Dunia adalah tempat ujian, sedangkan akhirat adalah tempat pembalasan. Oleh karena itu semua orang yang mengaku beriman pasti akan mengalami ujian keimanan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allâh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."[al-‘Ankabut/29: 2-3]
Para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allâh Azza wa Jalla juga mengalami berbagai ujian. Di antara ujian bagi mereka adalah adanya musuh-musuh dari kalangan jin dan manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)." [al-An’am/6: 112]
Baca juga: Muqadimah aqidah Washitiyah (Pujian ulama besar dari berbagai madzhab kepada Ibnu Taimiyah)
Oleh karena itu wajar jika para Ulama’ yang merupakan pewaris para Nabi, juga mendapatkan ujian dengan adanya musuh-musuh yang terus berusaha menghalangi dakwah mereka. Misalnya, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, salah seorang Ulama rabbani abad ke-7. Berbagai fitnah, tuduhan dusta, dan kebohongan-kebohongan, diarahkan kepada beliau. Namun sesungguhnya semua itu pada hakekatnya merupakan kebaikan bagi beliau rahimahullah. Karena kezhaliman yang dilakukan kepada orang pasti ada balasannya. Orang yang dizahlimi akan mendapatkan ganti dari pahala orang yang menzhalimi, atau dosa orang yang dizhalimi itu akan dibebankan kepada orang yang menzhaliminya.
Di antara tuduhan dusta dan penuh fitnah adalah bahwa beliau suka mengkafirkan kaum Muslimin. Salah seorang dari para penuduh itu mengatakan, “Ibnu Taimiyah adalah penyebab kasus pengkafiran terhadap orang yang bertawassul, beristighâtsah dengan Rasûlullâh dan para Nabi, pengkafiran terhadap orang yang berziarah ke makam Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Nabi, serta para Wali untuk bertabarruk.” [Dari buku Ahlus Sunnah Membantah IBNU TAIMIYAH, hlm. 37, penerbit: SYAHAMAH –Press; penyusun: KH. Masyhuri Syahid, MA]
Jika bukan karena rasa khawatir bahwa tuduhan itu akan menyeret banyak orang kepada kesesatan, maka tuduhan itu tidak perlu dijawab. Karena tidak didasari dengan bukti-bukti ilmiyah dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam tulisan-tulisannya. Namun tersebarnya ketidaktahuan terhadap agama dan fanatisme kelompok ditengah masyarakat, menuntut kami untuk berusaha membela kehormatan Ulama yang dicela. Semoga hal itu sebagai pelajaran bahwa tuduhan tanpa bukti, tidak pantas untuk diyakini dan diikuti.
Walaupun tulisan ini belum mencukupi sebagai pembelaan terhadap kehormatan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, akan tetapi seperti dalam sebuah kaidah “Sesuatu yang tidak bisa dilakukan semuanya, tidak lantas kemudian ditinggalkan semuanya.”
PERKATAAN SYAIKHUL ISLAM TENTANG TAKFIR (PENGKAFIRAN)
Banyak sekali perkataan dan penjelasan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahseputar hukum takfîr (mengkafirkan orang lain) dengan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. Inilah di antara mutiara-mutiara perkataan beliau rahimahullah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُكَفِّرَ أَحَداً مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِنْ أَخْطَأَ وَغَلِطَ حَتَّى تُقَامَ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ وَتُبَيَّنَ لَهُ الْمَحَجَّةُ، وَمَنْ ثَبَتَ إِسْلَامُهُ بِيَقِيْنٍ لَمْ يَزُلْ ذَلِكَ عَنْهُ بِالشَّكِّ، بَلْ لَا يَزُوْلُ إِلَّا بَعْدَ إِقَامَةِ الْحُجَّةِ وَاِزَالَةِ الشُّبْهَةِ”
"Tidak ada seorangpun berhak mengkafirkan seorang Muslim lainnya, walaupun dia telah melakukan kekeliruan atau kesalahan, sampai ditegakkan hujjah (argumuen) terhadapnya dan dijelaskan jalan yang benar kepadanya. Orang yang telah berstatus Muslim dengan pasti, maka statusnya itu tidak akan lepas hanya dengan sebab sesuatu yang masih diragukan, bahkan status keislamannya itu tetap melekat padanya sampai hujjah berhasil ditegakkan dan syubhat (kesamaran) telah berhasil dihilangkan”. [Majmû’ Fatâwa, 12/465-466]
Sebuah ucapan mengagumkan, yang menggambarkan kehati-hatian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap orang yang zhahirnya Muslim. Namun orang yang tidak memahami permasalahan ini telah berbicara dalam masalah yang tidak ia ketahui dengan benar, akibatnya Syaikhul Islam rahimahullah dituduh dengan tuduhan dusta yang membahayakan penuduhnya sendiri.
