Dalam berbagai permasalahan bab aqidah, aqidah ahlus sunnah adalah aqidah pertengahan antara dua kutub esktrim yang menyimpang dari jalan yang lurus. Kutub ekstrim pertama adalah mereka yang berlebih-lebihan (ghuluw dan ifrath) dalam agama. Sedangkan kutub ekstrim kedua adalah mereka yang bersikap meremehkan perkara agama (tafrith). Maka aqidah ahlus sunnah adalah aqidah yang haq, aqidah yang shahih, aqidah yang pertengahan, aqidah yang terbaik dan adil, dan berada di antara dua kutub ekstrim penyimpangan, yaitu kutub ifrath dan kutub tafrith.
Dalam tulisan serial ini, akan kami jelaskan sisi pertengahan aqidah ahlus sunnah dalam lima perkara pokok aqidah:
Pokok pertama: dalam masalah ibadah
Dalam masalah ibadah, ahlus sunnah berada di tengah antara kelompok Syi’ah Rafidhah di satu sisi dan kelompok Daruuz dan Nushairiyyin, di sisi yang lainnya.
Penyimpangan Rafidhah adalah berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. Yaitu dengan beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berdzikir dan juga tawassul yang tidak disyariatkan. Mereka juga berlebihan dalam ibadah dari sisi membuat-buat berbagai perayaan (hari besar atau hari ‘id) yang bid’ah, yang tidak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Sebagaimana kita ketahui, yang pertama kali merintis dan mempelopori perayaan maulid Nabi, yang kemudian diikuti oleh orang-orang selain mereka.
Selain itu, mereka bersikap ghuluw terhadap orang-orang yang mereka anggap shalih, yaitu dengan membuat bangunan megah di atas kubur mereka, shalat di sisi kubur, thawaf mengelilingi kubur tersebut [1], dan juga menyembelih binatang sembelihan untuk penghuni kubur tersebut [2]. Orang Syi’ah Rafidhah adalah pelopor dan terdepan dalam membuat bangunan, termasuk masjid, di atas kubur.
Jadi, sikap berlebih-lebihan dalam ibadah kaum Rafidhah adalah dengan menyembah para penghuni kubur, dengan menunjukkan berbagai bentuk peribadatan kepada mereka, baik berupa sembelihan dan doa permohonan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan atau tercegah dari mara bahaya yang mereka khawatirkan. Intinya, Rafidhah adalah kelompok yang bersemangat dalam ibadah kepada Allah Ta’ala, sampai-sampai mereka beribadah kepada Allah dengan bentuk ibadah yang tidak pernah disyariatkan alias bid’ah.
Di sisi yang lainnya, adalah kelompok Daruuz dan Nushairiyyin, mereka ini juga disebut dengan kelompok ‘Alawiyyin. Dua kelompok ini dijumpai di negeri Syam, yaitu Suriah, Libanon, dan Palestina. Di antara aqidah Nushairiyyin adalah mereka mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib. Sedangkan di antara aqidah Daruuz adalah mereka mempertuhankan seseorang bernama Al-Hakim Biamrillah Al-‘Ubaidi. Para ulama menyebut dua kelompok telah keluar dari Islam (murtad), meskipun mereka mengaku sebagai muslim.
Penyimpangan mereka adalah mereka tidak mau beribadah kepada Allah Ta’ala sama sekali. Atau dengan kata lain, mereka tinggalkan semua bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Jadilah mereka tidak shalat, tidak puasa, tidak zakat, tidak berhaji, dan seterusnya dari ibadah-ibadah yang lain. Dengan kata lain, mereka tidak punya semangat ibadah kepada Allah Ta’ala sama sekali.
