JUDUL ASLI: PERJALANAN HIDUP SEORANG TOKOH REFORMIS ARAB SAUDI
Arab Saudi sekarang bukanlah Arab Saudi yang dulu. sekarang kita lihat toko-toko tutup saat adzan dikumandangkan. Semua menuju masjid untuk segera shalat berjamaah. Kalau kita ke pemakaman, kita lihat semuanya rata. Tak ada kuburan yang terlihat lebih istimewa dari yang lain. Ada penjaga seperti polisi pamong yang mengawasi agar taka da yang meminta-minta di kuburan. Dulu, tak terbayang bagi kita. Pemandangannya begitu aneh. Banyak kubur dikeramatkan. Bahkan pohon pun dimintai keberkahan. Orang-orang bersimpuh meminta pada sesuatu yang tak bisa mendatangkan manfaat dan tak mampu menolak bahaya. Islam hanyalah nama yang kehilangan ruhnya, tauhid. Kaum muslimin jauh dari agamanya. Di kondisi seperti inilah Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi dilahirkan.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhan
Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid (Husein Khalf: Tarikh al-Jazirah al-Arabiya fi ‘Ashri asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Hal: 53). Nasabnya ini kembali kepada Alu Musyarrif dari kabilah at-Tamimi. Garis nasab yang mulia. Mengapa? Karena nasab ini tersambung sampai Mudhar dari keturunan Adnan (Muhammad Ahmad Darniqah: asy-Syaih Muhammad bin Abdul Wahhab Ra-idu-d Da’watu-s Salafiyah fi-l ‘Ahsri-l Hadits, Hal: 27).
Kakeknya adalah Sulaiman bin Ali bin Musyarrif, salah seorang ulama yang paling terkenal di zaman itu. Bahkan termasuk ulama besar Jazirah Arab. Demikian juga ayahnya. Sang ayah termasuk seorang yang berilmu dan fakih dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Sang ayah adalah seorang ulama terkenal di Nejd. Seorang hakim yang ma’ruf. Ia mengurusi masalah kehakiman di beberapa wilayah. Seperti Uyainah dan Huraimila. Sedangkan pamannya adalah Syaikh Ibrahim bin Sulaiman merupakan seorang ulama yang terkenal di negerinya (Muhammad Ahmad Darniqah: asy-Syaih Muhammad bin Abdul Wahhab Ra-idu-d Da’watu-s Salafiyah fi-l ‘Ahsri-l Hadits, Hal: 28).
Di keluarga ahli ilmu inilah Muhammd bin Abdul Wahhab lahir. Ia dilahirkan di Kota Uyainah -sebuah wilayah di utara Riyadh sekarang-. Pada tahun 1115 H/1703 M. Ia mempelajari Alquran dan berhasil menghafalnya sebelum baligh. Tepatnya saat berusia 12 tahun. Kemudian Allah Ta’ala mudahkan baginya untuk memahami tauhid dan mengamalkannya. Mengetahui pembatal-pembatalnya dan penyimpangan terhadap tauhid. Sampai ayahnya pun kagum dengan kecerdasannya. Sang ayah berkata tentangnya, “Sungguh aku belajar dari anakku, Muhammad, faidah-faidah banyak hukum.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Nejd, Hal: 81).
Muhammad bin Abdul Wahhab kecil berbeda dengan anak-anak lainnya yang suka bermain. Muhammad terbiasa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menelaah buku-buku. Khususnya buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Kemudian juga tulisan-tulisan Imam Ahmad bin Hanbal. Penelaahan buku-buku ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan keilmuan Muhammad bin Abdul Wahhab (Muhammad Ahmad Darniqah: asy-Syaih Muhammad bin Abdul Wahhab Ra-idu-d Da’watu-s Salafiyah fi-l ‘Ahsri-l Hadits, Hal: 29).
Baca juga: Mengenal Salaf dan Salafi
Perjalanan Belajar
Muhammad bin Abdul Wahhb memulai perjalanan belajar dengan bersafar untuk haji. Setelah itu, ia menuju Kota Madinah. Di sanalah ia menemukan sesuatu yang ia cari. Karena Madinah penuh dengan para ulama. Seperti Syaikh Abdullah bin Ibrahim alu Yusuf penulis buku al-Adzbu al-Faidh fi ‘Ilmil Faraidh. Darinya, Muhammad banyak memperoleh ilmu. Dan Syaikh Abdullah pun mencintainya. Sehingga beliau mencurahkan usaha besar untuk mengajarinya dan mengokohkan ilmunya. Semakin eratlah kaitan cinta antara guru dan murid ini. Muhammad bin Abdul Wahhab bercerita tentang gurunya, Syaikh Abdullah, “Suatu hari aku bersamanya, ia berkata padaku, “Maukah kau kutunjukkan senjata yang kusiapkan untuk menghadapi Majma’ah (sebuah wilayah di Nejd).” “Tentu saja”, jawabku. Kemudian ia mengajakku masuk ke suatu ruangan yang di dalamnya terdapat banyak sekali buku. Ia berkata, “Inilah yang kami persiapkan untuk menghadapinya.” (Utsman bin Bisyr: Unwanul Majdi fi Taraikh Najdi, Hal: 20-21.).
Demikianlah ilmu di mata ulama. Ia adalah persiapan pertama dan utama untuk menghadapi musuh. Sebelum persiapan yang lainnya. Peristiwa inipun membuat Muhammad bin Abdul Wahhab semakin bersemangat untuk belajar. Bahkan untuk bersafar ke daerah lainnya. Karena ia sadar akan hakikat dan urgensi ilmu.
