Type Here to Get Search Results !

 


TAUHID SEBAGAI PENGGUGUR DOSA #2

  

Baca sebelum ini: Tauhid sebagai penggugur dosa #1

Keutamaan tauhid tidaklah khusus bagi golongan tertentu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ مُوْسَى: يَا رَبِّ، عَلِمْنِيْ شَيْئاً أَذْكُرُكَ وَأَدْعُوْكَ بِهِ. قَالَ: قُلْ يَا مُوْسَى: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. قَالَ: يَا رَبِّ كُلُّ عِبَادِكَ يَقُوْلُوْنَ هَذَا

”Musa ‘alaihis salaam berkata kepada Rabb-nya, “Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sebuah doa untuk berdoa dan berdzikir kepada-Mu.” Allah berfirman (yang artinya), “Wahai Musa, katakanlah laa ilaaha illallah.” Musa berkata lagi, “Wahai Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini.”

Maksudnya, dia menginginkan sesuatu yang khusus baginya. Musa menyangka terdapat sesuatu yang khusus baginya untuk berdoa dan berdzikir kepada Allah, karena dia merasa sebagai Rasul ulul ‘azmi dan Allah menurunkan kitab Taurat kepadanya.

قَالَ: يَا مُوْسَى، لَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَعَامِرَهُنَّ غَيْرِيْ، وَاْلأَرْضِيْنَ السَّبْعَ فِيْ كِفَّةٍ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فِيْ كِفَّةٍ، مَالَتْ بِهِنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

“Maka Allah berfirman kepadanya (yang artinya), “Wahai Musa, seandainya ketujuh langit dan penghuninya selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada salah satu daun timbangan, sedangkan laa ilaaha illallah poda daun timbangan yang lain, maka niscaya lebih berat timbangan laa ilaaha illallah.” (HR. Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya dan Hakim. Diriwayatkan pula oleh Nasa’i dari Abu Sa’id Al Khudhri radhiyallahu anhu dengan sanad yang hasan. Dinilai shahih oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari. Hadits tersebut memiliki jalur periwayatan yang lain, sehingga keseluruhannya menjadi hasan atau shahih).

Di dalam hadits ini terdapat faidah yang agung. Di dalamnya terdapat penjelasan tentang keutamaan tauhid. Sesungguhnya karena anugerah Allah Ta’ala, kemurahan-Nya, dan karunia-Nya, Allah menjadikan sebuah kalimat agung yang lebih berat dari langit beserta para penghuninya (kecuali Allah, pent.) dan bumi beserta isinya. Allah Ta’ala menjadikannya sebagai kalimat yang mudah bagi semua orang, bagi orang yang ingin mempelajarinya, dan bagi yang mempersaksikannya dengan persaksian yang hak.

Merupakan rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya, yang telah menjadikan rezeki -sehingga mereka dapat menegakkan kehidupannya- yang tidak dikhususkan bagi kelompok tertentu saja. Rezeki yang digunakan untuk menegakkan kehidupan manusia, dapat diraih oleh semua, baik kaya maupun miskin. Misalnya air, biji-bijian, gandum, dan kurma, serta yang lainnya sesuai dengan daerahnya masing-masing, tersebar luas (mudah didapatkan). Tidaklah berjumlah sedikit di suatu daerah sehingga tidak ada yang bisa mendapatkannya kecuali hanya orang-orang kaya atau orang-orang tertentu saja. Merupakan karunia Allah Ta’ala kepada para makhluk-Nya secara umum, Allah menjadikan sesuatu yang mereka butuhkan untuk menegakkan kehidupannya sebagai sesuatu yang tersebar luas di antara mereka sehingga memungkinkan untuk mereka raih.

Demikian pula halnya di dalam tauhid uluhiyyah. Karena rahmat-Nya pula, Allah Ta’ala menjadikannya sebagai sesuatu yang dapat diwujudkan oleh para hamba-Nya. Seluruh kandungan tauhid uluhiyyah dapat dikumpulkan dalam sebuah kalimat yang sederhana, yaitu kalimat laa ilaaha illallah. Allah Ta’ala menjelaskan kepada Musa ‘alaihis salaam tentang hal itu. Sehingga jelas baginya bahwa apa-apa yang dibutuhkan oleh seorang hamba tidaklah diperuntukkan secara khusus kepada nabi dan rasul-Nya saja, tidak khusus bagi ulul uzmi, serta tidak pula bagi kalimat Allah (yaitu Nabi Musa). Akan tetapi, bagi siapa saja.

