Oleh Khalid bin Abdur Rahman Al-‘Ik
PENDAHULUAN
Sesuatu yang pasti dan tidak mengandung keraguan sedikitpun ialah bahwasanya manhaj salaf adalah manhaj yang bisa diterima oleh setiap generasi dari masa ke masa. Begitulah kenyataannya di sepanjang sejarah dan kehidupan. Hal itu disebabkan keistimewaan manhaj salaf yang senantiasa secara benar dan mengakar dalam menggali masalah, akuratnya penggunaan dalil (istidlal) berdasarkan petunjuk-petunjuk Qur’aniyah serta kemampuannya menggugah kesadaran, dengan mudah bisa dicapai hingga peringkat ilmu serta keyakinan tertinggi, disamping adanya jaminan keselamatan untuk tidak terjatuh pada kesia-sian, khayalan, atau pada ruwetnya tali temali salah kaprah serta benang-kusutnya ilmu kalam, filsafat dan analogi-analogi logika.
Sesungguhnya manhaj salaf adalah manhaj yang selaras dengan fitrah manusia, sebab ia merupakan manhaj Qur’ani nabawi, Manhaj yang bukan hasil kreasi manusia. Oleh karenanya manhaj ini senantiasa mampu menarik kembali individu-individu umat Islam yang telah lari meninggalkan petunjuk agamanya dalam waktu relatif singkat dan dengan usaha sederhana, apabila dalam hal ini tidak ada orang-orang yang sengaja menghambat dan melakukan perusakan supaya manhaj yang agung ini tidak sampai kepada anggota-anggota masyarakat dan kelompok-kelomok umat.
Untuk itulah kita dapati manhaj salaf selalu cocok dengan zaman dan senantiasa up to date bagi setiap generasi ; itulah “jalannya kaum salaf radhiayallahu ‘alaihim“. Inilah manhaj yang pernah di tempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Di atas manhaj inilah para imam mujtahid, para imam hafizh dan para imam ahli hadits terbentuk. Dengan manhaj inipula orang-orang (dahulu) diseru untuk kembali kepada dienullah, hingga dengan segera mereka menyambut dan menerimanya serta masuk kedalam dienul Islam secara berbondong-bondong.
Seperti halnya manhaj ini dahulu telah mampu menciptakan “umat agung” yang menjadi khaira ummatin ukhrijat lin-naas, sebaik-baik umat yang ditampilkan untuk manusia, maka iapun akan senantiasa mampu berbuat demikian dalam setiap masa. Buktinya .? itu bisa terwujud setiap saat, jika penghambat-penghambat yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan kehidupan manusia hingga kehilangan fitrah lurusnya dihilangkan.
Tentu tidak diragukan lagi, bahwa ajakan untuk mengikuti jejak as-salafu ash-shalih harus menjadi ajakan (dakwah) yang terus menerus dilakukan. Dakwah ini secara pasti akan tetap selaras dengan kehidupan modern, sebab merupakan ajakan yang hendak mengikat seorang mukmin dengan sumber-sumber yang murni dan melepaskan diri dari berbagai belengu taklid yang membuat fanatik terhadap ra’yu (pendapat), kemudian mengembalikannya kepada Kitabullah serta sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَّا حُمِّلْتُمْۗ وَاِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوْاۗ وَمَا عَلَى الرَّسُوْلِ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ
“Katakanlah : ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul ; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang“.[An-Nuur/24:54].
Jadi dakwah salafiyah selamanya bisa selaras bagi pelaku tiap-tiap zaman, karena dakwah salafiyah datang ketengah manusia dengan membawa sumber-sumber minuman rohani yang paling lezat dan murni. Dakwah salafiyah datang dengan membawa sesuatu yang bisa memenuhi kekosongan jiwa dan bisa menerangi relung-relung hati yang paling dalam. Maka dakwah salafiyah ini tidak akan membiarkan jiwa terkuasai oleh ambisi-ambisi hawa nafsu melainkan pasti dibersihkannya, dan tidak akan membiarkan hati tertimpa oleh lintasan kebimbangan sedikitpun kecuali pasti disucikannya, sebab dakwah salafiyah ini tegak berdasarkan i’tisham (berpegang teguh) pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu-as-shalih.
