Gerakan anti-Wahabi (Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah) terus bermunculan di berbagai wilayah Indonesia, walaupun kaum Islam puritan menganggap istilah itu tidak tepat dan menghina. Bagaimana ajaran Wahabi masuk ke Indonesia dan siapa sosok Muhammad bin Abdul al-Wahhab?
Istilah Wahabi acap berseliweran di hadapan kita, tetapi belum tentu diantara kita tertarik untuk mengetahui siapa Muhammad bin Abdul al-Wahhab (1703-1792) - sosok di balik istilah Wahabi.
Cendekiawan muslim Fazlur Rahman, dalam buku Islam (1984) mendeskripsikan ajarannya sebagai "sayap kanan ortodoksi yang ekstrim" di wilayah Arabia tengah.
Dibayang-bayangi ajaran Ibnu Taimiyah (wafat 1328) dan dibesarkan dalam tradisi kaum Hanbali, "dialah (Wahhab) pencetus gerakan pemurnian," kata Fazlur.
Walaupun sempat terusir oleh pasukan Turki Utsmani, keturunan keluarga Saud merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Kelak lahirlah kerajaan Saudi Arabia pada 1932 yang didasarkan "cita-cita Wahabi".
Para sejarawan menulis kemunculan gerakan pemurnian yang dicetuskannya tidak terlepas dari sisa-sisa situasi ketegangan-ketegangan antara Islam ortodoks dan Sufisme akhir zaman pertengahan.
Puncaknya adalah ketika kaum ortodoks bangkit di provinsi Kerajaan Utsmani karena krisis yang dihadapi Islam di masa itu, tulis Fazlur.
Dan, "dia percaya bahwa krisis saat itu paling baik dihadapi dengan kembali secara fundamental kepada Alquran dan Sunnah," demikian analisa Karen Armstrong dalam buku Sejarah Islam (2014).
Saat itulah, sebuah sekte baru Islam telah lahir yang menyatakan bahwa mereka kembali kepada "semangat sejati" Nabi Muhammad.
Wahhab pun mengutuk kepercayaan populer pada kekuatan para wali sebagai wasilah (perantara) dan mengutuk pemujaan kaum Syiah terhadap makam para Imam.
"Ajaran Wahabi percaya bahwa krisis saat itu paling baik dihadapi dengan kembali secara fundamental kepada Alquran dan Sunnah," demikian analisa Karen Armstong dalam buku Sejarah Islam (2014).
Sejumlah catatan juga menunjukkan dia menolak otoritas apapun dari mazhab-mazhab klasik dalam Syariat Islam serta menyatakan bahwa gerbang ijtihad (penalaran bebas) telah dibuka kembali.
"Taklid (ketaatan penuh pada guru syariah) dikutuknya," kata Armstrong.
Dalam perjalanannya, dia kemudian menjalin hubungan dengan kepala suku setempat, Saud, yang kemudian menerima pandangan-pandangan keagamaannya.
"Dari tempat itulah, gerakan Wahabi meluas secara militer dari Najd ke Hijaz dan kota suci Mekkah dan Madinah pun jatuh ke kekuasaan Wahabi," kata Fazlur Rahman.
Walaupun sempat terusir oleh pasukan Turki Utsmani, keturunan keluarga Saud merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Kelak lahirlah kerajaan Saudi Arabia pada 1932 yang didasarkan "cita-cita Wahabi".
Antropolog Akbar S Ahmed, penulis buku Living Islam (1997), mengatakan, Arab Saudi yang didominasi ajaran Wahabi, memiliki penduduk sedikit yaitu sekitar sepuluh juta, namun pengaruhnya sangat besar.
Mengapa? "Karena penghasilan sumber minyaknya dan perannya sebagai penjaga kota-kota suci Mekkah dan Madinah," kata Akbar S Ahmed.
Akbar kemudian mengkritik sekte ekstrim Wahabi yang "menghasilkan kekakuan yang tidak memungkinkan penjelasan alternatif".
Benarkah Wahabi menghalalkan kekerasan?
“Wahabi bukan teroris, Wahabi antiteror tetapi ajarannya satu digit lagi jadi teroris," demikian Ketua Pengurus besar Nahdlatul Ulama (NU), Said Agil Siraj, dalam berbagai kesempatan.
Said Agil mencontohkan tiga murid salah satu pesantren di Cirebon - yang disebutnya beraliran Wahabi - menjadi pelaku bom bunuh diri masing-masing di Masjid Kantor Polresta Cirebon, bom di JW Marriot dan Gereja Bethel di Solo.