Ulama Madinah lainnya yang sangat berpengaruh dalam keilmuan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Syaikh Muhammad Hayatu-s Sindi. Dari beliaulah Muhammad bin Abdul Wahhab tersadar akan pentingnya akidah yang shahih dan merasakan kegelisahan yang besar melihat tersebarnya bid’ah, syirik kecil, dan syirik besar di tengah masayarakat Nejd. Ini semakin memicunya untuk semangat belajar agama. Tidak hanya di Nejd, tapi di luar Nejd juga. Ia benar-benar mempersiapkan diri untuk berdakwah dan berjihad di jalan Allah di kemudian hari.
Hal lainnya yang membuat Muhammad bin Abdul Wahhab begitu bersemangat untuk memperbaiki akidah umat adalah pemandangan menyedihkan yang ia saksikan di makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu hari ia berdiri di raudhah, ia saksikan ada seseorang berdoa dan meminta pertolongan di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu ia melihat Syaikh as-Sindi lalu menemuinya. Syaikh as-Sindi bertanya, “Apa pendapatmu tentang mereka ini?” Ia menjawab dengan firman Allah,
إِنَّ هَؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan.” [Quran Al-A’raf: 139] (Ibnu Bisyr: ‘Unwanul Majdi Hal: 20).
Syaikh as-Sindi pun yakin bahwa muridnya sudah mencapai tingkat pemahaman keilmuan yang baik.
Setelah belajar dengan Syaikh Hayat as-Sindi, Muhammad bin Abdul Wahhab masih merasa perlu untuk memperluas keilmuannya. Menambah pengetahuan akan hal-hal baru dari para ulama yang mendalam ilmunya di berbagai penjuru negeri Islam. Lalu ia memantapkan diri meninggalkan Kota Madinah menju madrasah Basrah. Tanpa pikir lama, ia segera berangkat ke kota di Irak tersebut. Di kota ini ia belajar dari ulama besar semisal Syaikh Muhammad al-Majmu’i. seorang guru yang juga sangat berpengaruh dalam kehidupannya. Darinya ia belajar banyak buku-buku nahwu, bahasa, dan hadits.
Di Bashrah, Muhammad bin Abdul Wahhab memulai petualangan baru. Ini adalah fase menampakkan kebenaran bagi mereka yang beriman. Ternyata kondisi Bashrah jauh lebih buruk dibanding kondisi Madinah. Ia tak tinggal diam. Ia jelaskan kepada masyarakat tentang bahaya bid’ah dan khurofat. Tercelanya merendahkan diri dan memanjatkan doa di kuburan. Ia bawakan dalil-dalil dari Alquran, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan praktik salafush shaleh. Namun wahyu dan pelajaran kehidupan dari generasi terbaik itu tak terserap oleh hati yang sudah dipenuhi dengan kebid’ahan dan penyimpangan. Ia didustakan bahkan mendapat ancaman. Tidak hanya berhenti sampai di sini, ia benar-benar dipukuli dan mendapat caci maki. Sampai diusir dari Bashrah setelah tinggal di sana selama empat tahun. Para pemuja kubur ini tidak hanya berhenti pada Muhammad bin Abdul Wahhab, mereka juga mengintimidasi gurunya, Syaikh al-Majmu’i.
Mendapatkan ujian yang berat saat sedang berproses menjadi ahli ilmu, tak membuat Muhammad bin Abdul Wahhab ciut dan patah semangat. Ia tetap melanjutkan perjalanannya dalam mendapatkan ilmu agama. Dari Bashrah, Muhammad bin Abdul Wahhab meneruskan perantauannya menuju wilayah az-Zubair. Sebuah wilayah di Irak yang masih tergabung dengan Basrah dan dekat dengan Kuwait.
Dalam perjalanan menuju az-Zubair, Muhammad bin Abdul Wahhab banyak mendapatkan kesulitan. Tapi ia berhasil menyelesaikan kebutuhannya di daerah tersebut. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan menuju Syam. Di tengah jalan ia kehabisan bekal. Akhirnya ia mengurungkan belajar ke Syam dan kembali ke kampung halamannya. Di tengah perjalanan, ia singgah di wilayah Ahsa. Di tempat ini ia belajar dengan Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif asy-Syafi’i. Darinya ia berhasil mempelajari beberapa buku. Setelah itu barulah ia melanjutkan perjalanan ke Huraimila. Kepulangannya ini terjadi pada tahun 1143 H. Sejak tahun 1139 H, orang tuanya sudah pindah ke kota ini. Ia pun belajar dengan sang ayah. Ia menyibukkan diri dengan ilmu tafsir dan hadits. Kemudian menekuni buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Buku-buku keduanya sangat berpengaruh pada keilmuannya. Menambah ilmu, cahaya, dan basirah. Dari sinilah pondasi dakwahnya terbangun (Alu Thalib Thami: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 17-18).
Berdakwah di Huraimila
Setelah menempuh fase panjang dalam belajar, Muhammad bin Abdul Wahhab membuka fase baru dalam kehidupannya, berdakwah. Perjalanan dakwahnya ia mulai di kota kecil, Huraimila. Objek dakwah pertamanya adalah keluarga dan kerabat. Kemudian masyarakatnya. Ia terangkan kepada mereka tentang hakikat tauhid kepada Allah Azza wa Jalla. Tidak boleh ada doa kecuali hanya kepada Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak boleh berkurban dan bernadzar kecuali hanya kepada Allah. Ia jelaskan kepada masyarakat tentang tradisi yang sering mereka lakukan. Tradisi meminta-minta di kuburan. Mengagungkan benda keramat semisal batu dan pohon. Bernadzar kepada selain Allah. Semua itu adalah kesesatan dan ajaran yang dibuat-buat manusia.
Ia terus memperjuangkan dakwahnya dan mengajak masyarakat dengan hikmah dan nasihat yang baik. Ia landasi ucapannya dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga muncul dialog dan debat antara dirinya dengan masyarakat. Bahkan dengan ayah dan saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahhab. Awalnya Sulaiman menolak dakwah yang dibawa saudaranya. Namun akhirnya ia menerima dakwah tauhid ini.
