Serentetan aksi teror yang mengguncang Indonesia di bulan Mei ini membuat seluruh mata menyorotinya. Pasalnya, aksi teror tersebut terjadi secara berurutan di Mako Brimob, Surabaya, dan sejumlah daerah lainnya.
Dalam program televisi Indonesia Lawyer Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas, 15 Mei 2018, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan secara lengkap rentetan serangan aksi teror yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Tidak hanya itu, Tito juga menjelaskan awal mula jaringan teroris mulai muncul di Indonesia.
1. Serangan teror di Bulan Mei
Tito menceritakan kembali tentang serangan teror yang terjadi secara beruntut beberapa hari yang lalu. Ia menjelaskan mulai dari peristiwa di Mako Brimob yang terjadi pada 8 Mei 2018 lalu.
Setelah penyerangan di Mako Brimob, ada juga penyerangan terhadap anggota Polri Brimob, tepat di sekitar Mako Brimob dan mengakibatkan penyerang meninggal dunia, serta anggota Polri yang juga gugur dalam penyerangan tersebut.
"Kemudian, ada penangkapan yang dilakukan oleh Polri di Karawang, kemudian di Bekasi, yang tertangkap ada 4 orang, dan 2 orang tertembak dan 1 tertembak mati. Berlanjut lagi dengan peristiwa adanya 2 wanita yang tertangkap di dekat Mako Brimob," ujar Tito.
Selanjutnya, aksi teror masih terus berlanjut di Surabaya. Tepatnya di 3 gereja yang ada di Surabaya, dan dilakukan oleh satu keluarga. Tidak berhenti di situ, malamnya juga terjadi peristiwa ledakan di Rusunawa, Sidoarjo, dan pelakunya juga satu keluarga.
"Berlanjut besoknya di Mapolresta (Surabaya). Serangan dengan menggunakan sepeda motor oleh 5 orang. 2 sepeda motor, 4 meninggal dunia pelaku penyerang, dan putrinya terlempar yang juga diajak dan mengakibatkan sejumlah anggota Polri 6 terluka, dan mengakibatkan 4 masyarakat yang saat itu ada di sekitar TKP juga terluka," jelas Tito.
Namun teror tak berhenti sampai di situ. Polri tetap bergerak melakukan penangkapan kepada para teroris di beberapa wilayah, di Indonesia. Seperti di Jawa Timur, Polri berhasil menangkap 5 orang, 2 di antaranya tertembak mati. Kemudian, di Sumatera Utara juga melakukan penangkapan sebanyak 5 orang. Dan di Sumatera Selatan, Polri berhasil menangkap 2 orang pelaku teror.
"Saya ingin menjelaskan apa hubungan kasus-kasus ini, jadi kita mengetahui bahwa fenomena terorisme ini adalah fenomena global yang terkait dengan masalah-masalah global," kata Tito.
Sebelum masuk kepada pembahasan serangan teror teraktual, Tito pun menjelaskan terlebih dahulu tentang gelombang teroris yang telah muncul di Indonesia. Tito menyebut gelombang pertama dengan Al Qaeda.
Al Qaeda merupakan organisasi paramiliter fundamentalis Islam Sunni, yang salah satu tujuan utamanya adalah pengaruh luar terhadap kepentingan Islam. Dan adanya Al Qaeda rupanya berdampak ke Indonesia. Sehingga, muncul satu gerakan Al Jamaah Al Islamiyah, yang berdiri tahun 1993.
"Kemudian mereka bergerak underground, membangun jaringan dan kemudian melakukan serangan pertama 1998 di Gereja Padang Bulan Sumut. Dan kemudian tahun 2000 mereka juga melakukan serangan," terang Tito.
"Dan kita tentu masih ingat serangan gereja bukan yang pertama kali ini, bahkan lebih masif dilaksanakan di sejumlah kota serentak termasuk di Jakarta cukup banyak, kalau tidak salah lebih kurang ada 7 dalam satu malam Natal," sambungnya.
Kemudian, Indonesia melihat puncak serangan teror bom Bali pertama yang terjadi pada 12 Oktober 2002 malam. Tito mengungkapkan jika bom Bali pertama itu merupakan peristiwa terorisme nomor dua terbesar setelah Nine Eleven di Amerika. Sama seperti bom Bali, dengan korban 202 orang meninggal dunia dan hampir 800 orang terluka, dianggapnya adalah peristiwa besar.