Tiap pendapat orang, bisa diambil atau bisa ditolak kecuali apa yang telah dibawakan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka apa yang dibawa oleh beliau harus diambil dan tidak boleh ditolak, sebab itu ma’shum berasal dari Allah Ta’ala.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى –اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurutkan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya)“.[An-Najm/53:3-4].
Dengan manhaj yang lurus ini, kaum mukminin akan terbebas dari tunggangan-tunggangan hawa nafsu yang telah bertumpuk-tumpuk menunggangi generasi demi generasi.
Manhaj salaf telah secara jelas memasang petunjuk bagi setiap dakwah yang betul-betul ikhlas bertujuan memperbaharui perkara umat yang telah menjadi amburadul, hingga dengannya bisa betul-betul mampu memperbaharui perkara agama ini dalam kehidupannya dan mampu mengencangkan ikatan iman umat berdasarkan dua sumber :”Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya” ditambah dengan kaidah yang sama sekali tidak bisa dikesampingkan, yaitu ” Sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu ash-shalih“.
Setiap dakwah yang dengan dalih apapun berusaha memperlonggar persoalan “ikatan temali yang kokoh” di atas, berarti ia hanyalah dakwah yang terwarnai oleh syubhat-syubhat kesesatan dan ternodai oleh penyimpangan.
Sesungguhnya tauhidul-ibadah yang murni betul-betul untuk Allah Ta’ala, tergantung pada rujukannya kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala befirman:
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَۚ فَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاِنَّمَا عَلٰى رَسُوْلِنَا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang“.[At-Taghaabun/64:12].
Dalam ayat lain Allah berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan“.[An-Nisaa/4:65].
Pada ayat di atas Allah Ta’ala bersumpah dengan Diri-Nya yang Maha Suci bahwasanya tidaklah seseorang beriman sebelum ia menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dalam semua urusan.
Apa saja yang diputuskan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti merupakan kebenaran yang wajib untuk dipatuhi secara lahir maupun batin. Oleh sebab itulah Allah memerintahkan untuk menyerah (taslim) pada putusan Rasul pada firman Allah berikutnya:
ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu (Muhammad) berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya“. [An-Nisaa/4:65].
Dengan demikian, tidak boleh ada sikap enggan, sikap menolak atau sikap menantang terhadap segala yang disunnahkan atau diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala memperingatkan dalam firman-Nya.
وَمَنْ يُّشَاقِقِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya“.[Al-Anfaal/8 :13].
Lalu, apa lagi yang lebih dikehendaki oleh orang-orang modern dewasa ini dibandingkan dengan kemerdekaan aqidah, kemerdekaan jiwa, kemerdekaan individu dan kemerdekaan jama’i (bersama-sama) yang ditumbuhkan oleh sikap mentauhidkan Allah, baik secara rububiyah maupun uluhiyah, kemerdekaan yang ditimbulkan oleh tauhidul-hidayah dan manunggalnya ketaatan serta kepatuhan hanya kepada perintah Pencipta Alam dan perintah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam ?.
Dengan tauhid yang shahih inilah, kaum mukminin akan terbebaskan (merdeka) dari sikap mengekor terhadap setiap orang yang mempunyai kekuatan, dari setiap belengu hawa nafsu dan dari setiap kesempitan taklid yang memenjarakan akal dan mempersempit cara berpikir.
Karena keistimewaan-keistimewaan langka inilah, maka manhaj salaf akan senantiasa selaras dengan tuntutan segala zaman dan akan bisa diterima oleh setiap generasi.