Sesungguhnya orang-orang yang zhahirnya Islam, jika didapati pada mereka unsur kesyrikan atau kekufuran, maka mereka tidak serta merta divonis kafir. Mereka boleh divonis kafir setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yaitu dengan memperhatikan kelengkapan syarat-syarat pengkafiran dan setelah memastikan ketiadaan penghalang untuk menetapkan vonis kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata tentang orang yang meyakini perkataan-perkataan kebatinan yang merupakan kekafiran, tetapi dia jahil, tidak memahami, dan belum ditegakkan hujjah padanya :
فَهَذِهِ الْمَقَالَاتُ هِيَ كُفْرٌ لَكِنْ ثُبُوْتُ التَّكْفِيْرِ فِيْ حَقِّ الشَّخْصِ الْمُعَيَّنِ مَوْقُوْفٌ عَلَى قِيَامِ الْحُجَّةِ الَّتِيْ يَكْفُرُ تَارِكُهَا، وَإِنْ أُطْلِقَ الْقَوْلُ بِتَكْفِيْرِ مَنْ يَقُوْلُ ذَلِكَ، فَهُوَ مِثْلُ إِطْلَاقِ الْقَوْلِ بِنُصُوْصِ الْوَعِيْدِ مَعَ أَنَّ ثُبُوْتَ حُكْمِ الْوَعِيْدِ فِيْ حَقِّ الشَّخْصِ الْمُعَيَّنِ مَوْقُوْفٌ عَلَى ثُبُوْتِ شُرُوْطِهِ وَانْتِفَاءِ مَوَانِعِهِ
Perkataan-perkataan (kebatinan) ini merupakan kekafiran, tetapi kepastian vonis kafir pada diri orang tertentu disyaratkan telah ditegakkannya hujjah yang mana orang yang meninggalkannya menjadi kafir. Walaupun vonis kafir itu disematkan secara umum (digeneralkan) kepada semua orang yang mengucapkan perkataan kufur tersebut, tetapi itu seperti menggeneralkan ancaman dengan menggunakan nash-nash yang berisi ancaman, tetapi kepastian ancaman itu menimpa diri orang tertentu, maka itu tergantung pada terpenuhi syarat-syarat (untuk mendapatkan ancaman itu-red) dan juga tidak ada lagi penghalang[1] nya. [Bugh-yatul Murtab, hlm. 353]
Perkataan Syaikhul Islam rahimahullah ini sangat jelas menunjukkan bahwa ketidaktahuan seseorang terhadap perkara yang bisa menyebabkan kafir menjadi penghalang jatuhnya vonis kafir pada diri orang tersebut, artinya dia tidak boleh di vonis kafir jika dia melakukan itu karena tidak tahu kalau apa yang dilakukan menyebakan kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Pengkafiran terhadap seseorang tertentu dan kebolehan membunuhnya, tergantung pada sampai (atau tidak-red) nya hujjah kenabian, yang barangsiapa menyelisihinya menjadi kafir. Karena tidak setiap orang yang tidak tahu sesuatu dari agamanya ini, lalu menjadi kafir”. [ar-Raddu ‘Alal Bakri, hlm. 258]
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di atas yang menegaskan bahwa tidak semua orang yang tidak tahu perkara yang mengkafirkan itu lantas menjadi kafir, ini berdasarkan banyak dalil. Di antaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ قَالَ لِبَنِيهِ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي ثُمَّ اطْحَنُونِي ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ فَأَمَرَ اللَّهُ الْأَرْضَ فَقَالَ اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ فَفَعَلَتْ فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ فَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ قَالَ يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ فَغَفَرَ لَهُ