Baca juga: Jaringan dan Aksi Terorisme di Indonesia
Pernyataan Said Agil ini kontan saja melahirkan polemik, sekaligus membuat orang awam bertanya-tanya: seperti apa ajaran yang diusung Muhammad ibn Abdul al-Wahhab pada awalnya?
Menurut Karen Armstrong, dalam buku Sejarah Islam (2014), ketika berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Utsmani yang berpusat di Istanbul, Muhammad ibn Abdul al-Wahhab menyatakan bahwa karena Sultan Utsmani "tidak sejalan dengan visinya tentang Islam yang benar", maka mereka "murtad dan layak dihukum mati."
Dalam perkembangannya, masih menurut Armstrong (Holy War, 1988), kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Perang Suci, "teknik agresifnya (Muhammad ibn Abdul al-Wahhab) akan digunakan oleh beberapa fundamentalis pada abad keduapuluh, periode perubahan dan kerusuhan yang bahkan lebih besar".
Adapun pemikir Islam asal Pakistan, Fazlur Rahman (Islam, 1984) mengatakan, gerakan dakwah Ibnu Abdul Wahhab di masa hidupnya melahirkan kekerasan dan penggunaan kekuatan militer yang besar.
"Himbauan untuk melaksanakan pembaharuan ini lewat kekuataan bersenjata (jihad) jika perlu," tulis Fazlur Rahman menyebut salah-satu ciri gerakan Wahabi, dalam buku Metode dan alternatif Neomodernsime (1993).
Dalam sejarahnya, menurut Karen Armstrong, kaum Wahabi pada 1803 menyerang makam cucu Nabi Muhammad, Husein di Karbala (kini wilayah Irak), atas dasar bahwa makam itu dijadikan "penyembahan berhala yang penuh takhayul".
Pertanyaannya, kemudian apakah metode agresif ini juga dipraktekkan ketika ajaran Wahabi ini sampai ke wilayah Nusantara?
Pengamat masalah keislaman Azyumarzd Azra, melalui bukunya Jaringan ulama Timteng dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII (2013), menemukan bukti-buktinya.
Pengamat keislaman Azyumardi Azra mengatakan, sebagian ulama di Sumatera Barat pada 1800-an, "memilih pendekatan lebih radikal dan melancarkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau menerima ajaran-ajaran mereka."
"Dalam kasus wilayah Melayu-Indonesia, gagasan-gasasan pembaharuan yang disebarkan para ulama sebelumnya menemukan ekspresi yang radikal dalam gerakan Paderi," tulisnya.
Walaupun kebanyakan ulama saat itu mendukung pendekatan evolusioner terhadap pembaharuan, lanjut Azra, sebagian mereka "memilih pendekatan lebih radikal dan melancarkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau menerima ajaran-ajaran mereka."
Peneliti Howard Federspiel, melalui buku Labirin Ideologi Muslim (2004), yang meneliti tentang organisasi Persis (Persatuan Islam), mengungkapkan, Wahabisme diusung ke Sumatera oleh para haji yang "menghasilkan gerakan Paderi".
Menurutnya, upaya penyebaran keyakinan ajaran Wahabi itu dilakukan "melalui aksi militan" di berbagai masyarakat di Nusantara pada tahun 1800-an.
Kapan dan bagaimana Wahabi masuk Indonesia?
"Perjalanan haji mereka bersamaan dengan dikuasainya Mekkah oleh kaum Wahabi," tulis Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII (2013).
Karena itu, "cukup beralasan jika mereka - Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang - dianggap dipengaruhi ajaran-ajaran Wahabi."
Pengaruh itu terlihat dari penentangan terhadap bid'ah, penggunaan tembakau, dan pemakaian baju sutra. "Mereka usahakan pula untuk menyebarkannya secara paksa di wilayah Minangkabau," tulis Azra.
Seperti kemudian tercatat dalam sejarah, ketiga haji itu dan sosok Tuanku Nan Renceh - didukung kaum Paderi - memaklumkan jihad melawan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti ajaran-ajaran mereka.
"Akibatnya, perang saudara meletus di tengah masyarakat Minangkabau," ungkap Azyumardi. Atas campur tangan kolonial Belanda, perang Paderi itu berakhir pada penghujung 1830-an.
Namun demikian, menurut Azyumardi, pembaharuan dalam jaringan ulama tidak selalu seragam. "Kebanyakan ulama mendukung pendekatan evolusioner terhadap pembaharuan," katanya.
Walaupun Gerakan Paderi merupakan salah-satu tonggak utama gerakan pembaharuan, lanjutnya, penyebaran pembaharuan Islam di Nusantara sepanjang abad 17 dan 18 tidak lantas berarti "tradisi kecil" Islam di bagian dunia Islam menjadi sepenuhnya sesuai dengan ''tradisi besar".