KAIDAH SERTA POKOK-POKOK MANHAJ SALAF
Kaidah-kaidah berikut ini menggambarkan tentang prinsip-prinsip manhaj talaqi (sistem mempelajari, mengkaji dan memahami) aqidah islamiyah, dan tentang pokok-pokok bantahan terhadap aqidah selain Islam melalui dalil-dalil Al-Qur’an serta petunjuk-petunjuk nabawi.
Ketika firqah-firqah mulai bermunculan di tengah barisan kaum muslimin dengan segala pemikirannya yang berbeda-beda dan saling berlawanan, maka masing-masing pelakunya berupaya melakukan pengadaan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi, -yang sebenarnya hanya membebani kebanyakan mereka saja- untuk mempertahankan teori-teori filsafat hasil temuan mereka masing-masing yang mereka yakini kebenarannya. Diantara sejumlah dalil yang mereka kemukakan ialah : mengaku-ngaku sebagai pengikut as-salafu ash-shalih.
Oleh karena itu seyogyanyalah diadakan penjelasan mengenai kaidah-kaidah manhaj salaf, supaya dibedakan antara orang-orang yang sekedar mengaku-ngaku salafi dengan orang-orang yang sebenar-benarnya pengikut as-salafu ash-shalih. (Majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin)
Baca juga: Mengenal Salaf dan Salafi || Mu'tazilah zaman now
- Kaidah Pertama : Mendahulukan Syara atas Akal[1] Kaidah yang paling pertama ialah ittiba’ kepada as-salafu ash-shalih dalam memahami, menafsiri, mengimani serta menetapkan sifat-sifat ilahiyah tanpa takyif (bertanya atau menetapkan hakekat bagaimananya) dan tanpa ta’wil (membuat perubahan lafadz/maknanya), juga dalam menetapkan persoalan-persoalan aqidah lainnya, dan menjadikan generasi pertama sebagai panutan dalam berpikir maupun beramal.
Dari sanalah lahir ciri yang dominan pada pengikut manhaj salaf. Mereka adalah ahlul hadits, para ulama penghafal (hafidz) hadits, para perawi serta para alim hadits yang ittiba’ pada atsar. (Itulah jalannya kaum mukminin). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدٰى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهٖ مَا تَوَلّٰى وَنُصْلِهٖ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk tempat kembali“.[An-Nisaa/4:115].
Jadi mereka berbeda dengan kaum mutakallimin (ahlul kalam), sebab mereka (pengikut manhaj salaf) selalu memulai dengan syara’. kitab was-sunnah, selanjutnya mereka tenggelam dalam memahami serta merenungi nas-nash Al-Qur’an dan sunnah tersebut. Pengikut Manhaj salaf menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan dengan naql (nash) yang shahih. Apabila terjadi pertentangan, maka nash yang shahih harus didahulukan atas akal, sebab nash-nash Al-Qur’an bersifat ma’shum (terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma’shum (terjaga) dari hawa nafsu.
Oleh karenanya sikap mendahulukan Al-Qur’an dan Sunnah atas akal-akal bagi kaum salaf merupakan pemelihara dari perselisihan serta kekacauan dalam aqidah dan agama.
Sesuatu yang masuk akal menurut manhaj salaf adalah sesuatu yang sesuai dengan Al-Kitab was-Sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal (majhul) adalah sesuatu yang menyalahi Al-Qur’an was Sunnah. Petunjuk (hidayah) ialah sesuatu yang selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat melainkan atsar-atsar ini[3].
Prinsip-prinsip aqidah bagi pengikut manhaj salaf nampak jelas pada keimanannya terhadap sifat-sifat dan Asma’ Allah Ta’ala ; tanpa membuat penambahan, pengurangan, ta’wil yang menyalahi zhahir nash dan tanpa membuat penyerupaan dengan sifat-sifat mahluk, tetapi membiarkannya sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Kitabullah Ta’ala serta sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan kaifiyah (hakikat bagaimana)nya mereka kembalikan kepada Dzat yang telah memfirmankannya sendiri[4].
