Type Here to Get Search Results !

 


AQIDAH PERTENGAHAN AHLUS-SUNNAH DIANTARA BERBAGAI KELOMPOK YANG MENYIMPANG #2



Pokok ketiga: Dalam masalah takdir

Dalam masalah takdir, aqidah ahlus sunnah berada di tengah antara dua kelompok ekstrim, yaitu qadariyyah dan jabriyyah.

Kelompok Qadariyyah adalah kelompok yang menolak takdir Allah Ta’ala. Mereka berkeyakinan bahwa perbuatan-perbuatan hamba, apakah itu ketaatan atau maksiat, tidaklah tergantung pada qadha’ dan qadar Allah Ta’ala. Mereka berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala tidaklah menciptakan amal perbuatan para hamba-Nya dan juga tidak menghendakinya. Akan tetapi, hamba itu berdiri sendiri dalam beramal dan berbuat, lepas dari takdir Allah Ta’ala. Sehingga hamba itu sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka, hamba itu sendiri yang berdiri sendiri dalam menghendaki perbuatan-perbuatan mereka, sehingga jadilah qadariyyah ini menetapkan adanya sang Pencipta selain Allah Ta’ala. Konsekuensinya, mereka terjerumus dalam syirik dalam rububiyyah.

Dalam aqidah qadariyyah tersebut juga terdapat keserupaan dengan aqidah Majusi yang menetapkan adanya dua pencipta bagi alam semesta ini. Bahkan, qadariyyah lebih parah dari Majusi dari sisi mereka menetapkan banyak pencipta di alam semesta ini, karena setiap hamba adalah pencipta perbuatan-perbuatan mereka.

Di kutub ekstrim yang lainnya adalah aqidah jabriyyah. Jabriyyah adalah kelompok yang berlebih-lebihan dalam menetapkan takdir, sehingga mereka meyakini bahwa seorang hamba tidaklah memiliki kehendak dan kebebasan memilih sama sekali. Karena mereka semua “dipaksa” oleh takdir Allah Ta’ala. Manusia bagaikan debu yang berterbangan di udara, yang bergerak ke mana saja sesuai arah angin bertiup, tidak memiliki kehendak dan tidak memiliki kemampuan.

Adapun aqidah ahlus sunnah adalah aqidah pertengahan di antara dua kutub ekstrim tersebut. Ahlus sunnah meyakini bahwa seorang hamba adalah pelaku riil suatu perbuatan, sehingga perbuatan tersebut disandarkan (dinisbatkan) kepada mereka. Akan tetapi, perbuatan hamba tersebut terjadi mengikuti taqdir Allah Ta’ala, kehendak-Nya dan Allah Ta’ala yang menciptakannya. Karena Allah Ta’ala adalah pencipta seorang hamba dan juga pencipta perbuatan hamba tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaaffat [37]: 96)

Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar [39]: 62)

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2)

Sebagaimana juga telah ditegaskan oleh Allah Ta’ala bahwa kehendak manusia itu di bawah kehendak Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwiir [81]: 29)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menetapkan bahwa manusia memiliki kehendak, namun kehendak manusia itu di bawah kehendak Allah Ta’ala.

Inilah salah satu unsur keimanan terhadap takdir yang dijelaskan dalam buku-buku aqidah ahlus sunnah, yaitu bahwa Allah Ta’ala menciptakan segala sesuatu yang ada di alam ini, termasuk perbuatan manusia. Meskipun demikian, bukan berarti hal ini meniadakan (menihilkan) kehendak manusia. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa kita pun memiliki kehendak dan kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Semua kita sadar bahwa kita bisa memilih untuk berbuat atau tidak berbuat. Oleh karena itu, satu ungkapan yang kita dapati dalam buku aqidah adalah,

و أفعال العباد خلق الله ، و كسب من العباد

“Amal perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, dan usaha dari hamba itu sendiri.” [1]

Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk taat kepada-Nya dan mentaati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan juga melarang mereka bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta’ala juga telah menegakkan hujjah (petunjuk dan penjelasan) kepada mereka, yaitu dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Siapa saja yang taat, maka dia taat sesuai dengan bukti (hujjah) yang dia ketahui dan dengan pilihan dia sendiri, sehingga berhak untuk mendapatkan pahala yang baik. Dan sebaliknya, siapa saja yang durhaka, maka dia durhaka sesuai dengan pilihan dia sendiri, sehingga dia berhak mendapatkan hukuman. Di sinilah letak keadilan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang salih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri. Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushilat [41]: 46)

Bagian ketiga

Pokok ke empat: dalam masalah janji (al-wa’du) dan ancaman (al-wa’iid)

Dalam masalah janji atau harapan (al-wa’du) dan ancaman (al-wa’iid), ahlus sunnah bersikap pertengahan di antara dua kelompok ekstrim yang menyimpang, yaitu kelompok wa’idiyyah di satu sisi, dan kelompok murji’ah di sisi yang lain.