Dahulu ada seorang lelaki yang menzhalimi dirinya. Ketika kematian mendatanginya, dia berkata kepada anak-anaknya, “Jika aku telah mati, maka bakarlah aku, kemudian gilinglah aku, kemudian taburkanlah aku pada angin! Demi Allâh , jika Rabbku berkuasa terhadapku, sungguh Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang Dia tidak pernah menyiksa kepada seorangpun.” Ketika dia mati, hal itu dilakukan terhadapnya. Maka Allâh memerintahkan bumi, dengan berfirman, “Kumpulkan bagian-bagian tubuh orang itu yang ada padamu”. Maka bumi melakukan (apa yang Allâh perintahkan). Tiba-tiba dia telah berdiri. Maka Allâh bertanya, “Apa yang mendorongmu untuk melakukan perbuatan itu?” Dia menjawab, “Wahai Rabbku, karena rasa takut kepada-Mu”. Maka Allâh mengampuninya. [HR. Bukhari, no. 3481, dan ini lafazhnya; Muslim no. 2756, 2757]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang ini meyakini, jika dia melakukan hal itu, Allâh Azza wa Jalla tidak akan mampu mengembalikan (hidup)nya, dan bahwa Allâh tidak akan mengembalikannya atau dia membolehkan hal itu (mengangapnya mungkin). Dan kedua hal itu adalah kekufuran, akan tetapi karena dia bodoh, al-haq tidak jelas baginya, maka Allâh mengampuni”. [ar-Raddu ‘alal Bakri, I/383, tahqiq: Abdullah bin Dajin as-Sahli]
Pada tempat lain Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan :
فَهَذَا رَجُلٌ شَكَّ فِيْ قُدْرَةِ اللهِ وَفِىْ إِعَادَتِهِ إِذَا ذُرِىَ، بَلِ اعْتَقَدَ أَنَّهُ لَا يُعَادُ وَهَذَا كُفْرٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ، لَكِنْ كَانَ جَاهِلاً لَا يَعْلَمُ ذَلِكَ، وَكَانَ مُؤْمِناً يَخَافُ اللهَ أَنْ يُعَاقِبَهُ، فَغَفَرَ لَهُ بِذَلِكَ وَالْمُتَأَوِّلُ مِنْ أَهْل الْإِجْتِهَادِ الْحَرِيْص عَلَى مُتَابَعَةِ الرَّسُوْلِ أَوْلَى بِالْمَغْفِرَةِ مِنْ مِثْلِ هَذَا
"Laki-laki ini meragukan kekuasaan Allâh Azza wa Jalla , dan ragu kalau dia akan dibangkitkan lagi jika dia telah ditaburkan, bahkan dia yakin bahwa dia tidak akan dibangkitkan ! Ini merupakan kekufuran berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Tetapi, dia bodoh, tidak tahu hal itu, dan dia seorang yang beriman, dia takut Allâh Azza wa Jalla akan menyiksanya, maka Allâh mengampuninya dengan sebab itu. Maka orang yang melakukan ta’wil (salah tafsir) dari (kalangan Ulama) yang berijtihad, yang sangat semangat mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pantas mendapatkan ampunan dari orang tersebut”[2].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Adapun pengkafiran, yang benar adalah bahwa:
- Barangsiapa di antara umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (mencari) dan berniat terhadap al-haq, lalu dia keliru, maka dia tidak dikafirkan, bahkan kesalahannya diampuni.