Penduduk Huraimila terdiri dari dua kabilah. Yang asalnya dari satu kabilah. Masing-masing kabilah ini menyatakan diri sebagai kekuatan yang berkuasa. Tak ada yang menyatukan mereka. Namun terdapat seorang ahli ibadah di salah satu kabilah. Kedua kabilah berbuat kerusakan dan kefasikan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha menghentikan kerusakan mereka. Dan menjelaskan kepada mereka tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dalam kitab-Nya. Ahli ibadah di masyarakat ini ingin membunuh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia rencanakan eksekusi pembunuhan itu secara rahasia di malam hari. Ketika si ahli ibadah dan komplotannya tengah mengepung rumah, aksi mereka ketahuan masyarakat. Orang-orang pun meneriaki mereka dan mereka pun kabur (Ibnu Ghanam:Muqoddimah ad-Duktur Nashir al-Asad, Hal: 84).
Di Huraimila, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melahirkan karyanya yang monumental, Kitab Tauhid (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, 1/36). Namun, tak lama di sana, ia meninggalkan kota tersebut. Karena merasa yakin kalau kehadirannya di sana tidak memberikan pengaruh yang diharapkan. Ia pindah menuju Uyainah pada tahun 1157 H (Mas’ud an-Nadwi: Muhammmad bin Abdul Wahhab, Hal: 45).
Di Kota Uyainah
Uyainah adalah sebuah kota di barat laut Riyadh, Arab Saudi. Saat Muhammad bin Abdul Wahhab tiba di sana, kota itu dipimpin oleh Utsman bin Hamd bin Ma’mar. Utsman menyambut Syaikh Muhammad dengan penuh penghormatan dan pemuliaan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan kepada Ibnu Ma’mar bahwa dakwah yang ia serukan bersumber dari Alquran dan sunnah yang suci. Tujuannya bukan untuk berkuasa, tapi dakwah ini adalah bentuk pengajaran kepada masyarakat tentang pondasi agama mereka dan pokok-pokok tauhid. Dakwah ini juga berusaha menggerus kesyirikan dan menumbangkan syiar-syiarnya. Kemudian ia menjelaskan kepada Ibnu Ma’mar, siapa yang menolong dakwah ini pasti akan dikokohkan oleh Allah. Allah akan memberinya taufik, kekuasaan, dan kemuliaan.
Utsman bin Ma’mar menyambut seruan itu. Ia pun ingin berkontribusi dalam dakwah yang mulia ini. Ia membebaskan Syaikh Muhammad untuk berdakwah dengan dakwah tauhidnya tanpa syarat apapun. Ia memberi jalan kepada Syaikh agar bisa menerangkan kepada masyarakat bahwa berpegang kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebutuhan yang sangat urgen. Ia perintahkan rakyatnya untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Kemudian di saat itu pula Syaikh Muhammad menikah dengan Jauharah binti Abdullah bin Ma’mar.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tahu persis salah satu sebab kuatnya dakwah adalah dukungan penguasa. Jika penguasa menerima dakwah, maka kebijakan yang ia lahirkan akan merujuk kepada nilai-nilai dakwah. Syaikh juga memiliki cita-cita besar tentang persatuan Nejd di tangan satu kepemimpinan. Tentu ini tidaklah mudah. Mengenalkan Islam di wilayah yang masyarakatnya asing dengan ajaran Islam. Bahkan respon mereka dengan dakwah sangat jauh dari harapan. Persatuan Nejd dalam waktu singkat sulit akan terjadi kecuali dengan seorang pemimpin yang kuat dan militer yang mumpuni. Bersamaan dengan kekuatan non materi berupa hujjah dan ilmu. Inilah fiqhul waqi’ Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dalam hal ini, ia menaruh harapan besar pada diri Ibnu Ma’mar.
Mengubah Tradisi Syirik dan Mendakwahkan Tauhid
- Menghancurkan Kubah di Makam Zaid bin al-Khattab
Pengagungan kubur di zaman itu seolah menjadi ajaran. Kubur para sahabat dan orang-orang shaleh dibangun dan dipugar untuk diagungkan dan dimintai berkat. Di antaranya adalah kubur saudara Umar bin al-Khattab, yaitu Zaid bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Sekarang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah telah mendapat dukungan penguasa. Artinya, ia mampu mengubah kemungkaran dengan tangannya. Memadamkan keburukan tidak hanya dengan dakwah dan nasihat. Tapi benar-benar mengambil sikap dengan perbuatan. Seburuk-buruk kejahatan adalah seorang hamba menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Karena itu, memberantas kesyirikan menjadi prioritas utama Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Ia tebang pohon-pohon yang dianggap keramat dan meratakan kubah besar di atas makam Zaib bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Di makam ini, masyarakat sengaja datang untuk minta syafaat. Mengajukan permohonan dan mengadukan masalah.
Ibnu Bisyr dalam bukunya Unwanul Majdi menukilkan ucapan Muhammad bin Abdul Wahhab kepada Utsman bin Ma’mar, “Izinkan kami merobohkan kubah yang dibangun untuk tujuan yang buruk itu. Banyak orang berpaling dari hidayah gara-gara pengagungan terhadap kubur.” Utsman menjawab, “Kuserahkan padamu.” Syaikh berkata, “Kami khawatir penduduk Jibliyah akan mengadakan perlawanan. Kami tidak bisa menghancurkannya kecuali Anda turut menyertai kami.”
Utsman pun mengutusnya dengan 600 orang untuk membantunya. Saat telah dekat, orang-orang Jibliyah muncul untuk menghadang mereka. Ternyata mereka melihat di tengah rombongan ada Utsman bin Ma’mar, mereka merasa segan terhadapnya dan mengizinkan rombongan itu lewat.
