalah sanad yang lemah. Bagaimana lagi kalau 4 perawi yang majhuul

-         Ada rawi pendusta yang bernama Al-Haitsam At-Thoo'i,  dan ustadz Abu Salafy sangatlah paham dan mengerti bahwa atsar yang pada sanadnya ada rawi pendusta berarti atsar palsu.

-         Abu Shodiq ternyata meriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib secara mursal, maknanya ada rawi perantara antara Abu Shodiq dan Ali bin Abi Tholib, yang perawi perantara tersebut tidak diketahui hakekatnya.

Satu dari tiga 'illah (penyakit) di atas sudah cukup membuat kita menolak atsar ini, apalagi ada tiga 'illah. Oleh karenanya dipastikan bahwasanya atsar ini adalah atsar yang dusta dan palsu.

Ketiga : Atsar dari Imam Malik rahimahullah

Abu Salafy berkata :

((Khalifah Manshûr al-Abbasi bertanya kepada Imam Malik (yang selalu dibanggakan keterangannya oleh kaum Salafiyah Wahhâbiyah dalam menetapkan akidah, khususnya tentang Tajsîm), “Wahai Abu Abdillah, apakah sebaiknya aku menghadap kiblat dan berdoa atau menghadap Rasulullah? Maka Imam Malik menjawab:

لِمَ تَصْرِفُ وجْهَكَ عنهُ وهو وسيلَتُكَ ووسيلَةُ أبيكَ آدَمَ إلى يومِ القيامَةِ؟! بل اسْتَقْبِلْهُ واسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعَكَ اللهُ، قال الله تعالى:  ولو أنَّهُم إِذْ ظلَموا أنفُسَهُم

Mengapa engkau memalingkan wajahmu darinya, sedangkan beliau adalah wasilahmu dan wasilah Adam ayahmu hingga hari kiamat?! Menghadaplah kepadanya dan mintalah syafa’at darinya maka Allah akan memberimu syafa’at. “Sekiranya mereka ketika berbuat zalim terhadap diri mereka…. “ (Wafâ’ al Wafâ’, 2/1376))) demikian perkataan Abu Salafy

Firanda berkata :

Para pembaca yang budiman, sekali lagi sang ustadz membawakan atsar ini tanpa menyebutkan sanad atsar ini.

Demikian pula As-Samhuudi dalam kitabnya Wafaa al-Wafaa juga tidak menyebutkan sanad atsar ini, ia hanya mengisyaratkan bahwasanya atsar ini telah diriwayatkan oleh Al-Qodhi 'Iyaad dalam kitabnya As-Syifaa. Marilah kita melihat sanad atsar ini agar kita bisa menghukumi kedudukan atsar ini sebagaiman termaktub dalam kitab As-Syifaa 2/40-41

Sungguh antara Al-Qoodhi 'Iyaadl dan Imam Malik ada 7 rawi.

Tentunya butuh waktu untuk mengecek satu persatu kedudukan rawi-rawi tersebut, oleh karenanya saya berharap ustadz Abu Salafy mendatangkan kedudukan rawi-rawi tersebut dalam al-jarh wa at-ta'diil, sehingga kita bisa mengetahui keabsahan atsar Imam Malik ini.

Akan tetapi pada kesempatan ini pembicaraan kita tertuju 2 rawi:

Pertama : Ya'quub bin Ishaaq bin Abi Israaiil

Kedua : Ibnu Humaid yang langsung meriwayatkan dari Imam Malik dalam sanad ini yaitu.

Adapun Ya'quub bin Ishaaq bin Abi Israa'il adalah maka dikatakan oleh Ad-Daaruquthni : "Laa ba'sa bihi" (Tariikh Bagdaad 16/425 dan Mausuua'ah Aqwaal Abil hasan Ad-Daaruquthni fii rijaalil hadiits wa 'ilalihi 2/725). Adz-Dzahabi mengklasifikasikan Ya'quub bin Ishaaq bin Abi Israaiil pada tobaqoh ke 29 yaitu mereka yang wafat antara tahun 281 H hingga 290 H (lihat Taariikh Al-Islaam 21/337 no 602).

Adapun Ibnu Humaid maka ada dua kemungkinan

-         Kemungkinan pertama : Ibnu Humaid adalah Muhammad bin Humaid Al-Yasykari Abu Sufyaan Al-Ma'mari (wafat tahun 182 H), dan ia adalah perawi yang tsiqoh (lihat Taqriib At-Tahdziib hal 839 no 5872). Dan kemungkinan yang pertama ini (sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian orang) adalah tidak mungkin, karena tatkala Ibnu Humaid adalah ini maka jelas dia tidak bertemu dengan Ya'quub bin Ishaaq bin Abi Israa'il, karena Ibnu Humaid ini meninggal sebelum lahirnya Ya'quub

-         Kemungkinan kedua (dan inilah kemungkinan yang benar): Muhammad bin Humaid bin Hayyaan At-Tamimi, abu Abdillah Ar-Roozi (wafat tahun 248 H) (lihat biografinya di Tahdziibul Kamaal 25/97, tahdziib At-Tahdziib 3/546, dan taqriib At-Tahdziib hal 839 no 8571), dan ia adalah perawi yang dho'iif, bahkan Abu Zur'ah menuduhnya berdusta.

Dari penjelasan di atas maka jelas bahwasanya dalam sanad atsar ini ada perawi yang lemah bahkan tertuduh dusta yaitu Muhammad bin Humaid bin Hayyaan Ar-Roozi. Ini menunjukan lemahnya atsar dari Imam Malik ini.

Selain itu ada 'illah yang lain pada atsar ini yaitu inqithoo' (terputusnya sanad), hal ini dikarenakan Ibnu Humaid ternyata tidak bertemu dengan Imam Malik, karena Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan dengan panjang lebar tentang lemahnya atsar ini (lihat Majmuu' Al-Fataawaa 1/228-230, demikian juga Ibnu Abdil Haadi dalam kitabnya As-Shoorim Al-Munki fi ar-Rod 'alaa As-Subki hal 415-419)


Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.