Adapun ahlus sunnah, mereka beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan dalam Al-Qur’an dan telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan dalam As-Sunnah. Mereka tidaklah meninggalkan berbagai kewajiban ibadah yang telah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya wajibkan. Namun, mereka tidaklah membuat-buat bentuk ibadah berdasarkan inovasi dan kreasi akal mereka sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang membuat-buat perkara baru dalam urusan (agama) kami, yaitu perkara yang tidak ada asal-usulnya dari ajaran kami, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang veramal dengan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Demikianlah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingatkan pokok dan prinsip yang agung ini di setiap khutbah atau ceramah beliau dengan mengatakan,
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama). Dan setiap bi’dah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)
Di antara prinsip ahlus sunnah adalah amal yang sedikit namun sesuai dengan sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu lebih utama daripada memperbanyak amal ibadah namun terjerumus ke dalam perkara bid’ah dalam agama. Sebagaimana dalam sebuah prinsip yang masyhur,
إصابة السنة أفضل من كثرة العمل
“Mengikuti sunnah itu lebih utama daripada memperbanyak amal.”
Pokok kedua: Dalam masalah nama dan sifat Allah Ta’ala
Dalam masalah ini, aqidah ahlus sunnah bersifat pertengahan di antara kelompok mu’athilah (kelompok yang menolak nama dan sifat Allah Ta’ala) di satu sisi, dan kelompok mumatsilah atau musyabbihah (kelompok yang menetapkan sifat Allah Ta’ala namun kemudian diserupakan dengan sifat makhluk), di sisi yang lain.
Kelompok mu’athilah ini ada berbagai jenisnya. Yang paling parah adalah kelompok Jahmiyyah, yang menolak seluruh nama dan sifat Allah Ta’ala. Sehingga menurut Jahmiyyah, Allah Ta’ala adalah semata-mata Dzat, tanpa nama dan tanpa sifat. Kemudian disusul dengan kelompok Mu’tazilah, mereka menetapkan nama untuk Allah Ta’ala, namun mereka menolak semua sifat Allah Ta’ala. Jadilah mereka menetapkan nama yang kosong dari makna (sifat) untuk Allah Ta’ala. Allah Ta’ala memiliki nama As-Samii’, namun tidak memiliki sifat as-sam’u (mendengar), misalnya. Inilah aqidah mu’tazilah.
Termasuk dalam kelompok mu’athilah ini adalah Asya’irah (Asy’ariyyah) dan Al-Maturidiyyah, yaitu mereka yang menolak mayoritas sifat-sifat Allah Ta’ala, dan hanya menetapkan sebagian sifat saja. Akan tetapi sayangnya, mereka menetapkan sebagian sifat (yaitu, tujuh sifat saja) untuk Allah Ta’ala tersebut bukan berdasarkan dalil wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun berdasarkan tuntutan akal mereka yang lemah dan terbatas [1]. Karena prinsip aqidah mereka adalah lebih mendahulukan akal logika, dibandingkan dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka timbang dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut akal logika mereka. Jika dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah itu sesuai dengan logika akal mereka, mereka pun menerimanya. Sebaliknya, jika dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah itu tidak sesuai (bertentangan) dengan logika akal mereka, mereka pun menolaknya atau mereka simpangkan maknanya (mentakwil) sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Lalu mereka klaim bahwa takwil yang mereka lakukan itu adalah dalam rangka mensucikan sifat Allah Ta’ala (tanzih) dari penyerupaan terhadap sifat makluk.
Dengan pokok aqidah mereka tersebut, Asy’ariyyah pun menolak sifat al-‘uluw dan istiwa’ [2], sifat tangan (yadain), sifat cinta (mahabbah), dan seterusnya. Ini semua karena prinsip mereka tersebut yang menjadikan akal logika sebagai dasar utama, sedangkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah itu diletakkan sebagai sesuatu yang mengikuti jalan dan alur berpikir logika akal mereka. Sampai-sampai tokoh mereka mengatakan,
وكل نص أوهم التشبيها … أوله أو فوض ورم تنزيها
“Setiap dalil yang menimbulkan prasangka adanya tasybih (penyerupaan dengan sifat makhluk), maka takwil-lah dalil tersebut atau tafwidh-kan (kosongkan maknanya), dan maksudkanlah dengan perbuatan tersebut untuk melakukan tanzih (mensucikan Allah dari penyerupaan terhadap makhluk).”