Setibanya di kubah tersebut, Utsman berkata kepada Syaikh, “Kami tidak berpihak dengannya.” Syaikh berkata, “Berikan saya kapak.” Kemudian ia hancurkan kubah itu dengan tangannya sendiri. Makam itu pun rata dengan tanah. Di malam hari, masyarakat awam Badui dan para pengagung kubur menunggu, musibah apa yang akan terjadi karena perbuatan ini. Saat pagi tiba, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kondisi baik-baik saja.” (Ibnu Bisyr: Unwanul Majdi, 1/9-10).
Apa yang ia lakukan bukan tanpa dasar. Karena inilah wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abu Tholib. Dan wasiat Ali kepada Abul Hayyaj.
عَنْ أَبِى الْهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَالَ قَالَ لِى عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
Dari Abul Hayyaj Al Asadi, ia berkata, “‘Ali bin Abi Tholib berkata kepadaku, “Sungguh aku mengutusmu dengan sesuatu yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutusku dengan perintah tersebut. Yaitu jangan engkau biarkan patung (gambar) melainkan engkau musnahkan dan jangan biarkan kubur tinggi dari tanah melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 969).
Selain kubur yang dimintai doa dan berkat, Syaikh juga menebang beberapa pohon yang dikeramatkan. Seperti Pohon Quraiwah, Pohon Abu Dujanah, dan Pohon adz-Dzaib. Utsman bin Ma’mar memiliki peranan besar dalam mewujudkan hal ini. Kemudian Syaikh juga menegakkan hukum rajam pada seorang perempuan yang mengaku telah berzina. Semua itu ia lakukan dengan tujuan berhukum dengan syariat Allah (Abdul Aziz sayyid al-Ahl: Da’iyatut Tauhid, Hal: 23).
- Menghidupkan Syi’ar Shalat Berjamaah di Masjid
Tidak hanya perhatian terhadap nahi mungkar, Syaikh Muhammad juga mengajak pemimpinnya agar menegakkan amar ma’ruf. Terlebih syi’ar utama yang hilang di tengah masyarakat. Ia memberi masukan kepada Utsman bin Ma’mar untuk menghidupkan tradisi umat Islam generasi awal, yaitu shalat berjamaah di masjid. Laki-laki yang tidak shalat berjamaah di masjid akan mendapatkan hukuman. Kebijakan lainnya adalah tentang pajak. Saat itu para pemimpin menetapkan pemungutan pajak. Kemudian Syaikh mengganti kebijakan hukum ini hanya dengan membayar zakat saja. Selain sibuk dengan amar ma’ruf, nahi mungkar, dan mengurusi perihal keagamaan wilayah Uyainah, Syaikh juga menyempatkan diri untuk membuat karya-karya ilmiah. Ia menulis risalah-risalah dakwah. Agar dakwah tauhid ini tidak hanya berkembang di Uyainah, tapi juga di Nejd secara keseluruhan. Wilayah lain yang terpengaruh dengan dakwahnya saat itu adalah Dir’iyyah. Kebiasaan menulis ini mulai produktif di Uyainah dan terus berlangsung hingga wafatnya (Ibnu Bisyr: Unwanul Majdi, 1/200).
Seiring waktu, kabar tentang Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya terdengar di seantero Nejd. Orang-orang mendengar bagaimana kubah Zaid dirobohkan. Pohon-pohon keramat ditebang. Dan wanita yang mengaku berzina dirajam. Mereka yang umumnya tak kenal dengan ajaran tauhid ini yakin kalau Syaikh dan para penolongnya yang terlibat dalam menghancurkan kubah dan pohon keramat akan mendapatkan musibah atas perbuatan mereka.Mereka tunggu setahun, apakah Muhammad bin Abdul Wahhab akan mendapat kualatkarena perbuatannya. Ternyata tak terjadi apa-apa pada dirinya. Masyarakat awam ini pun menerima dakwah Syaikh, secara kolektif atau per orangan. Ini semua kemudahan dari Allah, karena Syaikh berdakwah dengan cinta dan ikhlas.
Respon masyarakat ini, membuat Syaikh semakin semangat untuk menghilangkan unsur kesyirikan; patung, kubah di atas kubur, dan pohon keramat, di wilayah-wilayah yang tunduk dengan kepemimpinan Ibnu Ma’mar.
Baca juga: Ada apa dengan Wahabi? || Syaikh Muhammad dan fitnah Nejed
Percobaan Pembunuhan
Tidak ada kebaikan yang tak mendapatkan penentang. Demikian juga dengan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Rentetan peristiwa yang terjadi adalah bentuk penghinaan bagi mereka. Dan cepat atau lambat dakwah ini akan melunturkan kepemimpinan mereka. Para tetua kabilah dan pemimpin daerah-daerah besar di Nejd bersatu, mengambil sikap untuk menghadapi dakwah ini (Muhammad Kamil Thahih: ad-Da’wah al-Wahabiyah wa Atsaruha fil Fikril Islamil Hadits, Hal: 49).
Di antara tokoh utama yang menentang dakwah ini adalah Sulaiman bin Muhammad bin Urai’ir al-Humaidi, pemimpin Ahsa dan Bani Khalid. Ia didukung oleh sejumlah kelompok besar. Sulaiman menulis surat kepada Utsman bin Ma’mar. Di antara isinya adalah:
“Seorang yang mengajak taat yang ada di sisimu itu telah melakukan banyak hal dan mengucapkan banyak ucapan. Apabila suratku ini sampai padamu, bunuhlah dia. Jika kau tidak mau membunuhnya, kami tidak akan lagi membayar pajak bumi di wilayah kami di Ahsa.”