"Dari operasi bom Bali ini, saat itu kami gelap, ini siapa yang melakukan? Sampai akhirnya kami membentuk Satgas dari Polri dan berhasil memetakan jaringan ini," jelas Tito.
Setelah memetakan jaringan bom Bali pertama, Tito menyatakan jika jaringan tersebut cukup komprehensif struktur organisasinya. Jaringan tersebut dibagi menjadi 4 Mantiqi.
"Mantiqi satu meng-cover wilayah Malaysia dan Singapura. Mantiqi dua, Indonesia bagian barat. Mantiqi tiga, Filipina Selatan, Sabah Sarawak Malaysia, kemudian Kalimantan Timur, dan Sulawesi. Mantiqi empat, Australia. Al Jamaah Al Islamiyah ini terkait dengan Al Qaeda," ujarnya.
Lalu, lanjut Tito, dengan melihat konstruksi organisasi tersebut, Polri pun berhasil mengungkap kasus bom Bali, dan kemudian melakukan pengejaran kepada jaringan-jaringan lain yang terkait dengan peristiwa itu.
3. Ketika pemerintah mengeluarkan Perppu
Setelah peristiwa bom Bali pertama, akhirnya pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dan salah satu isinya adalah untuk memperkuat penegak hukum agar mampu mengungkap kasus bom Bali.
"Dengan caranya yang dipermudah, dan diperkuat masa penangkapan yang 24 jam menjadi 7 hari. Kemudian masa penahanan yang 20 hari, plus 30, ini semua menjadi 4 bulan jadi satu," tutur Tito.
Dengan penguatan-penguatan itu, tambahnya, maka bom Bali bisa terungkap. Kemudian, Perppu tersebut disahkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003, yang isinya merespons bom Bali. Karena Indonesia susah mendapatkan tekanan yang luar biasa tinggi dari nasional maupun internasional, untuk mengungkap kasus bom Bali.
4. Jaringan sel teroris diketahui lewat bom Bali
Usai peristiwa bom Bali terungkap, kata Tito, Polri pun telah mengetahui bahwa jaringannya ternyata cukup besar. Di dalam jaringan tersebut terdapat Markaziyah, yang saat itu dipimpin oleh Abubakar Ba'asyir.
"Dan di bawahnya dibagi empat Mantiqi regional yang saya sampaikan tadi. Di bawah tiap-tiap Mantiqi, itu namanya Wakalah," ungkap Tito.
Tito menjelaskan, Mantiqi ibaratnya adalah tingkat gubernur, sedang Wakalah setingkat bupati. Di bawah Wakalah ada yang namanya Qirdas, setingkat kecamatan. Lalu, di bawah Qirdas terdapat Fiah, yang merupakan kelompok unit-unit kecil.
"Fiah ini 10-15 orang, yang mereka bergerak secara cluster dan mereka tidak tahu masalah ini. Jadi menggunakan sistem sel yang tertutup," jelas dia.
Sehingga, saat terungkap kasus bom Bali, lanjut Tito, bom Bali hanya dikerjakan oleh dua Mantiqi. Dan dua Mantiqi itu adalah gabungan dari beberapa Wakalah untuk menyerang Bali. Sayangnya, untuk Wakalah dan Matiqi lainnya tidak sempat tersentuh.
"Jadi kita kerja sama, yang di Malaysia kita kerja sama melakukan penangkapan di sana. Singapura melakukan penangkapan. Australia melakukan penangkapan. Filipina juga melakukan penangkapan. Dan di kita itu satu-satunya organisasi terorisme yang memiliki original of reach. Artinya jangkauan Asia Tenggara. Satu-satunya sampai hari ini," tambah Tito.
5. Terungkapnya jaringan teroris di Indonesia
Selanjutnya, Tito mengatakan jika timnya lalu melakukan operasi-operasi penangkapan setelah peristiwa bom Bali. Di 2009, titik balik dari jaringan Al Jamaah Al Islamiyah. Setelah Nurdin M Top tertembak mati, maka tokoh-tokoh utamanya pun ikut tertangkap. Dan hal tersebut yang membuat jaringan ini melemah. Selama 2002-2011, Polri berhasil menangkap 400 orang yang tergabung dalam Al Jamaah Al Islamiyah.