“Musa berkata, ’Wahai Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini’”, maka hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya meliputi mereka di dalam rububiyyah, uluhiyyah, serta nama dan sifat-Nya. Rahmat Allah merupakan sumber kehidupan mereka, dengannya mereka menegakkan kehidupan badannya, kehidupan agamanya, dan keselamatannya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya rahmat Allah Ta’ala itu luas.

Pengajaran tauhid dibutuhkan oleh semua orang

Jika kita telah memahami hadits ini, maka akan jelaslah bagi kita keagungan tauhid, kemudahan, dan keutamaannya. Dan sesungguhnya ilmu tauhid merupakan ilmu yang paling penting. Oleh karena itu, anak kecil harus diberi pelajaran tauhid. Karena hal ini merupakan perbuatan baik yang terpenting kepada anak kecil tersebut. Sedangkan meninggalkan pengajaran tauhid untuk anak kecil -atau bahkan yang sudah besar- dan lebih mengutamakan pengajaran yang lainnya, merupakan suatu kekurangan.

Oleh karena itu, perhatikanlah dasar yang paling pokok ini, bahwa kandungan yang terdapat di dalam hadits Musa ‘alaihis salaam tersebut -berupa peringatan tentang keutamaan tauhid- dibutuhkan oleh semua orang, sampai-sampai orang yang sudah memiliki kedudukan yang tinggi di dalam agama. Sehingga tidak selayaknya apabila ada yang berkata, ”Saya sudah mempelajarinya. Saya sudah mengkaji tauhid dan mengetahui keutamaannya. Saya tidak perlu mengulanginya dan tidak perlu mengajarkannya kepada manusia”.

Bukanlah demikian yang kita inginkan. Karena jika Engkau telah mengetahuinya, maka orang pertama yang mendapatkan keutamaan ini adalah dirimu sendiri. Di antara keutamaan tersebut adalah bahwa tauhid tersebut dapat menyebabkan terampuninya dosa-dosa. Ilmu itu akan semakin menambah keyakinan dengan diulang-diulang. Sebagaimana ilmu juga akan dilupakan jika tidak terus dikaji dan dipelajari.

Bagian ketiga


Keutamaan Tauhid

Dari beberapa penjelasan di atas, maka di antara keutamaan dan pengaruh tauhid adalah:

Dengan sebab tauhid, Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa.

Dengan sebab tauhid, daun timbangan kebaikan menjadi lebih berat dibandingkan daun timbangan kejelekan.

Mencegah berada kekal di neraka.

Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam hadits sebelumnya yaitu, ”AllahTa’ala mengharamkan neraka atasnya”.

Adapun istilah “pengharaman” di dalam syari’at, misalnya pengharaman atas surga atau neraka, terbagi ke dalam dua jenis, yaitu:

  • Pertama, pengharaman yang sifatnya selamanya (abadi); dan 
  • Kedua, pengharaman yang sifatnya sementara.

Maksud dari ”Allah Ta’ala mengharamkan neraka atasnya” adalah barangsiapa yang bersyahadat, dia tidak akan kekal selamanya di neraka. Bisa jadi dia masuk neraka terlebih dahulu, bisa jadi tidak, sesuai dengan dosa-dosanya. Akan tetapi apakah ahli tauhid berada kekal di neraka? Tentu tidak, berdasarkan janji dari Allah Ta’ala tersebut.

Allah Ta’ala mengharamkan surga atas orang-orang kafir. Pengharaman ini bersifat selamanya. Orang kafir tidak mungkin masuk surga sampai ada unta yang masuk ke dalam lubang jarum. Apakah orang mukmin diharamkan masuk surga? Dalam sebagian dalil terdapat penjelasan bahwa sebagian kaum muslimin diharamkan surga baginya disebabkan dosa-dosanya. Seperti, ”Allah mengharamkan surga bagi orang yang memutus silaturahmi” atau “Dia tidak akan mendapatkan bau surga. Sesungguhnya bau surga dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian”.

Pengharaman seperti ini tidaklah bersifat selamanya bagi ahli tauhid. Akan tetapi, pengharaman yang sifatnya sementara. Karena sebelum masuk surga, dosa-dosa mereka dibersihkan terlebih dahulu. Mereka terlambat masuk surga sampai Allah Ta’ala selesai meng-adzab mereka sesuai dengan kehendak-Nya atas dasar keadilan dan hikmah-Nya. Oleh karena itu, termasuk di antara keutamaan tauhid adalah bahwa pemiliknya diharamkan untuk berada kekal di neraka.