Melalui konteks ini kita mesti paham cara-cara salaf dalam menjadikan akal tunduk kepada nash, baik nash itu berupa ayat Al-Qur’an maupun berupa sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan sebaliknya. Berbeda dengan manhaj kaum ahlul kalam dari kalangan Mu’tazilah, Maturidiyah dan Asy’ariyah yang lebih mendahulukan akal daripada nash. Sedangkan nash mereka ta’wil kan hingga sesuai dengan akal.
Tentu saja hal ini berarti memperkosa nash agar sesuai tuntutan akal. Padahal mestinya hukum-hukum akal-lah yang wajib diserahkan keputusannya kepada nash-nash al-Kitab maupun Sunnah. Jadi, apa saja yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, kitapun harus menetapkannya. Sedangkan apa saja yang dikesampingkan oleh keduanya, kitapun harus menolaknya.
Sesungguhnya, ta’wil menurut kaum ahlu kalam dan kaum filosofis pada umumnya mengandung tuntutan untuk menjadikan akal sebagai sumber syara’, mendahului nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu jika terlihat ada pertentangan antara nash dengan akal, maka mereka akan mendahulukan akal, dan akan segera bergegas melakukan ta’wil terhadap nash tersebut hingga sesuai dengan tuntutan akal. Akan tetapi manhaj salaf kebalikannya, syara’ didahulukan dan akal mengikut kepada syara’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyebutkan bahwa kaum salaf menyerahkan hukum kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Mereka merasa cukup dengan nash-nash tersebut. Mereka jadikan pemahaman-pemahaman akalnya patuh pada nash-nash itu, sebab “akal” menurut Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada sesuatu yang bisa ada jika ada pemilik (pelaku)nya. “Akal” bukanlah dzat yang bisa berdiri sendiri seperti anggapan kaum filosof[5].
Akal tidak mampu meliputi kenyataan-kenyataan yang dijelaskan oleh Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan akalpun tidak kuasa untuk meliputi segenap hakikat alam kongkrit yang telah ditemukan berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah akal itu sendiri. Maka bagaimana mungkin akal akan dapat menjangkau kenyataan alam ghaib ?.
Oleh sebab itulah, wajib hukumnya untuk pasrah kepada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wajib mengimani segala apa yang dinyatakan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik yang menyangkut alam ghaib maupun alam nyata. Lebih khusus lagi ayat-ayat yang menyangkut sifat-sifat ilahiyah, maka kita wajib mengimaninya tanpa ta’wil (mengubah makna atau lafalnya) dan tanpa ta’thil (menolak hakikatnya atau menafikannya). (majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin)
Baca juga: Ajaran Tasawuf Merusak Aqidah Islam
_______
Footnote
[1] Qawa’id al-Manhaj, hal. 187. Dr. Musthafa Helmi, cet. Daar ad-Da’wah, Iskandariyah [
2] ‘Aqa’id as-Salaf, karya Dr. Ali Sami an-Nasysyar, hal.309, cet. Daar al-Ma’arif. Iskandariyah.
[3] Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 309.
[4] Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 3 [5] Majmu’ Fatawa, jilid 9, hal. 279
- Kaidah kedua: Tidak mempertentangkan nash-nash wahyu dengan akal.
Untuk membuktikan hal itu, kita tidak perlu pergi terlalu jauh, lihat saja misalnya, di dalam kitab Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyah bagaimana cara ahlu kalam yang tercermin pada ta’wil nya terhadap sifat istiwa’ dalam firman Allah Ta’ala.
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas “Arsy“.[Thaha/20 : 5].
Dalam kitab ini, istiwa’ di ta’wil-kan dengan taslith al-quwwah wa as-sulthan (menangnya kekuatan serta kekuasaan-Nya)”. Kita perhatikan ta’wil itu berbeda bahasanya dengan ta’wil-nya kaum Asy’ariyah terhadap istiwa’ tersebut yaitu istiila’ (berkuasa), ta’wil yang juga dilakukan oleh kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah. Namun model ta’wil dalam buku Kubra al-Yaqiniyat itu tidak menggunakan istilah istiila, melainkan dengan istilah Taslith al-Quwwah wa as- Sulthan.