"2009 kita mengalami periode ketika tokoh dari M Top tertembak mati, dan kemudian kita melakukan penangkapan cukup banyak, maka terorisme menurun. Nah disaat terorisme menurun, di tingkat internasional ini muncul kelompok baru di Suriah-Irak, yang bernama ISIS," ujar Tito.
ISIS merupakan suatu organisasi yang sudah eksis sejak tahun 1999. ISIS ada ketika Abu Muhammad Maqdizi membentuk yang namanya Tauhid wal Jihad di Irak. Kemudian, diteruskan oleh muridnya yang bernama Abu Mus'ab Az-Zarqawi. Dan diteruskan lagi oleh muridnya, yaitu Abu Bakr al-Baghdadi. Kemudian Tauhid wal Jihad tersebut, bergabung dalam Al Qaeda.
Tito meneruskan, setelah Al Qaeda melemah, mereka pun membentuk organisasi yang bernama Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Ideologi ISIS sendiri adalah ideologi takfiri atau ideologi yang menganggap umat di luarnya adalah kafir atau murtad.
"Di Indonesia, pendukung kelompok ini sebetulnya sudah ada ketika kita mengungkap kasus bom Cimanggis tahun 2003. Yaitu peledakan bom yang sedang latihan meledak sendiri. Dipimpin oleh Aman Abdurrahman di Depok," terang Tito.
Dari kasus tersebut, lanjut dia, mulainya Polri mengetahui bahwa ada kelompok selain Al Jamaah Al Islamiyah, yaitu Tauhid wal Jihad yang dipimpin oleh Aman Abdurrahman, dan dia membawa doktrin takfiri. Aman juga sangat cerdas dalam menerjemahkan buku dari Abu Muhammad Maqdizi.
"Kemudian yang bersangkutan tertangkap dalam kasus Cimanggis, dikeluarkan dalam beberapa waktu kemudian. Setelah itu dia melakukan rekrutmen lagi, terutama daerah Jawa Barat," tambahnya.
Lalu, Aman kembali terlibat lagi pada tahun 2010, dalam kasus pelatihan militer di Aceh. Dan melibatkan beberapa tokoh utama yaitu Abubakar Ba'asyir, Iwan Darmawan Mutho alias Rois, yang juga sebagai pelaku utama bom Keduataan Besar Australia tahun 2004.
"Ini penempatan mereka setelah kami ungkap, kami tangkap mereka kurang lebih itu di Aceh dengan sejumlah senjata. Kontak tembak anggota kita juga ada yang meninggal saat itu. Gugur. Kelompok ini juga ada yang tertembak," cerita Tito.
Di tahun 2010, Tito melanjutkan, timnya memahami bahwa ternyata mereka memiliki tiga kelompok besar. Pertama, kelompok Al Jamaah Al Islamiyah, kedua Tauhid wal Jihad kelompok dari Aman Abdurrahman, dan ketiga kelompok Iwan Rois yaitu kelompok ring Banten.
"Yang ketiga tokoh ini, tiga-tiganya ditaruh di lapas Cipinang. Bayangkan mereka adalah secret society, secret organisation. Di luar mereka berusaha menghindari aparat, intelijen dan lain-lain. Tapi setelah dikumpulkan jadi satu, mereka bahkan saling koordinasi dan bekerjasama," jelasnya.
Saat para pelaku utama aksi teror diproses secara hukum, ISIS mulai masuk ke Indonesia, dan mendeklarasikan diri pada tahun 2014. ISIS masih konsisten mendukung kelompok Tauhid wal Jihad di Irak, dengan doktrin takfirinya.
"Dan kemudian kelompok ini, begitu Al Jamaah Al Islamiyah menurun, mereka mulai menaik. Begitu tahun 2014 ISIS mendeklarasi khilafah daulah di Suriah dan Irak, maka kelompok ini men-declare internal mereka namanya Jamaah Anshor Tauhid (JAT), kemudian berkembang menjadi JAD," ungkap Tito.
Dan setelah dipelajari, jelas Tito, ternyata kelompok tersebut juga membuat struktur jaringan yang hampir sama dengan Al Jamaah Al Islamiyah. Bedanya, jaringan tersebut tidak ada di luar negeri.
