Berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ini memang amat berat, bagai mereka yang memegang bara api.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara (nyala) api.
Ath Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah.
Sedangkan Al Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.
Itulah gambaran orang yang konsekuen dengan ajaran Islam saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, begitu sulitnya dan begitu beratnya. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam. Demikianlah resikonya. Namun nantikan balasannya di sisi Allah yang luar biasa andai mau bersabar.
Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Sebagaimana disebut dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Al Auza’i menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa ditimbang dan tak bisa ditakar. Itulah karena saking banyaknya.
Ibnu Juraij menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa terhitung (tak terhingga), juga ditambah setelah itu.
SEDANGKAN AS SUDI MENYATAKAN BAHWA BALASAN ORANG YANG BERSABAR ADALAH SURGA.
Mengapa “bara api”? Karena bara api jika digenggam tentu akan menyakitkan ketika digenggam. Sebagaimana penjelasan syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,
كأنه قابض على الجمر من شدة ما يصيبه من الآلام والشدائد في ذلك، وقت الفتن وقت الأذى من الأعداء
“Sebagaimana penggenggam bara api, akan menimpanya sakit yang sangat, ketika terjadi fitnah (ujian) dari musuh-musuh”[2]
Dan ini tentu membutuhkan kesabaran yang sangat.
Syaikh Al-Mubarakfuri menukil perkataan Al-Qari,
لا يمكن القبض على الجمرة إلا بصبر شديد وتحمل غلبة المشقة كذلك في ذلك الزمان لا يتصور حفظ دينه ونور إيمانه إلا بصبر عظيم
“Tidak mungkin menggenggam bara api kecuali dengan kesabaran yang sangat dan menanggung kesusahan yang sangat. Ini bisa terjadi pada zaman yang tidak bisa terbayangkan lagi bagaimana bisa menjaga agama kecuali dengan kesabararan yang besar.”[3]
Jangan setengah-setengah dalam beragam
Yang namanya “bara api” baru bisa digenggam jika digenggam dengan erat dan langsung, maka bara api akan padam dan ia bisa menggenggam bara api tersebut. Jika disentuh pelan-pelan, maka api tidak akan padam dan bara tidak akan tergenggam. Begitu juga dengan agama. Kalau kita setengah-setengah dalam beragama, maka agama tidak akan bisa kita genggam dengan erat. Dan jika kita mendekat dan menyentuhnya maka akan terasa panas dan kitapun enggan untuk mendekat.
Misalnya:
-ada wanita yang berjilbab modis “atas mekkah bawa amerikah”. Dia akan susah diperintahkan berjilbab besar yang menutup aurat, karena dia akan berpikir mungkin nanti tidak modis lagi,tidak laku, tidak cantik dan tampak kampungan. Maka ketika ia akan mendekat ke agama, akan terasa “panas” karena ia menyentuh bara api setengah-setengah. Berbeda dengan wanita yang langsung berjilbab besar dan memperbaiki agama dan hapalannya. Ternyata belum beberapa lama ia berjilbab besar, sudah banyak yang “ngantri” ingin melamar karena tertarik dengan akhlak dan agamanya.
-laki-laki yang hobi bermain dan manik musik, ia akan berat jika diperintahkan meninggalkan musik untuk beralih ke Al-Quran. Bagaimana bisa ia tinggalkan, itu hobi dan seni dan sudah menyatu dengan jiwanya. Akan tetapi ada yang berusaha total meninggalkannya, maka ia dapat “mengenggam” dan menggantikan dengan Al-Quran yang ternyata juga banyak macam qiraah, jenis bacaan dan berbagai jenis “murattal” dari para imam yang sangat merdu didengar dan menyejukkan hati.
Oleh karena kita diperintahkan agar jangan setengah-setengah beragama akan tetapi masuk ke dalam agama Islam secara sempurna.
Allah Ta’ala berfirman,
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا ادْخُلُوْا فِي الْسِّلْم
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan.” (Al-Baqarah: 208)
Beratnya ujian beragama di zaman yang sulit
Para ulama juga menjelaskan hadits ini, kelak akan datang zaman banyak kerusakan dan sudah merajalela. Kemaksiatan dianggap biasa.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menjelaskan hadits,
أنه في آخر الزمان يقل الخير وأسبابه، ويكثر الشر وأسبابه، وأنه عند ذلك يكون المتمسك بالدين من الناس أقل القليل. وهذا القليل في حالة شدة ومشقة عظيمة، كحالة القابض على الجمر، من قوة المعارضين، وكثرة الفتن المضلة، فتن الشبهات والشكوك والإلحاد، وفتن الشهوات وانصراف الخلق إلى الدنيا وانهماكهم فيها، ظاهراً وباطناً،
“Pada akhir zaman akan sedikit kebaikan dan sebab-sebabnya, merajalela keburukan dan sebab-sebabnya dan pada saat itu orang yang berpegang teguh dengan agama sangat sedikit jumlahnya. Yang sedikit ini berada dalam keadaan kesusahan (karena banyaknya fitnah) sebagaimana orang yang mengenggam bara api karena banyak yang menentang dan banyak fitnah yang menyesatkan, fitnah syubhat, keraguan, berpaling dari kebenaran, fitnah syahwat dan condongnya makhluk kepada dunia dan tenggelam dengan kemilau dunia baik dzahir dan batin.”[4]
—
* Muhammad Abduh Tuasikal, M. Sc
Referensi:
Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ At Tirmidzi, Abul ‘Ala Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri, terbitan Darus Salam, cetakan pertama, tahun 1432 H.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, tahqiq: Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
** Raehanul Bahraen