Membaca ancaman tersebut, Utsman pun merasa mendapat pilihan yang sulit. Antara Muhammad bin Abdul Wahhab dan harta kharja (pajak) sejumlah 1200 Dinar emas. Ternyata Utsman bin Ma’mar lebih memilih harta tersebut dibanding keberadaan Muhammad bin Abdul Wahhab di sisinya. Ia mengirim surat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab dengan mengatakan, “Kami tidak mampu berperang dengan Sulaiman.” Syaikh membalas suratnya dan memotivasinya dengan pertolongan Allah, “Sesungguhnya ajaran yang kupegang dan kudakwahkan ini; laa ilaaha illallaah, rukun-rukun Islam, dan amar ma’ruf nahi mungkar, kalau Anda berpegang teguh dengannya dan menolongnya, maka pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memenangkan Anda atas musuh-musuh Anda. Jangan sampai Sulaiman membuatmu takut dan cemas.” (Ibnu Bisyr: Unwanul Majdi, 1/10).
Utsman kembali mengirim surat, “Sulaiman memerintahkan untuk membunuhmu. Dan kami tidak mampu menyelisihinya dan melawannya dalam peperangan. Bukanlah sifat terpuji dan terhormat kalau sampai kami membunuhmu di negeri kami. Karena itu, urusanmu dan dirimu adalah tanggung jawabmu. Pergilah dari negeri kami.” (Muhammad Ahmad Darniqah: asy-Syaih Muhammad bin Abdul Wahhab Ra-idu-d Da’watu-s Salafiyah fi-l ‘Ahsri-l Hadits, Hal: 37).
Utsman, seorang pemimpin yang semula taat itu akhirnya jatuh pada fitnah dunia. Fitnah inilah yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak kesempatan,
وَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Tapi aku menghawatirkan kalau dunia itu dibuka lebar-lebar untuk kalian seperti dibukakan kepada orang sebelum kalian. Lalu kalian berlomba-lomba mengejarnya seperti orang sebelum kalian berlomba-lomba. Kalian binasa sebagaimana mereka binasa.” (HR. al-Bukhari dari Amr bin Auf dalam Kitab al-Maghazi, 3791 dan Muslim dalam Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaiq, 2961).
Dalam kesempatan lain, Nabi menyebutkan bahwa ujian harta adalah ujian yang paling sulit bagi umat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat itu ada ujiannya. Dan ujian (terberat) umatku adalah dalam permasalahan harta.” (HR. at-Turmudzi dari Ka’ab bin Iyadh dalam Kitab az-Zuhd 2336)
Karena fitnah harta ini pula, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab diusir dari Uyainah. Harapannya terhadap Ibnu Ma’mar buyar. Jalan dakwah yang ia rintis bersamanya, tiba-tiba tergadai begitu saja. Persahabatan keduanya sirna karena harta. Bersamaan dengan itu, ia senantiasa mengulangi membaca ayat:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” [Quran Ath-Thalaq:2-3].
Ia berjalan kaki keluar dari Uyainah. Sementara seorang penunggang kuda mengintainya. Untuk membunuhnya atas perintah Ibnu Ma’mar. Tangan si algojo ini gemetar dan Allah menjaga Syaikh dari niat jahatnya (Alu Buthomi: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 33).
Baca juga: Jejak Wahabi, dari sayap kanan hingga Perang Padri
Pertolongan Dari Dir’iyyah
Setelah terusir dan dikhianati di Uyainah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pergi menuju Dir’iyyah. Saat itu tahun 1157 M, Dir’iyyah dipimpin oleh Muhammad bin Saud. Di Dir’iyyah, Syaikh bertamu di rumah Abdullah bin Suwailim dan Ahmad bin Suwailim. Dua orang ini merupakan kerabat sekaligus muridnya. Awalnya kedua orang ini takut kalau Amir Muhammad bin Saud akan menyakiti atau menghukum mereka karena menerima Syaikh sebagai tamu (Ibnu Bisyr: Unwanul Majdi, 1/11).Tapi Syaikh meyakinkan mereka dengan pertolongan dan penjagaan Allah. Ia berkata kepada mereka, “Allah akan menjadikan untuk aku dan kalian jalan keluar.” (Ibnu Bisyr:Unwanul Majdi, 1/11).
Pemimpin Dir’iyyah, Muhammad bin Saud, memiliki dua orang saudara; Tsunyan dan Misyari. Keduanya telah mendengar dan menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab. Ibnu Saud juga memiliki seorang istri yang cerdas dan religius. Namanya Maudha binti Abi Wahthan rahimahallah. Sang istri juga meyakini bahwa materi dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ajaran pemurnian Islam. Kedua saudara Muhammad bin Saud datang menemuinya dan mengatakan, “Laki-laki ini (maksudnya Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah ‘durian jatuh’ yang Allah berikan padamu. Manfaatkanlah apa yang khusus Allah anugerahkan padamu ini (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24).
Keduanya memotivasi Muhammad bin Saud untuk menyambut kedatangan Muhammd bin Abdul Wahhab. Muhammad bin Saud juga dikenal sebagai seorang yang berakhlak baik dan mudah dalam menerima kebenaran. Tak menunggu lama, ia segera pergi bersama dua orang saudaranya menemui Muhammad bin Abdul Wahhab di rumah Ahmad bin Suwailim.