6. Semakin banyak teror, UU Antiterorisme harus segera direvisi
Itulah kemudian yang mendorong aparat penegak hukum untuk meminta UU Antiterorisme segera direvisi. Tito menyampaikan, belajar dari kasus bom Bali, pahit rasanya melihat seri-seri bom terus menerus, karena UU hanya merespons kasus bom Bali pertama.
"Ada 5 lantai mereka sampai ke tahapan kekerasan. Nah harusnya kita bisa menghentikan di tiap tahapan-tahapan ini, sedangkan UU kita, hanya bisa menangani tahapan terakhir, yaitu tahapan mereka sudah melakukan aksi. Itu pertama kenapa kita ingin revisi UU dilakukan. Kita tidak ingin kecolongan," jelas Tito.
Dalam mengurangi terorisme di Indonesia, Tito juga menyebut jika harus menunggu fenomena baru, yaitu Suriah yang dideklarasikan menjadi satu daulah negara di sana. Dengan adanya daulah tersebut, akan menjadi magnet bagi kelompok-kelompok seluruh dunia untuk berangkat ke sana. Dengan pergi ke Suriah maka bisa menjadi tempat jihad sekaligus hijrah ke tempat yang baru.
"Bagi mereka, Indonesia ini bukan daulah. Tempat untuk berperang. Sehingga yang berangkat lebih kurang ada 600 lebih. Hampir 600 yang di sana. 103 yang sudah tewas. Kemudian yang kembali atau ditangkap di Turki dan Jordan itu lebih kurang 500. Ada yg kembalinya ditangkap dan volunteer," ucap Tito.
Beberapa di antara mereka kembali ke Indonesia, karena sampai di sana ternyata tidak sesuai dengan bayangan mereka. Sehingga, sebagian kembali secara sukarela, namun di pikiran mereka sudah tertanam pemahaman takfiri. Hal itu juga menjadi ancaman.
Oleh karena itu, lanjut Tito, pasca bom Thamrin, kalangan Densus dan yang lainnya, mengeluh jika terus menerus memakai UU responsif terus, maka akan sering kecolongan dan telat.
"Kenapa? Mereka ini cukup banyak. Strukturnya sudah banyak di berbagai tempat, kemudian ditambah lagi 500, ini akan menjadi ancaman. Kita harus bertindak lebih pro-aktif kepada mereka. Pro-aktif dengan soft approach oke -ah pendekatan. Tapi itu belum tentu efektif," kata dia.
Sehingga, tambahnya, perlu ada langkah yang pro-aktif terhadap penegakan hukum, pendekatan keras kepada mereka untuk mencegah. Dan mengusahakan jangan sampai tahapannya sudah sampai tahapan terakhir, yaitu terorisme. Jika hal tersebut terjadi, maka dianggap terlambat.
"Itulah ide revisi, tujuannya itu. Kita harapakan dengan adanya revisi ini, kita memotong tidak sampai ke terorisme atau yang kembali dari Suriah bisa kita proses hukum. Jaringan-jaringan ini memang bisa kita monitor. Tapi kemampuan monitor kita belum tentu maksimal. Mereka terlatih," ujar Tito.
"Terlatih cara menghindari monitor atau pengawasan intelijen. Mereka paham tentang bagaimana komunikasi dan mengerti. Menggunakan media sosial yang agak sulit. Telegram. Chat FB. Mungkin sekarang mereka paham penyadapan-penyadapan seperti apa," lanjutnya.
7. Faktor penyerangan teror di Indonesia, hingga yang terjadi di Surabaya
Melihat dari serangan-serang teror yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, Tito mengungkapkan ada dua faktor utama. Pertama, ISIS ditekan oleh kekuatan-kekuatan besar, mulai dari Irak dan beberapa kota yang berhasil direbut. Sehingga, ada instruksi dari Baqdadi untuk melakukan serangan dunia, supaya mengalihkan perhatian.
"Termasuk di Indonesia ada kelompok JAT yang berubah JAD. Mereka juga aktif untuk melakukan serangan, ditambah dengan yang kembali dari Suriah, ini seperti fenomena saudara Dita. Ini ideologi mereka adalah ideologi baru kembali dari Turki," jelas Tito.