- Barangsiapa telah jelas baginya apa yang dibawa oleh Rasul (mengetahui dengan jelas-red), lalu dia menentang Rasul setelah petunjuk itu jelas baginya, dan dia mengikuti selain jalan kaum Mukminin, maka dia kafir.
- Barangsiapa mengikuti hawa-nafsunya, kurang giat dalam mencari al-haq, dan dia berbicara tanpa ilmu, maka dia orang yang bermaksiat lagi berdosa”.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahjuga berkata :
وَكُنْت أُبَيِّنُ لَهُمْ أَنَّمَا نُقِلَ لَهُمْ عَنْ السَّلَفِ وَالْأَئِمَّةِ مِنْ إطْلَاقِ الْقَوْلِ بِتَكْفِيرِ مَنْ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا فَهُوَ أَيْضًا حَقٌّ ، لَكِنْ يَجِبُ التَّفْرِيقُ بَيْنَ الْإِطْلَاقِ وَالتَّعْيِينِ . وَهَذِهِ أَوَّلُ مَسْأَلَةٍ تَنَازَعَتْ فِيهَا الْأُمَّةُ مِنْ مَسَائِلِ الْأُصُولِ الْكِبَارِ وَهِيَ مَسْأَلَةُ ” الْوَعِيدِ ” فَإِنَّ نُصُوصَ الْقُرْآنِ فِي الْوَعِيدِ مُطْلَقَةٌ كَقَوْلِهِ { إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا } الْآيَةَ وَكَذَلِكَ سَائِرُ مَا وَرَدَ : مَنْ فَعَلَ كَذَا فَلَهُ كَذَا . فَإِنَّ هَذِهِ مُطْلَقَةٌ عَامَّةٌ . وَهِيَ بِمَنْزِلَةِ قَوْلِ مَنْ قَالَ مِنْ السَّلَفِ مَنْ قَالَ كَذَا : فَهُوَ كَذَا . ثُمَّ الشَّخْصُ الْمُعَيَّنُ يلتغي حُكْمُ الْوَعِيدِ فِيهِ : بِتَوْبَةِ أَوْ حَسَنَاتٍ مَاحِيَةٍ أَوْ مَصَائِبَ مُكَفِّرَةٍ أَوْ شَفَاعَةٍ مَقْبُولَةٍ وَالتَّكْفِيرُ هُوَ مِنْ الْوَعِيدِ . فَإِنَّهُ وَإِنْ كَانَ الْقَوْلُ تَكْذِيبًا لِمَا قَالَهُ الرَّسُولُ ، لَكِنْ قَدْ يَكُونُ الرَّجُلُ حَدِيثَ عَهْدٍ بِإِسْلَامِ أَوْ نَشَأَ بِبَادِيَةِ بَعِيدَةٍ . وَمِثْلُ هَذَا لَا يَكْفُرُ بِجَحْدِ مَا يَجْحَدُهُ حَتَّى تَقُومَ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ . وَقَدْ يَكُونُ الرَّجُلُ لَا يَسْمَعُ تِلْكَ النُّصُوصَ أَوْ سَمِعَهَا وَلَمْ تَثْبُتْ عِنْدَهُ أَوْ عَارَضَهَا عِنْدَهُ مُعَارِضٌ آخَرُ أَوْجَبَ تَأْوِيلَهَا ، وَإِنْ كَانَ مُخْطِئًا
Aku telah menjelaskan kepada mereka, bahwa nukilan yang diriwayatkan dari Salaf yang menyatakan secara umum kufurnya orang yang mengatakan ini dan itu, itu juga benar, tetapi wajib dibedakan antara takfîr (vonis kafir) secara mutlak (umum) dengan takfîr secara mu’ayyan (vonis kafir pada individu tertentu-red). Ini adalah permasalahan pertama yang diperselisihkan oleh umat dalam perkara-perkara prinsip yang besar, yaitu permasalahan ancaman (dari Allâh dan Rasul-Nya-pen).