Ibnu Saud mengucapkan salam dan menunjukkan penghormatannya. Ia kabarkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ia akan membelanya seperti membela istri-istrinya dan anak-anaknya. Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan materi dakwahnya. Semuanya adalah apa yang diajarkan dan didakwahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Yang ia ajarkan adalah apa yang Rasulullah perintah dan larang. Ia jelaskan bahwa bid’ah dalam agama adalah kesesatan. Ia juga sampaikan bahwa Allah akan memuliakan orang-orang yang berjihad. Dan persaudaraan yang hakiki hanyalah dengan Islam. Setelah Muhammad bin Saud mengetahui apa itu tauhid. Mengetahui juga maslahat yang dibawanya di dunia dan akhirat. Ia berkata kepada Syaikh, “Syaikh, sesungguhnya agama Allah dan Rasul-Nya ini tak ada keraguan di dalamnya. Bergembiralah dengan pertolongan untukmu dan untuk apa yang kau dakwahkan. Dan jihad bagi mereka yang menyelisihi tauhid.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 87).
Allah membuat dada Muhammad bin Saud lapang menerima dakwah Muhammad bin Abdul Wahhb. Tidak hanya menerima, bahkan ia nyatakan sikap tegas untuk membantunya dan melawan mereka yang menentangnya. Namun, Ibnu Saud memberikan dua syarat. Pertama: Muhammad bin Abdul Wahhab harus berjanji agar tidak menikungnya (merebut kekuasaannya) jika Allah telah memenangkannya dan mengokohkan dakwahnya. Kedua: Syaikh tidak boleh melarangnya memungut pajak bumi (kharaj) yang telah ia tetapkan untuk penduduk Dir’iyyah di waktu panen.
Syaikh menanggapi, “Poin pertama, darah dengan darah. Pengkhianatan dibalas kehancuran. Dan poin kedua, aku berharap Allah memberikan kepadamu penaklukkan. Dan memberikan padamu banyak ghanimah. Dan itu lebih baik dari kharaj tersebut.”
Artinya, Syaikh menyepakati poin pertama dan menolak poin kedua. Perhatikanlah akhlak beliau. Beliau tolak dengan sopan. Bahkan dengan optimisme, harapan, dan doa agar diberikan yang lebih baik. Beliau tidak membenarkan pajak tersebut. Beliau tidak menoleransi kesalahan walaupun dalam keadaan membutuhkan bantuan. Beliau bukanlah penjilat yang menghalalkan segala cara untuk mendapat simpati. Memaklumi kesalahan demi tercapai tujuan dakwah. Tidak.
Muhammad bin Saud pun membaiat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk sama-sama berdakwah kepada Allah. Berjihad di jalan-Nya. Berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beramar makruf nahi mungkar. Dan menegakkan syariat Allah di tengah masyarakat (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 88).
Setelah peristiwa pembaiatan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tinggal selama dua tahun di Dir’iyyah. Ia berdakwah dan membimbing masyarakat di sana. Dalam masa itu pula datang orang-orang dari Uyainah yang juga mendukung dakwahnya. Di anatara mereka: Abdullah bin Muhsin. Kemudian dua orang saudaranya; Zaid dan Sulthan alu Ma’mar. Hadir pula Abdullah bin Ghanam dan saudaranya Musa. Bersama mereka juga turut hijrah tokoh-tokoh keluarga Ma’mar yang berbeda pendapat dengan Utsman bin Ma’mar di Uyainah. Selain itu datang juga utusan-utusan dari penjuru wilayah Nejd.
Penduduk Dir’iyyah yang terdepan dalam mendukung dakwahnya adalah Tsunyan bin Saud, Misyari bin Saud, Farhan bin Saud, Syaikh Ahmad bin Suwailim, Syaikh Isa bin Qasim, Muhammad al-Hazimi, Abdullah bin Dughaitsir, Sulaiman al-Wusyaiqiri, Hamd bin Husein, dan saudaranya Muhammad bin Husein, dll. Seorang orientalis, Harry St John Bridger Philby, menyebut mereka dengan mengatakan, “Mereka ini adalah tokoh-tokoh utama wahabi. Nama-nama mereka disebutkan dengan pemuliaan. Anak keturunan mereka mendapat penghormatan dan pemuliaan di istana kerajaan.”
Penyesalan Utsman bin Ma’mar
Perkembangan pesat dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terdengar oleh Utsman bin Ma’mar, pemimpin Uyainah. Ratusan orang telah mengikuti dakwahnya. Utsman pun menyesali apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Ia telah menodai hak Syaikh Muhammad. Akhirnya, ia datang menemui Syaikh dengan membawa para pembesar Uyainah. Ia meminta maaf. Dan memintanya agar bersedia kembali ke Uyainah. Syaikh menjawab bahwa ia telah berjanji untuk bersama Muhammad bin Saud. Janji wajib ditunaikan. Muhammad bin Saud pun menolak kalau Syaikh kembali ke Uyainah. Utsman pulang dengan kecewa. Ia telah menyia-nyiakan kebaikan yang ada di tangannya (Alu Abu Thami: asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyah, Hal: 24-25).
Dakwah semakin tersebar. Para pelajar pun berdatangan menuju Dir’iyyah untuk menimba ilmu dari Syaikh. Mereka mempelajari ilmu akidah, Alquran, tafsir, fikih dan ushul fikih, hadits dan mustholahnya, ilmu-ilmu Bahasa Arab dan sejarah, dll.
Dir’iyyah Ibu Kota Dakwah
Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membawa berkah bagi Dir’iyyah. Bukan hanya bagi penduduknya, tapi juga bagi kehidupan kota itu sendiri. Bukan hanya dari sisi religius, tapi juga dari sisi duniawi. Kota itu menjadi hidup dengan banyaknya orang datang untuk belajar. Geliat aktivitas ekonomi tumbuh seiring kedatangan para perantau. Tata hukum yang menggunakan pemahaman Asy’ariyah diganti dengan hukum Islam yang berlandaskan Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pajak dihapuskan dan zakat dihidupkan. Kekacauan pun berganti keamanan. Budaya pengajian agama semakin semarak.