Faktor kedua, terang Tito, mereka marah karena para pimpinannya ditangkap. Mulai dari Aman Abdurrahman, Abu Bakar Baasyir, dan juga Iwan Rois. Disitu lah mulai terjadi reaksi dari jaringan-jaringan struktur tersebut, dan mulai ada kemarahan.
Aman Abdurrahman saat ini berada di rutan Mako Brimob. Setelah Aman ditangkap, kepemimpinannya dipindahkan kepada Ketua JAD Jawa Timur yang bernama Zainal Anshorin. Namun, Zainal kemudian ditangkap oleh Polri terkait dugaan penyelundupan senjata oleh seorang pelaku bernama Suryadi Mas'ud.
"Begitu Aman ditangkap, kemudian Zainal Anshori ditangkap, ini menimbulkan reaksi dari kelompok JAD secara umum dan lebih spesifik di Jawa Timur. Di Jawa Timur ada sel, ada JAD Surabaya dan ada tempat lainnya. Ada beberapa. Mereka mulai melakukan reaksi," terang Tito.
Kemudian, tim Polri mulai melakukan monitoring. Salah satunya kelompok yang dipimpin oleh Dita Upriyanto, pelaku utama bom tiga gereja di Surabaya beberapa waktu lalu.
"Tapi hampir 4 bulan tim kita masuk ke sana secara tertutup dengan berbagai teknik, melihat si dita tidak ada perubahaan signifikan. Sehingga tim ini menganggap ini clear, dan dialihkan ke tim lain. Kepada sel lain yang dianggap lebih aktif dari tim ini," jelas Tito.
8. Kasus yang terjadi di Mako Brimob
Selanjutnya, Tito pun menerangkan tentang peristiwa penyerangan yang terjadi di Mako Brimob pada 8 Mei 2018 lalu. Menurutnya, ia tak berpendapat bahwa kasus di Mako Brimob hanya karena makanan. Makanan yang dikirim oleh keluarga memang seharusnya diperbolehkan masuk, tapi saat itu dilarang. Alasannya, karena takut adanya racun atau jatuh sakit, sehingga yang bertanggungjawab adalah polisi.
Kemudian, mengenai isu Alquran diinjak, Tito pun membantah hal itu. Anggota polisi yang ada disitu, tentunya paham betul norma dan kultur, sehingga hal tersebut tidak mungkin terjadi.
"Ada lagi isu bahwa ada tahanan istri yang mau masuk digeledah. Tidak mungkin. Kalau pun ada penggeledahan, pasti oleh polwan. Ini paham betul. Pasti akan menimbulkan kemarahan," ucap Tito.
Permasalahan lainnya juga, rutan tersebut bukan lah rutan untuk teroris. Bukan rutan maximum security. Tito menjelaskan bahwa rutan tersebut sejarahnya adalah untuk anggota polri yang terlibat tindak pidana. Rutan tersebut disiapkan, karena jika anggota polri yang terlibat pidana dimasukkan ke dalam rutan biasa, anggota polri itu bisa menjadi sasaran empuk kelompok pelaku yang pernh ia tangkap.
"Makanya pada kesempatan ini juga saya pikir perlu didorong mengenai UU terhadap penegak hukum. Penegak hukum yang tertangkap itu jangan dijadikan satu dengan rutan biasa," kata dia.
Lebih lanjut, terkait dengan tahanan teroris wanita yang ada di Rutan Mako Brimob, Tito menerangkan bahwa dia adalah pelaku teror bom panci dari Bandung yang benama Novi. Novi pada waktu itu ingin melakukan serangan bunuh diri oleh kelompoknya dari Bandung, dengan keadaan hamil. Setelah Novi tertangkap, ia pun ditaruh di Mako Brimob dan melahirkan di sana.
"Yang mengurus, Sulastri itu. Yang dipukul itu. Kemudian kita melihat ditahanan itu ada tahanan wanita Novi ini dan bayinya," terangnya.
Permasalahan selanjutnya adalah mengenai kapasitan rutan yang idealnya untuk 64 orang, melainkan diisin dengan 156 orang. Dan seharusnya, para tahanan terorisme dipindahkan ke lapas yang lebih aman.