"Dan ini merupakan alasan penting bagi kelanjutan usaha untuk memperbaharui kembali keyakinan dan praktik kaum Muslim pada periode selanjutnya," tulis Azyumardi.
Pada tahun 1920-an, isu Wahabi muncul kembali dalam wacana keislaman di Nusantara, ketika ketika kekuasaan Wahabi-Saudi bangkit lagi dan kembali menguasai Mekkah dan Madinah.
"Ketika itulah, kaum Muslimin Indonesia merasa ini 'gawat kalau begini', sehingga para ulama Indonesia membentuk Komite Hijaz, yang terdiri Muhammadiyah dan kiai-kiai dari pesantren, pada 1924," kata Azyumardi dalam wawancara dengan saya, akhir April lalu.
Mereka kemudian mengirim utusan ke Mekkah dan Madinah untuk meminta kepada penguasa baru di Hijaz supaya jangan memaksakan paham Wahabi.
Baca juga: Ada apa dengan Wahabi?
Hasilnya, lanjutnya, pemerintah Saudi mendengarkan sehingga tidak terjadi penggusuran paham non-Wahabi. "Para jamah haji tetap bisa mempraktekkan Islam yang oleh Wahabi dianggap tidak murni. Misalnya, mengajarkan tasawuf, mengajarkan tarekat, itu tetap masih ada," jelasnya.
Barulah perkembangan baru terjadi pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, yaitu ketika Saudi Arabia mengalami boom minyak.
Menurut Azra, saat itulah mereka melakukan nasionalisasi terhadap lembaga pendidikan islam, termasuk sebuah madrasah yang didirikan orang Indonesia, yaitu Madrasah Darul Ulum di Mekkah.
"Sejak saat itulah, saya kira, tidak ada lagi lokus bagi paham keislaman non wahabi untuk berkembang di Saudi, termasuk halaqah-halaqah yang ada di masjidil haram atau nabawi yang dipimpin kiai atau syeh dari Indonesia, itu sudah ditutup," ungkapnya.
"Jadi, terjadilah penyeragaman pemahaman keagaman di Saudi yaitu menjadi paham Wahabi sejak tahun 1980-an," tambah Azra.
Ketika terjadi penyeragaman penyebaran aliran Wahabi, pemerintah Saudi sangat giat menyebarkan literatur-literatur Wahabi.
"Jadi literatur seperti itulah disediakan dalam terjemahan bahasa Indonesia dan disebarkan kemana-mana, walaupun demikian saya kira pengaruhnya tidak signifikan," katanya.
Alasannya, selain Indonesia memiliki tradisi keilmuan yang cukup terbuka, buku-buku itu tidak bisa masuk ke pesantren-pesantren, karena dianggap tidak cocok.
Azyumardi yakin saat ini tidak banyak orang Muslim Indonesia yang mengadopsi paham Wahabi.
"Tidak ada gejala seperti itu. Walaupun demikian, saya kira masalah Wahabi semakin ramai di Indonesia, terutama dalam konteks konstestasi dengan Iran, dengan Syiah," kata Azyumardi.
Dan kemudian Arab Saudi, yang secara tradisional bermusuhan dengan Iran, melihat upaya penyebaran Syiah di Indonesia juga sangat berbahaya.
"Maka kemudian muncullah bibit-bibit konflik antara Sunni dan Syiah, yang kemudian di belakangnya itu Saudi dan Iran," ujarnya.
Apa komentar mereka yang dicap Wahabi?
Tuduhan penyebar aliran Wahabi pernah diterima oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ali bin Abi Thalib di kawasan Sidotopo, Surabaya utara, awal Februari 2015.
Berawal isi buletin mahasiswanya yang dianggap mencap syirik acara Maulud Nabi, kampus itu didemo warga sekitar yang mengaku resah. Sekolah tinggi itu pun dicap 'kampus Wahabi'.
Sekolah Tinggi Agama Islam Ali (STAI) bin Abi Thalib di kawasan Sidotopo, Surabaya utara, pernah dicap 'kampus Wahabi' oleh para pendemo.
Akhir April lalu, saya mendatangi kampus tersebut dan menemui pimpinannya, Mubarok Ba' Muallim. "Apa yang disebut dengan Wahabi?" kata pria kelahiran 1965 ini dengan nada bertanya, di awal wawancara.
Saya mewawancarai lulusan sebuah perguruan tinggi di Madinah, Arab Saudi ini di ruangan kerjanya yang bersih dan rapi. Saya mesti melepas sepatu.
"Istilah Wahabi itu dibuat oleh Inggris untuk mendeskreditkan orang-orang yang ingin kembali kepada tuntunan semestinya Rasulullah," tandas alumni pondok pesantren Gontor, Ponorogo ini.
Merasa kenyang dicap Wahabi ("Itu istilah yang sulit dihilangkan," katanya), Mubarok kemudian mempersilakan orang luar untuk melihat langsung sekolahnya. "Sekolah kami terbuka, silakan lihat kurikulumnya. Kita akan sampaikan semuanya," katanya.
Mubarok kemudian mengizinkan saya masuk ke ruang perpustakaan. Saya pun memotret suasana perkuliahan di sebuah kelas yang bersih - tanpa ada tempelan apapun di dindingnya, termasuk foto presiden-wapres dan burung Garuda Pancasila.
"Orang yang mau membangun (sistem) khilafah di suatu negeri dalam kondisi kaum Muslimin masih jauh dari tuntutan agama, ibarat mau membangun atap rumah tanpa tiang," kata Mubarok saat saya mintai komentarnya tentang adanya tuntutan pendirian sistem kekhalifahan di Indonesia.
Sebenarnya, tuduhan Wahabi bukan hanya dimonopoli STAI Ali bin Abi Thalib. Pada April 2014 silam, Stasiun radio Suara Hati Muslim di kota Malang, Jatim, juga pernah dicap Wahabi dan dilaporkan ke Komisi penyiaran Indonesia daerah karena dituduh "menyebarkan kebencian".
Seorang ulama bernama Ahmad Zainuddin yang diundang ke Masjid Ridwan, Pamekasan, Madura, awal Maret 2015, juga ditolak massa santri kota itu karena dianggap pernah membid'ahkan acara Maulud - dan kemudian dia dilabeli Wahabi.
Wakil pimpinan ormas Muhammadiyah Pamekasan, Iman Santoso, mempertanyakan kemunculan istilah Wahabi, belakangan ini.
Menurutnya, istilah itu lebih sering digunakan kalau ada pihak-pihak yang berbeda ibadah dan akidahnya. "Itu dijadikan senjata pamungkas, padahal mereka belum paham apa Wahabi dan siapa Wahabi," kata Iman saat saya temui di Pamekasan, akhir April lalu.
Di kota Tegal, Jawa Tengah, seorang dai bernama Khalid Basalamah ditolak untuk berceramah di sebuah masjid di kota itu, 23 April 2016 lalu, karena alasan yang sama. Kalangan yang menolaknya adalah sebagian ulama di kota tersebut.
Khalid Basalamah sendiri, dalam ceramahnya yang diunggah ke Youtube, menganggap istilah Wahabi merupakan istilah yang sengaja diciptakan untuk memecah belah Islam.
"Kalau saya ringkaskan saja langsung, Wahabi itu julukan yang dipakai oleh orang-orang Syi'ah untuk menjauhkan kaum muslimin dari Ahlussunnah, karena Wahabi itu julukan bagi orang yang berpegang kepada sunnah.." Demikian petikannya.
Khalid Basalamah, dalam ceramahnya yang diunggah ke Youtube, menganggap istilah Wahabi merupakan istilah yang sengaja diciptakan untuk memecah belah Islam.
Situs Arrahmah.com (situsnya kaum Takfiri) juga menolak istilah Wahabi. Dalam sebuah artikelnya (22/11/2011), mereka mengatakan istilah itu dimunculkan oleh "orang-orang Eropa dan lawan-lawan politiknya".
Baca juga: Bukti Salafi-Wahabi yang anti terorisme
Para pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab, demikian Arrahmah, lebih senang menyebut dengan al-Muwahhidun (pendukung Tauhid). "Beliau adalah seorang muwahhid, pembaru Islam yang memurnikan aqidah umat dari bahaya syirik," tulis Arrahmah.com.
Adanya anggapan bahwa ajarannya dianggap sebagai pemicu radikalisme, menurut situs ini, sebagai fitnah belaka.
Bagaimanapun menurut pemikir Islam, Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (1984) 'Wahabisme' telah menjadi istilah generik, yang dapat diterapkan tidak hanya kepada gerakan khusus yang dicetuskan oleh Ibnu 'Abdul Wahhab.
"Tapi juga pada semua jenis fenomena yang analog di seluruh dunia Islam yang mencanangkan 'pemurnian' agama dari bid'ah-bid'ah yang merendahkan derajat agama, dan mendesakkan penilaian yang agak bebas dan bahkan orisinal dalam masalah-masalah agama," tulis Fazlur.
Sumber: www.bbc.com/