Di saat itu pula Dir’iyyah memerangi buta huruf. Diharuskan bagi masyarakat untuk belajar membaca dan menulis berapapun usia mereka. Betapapun tinggi kedudukan mereka. Harus sama-sama duduk belajar. Masyarakat juga diajarkan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan dalam agama dengan pengkajian yang mendalam. Semangat jihad dihidupkan. Pemikiran-pemikiran khurofat, semangat ibadah tanpa dalil, dan budaya taklid diberangus. Sebagai gantinya, ditumbuhkanlah pemahaman Islam yang sahih. Sebagaimana pemahamannya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keadaan Dir’iyyah kala itu mengingatkan kita akan momen-momen saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya membangun Kota Madinah setelah hijrah (Muhammad Hamin al-Faqi: Atsar ad-Da’wah al-Wahabiyah, Hal: 6-7).
Berjihad
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak hanya berdakwah dengan ceramah dan menulis buku. Tapi ia juga menempuh metode nabawi dengan cara surat-menyurat. Ia kirimi surat kepada kepala daerah, negara, dan kabilah tetangga. Menyeru mereka untuk menauhidkan Allah. Berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan yang tersebar di tengah mereka. Beliau jelaskan dengan dalil-dalil yang mudah ditangkap. Yang bersumber dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Respon mereka terhadap dakwah tersebut beragam. Bahkan sampai ada yang menuduh beliau mengkafirkan kaum muslimin. Tidak cukup dengan tuduhan, mereka nyatakan permusuhan. Mereka siapkan pasukan untuk memerangi dakwahnya. Hal ini karena kemarahan mereka saat melihat sebagian kabilah menerima dakwahnya.
Muhammad bin Abdul Wahhab tidak meragukan kesungguhan Muhammad bin Saud dalam memperjuangkan dakwah sunnah. Namun, ia belum mengetahui bagaimana keadaannya kalau harus sampai berperang. Akhirnya ujian ini datang, musuh menantang untuk berperang. Dan Muhammad bin Saud tetap memegang teguh janjinya. Membela dakwah tauhid ini. Padahal Dir’iyyah adalah negeri kecil. Penduduknya tidak lebih dari 1000 orang. Jumlah rumah yang ada di sana tidak lebih dari 70 rumah. Meskipun sedikit, tapi mereka tetap berani membela akidah yang benar.
Tidak menunggu lama, hanya dua tahun saja Syaikh tinggal di Dir’iyyah, kampung tersebut diserang oleh negeri-negeri lainnya. Jihad pun dimulai sejak tahun 1160 H. Mereka menghadapi Diham bin Duwas yang memimpin penduduk Riyadh dan Duba. Dalam pertempuran ini, dua orang purta Muhammad bin Saud, Faishal dan Saud, gugur.
Masa Kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud
Muhammad bin Saud terus menunjukkan loyalitasnya terhadap dakwah tauhid. Ia menghadapi musuh-musuh dakwah dengan kekuatannya hingga ia wafat pada tahun 1179 H. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Kepemimpinan pun diserahkan kepada putranya, Abdul Aziz. Abdul Aziz tetap meneruskan perjuangan sang ayah. Setiap permasalahan yang ia hadapai, selalu ia ajak Muhammad bin Abdul Wahhab diskusi untuk mencari solusi. Bahkan ia tidak akan memutuskan suatu masalah kecuali dengan persetujuan Syaikh (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 96-97).
Peperangan dengan Riyadh dan wilayah-wilayah yang memusuhi dakwah terus berlangsung hingga di masa pemerintah putra Muhammad bin Saud, Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Hingga akhirnya setelah kurang lebih 30 tahun berperang dengan Riyadh, Abdul Aziz bin Muhammad berhasil menalukkan Riyadh pada tahun 1187 H. Setelah berhasil menaklukkan Riyadh, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengirim surat kepada Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud. Isi surat tersebut sebagai berikut:
أُحِبُّ لك ما أحبُّ لنفسي، وقد أراك الله في عَدُوِّك ما لم تؤمِّل، فالذي أراه لك أن تُكثر من قول الحسن البصري؛ كان إذا ابتدأ حديثه يقول: اللهم لك الحمد بما خلقتنا ورزقتنا وهديتنا وفرَّجْتَ عنَّا، لك الحمد بالإسلام والقرآن، ولك الحمد بالأهل والمال والمعافاة، كبَّتَّ عَدُوَّنَا، وبسطت رزقنا، وأظهرتَ أمننا، وأحسنتَ معافاتنا، ومِنْ كل ما سألناك ربنا أعطيتنا، فلك الحمد على ذلك حمدًا كثيرًا طيِّبًا حتى ترضى، ولك الحمد إذا رضيت.
Aku menyukai hal-hal baik untukmu sebagaimana aku suka kalau hal itu untukku. Dalam permasalahan musuh-musuhmu ini, Allah telah menunjukkan padamu sesuatu yang tak pernah kau bayangkan. Menurutku, sepantasnya Anda memperbanyak ucapan seperti yang diucapkan Hasan al-Bashri, ‘Ya Allah, untukmulah pujian karena Engkau telah menciptakan kami. Memberi kami rezeki. Memberi kami hidayah. Memberi kami jalan keluar. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat Islam dan Alquran. Untuk-Mu-lah pujian atas nikmat keluarga, harta, dan kesehatan. Engkau kalahkan musuh kami. Engkau lapangkan rezeki kami. Engkau berikan kami keamanan. Engkau sempurnakan kesehatan kami. Dan segala puji bagi-Mu hai Rab kami, atas segala permintaan yang kami ajukan dan Kau kabulkan. Segala puji bagi-Mu pada semua itu. Pujian yang banyak dan yang baik sampai Kau meridhainya. Dan segalah puji juga bagi-Mu yang telah meridhainya’.” (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 139).