"59 di antaranya, harusnya segara dikirim. Tapi saya tanya kenapa tidak dikirim, karena tidak kesiapnya di lapas lain. Karena kalau ditaruh di lapas yang bergabung dengan tahanan lain, mereka mempengaruhi napi-napi lain jadi teroris juga. Sehingga kita menbutuhkan maximum security yang ada perlakuan kusus kepada mereka," ujar Tito.
Jadi, peristiwa di Mako Brimob ada dua, yaitu penyerangan yang mengakibatkan lima petugas meminggal dunia, dan dua tahanan tertembak, satu meninggal dunia, satu lagi mengalami luka. Terkait kasus penyanderaan, Tito menjelaskan ada dua opsi. Pertama, diserbu langsung atau dengan langkah-langkah menunda penyerbuaan, melalui peringatan.
Namun, Tito memaparkan, teknik operasi penyaderaan, kesuksesannya adalah bila sandera hidup. Jika yang disandera meninggal, meskipun yang menyandera juga ikut meninggal, maka akan dikatakan gagal.
"Kedua, risiko karena ada wanita dan bayi. Dan wanita ini sudah diteriakin berkali-kali untuk keluar, gak mau keluar. Karena memang dari dulu pengen bunuh diri. Bayinya pun pasti dipegangi," jelasnya.
"Bayangkan, kalau itu diserbu yang meninggal pertama kali adalah Brigadir Irwan. Jam 12 malem dia dilepas. Kemudian yang kedua, yang perempuan dan bayi tidak mau keluar. Maka kami siapkan plan b. Plan b kalau tidak mau keluar, kami lakukan penyerbuan dengan teknik tertentu. Dengan korban minimal," lanjut Tito.
Saat itu, tambah dia, presiden telah tegas menyuruh kepolisian untuk segera bertindak. Dan teknisnya diserahkan kepada Kapolri.
"Opsi saya adalah bagaimana pun korban harus minimal dan saat itulah opsi itu yang diambil ternyata mereka semua keluar, senjata ditinggalkan, sehingga ini selesai, kita akan proses itu," terang Tito.
Untuk keuarga korban diberikan donasi. Dan kepada anggota Polri yang telah gugur, diberikan juga pangkat luar biasa oleh presiden.
Tito memaparkan, serangan di Mako Brimob rupanya menjadi pemicu dari sel-sel yang tertidur untuk melakukan gerakan ke Mako Brimob. Ia mengatakan, pergerakan itu telah terlihat, saat di Jawa Barat bergerak, maka dua orang ditangkap dan satu tewas. Di Riau juga ada yang ditangkap oleh Polda Sumatera Selatan.
"Tidak lama ada peristiwa di Surabaya. Setelah Surabaya, begitu kita melihat sebentar kendaraan yang digunakannya avanza itu? menggunakan identitasi resmi plat nomornya atas nama istri saudara Dita. Dengan mudah kita tahu," kata Tito.
Dan malamnya, di Rusunawa terdapat sebuah ledakan bom juga. Namun, ledakan bom itu meledak sendirinya. Dan dilakukan oleh satu keluarga juga. Saat itu, polisi menemukan banyak rangkaian bom, dan diketahui itu adalah bom pipa. Isinya, yaitu bahan peledak yang namanya TATP.
"Ini yang bisa dibuat di bahan-bahan yang sangat mudah. Dan ini ciri khas dari kelompok ISIS yang disebut the mother of satan. Karena bom TATP ini dengan high explosive jumlah kecil dia bisa memiliki daya ledak yang besar," terang Tito.
Setelah itu ada peristiwa ketiga yang terjadi di Mapolresta Surabaya. Dalam insiden penyerangan Mapolresta Surabaya, dikatakan Tito, pelaku membawa data diri lengkap. Terdapat KTP dan juga KK.
"Artinya apa, artinya mereka memang ingin mati. Bukan menghilangkan identitas supaya tak terlacak. Mereka pengen mati karena kita sudah mulai bergerak, sehingga tim-tim sudah tahu siapa-siapa. Dan sudah 15 tertangkap dan dua diantaranya tertembak. Termasuk ketua JAD Malang kita tangkap," jelasnya.
Tito melanjutkan, di beberapa daerah yang lain juga sudab diperintahkan. Di Sumatera Utara tertangkap 5 orang, di Jawa Barat terdapat 10 orang, dan 5 sudah tertembak mati.