Tentu ini merupakan kata-kata yang bejat, sebab konsekwensi dari kata-kata itu menunjukan bahwa ‘Al-Arsy tidak masuk dalam kekuasaan Allah, sebelum Allah ber- ‘istiwa (bersemayam) di atasnya. Penulis buku tersebut (Said Ramdhan al-Buthi, –pen) bisa terperosok pada pemahaman yang rusak.
Hal ini dikarenakan ia tidak ridha terhadap apa yang ditempuh oleh kaum salaf dalam mengimani sifat ‘istiwa. Walaupun sebenarnya hanya mengemukakan pernyataan madzhab khalaf (lawan salaf, pen), yakni orang-orang Asy’ariyah. Akan tetapi kenyataannya ia setuju dengan madzhab tersebut. Hal itu terbukti dengan pernyataannya : “Itulah makna yang jelas, yang bisa dimengerti menurut bahasa Arab“[1]
Selanjutnya ia melegitimasi manhaj kalam dengan pernyataannya sebagai berikut : “Mereka menafsirkan al-Yad (tangan) dalam ayat lain dengan “kekuatan dan kemurahan“, al-‘Ain (mata) dengan “pertolongan dan pemeliharaan“, dan menafsirkan al-Ishba’ain (dua jari-jari) yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya No. 2654, dengan “kehendak dan kekuasaan“. Begitulah seterusnya. Mereka merubah-rubah sifat-sifat Allah Ta’ala tanpa disertai sebuah dalilpun, baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Berdasar inilah, maka salah satu kaidah manhaj salaf ialah menolak ta’wil model ahlu kalam. Dan cukuplah bagi para pengikut manhaj salaf satu ketetapan, yaitu ilitizam kepada perintah Allah Ta’ala berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui“. [Al-Hujuraat/49:1]
Oleh sebab itulah, tiada dijumpai seorangpun di antara mereka yang mempertentangkan nash-nash wahyu dengan akal. Apabila mengetahui suatu perkara dari ajaran agama, maka ia akan melihat kepadanya yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dari sanalah ia belajar, dengannyalah ia berkata, mengenainyalah ia merenung dan berpikir dan dengannyalah ia berdalil.
Berkebalikan dengan manhaj ini, di sana di ujung seberang yang sama sekali berlawanan, berdiri tegaklah para penganut manhaj ilmu kalam yang mempercayakan sandarannya kepada ra’yu (pendapatnya). Sesudah ra’yu, mereka memperhatikan al-Qur’an dan as-Sunnah. Apabila didapati nash-nash tersebut bersesuaian dengan akal, mereka ambil nash-nash itu. Tetapi, jika mereka dapati bertentangan, maka akan mereka singkirkan atau mereka otak-atik dengan ta’wil[2]. (Majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin)
_______
Footnote
[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Dar’u Ta’arudh al-Aql wa an-Naql, jilid 5/382, mengatakan :”Adapun ta’wil dalam arti ‘mengalihkan satu lafal dari kandungan makna yang rajih (benar) menuju kemungkinan makna yang marjuh (tidak rajih/tidak benar), seperti ‘istiwa menjadi istaula, dan seterusnya maka hal ini menurut kaum salaf dan para imam jelas merupakan kebatilan. Hakikatnya tidak ada sama sekali, bahkan hal ini meruapak tahrif (mengubah) kata-kata dari yang semestinya dan termasuk ilhad (ingkar) terhadap Asma’ Allah serta ayat-ayat-Nya.”.
[2] Risalah al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, Ibnu Taimiyah, hal.47.
Baca setelah ini: Pokok-pokok manhaj Salaf #2
Sumber: https://almanhaj.or.id/