Surat ini mengandung pelajaran akidah yang agung. Syaikh mengajarkan hanya kepada Allah sematalah rasa syukur diajukan. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam nikmat besar kemenangan ini. Beliau ajarkan ini sebagai praktik dari apa yang dipelajari selama ini. Jangan sampai rasa bangga diri sempat masuk di hati Abdul Aziz. Karena itu, ia nasihati langsung setelah Abdul Aziz dikaruniai kemenangan besar.
Musuh lainnya adalah Urai’ir bin Dujain, penguasa Ahsa’. Sebelumnya, pada tahun 1172 H, Urai’ir berhasil menaklukkan Huraimila. Urai’ir dikenal sebagai seorang yang bengis. Kalau dia membunuh, maka semua orang yang terlibat melawannya akan ia habisi walaupun sudah menyerah. Ia senantiasa mengintai Dir’iyyah dan menunggu kesempatan untuk menyerang wilayah kecil itu.
Pada tahun 1178 H, ia memimpin pasukan besar menuju Dir’iyyah. Banyak penduduk desa-desa dan kota-kota bergabung dengannya menuju ibu kota dakwah tauhid itu. Setiap pasukan ini melewati kampung atau kabilah, maka semuanya mendukung pasukannya. Dir’iyyah pun dikepung selama 20 hari bahkan lebih. Namun, pasukan-pasukan dakwah memberikan perlawanan dan tak mau menyerah. Sampai akhirnya Allah memasukkan rasa takut di dada-dada pasukan Urai’ir. Berkat pertolongan Allah, mereka pun berbalik mundur dan menderita kerugian (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 94-96).
Muhammad bin Abdul Wahhab dan Saudaranya, Sulaiman
Sebagaimana yang masyhur, dan sempat kita singgung di awal tulisan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab berselisih paham dengan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Wahhab. Perselisihan ini muncul karena tuduhan-tuduhan bohong dan hasad kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Biasanya para penentang dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab akan membawakan kisah perseteruannya dengan saudaranya, Sulaiman. Agar terkesan dakwah ini tertolak sejak awal. Namun mereka menutupi apa yang terjadi antara keduanya di kemudian hari. Pada tahun 1190 H, Sulaiman bin Abdul Wahhab rujuk dari kesalahannya atas saudaranya. Ia menulis sebuah risalah yang juga sudah dicetak dengan judul ash-Shawa-iq al-Ilahiyah fi ar-Raddi ‘ala al-Wahabiyah. Musuh-musuh dakwah tauhid tutup mulut, tak pernah menyebut risalah ini. Mereka malu untuk menyebutkan fakta sejarah tentang rujuk dan taubatnya Sulaiman bin Abdul Wahhab atas tuduhannya terhadap saudaranya (an-Nadwi: Muhammad bin Abdul Wahhab, Hal: 61).
Para musuh dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab sadar, dakwah ini terus besar dan tumbuh. Sulit bagi mereka menghadapinya dengan kekerasan. Karena itu, mereka menempuh cara lainnya. Mereka membuat-buat fitnah jahat atas nama Muhammad bin Abdul Wahhab. Di antara mereka yang menempuh cara itu adalah Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim. Ia kirim surat berisi fitnah ke Ahsa dan daerah-daerah di Teluk. Dan tuduhan itu dibantah oleh Syaikh dengan risalah-risalah yang berisikan argumentasi yang kuat. Selain Sulaiman bin Muhammad, banyak para penguasa dan pemimpin Arab yang turut serta memfitnah dakwah Muhammad bin Abdullah Wahhab. Mereka lakukan itu untuk menjaga kelanggengan kekuasaan mereka (Ibnu Ghanam: Tarikh Najdi, Hal: 80-85).
Akhlak dan Ibadah Muhammad bin Abdul Wahhab
Di antara kebiasaan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah menghidupkan sebagian besar waktu malam untuk mengerjakan shalat. Ia adalah seorang yang tenang dan teliti dalam memutuskan hukum. Tidak mengedepankan hawa nafsu dari wahyu. Kalau ia mendapati ada keterangan dari Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu permasalahan, ia berpegang pada keduanya dan tidak condong pada selainnya. Kalau tidak mendapati keterangan dari Alquran dan hadits, ia merujuk kepada pendapat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad). Kemudian mengkajinya, mana yang lebih mendekati Alquran dan sunnah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang zuhud dan afif(menjaga kehormatan diri). Seorang dermawan yang tak pernah menolak orang yang meminta. Meskipun harta Baitul Mal berlimpah, ia tidak sembronodalam mengelolanya. Ia tetap makan dari hasil yang halal. Bahkan ia memiliki utang yang besar untuk membiayai hidup para pelajar. Pernah ada sejumlah perantau yang hendak belajar padanya, kemudian ia menanggung utang yang banyak demi memberikan perbekalan dan mencukupi kebutuhan mereka. Ia juga terbiasa mencukupi kebutuhan para musafir. Saat Kota Riyadh dikuasai, ia menghabiskan 40.000 Najdiah untuk menghidupi kebutuhan orang-orang miskin (Ibnu Bisyr: Unwanul Najdi, 1/15).
Wafatnya
Setelah menempuh perjalanan panjang, berjihad dalam menuntut ilmu dan mendakwahkannya. Berjihad membela tauhid dan menghadapi para penentangnya. Allah mewafatkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pada hari Senin akhir bulan Syawwal 1206 H. Saat itu usianya menginjak 92 tahun. Ia habiskan lebih dari separuh usianya, lebih dari 50 tahun, untuk berdakwah dan membimbing masyarakat. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas. Memasukkannya ke dalam surga. Dan membalas jasa-jasanya dengan balasan yang terbaik.
Diterjemahkan dari https://islamstory.com/ar/artical/22263/الامام-محمد-بن-عبد-الوهاب
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Sumber: https://kisahmuslim.com/