Sesungguhnya nash-nash al-Qur’an tentang ancaman adalah mutlak (umum; tidak ditujukan kepada orang tertentu-pen), seperti firman Allâh :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." [an-Nisa’/4: 10].
Demikian juga semua ungkapan, “Barangsiapa melakukan ini, maka dia begini”. Ini semua bersifat mutlak, umum. Hal ini sebagaimana perkataan sebagian Salaf, “Barangsiapa mengatakan ini, maka dia begini. Kemudian ada orang tertentu tidak terkena ancaman itu karena sebab taubat, atau sebab kebaikan-kebaikan yang menghapus dosa, atau sebab musibah-musibah yang membersihkan dosa-dosanya, atau sebab syafa’at yang diterima oleh Allâh . Dan takfîr (vonis kafir) itu termasuk jenis ancaman. Walaupun suatu perkataan (yang diucapkan seseorang) itu mendustakan apa yang telah disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi orang yang mengucapkan itu:
- Mungkin baru saja masuk Islam, atau dia hidup di daerah yang jauh (dari ilmu agama). Orang semacam itu tidak menjadi kafir dengan sebab penentangannya, sampai ditegakkan hujjah atas orang tersebut.
- Atau terkadang seseorang tidak pernah mendengar nash-nash (yang mengkafirkan) itu, atau dia telah mendengarnya, tetapi menurutnya tidak shahih, atau padanya ada sesuatu yang menentang nash-nash itu, sehingga menyebabkan dia menta’wilkannya (memberi makna lain), walaupun dia keliru”[4].
هَذَا مَعَ أَنِّي دَائِمًا وَمَنْ جَالَسَنِي يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنِّي : أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مُعَيَّنٌ إلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ ، إلَّا إذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرسالية الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً وَفَاسِقًا أُخْرَى وَعَاصِيًا أُخْرَى وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا : وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَ ائِلِ الْعَمَلِيَّةِ . وَمَا زَالَ السَّلَفُ يَتَنَازَعُونَ فِي كَثِيرٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ وَلَمْ يَشْهَدْ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى أَحَدٍ لَا بِكُفْرِ وَلَا بِفِسْقِ وَلَا مَعْصِيَةٍ
"Inilah, dan orang-orang yang bermajlis denganku mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling keras melarang menuduh orang tertentu dengan kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, kecuali jika telah diketahui bahwa hujjah dari Rasul telah tegak padanya, yang orang menyelisihinya menjadi kafir, atau fasik, atau pelaku maksiat. Dan aku menetapkan bahwa bahwa Allâh telah mengampuni kekeliruan umat ini, dan ini meliputi kekeliruan di dalam perkara-perkara al-khabariyyah al-qauliyyah (yaitu perkara aqidah-pen) dan perkara-perkara ‘amaliyyah (yaitu perkara amalan atau hukum-pen). Dahulu para Salaf selalu berbeda pendapat di dalam banyak dari perkara-perkara ini, tetapi tidak ada seorangpun dari mereka yang menuduh orang lain dengan kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. [Majmu’ Fatawa 3/229]
Setelah semua penjelasan ini, maka selayaknya bagi orang yang menginginkan keselamatan bagi dirinya di dunia dan akhirat untuk menghentikan tuduhan yang tidak benar kepada syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan tidak mudah menerima perkataan orang lain yang menuduh beliau dengan tuduhan yang tidak benar, karena setiap orang akan menghadap Allâh sendirian, dan akan ditanya tentang semua perkataannya. Dan hendaklah kita ingat bahwa daging ulama itu beracun, maka barangsiapa yang menggibahnya, memfitnahnya, atau menghinakannya, maka itu akan mematikan hatinya, dan Allâh pasti akan membela hambaNya yang dizhalimi. Hanya Allâh tempat mengadu.
_______
Footnote
[1] Penghalang, maksudnya faktor yang menyebabkan orang yang melakukan perbuatan kufur atau maksiat tidak bisa dijatuhi vonis kafir atau tidak bisa dikenai siksa-red
[2]. Majmû’ Fatâwâ 3/231