Di kutub ekstrim yang kedua, adalah kelompok mumatsilah (musyabbihah), yaitu mereka yang menetapkan sifat-sifat untuk Allah Ta’ala, namun kemudian disamakan (diserupakan) dengan sifat makhluk. Seperti ucapan mereka, “Tangan Allah adalah sebagaimana tanganku”; atau “Pendengaran Allah adalah sebagaimana pendengaranku”; dan seterusnya. Maha suci Allah Ta’ala dari ucapan dan perkataan keji semacam itu.
Sehingga jadilah aqidah ahlus sunnah sebagai aqidah pertengahan di antara kedua kelompok ekstrim tersebut. Yaitu, ahlus sunnah beriman terhadap semua nama dan sifat Allah Ta’ala yang terdapat dalam dalil-dalil syar’i (Al-Kitab dan As-Sunnah). Ahlus sunnah menetapkan sifat untuk Allah Ta’ala sesuai dengan sifat yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya sendiri, atau sesuai dengan sifat yang telah ditetapkan oleh manusia yang paling mengenal Allah Ta’ala, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam masalah sifat Allah Ta’ala, ahlus sunnah menetapkan sifat Allah Ta’ala tanpa melakukan ta’thil dan takwil, serta tanpa takyif dan tasybih [3]. Ahlus sunnah beriman terhadap sifat Allah Ta’ala secara hakiki, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah Ta’ala, tidak serupa dengan sifat makhluk. Hal ini dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala,لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Allah. Dan Dia adalah Yang Maha mendengar dan Maha melihat.” (QS. Asy-Syuura [42]: 11)
Dalam ayat di atas, setelah Allah Ta’ala meniadakan adanya keserupaan makhluk, lalu Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya dua sifat, yaitu sifat as-sam’u (Maha mendengar) dan sifat al-bashar (Maha melihat). Sehingga hal ini menunjukkan bahwa sifat as-sam’u dan al-bashar yang Allah Ta’ala miliki tidaklah sama dengan sifat as-sam’u dan al-bashar yang dimiliki oleh mahluk.
Ahlus sunnah bersandar kepada dalil-dalil syar’i, dan lebih mendahulukan dalil syar’i tersebut daripada akal logika manusia. Karena akal logika hanyalah digunakan sebagai sarana untuk memahami dalil dan sebagai syarat dalam memahami berbagai ilmu, dan sebagai sarana untuk baik dan sempurnanya amal. Akan tetapi, akal logika tidaklah berdiri sendiri, apalagi dijadikan sebagai patokan untuk menimbang dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, ahlus sunnah tidaklah mendahulukan akal daripada wahyu, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Asy’ariyyah dan semacamnya. Dan sebaliknya, ahlus sunnah juga tidak menihilkan peran akal sama sekali, sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang sufi ekstrim, ketika mereka mempercayai berbagai hal yang bertentangan mutlak dengan akal sehat.
Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.
Catatan kaki:
[1] Misalnya, mereka menetapkan tujuh sifat untuk Allah Ta’ala, namun mereka tetapkan berdasarkan akal, bukan berdasarkan dalil. Silakan disimak pembahasannya di sini:
https://muslim.or.id/38056-sifat-allah-apakah-hanya-tujuh-atau-dua-puluh-02.html
[2] Pembahasan tentang sifat al-‘uluw dan istiwa’ dapat dibaca di sini (total ada lima seri tulisan):
https://muslim.or.id/36047-ketika-mereka-menolak-sifat-uluw-dan-istiwa-01.html
[3] Pengertian ta’thil, takwil, takyif, dan tasybih dapat dibaca pembahasannya di sini:
https://muslim.or.id/24486-larangan-terhadap-sifat-sifat-allah.html
Referensi:
Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, hal. 16-17; karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafidzahullahu Ta’ala (cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H).