10. POLRI siapkan pendekatan lunak untuk menanggulangi terorisme ke depannya
Untuk menanggulangi aksi terorisme ke depannya, Tito pun mengungkapkan jika sudah berkoordinasi dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menurunkan Kopassus, agar bergabung dalam penangkapan pelaku aksi teror.
"Ke depan yang kami lakukan dalam jangka pendek, adalah mengungkap kasus bom Surabaya dan mencegah jangan sampai terjadi peristiwa sejenis di tempat-tempat lain," ungkap Tito.
Ia juga mengatakan, dengan adanya UU Terorisme yang baru direvisi, maka aparat bisa menghentikan tangga menuju terorisme. Polri bisa melakukan penegakan hukum kepada mereka-mereka yang terkait jaringan teroris tersebut.
"Kami juga bisa melakukan proses hukum mereka yang kembali di Syria dan Indonesia, karena pemahamanya sudah takfiri. Dan kemudian UU juga banyak positifnya. Juga kita melihat ada upaya-upaya soft kepada mereka, pembinaan, pendekatan ekonomi, terutama dalam rangka penganggaran pada mereka," jelasnya.
Dalan memberantas terorisme, menurut Tito perlu adanya kegiatan yang komprehensif melibatkan banyak stakeholder di pemerintah dan juga DPR RI. Serta, dengan ormas-ormas atau tokoh masyarakat yang peduli untuk membendung ideologi tersebut.
"Bagi kami, keenam Dita dan keluarganya, mereka pelaku, tapi mereka juga korban dari penyebaran ideologi, ini harus kita lindungi, dari pemerintah, ormas-ormas dan semua pihak bersama-sama," terang dia.
Tito mengungkapkan juga adanya tambahan lapas maksimum. Apalagi, jika UU Antiterorisme disahkan, maka akan banyak pendekatan-pendekatan lunak dan penegak hukum. Artinya, perlu ada penambahan lapas dan juga rutan yanv maksimum.
Tidak hanya itu, media sosial juga harus bisa dikontrol. Karena, lanjut Tito, mereka tahu bahwa telepon bisa disadap, sehingga mereka menggunakan media sosial.
"Dan penyebaran ideologinya bukan haya face to face, tapi juga melalui medsos radikal web sangat banyak. Bagaimana merakit bom juga banyak," tambahnya.
Lanjut Tito, dengan serangkaian kegiatan pendekatan lunak, para pelaku teror juga harus didekati. Menurut Tito, ideologi tidak bisa dikalahkan dengan penembakan dan pembunuhan. Hal tersebut hanya untuk mengerem sementara.
"Tapi idelogi hanya bisa dikalahkan dengan pendekatan pencerahan lain-lain. Nah untuk itulah, saya kira banyak tokoh-tokoh penting yang memiliki pemahaman sangat luas. Semua, mari kita pikirkan melakukan pendekatan kepada mereka," ujar Tito.
Sumber: idntimes.com
Pengamat Terorisme dari Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Ali Asghar mengatakan muasal JAD yakni dari kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
JAT sendiri, lanjut Ali, merupakan pecahan dari kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pimpinan Abubakar Ba'asyir. MMI awalnya banyak diisi oleh orang-orang yang merupakan alumni, yang pernah ikut ke Afghanistan. Mereka menyebutnya mujahidin Afghanistan. Salah satu di antaranya adalah Aman Abdurrahman.
Sebagian anggota kemudian hengkang dari MMI, lalu membentuk JAT. Alasan mereka keluar lantaran Abu Bakar tidak menghendaki sistem pergantian kepemimpinan yang otomatis membuatnya terus memimpin MMI sampai akhir hayat.
"Abu Bakar tidak menghendaki pergantian pengaderan. Karena ini namanya jamaah, maka dia harus memimpin sampai akhir hayat. Kemudian sebagian anggota sepakat bikin jamaah sendiri, namanya Jamaah Ansharut Tauhid," kata dia menjelaskan kepada Republika.co.id, Senin (14/5).
Ali mengatakan, JAT dibentuk pada 2008. Selang dua tahun kemudian, tepatnya 2010, Abu Bakar ditahan sehingga membuat peta kekuatan jaringan mereka melemah. Di saat yang sama, Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) melakukan deklarasinya secara global.
"Kelompok ini (JAT) kemudian berbaiat kepada ISIS. Baiat ini dijembatani oleh Bahrun Naim," tutur dia. Lantas, pada 2015, Bahrun Naim mendeklarasikan adanya JAD yang sebetulnya memiliki cita-cita yang sama dengan JAT, yaitu Daulah Islamiyah.
Bahrun Naim, dalam kondisi itu, berada di Suriah dan menyerahkan mandat kepada Aman Abdurrahman untuk memimpin JAD di Indonesia. Karena ini pula, menurut Ali, Aman merupakan tokoh kunci JAD di Indonesia. Saat terbentuk, JAD menjadi seperti agen yang mengirimkan warga Indonesia ke Suriah.
"Bahrun Naim kan di Suriah, sebagai komunikator di Suriah. Di Indonesia kemudian diambilalih oleh Aman Abdurrahman. Jadi JAD ini menjadi semacam jembatan warga Indonesia untuk berangkat ke Suriah," jelas dia.
Sumber: republika.co.id
JAKARTA, KOMPAS.com – Rentetan aksi teror yang mengejutkan publik terjadi dalam sepekan terakhir.
Pertama, publik dikejutkan dengan ledakan bom di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada Minggu (28/3/2021). Tiga hari berselang, giliran Mabes Polri, Jakarta, yang menjadi sasaran teror, tepatnya pada Rabu (31/3/2021) sore.
Kedua aksi teror yang terjadi di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri memiliki kesamaan. Teroris yang melancarkan aksinya dalam kedua peristiwa itu sama-sama berkiblat ke ISIS.
Teror bom makassar dilakukan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang telah berbait kepada ISIS. Sementara penyerangan Mabes Polri dilakukan oleh teroris lone wolf yang juga berkiblat kepada ISIS.
Adapun aksi teror di Indonesia oleh kelompok yang berafiliasi dengan ISIS sudah terjadi sejak 2016. Aksi teror tersebut dimulai dengan peristiwa bom Thamrin yang dilakukan oleh JAD.
Kendati demikian, kelompok yang berafiliasi dengan ISIS di Indonesia tidak hanya JAD. Kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) juga merupakan kelompok teroris yang berbaiat kepada ISIS. Berikut profik JAD dan MIT.
Kelompok teroris ini terbentuk atas inisiatif Aman Abdurrahman. Saat itu Aman bertemu dengan orang kepercayaannya yakni Marwan alias Abu Musa dan Zainal Anshori di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada 2014.
Dalam pertemuan tersebut Aman menyampaikan maksudnya yang hendak memfasilitasi orang Indonesia untuk berperang ke Suriah mendukung gerakan ISIS.
Ia meminta kedua orang kepercayaannya itu mengurus pemberangkatan orang-orang Indonesia yang telah berbaiat kepada ISIS untuk berangkat perang ke Suriah.
Adapun Marwan menjadi orang nomor dua di JAD setelah Aman. Marwan kemudian menunjuk Zainal menggantikan posisinya sebagai orang nomor dua di JAD lantaran ia sendiri hendak berangkat berperang membantu ISIS di Suriah.
Perlahan-lahan, Zainal menjadi orang pertama di JAD setelah Aman divonis hukuman mati dan juga setelah kepergian Marwan ke Suriah.
Pada November 2014, Zainal mulai membentuk struktur JAD Jawa Timur yang memiliki kepengurusan ketua, sekretaris, bendahara, hingga kehumasan.
Zainal juga membentuk pimpinan JAD di sejumlah wilayah di Jawa Timur. Setelah membentuk struktur kepengurusan, Zainal membuat program kerja serta bidang yang membawahinya, di antaranya bidang pasukan, bidang pembuatan website, serta bidang penggalangan dana.
Di bawah kepemimpinan Zainal, JAD melakukan serangkaian aksi teror seperti bom Thamrin, bom Kampung Melayu. Terakhir, JAD melakukan aksi teror dengan melakukan bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar.
Baca juga: 6 pilar dakwah Salaf DAN Wahabi bukan pemberontak DAN Baca juga: Menjadi Salafi, mengapa tidak?
Sumber: kompas.com