Kelompok wa’idiyyah lebih memperhatikan dalil-dalil yang berisi ancaman (masuk neraka) daripada dalil-dalil yang berisi janji atau harapan agar dosa-dosa terampuni. Yang termasuk kelompok ini adalah kelompok khawarij dan mu’tazilah, yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu bukan muslim alias kafir. Semua pelaku dosa besar (seperti pezina dan peminum khamr) menurut khawarij adalah kafir, kekal di neraka selamanya.


Kelompok Khawarij dan Mu'tazilah sama-sama meyakini bahwa pelaku dosa besar itu kekal di neraka (hukum akhirat). Dan di dunia, mereka telah keluar dari iman (hukum dunia). Akan tetapi, setelah mereka keluar dari iman, khawarij dan mu’tazilah berselisih pendapat, apakah sebutan untuk mereka ketika di dunia? Khawarij mengatakan bahwa mereka kafir, sedangkan mu’tzailah mengatakan, “bukan muslim dan bukan kafir.”

Adapun murji’ah, mereka lebih memperhatikan dalil-dalil yang berisi janji dan harapan diampuninya dosa, dan meremehkan dalil-dalil yang berisi ancaman. Menurut murji’ah, iman itu hanya semata-mata pembenaran dalam hati (tashdiiqul qalbi), sedangkan amal lisan dan anggota badan itu bukan bagian dari iman. Oleh karena itu, menurut murji’ah, maksiat seorang hamba itu tidak membahayakan keimanan sama sekali. Pelaku maksiat, semacam pezina dan peminum khamr, itu tidak berhak masuk neraka, dan keimanan mereka tetap selevel dengan keimanan Abu Bakr dan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma.

Mirip dengan aqidah murji’ah ini adalah apa yang dijumpai dari banyak pelaku maksiat, namun mengaku sebagai muslim. Mereka memperbanyak maksiat, terus-menerus berbuat maksiat, dan di sisi lain, mereka banyak meninggalkan kewajiban. Lalu mereka merasa aman karena bersandar pada hadits-hadits yang berisi tentang janji (masuk surga), semacam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa saja yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan ditutup dengannya, maka dia masuk surga.” (HR. Ahmad no. 23324, dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Atau bersandar dengan hadits,

فَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan neraka bagi orang-orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan mengharapkan wajah Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 425 dan Muslim no. 33)

Adapun aqidah ahlus sunnah adalah aqidah pertengahan dari dua kelompok di atas. Ahlus sunnah menyeimbangkan pemahaman antara dalil-dalil yang berisi janji (masuk surga) dan harapan (agar dosa terampuni) dengan dalil-dalil yang berisi ancaman (masuk neraka). Karena siapa saja yang lebih melihat dalil-dalil al-wa’du dan menihilkan dalil-dalil al-wa’iid, maka dia akan sesat sebagaimana murji’ah. Karena selain dalil yang berisi al-wa’du, ada banyak dalil yang berisi ancaman, misalnya,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang berbuat adu domba (namimah).” (HR. Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105)

لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (silaturahmi).” (HR. Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 2556)

Atau dalil yang berisi ancaman kepada pelaku pembunuhan, yaitu firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia lama di dalamnya, dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 93)

Sebaliknya, siapa saja yang lebih melihat dalil-dalil al-wa’iid dan menihilkan dalil-dalil al-wa’du, maka dia akan sesat sebagaimana khawarij dan mu’tzailah. Ketika khawarij dan mu’tzailah menihilkan dalil-dalil al-wa’du, maka hilanglah harapan mereka agar dosa terampuni, mereka pun berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala. Dan sebagai akibatnya, mereka pun memvonis semua pelaku dosa besar sebagai orang kafir dan kekal di neraka.

Oleh karena itu, aqidah ahlus sunnah meyakini bahwa seorang muslim yang terjerumus dalam maksiat dan dosa besar, tidaklah keluar dari Islam (tidak kafir), akan tetapi dia adalah seorang muslim yang kurang sempurna keimanannya. Maka dia adalah seorang mukmin dengan keimanan yang ada dalam hatinya, namun dia adalah orang fasik dengan dosa besar yang ada pada dirinya. Namun, hal ini dengan tiga syarat: (1) dosa besar tersebut bukanlah dosa kemusyrikan atau kekafiran akbar; (2) dia tidak meyakini halalnya perbuatan dosa tersebut; dan (3) dia tidak melakukan pembatal Islam jenis yang lainnya. Sedangkan urusan dia di akhirat, dia tergantung pada kehendak Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala menghendaki, Allah Ta’ala akan mengampuninya. Namun jika Allah Ta’ala menghendaki, dia akan dihukum sampai bersih dari dosa-dosanya, kemudian dimasukkan ke dalam surga. Tidaklah kekal di neraka kecuali orang-orang yang kafir kepada Allah Ta’ala atau berbuat kemusyrikan syirik akbar (syirik besar).