Tauhid sebagai sarana meraih syafa’at

Tauhid merupakan sarana terbesar untuk meraih syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara keutamaan tauhid bagi pemiliknya adalah tauhid merupakan sarana terbesar untuk meraih syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ القِيَامَةِ؟

”Wahai Rasulullah! Siapakah orang yang berbahagia karena mendapatkan syafa’atmu?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لاَ يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ، أَوْ نَفْسِهِ

”Sungguh aku mengetahui bahwa tidak ada seorang pun sebelum kamu yang bertanya tentang hal ini, wahai Abu Hurairah. Karena aku mengetahui semangatmu untuk mendapatkan hadits. Orang yang berbahagia karena mendapatkan syafa’atku adalah orang yang mengatakan laa ilaaha illallah secara ikhlas dari hatinya atau dari jiwanya.” (HR. Muslim)

Orang yang berbahagia karena mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mengatakan laa ilaaha illallah secara ikhlas dari lubuk hati dan jiwanya. Barangsiapa yang mengatakan laa ilaaha illallah secara ikhlas dari lubuk hatinya, maka dia adalah orang yang berhak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diraih dengan sarana yang banyak. Di antara para ulama ada yang menghitung lebih dari sepuluh sebagaimana yang terdapat di dalam hadits yang shahih. Akan tetapi, manusia yang berbahagia karena mendapatkan syafa’at tersebut adalah ahli tauhid yang mengikhlaskan tauhidnya. Mereka adalah manusia pertama yang meraih syafa’at ini.

Tauhid merupakan sarana terbesar untuk menghilangkan kesulitan di dunia dan di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَى أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ ؛ لَا يَسْمَعُونَ حَسِيسَهَا وَهُمْ فِي مَا اشْتَهَتْ أَنْفُسُهُمْ خَالِدُونَ ؛ لَا يَحْزُنُهُمُ الْفَزَعُ الْأَكْبَرُ وَتَتَلَقَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ هَذَا يَوْمُكُمُ الَّذِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

”Orang-orang yang telah ada ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka. Mereka tidak mendengar sedikit pun suara api neraka, dan mereka kekal dalam menikmati apa yang diinginkan oleh mereka. Mereka tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar yang besar (pada hari kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat.” (QS. Al-Anbiya : 101-103)

Siapakah orang-orang yang telah mendapatkan ketetapan yang baik dari Allah? Mereka adalah ahli tauhid, orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya. Serta beriman kepada malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-Nya, hari akhir, takdir-Nya, dan beramal shalih. Merekalah yang telah mendapatkan ketetapan yang baik dari Allah. Keadaan mereka di akhirat adalah tidak ada rasa takut yang membuat mereka bersedih hati.

Adapun di dunia, Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

”Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl : 97)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma,

يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

”Wahai sang anak, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya Engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.”

Kemudian beliau bersabda kepadanya,

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ

”Jika Engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah.” Ini adalah tauhid.

وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ

“Jika Engkau meminta tolong, mintalah pertolongan kepada Allah.” Ini juga tauhid.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

”Dan ketahuilah sesungguhnya jika seluruh manusia berkumpul untuk memberikan kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu memberikan kebaikan kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan mampu untuk mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang sudah ditulis Allah bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.”

Dalam riwayat yang lain,

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ

”Dan ketahuilah bahwa kemudahan itu akan didapat dengan kesabaran. Sedangkan kemenangan itu akan didapat setelah kesusahan.”

Ini semua adalah untuk ahli tauhid yang memurnikan tauhidnya.

Ahli tauhid akan mendapatkan keamanan dan petunjuk di dunia dan di akhirat.

Ahli tauhid yang meng-esa-kan Allah dan membersihkan diri dari kesyirikan baik dalam perkatan, perbuatan, maupun keyakinan, maka dia akan mendapatkan keamanan dan petunjuk di dunia dan di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am : 82)

Ketika ayat ini turun, para shahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka radhiyallahu anhum berkata,

أَيُّنَا لَمْ يَلْبِسْ إِيمَانَهُ بِظُلْمٍ؟

”Wahai Rasulullah, siapakah yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”

Setiap orang pasti menzalimi dirinya sendiri dengan apa saja, baik dengan meremehkan kewajiban atau terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Jika dia ingat atau diingatkan, maka dia akan bertaubat dari perbuatannya itu. Lalu siapakah yang tidak menzalimi dirinya sendiri? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لَيْسَ بِذَاكَ، أَلاَ تَسْمَعُ إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ: إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

”Bukan itu yang dimaksud. Yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah kesyirikan. Tidakkah kalian mendengar perkataan seorang hamba yang shalih (yang artinya), ’Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezaliman yang besar.’”

Yang demikian itu karena terdapat tiga jenis kezaliman:

  • Kezaliman seorang hamba terhadap hak dirinya sendiri dengan melakukan perbuatan dosa.
  • Kezaliman seorang hamba terhadap yang lainnya dengan melanggar hak-hak manusia, harta, dan kehormatan mereka.
  • Kezaliman seorang hamba terhadap hak Rabb-nya dengan melakukan kesyirikan terhadap Allah Ta’ala.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada para shahabat bahwa keumuman (yaitu kezaliman) dalam ayat ini dimaksudkan untuk kekhususan. Yaitu, adalah salah satu dari tiga jenis kezaliman, yaitu kezaliman seorang hamba terhadap hak Rabb-nya dengan berbuat kesyirikan terhadap Allah Ta’ala. Kezaliman tersebut merupakan jenis kezaliman yang terbesar, ”Sesungguhnya kesyirikan merupakan kezaliman yang besar.” Inilah makna melaksanakan tauhid dan berlepas diri serta membersihkan diri dari kesyirikan. Dengannya seorang hamba dapat meraih keamanan dan petunjuk.

Tingkatan manusia dalam melaksanakan tauhid

Di dalam melaksanakan tauhid ini, manusia bertingkat-tingkat. Sehingga dalam meraih keamanan dan petunjuk, mereka juga memiliki tingkatan-tingkatan. Apabila tauhid seorang hamba sempurna -yaitu seorang hamba melaksanakan tauhid dan membersihkan diri dari kesyirikan dengan sempurna, baik secara ilmu dan amal- maka akan sempurna pula keamanan dan petunjuk yang diberikan oleh Allah baik di dunia maupun di akhirat.

Apabila ada seseorang yang bertanya, ”Kami memahami adanya keamanan di dunia. Yaitu keamanan diri sendiri, sehingga tidak disakiti oleh orang lain, kuatnya hati, keamanan masyarakat, keamanan pemerintahan dan negara. Ini semua masuk ke dalam keamanan di dunia. Demikian juga hidayah di dunia, dengan mendapatkan taufik untuk mengerjakan amal shalih. Dapat melihat kebenaran sebagai sebuah kebenaran, dan mendapatkan karunia dari Allah sehingga dapat mengikutinya. Dia juga dapat melihat kebatilan sebagai sebuah kebatilan, dan mendapatkan karunia dari Allah sehingga dapat menjauhinya. Hal ini juga dapat dipahami. Keamanan di akhirat dengan tidak adanya ketakutan dan kesedihan, tidak dimasukkan ke dalam neraka, hal ini juga dapat dipahami. Akan tetapi, bagaimana dengan mendapatkan hidayah di akhirat? Bukankah beban syariat telah terputus? Sehingga apakah di akhirat terdapat hidayah?”

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ ؛ سَيَهْدِيهِمْ وَيُصْلِحُ بَالَهُمْ ؛ وَيُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ عَرَّفَهَا لَهُمْ

”Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberikan petunjuk kepada mereka”, yaitu setelah mereka terbunuh, ”dan memperbaiki keadaan mereka. Serta memasukkan mereka ke dalam surga yang telah diperkenalkan-Nya kepada mereka.” (QS. Muhammad 4-6)

Pada ayat tersebut, Allah Ta’ala menjadikan tiga tingkatan:

Pertama mereka terbunuh,

Kemudian Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada mereka,

Lalu memasukkannya ke dalam surga.

Hidayah ini adalah hidayah di akhirat. Para ulama tafsir menafsirkan dengan hidayah untuk melintasi shirath ketika terdapat kegelapan. Karena sebelum shirath terdapat kegelapan yang membuat jalan tersebut menjadi samar. Terkadang manusia bermaksud melintasi atau berjalan di atas jalan tersebut, akan tetapi justru terjatuh ke dalam neraka, wal ‘iyadhu billah! Atau baru melintasi shirath sedikit, kemudian mereka tersesat, tidak mengetahui bagaimana untuk sampai. Karena di dalamnya terdapat kegelapan, dan dia tidak memiliki cahaya yang terang benderang. Cahaya tersebut padam, setelah itu mereka terjatuh ke dalam neraka. Sehingga di sana terdapat hidayah berupa jalan yang terang menuju surga di akhirat. Hal ini diraih berbanding lurus dengan kuatnya tauhid yang dimiliki. Apabila tauhidnya kuat, maka akan kuat pula hidayah dan cahayanya di dunia dan di akhirat.

Penerjemah: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. 

Baca setelah ini: Tauhid sebagai penggugur dosa #3

Sumber: Bagian keempat

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.