Hal ini sesuai dengan definisi iman yang ditetapkan oleh ahlus sunnah, yaitu “keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal perbuatan; (iman) bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat.

____

Referensi:

Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, hal. 19-20; karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafidzahullahu Ta’ala (cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H),

Bagian keempat

Pokok ke lima: dalam masalah sikap terhadap para sahabat radhiyallahu ‘anhum

Ahlus sunnah dalam masalah aqidah terhadap para sahabat, mereka berada di tengah-tengah antara syi’ah rafidhah dan khawarij.

Syi’ah rafidhah bersikap berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap ahlu bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Mereka menganggap bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu itu ma’shum (terjaga dari dosa), mengetahui ilmu ghaib, atau beliau radhiyallahu ‘anhu itu lebih utama daripada sahabat Abu Bakr Ash-Shiddiq dan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma. Kelompok syi’ah ekstrim bahkan mengklaim bahwa sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memiliki sifat uluhiyyah (berhak untuk disembah).

Adapun kelompok khawarij, mereka bersikap dzalim terhadap hak ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Khawarij telah memvonis kafir sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, juga memvonis kafir sahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu. Juga memvonis kafir siapa saja yang tidak mengikuti jalan mereka [1].

Demikian juga rafidhah pun bersikap dzalim terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [2]. Mereka mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memvonis kafir mereka, dan menilai bahwa mereka semua telah murtad (keluar dari Islam) sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk dua sahabat yang mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq dan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma yang mereka vonis sebagai kafir dan thaghut. Tidaklah mereka kecualikan dari vonis kafir tersebut kecuali ahlu bait dan sejumlah kecil sahabat saja. Mereka juga mencela dan merendahkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeluarkan mereka dari bagian ahlu bait. Akan tetapi, terkadang orang-orang rafidhah tampakkan sikap ridha terhadap para sahabat, dan menunjukkan loyalitas terhadap para sahabat, dalam rangka mendekati ahlus sunnah dan berbuat tipu daya kepada ahlus sunnah. Karena di antara aqidah syi’ah rafidhah adalah aqidah taqiyyah, yaitu menampakkan sikap yang secara lahiriyyah berbeda dengan keyakinan hati yang mereka sembunyikan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَالرَّافِضَةُ كَفَّرَتْ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَامَّةَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارَ وَاَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانِ الَّذِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَكَفَّرُوا جَمَاهِيرَ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ والمتأخرين

“Rafidhah memvonis kafir Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan mayoritas sahabat Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, yaitu orang-orang yang Allah Ta’ala ridhai, dan mereka pun ridha dengannya. Mereka pun memvonis kafir mayoritas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dari kalangan terdahulu maupun belakangan.“ (Majmu’ Al-Fataawa, 28: 477)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berkata,

فَهُمْ أَشَدُّ ضَرَرًا عَلَى الدِّينِ وَأَهْلِهِ وَأَبْعَدُ عَنْ شَرَائِعِ الْإِسْلَامِ مِنْ الْخَوَارِجِ الحرورية وَلِهَذَا كَانُوا أَكْذَبَ فِرَقِ الْأُمَّةِ

“Mereka itu paling menimbulkan bahaya bagi agama dan umat Islam, juga yang paling jauh dari syari’at Islam, melebihi khawarij. Oleh karena itu, mereka adalah sekte dalam umat Islam yang paling pendusta.” (Majmu’ Al-Fataawa, 28: 479)

Adapun aqidah ahlus sunnah, mereka mencintau seluruh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ridha kepada mereka semuanya. Ahlus sunnah meyakini bahwa para sahabat adalah manusia terbaik umat ini setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahlus sunnah menahan lisan-lisan mereka dari membicarakan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan meyakini bahwa para sahabat telah berijtihad dalam perselisihan tersebut sehingga mendapatkan pahala karena ijtihad tersebut. Ahlus sunnah meyakini bahwa sahabat yang paling utama adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar bin Khaththab, kemudian ‘Utsman bin ‘Affan, kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Ahlus sunnah juga mencintai ahlu bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan meyakini bahwa ahlu bait Nabi memiliki dua hak: hak sebagai kaum muslimin dan hak sebagai kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ahlus sunnah pun loyal kepada mereka, dan ridha terhadap mereka semuanya.

Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Catatan kaki:

[1] Pokok-pokok aqidah kaum khawarij dapat dibaca di sini: Mengenal pokok-pokok aqidah Khowarij

[2] Pembaca dapat pula merujuk ke tulisan singkat kami tentang aqidah syi’ah: Syiah mencela Shahabat Nabi

____

Referensi:

Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, hal. 20-21; karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafidzahullahu Ta’ala (cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H)

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags