Type Here to Get Search Results !

 


PERINTAH PERTAMA DAN WASIAT TERAKHIR RASULULLAH

Perintah pertama adalah tauhid

Ketika kita mulai membuka lembaran Al Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, maka kita akan menjumpai perintah pertama yang Allah Ta’ala serukan kepada hamba-Nya adalah perintah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala saja. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 21)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata ketika menjelaskan tafsir ayat ini, 

”Ini adalah perintah yang bersifat umum bagi setiap manusia, yaitu beribadah yang mencakup mentaati perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, dan membenarkan berita-Nya. Maka (dalam ayat ini, pen.) Allah Ta’ala memerintahkan mereka dengan sesuatu yang merupakan tujuan dari penciptaan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

‘Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku’.” (QS. Adz-Dzariyat [51] : 56). (Taisiir Karimir Rahmaan, hal. 45)

Perintah Allah Ta’ala yang pertama ini seolah-olah menjadi isyarat bagi kita bahwa tauhid merupakan landasan dan fondasi sebelum kita mengerjakan perintah Allah Ta’ala yang lainnya. Oleh karena itu, para ulama membuat permisalan bahwa status dan kedudukan tauhid ini bagaikan fondasi dalam sebuah bangunan. Seorang yang pandai tentu saja memfokuskan perhatiannya pada pembenahan asas atau fondasi. Sedangkan orang yang bodoh, dia akan terus meninggikan bangunannya namun tanpa memiliki fondasi yang kuat. Maka dengan segera pula bangunannya akan roboh dan hancur. 

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, ”Siapa saja yang hendak meninggikan bangunannya, ia berkewajiban untuk mengokohkan, memantapkan, dan sungguh-sungguh mencurahkan segala perhatiannya kepada fondasinya. Karena ketinggian sebuah bangunan sangatlah bergantung pada kekuatan dan ketangguhan fondasinya. Amal-amal kebaikan dan tingkatan-tingkatannya ibarat badan bangunan, sedangkan keimanan adalah asas dan fondasinya.” (Al-Fawaaid, hal. 189-190)

Setelah Allah Ta’ala memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya, maka perintah pertama tersebut segera dilanjutkan dengan ayat berikutnya yang berisi tentang larangan pertama dalam Al Qur’an. Yaitu larangan untuk berbuat syirik dengan menjadikan sekutu bagi Allah Ta’ala dalam ibadah tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22)

Kedua rangkaian ayat ini memberikan suatu faidah yang sangat berharga, karena Allah Ta’ala tidak hanya memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya saja, namun Allah Ta’ala juga melarang kita dari hal-hal yang dapat membatalkannya, yaitu beribadah kepada selain-Nya. (Lihat Sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar, hal. 15)

Kesyirikan merupakan keharaman pertama yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabb-mu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tuamu, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka. Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (QS. Al-An’am [6]: 151)

Oleh karena itulah, pelajaran pertama yang diberikan oleh seorang hamba yang shalih, yaitu Luqman, kepada anaknya adalah,

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)

Selaras dengan ayat-ayat tersebut, maka siapa pun yang berusaha untuk meneliti jejak dakwah para Rasul, maka dia akan menjumpai bahwa materi dakwah para Rasul yang pertama kali diserukan kepada umatnya adalah tauhid. Karena tauhid inilah yang merupakan tempat pijakan pertama untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menceritakan tentang Rasul-Nya, Nuh ‘alaihis salaam,

لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)’.” (QS. Al-A’raf [7]: 59)

Allah Ta’ala juga menceritakan kisah Rasul-Nya, Hud ‘alaihis salaam, 

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Dia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya.’ Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS. Al-A’raf [7]: 65)

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala menceritakan kisah Rasul-Nya, Shalih ‘alaihis salaam dengan firman-Nya,

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih. Dia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya’.” (QS. Al-A’raf [7]: 73) 

Kemudian tentang Rasul-Nya Syu’aib ‘alaihis salaam, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ’Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya’.” (QS. Al-A’raf [7]: 85) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam rangka menjelaskan misi dakwahnya kepada manusia,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (HR. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 138) 

Betapa pentingnya tauhid ini, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menekankan kepada para da’i (juru dakwah) agar senantiasa mencurahkan perhatian mereka kepada tauhid dan mengawali dakwahnya dengan tauhid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk berdakwah ke negeri Yaman,

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Sesungguhnya Engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah yang pertama kali Engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka beribadah kepada Allah.” (HR. Muslim no. 132)

Dalam riwayat yang lain berbunyi,

فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى

“Maka hendaklah yang pertama kali Engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari no. 7372)

Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagaimana para Rasul yang lain- memulai dakwahnya dengan memerintahkan manusia untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Ini adalah pembuka dakwah para Rasul. Karena hal ini adalah asas yang menjadi landasan masalah yang lain. Jika asas tersebut rusak, maka tidak ada faidahnya masalah yang lain. Tidak ada faidahnya shalat, puasa, haji, sedekah, dan seluruh ibadah yang lain, jika asas tersebut rusak atau tauhidnya tidak ada. Amalan-amalan yang lain tersebut tidak ada faidahnya, karena kesyirikan akan merusaknya dan membatalkannya.” (Syarh Masail Jahiliyyah, hal. 19-20) 

Potret Salaf dalam Semangat Mengamalkan Ilmu

Bagian pertama


Wasiat terahir juga berisi tentang tauhid

Betapa pentingnya tauhid ini, sampai-sampai para Nabi ‘alaihish shalatu wassalaam menjadikan tauhid sebagai wasiat penting mereka sebelum meninggal dunia. Hal ini tentunya menunjukkan perhatian mereka yang sangat besar terhadap masalah tauhid. Karena perhatian seseorang itu bermacam-macam, namun semua itu dapat diketahui dari wasiat apa yang mereka katakan menjelang akhir hidupnya kepada orang-orang yang akan ditinggalkannya. Ketika yang mereka wasiatkan adalah pembagian harta, maka berarti harta-lah yang menjadi perhatian utama dalam hidupnya. Ketika yang mereka wasiatkan adalah masalah jabatan dan kekuasaan, maka berarti itulah yang menjadi perhatian utama dalam hidupnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ؛ أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata), ’Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.’ Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya,’Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ’Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 132-133)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menceritakan kisah Nabi Nuh ‘alaihi salaam,

إِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ نُوحاً صلى الله عليه وسلم لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ قَالَ لاِبْنِهِ إِنِّى قَاصٌّ عَلَيْكَ الْوَصِيَّةَ آمُرُكَ بِاثْنَتَيْنِ وَأَنْهَاكَ عَنِ اثْنَتَيْنِ آمُرُكَ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَإِنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرْضِينَ السَّبْعَ لَوْ وُضِعَتْ فِى كَفَّةٍ وَوُضِعَتْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فِى كَفَّةٍ رَجَحَتْ بِهِنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَوْ أَنَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعَ وَالأَرْضِينَ السَّبْعَ كُنَّ حَلْقَةً مُبْهَمَةً قَصَمَتْهُنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فَإِنَّهَا صَلاَةُ كُلِّ شَىْءٍ وَبِهَا يُرْزَقُ الْخَلْقُ وَأَنْهَاكَ عَنِ الشِّرْكِ وَالْكِبْرِ

“Sesungguhnya ketika Nabi Nuh hendak meninggal dunia, beliau berkata kepada anaknya, ’Sesungguhnya aku akan menyampaikan wasiat kepadamu. Aku memerintahkanmu kepada dua hal dan melarangmu dari dua hal. Aku memerintahkan kepadamu (untuk bersaksi bahwa) tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Karena sesungguhnya jika langit dan bumi yang tujuh diletakkan pada sebuah daun timbangan dan kalimat ‘laa ilaaha illallah’ diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka akan lebih berat daun timbangan ‘laa ilaaha illallah’. Dan seandainya langit dan bumi yang tujuh itu sebuah cincin, maka kalimat ‘laa ilaaha illallah’ akan membuatnya terbelah. Sedangkan (kalimat) ‘Subhanallah wa bihamdihi’ [Maha Suci Allah dan segala puji untuk-Nya] adalah doa segala sesuatu dan dengannya para makhluk diberi rizki. Dan aku melarangmu dari syirik dan kesombongan’.” (HR. Ahmad no. 6583. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 6295)

Tauhid pula yang menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelang detik-detik akhir kehidupannya

Jundub bin ‘Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika lima hari sebelum beliau wafat,

إِنِّى أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِى مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِى خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِى خَلِيلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلاً أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah untuk memiliki seorang kekasih di antara kamu. Karena bahwasannya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku menjadikan seorang umatku sebagai kekasih, niscaya Abu Bakar-lah yang aku jadikan sebagai kekasih. Ketahuilah, bahwasannya umat-umat sebelummu telah menjadikan kubur para Nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah, jangan kalian jadikan kubur-kubur sebagai masjid. Aku melarang kalian dari perbuatan itu.” (HR. Muslim no. 1216)

Dan bukti bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan hal ini adalah beliau mengulangi lagi wasiat tersebut menjelang beliau wafat. Dan tidaklah seseorang berwasiat tentang sesuatu hal, kecuali hal tersebut adalah perkara yang sangat penting dan harus diperhatikan. ‘Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ”Ketika Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika dalam kondisi seperti itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari no. 435, 436 dan Muslim no. 1215)

Nabi menyampaikan larangan tersebut lima hari sebelum wafat dan menyampaikan berita laknat Allah Ta’ala ketika hendak wafat. Ini adalah bukti bahwa tauhid adalah masalah yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka benarlah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala. Bahkan para ulama seluruhnya bersepakat bahwa yang pertama kali diperintahkan kepada seorang hamba adalah dua kalimat syahadat. Maka tauhid inilah yang pertama kali memasukkan seseorang ke dalam Islam, dan yang terakhir kali mengeluarkan seseorang dari dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Barangsiapa yang akhir perkataan dalam hidupnya adalah ‘laa ilaaha illallah’, maka pasti masuk surga.” (HR. Abu Dawud no. 3116, shahih)

Maka, tauhid inilah yang merupakan kewajiban pertama sekaligus terakhir.

Melihat hadits tersebut, penulis teringat pada sebuah kisah yang sangat menarik dan menakjubkan. Kisah ini diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah, dalam kitab Tarikh Baghdad (10/335). Berikut ini kisah tersebut.

Abu Ja’far At-Tusturi mengatakan, ”Kami pernah mendatangi Abu Zur’ah Ar-Razi yang sedang berada dalam keadaan sakaratul maut di Masyahron. Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Al-Munzir bin Syadzan, dan sekumpulan ulama lainnya. Mereka ingin men-talqin-kan Abu Zur’ah dengan mengajari hadits talqin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan ’laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim no. 2162 dan 2164)

Namun mereka malu dan takut kepada Abu Zur’ah untuk men-talqin-kannya. Lalu mereka berkata, ”Mari kita menyebutkan haditsnya (dengan sanadnya/ jalur periwayatannya).”

Muhammad bin Muslim lalu mengatakan, ”Adh-Dhahak bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih … ”. Kemudian Muhammad tidak meneruskannya.

Abu Hatim kemudian mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih … ”. Lalu Abu Hatim juga tidak meneruskannya dan mereka semua terdiam.

Kemudian Abu Zur’ah yang sedang berada dalam sakaratul maut mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih bin Abu ’Arib, (beliau berkata), dari Katsir bin Murroh Al-Hadhramiy, (beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, (beliau berkata) Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia. Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 264 H.

Marilah kita merenungkan kisah Abu Zur’ah rahimahullah di atas. Beliau menutup akhir nafasnya dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan beliau rahimahullah mengucapkan kalimat tersebut sambil membawakan sanad dan matan haditsnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang berada dalam sakaratul maut.

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk dapat beribadah hanya kepada-Nya di sepanjang hidup kita serta menutup hidup kita di dunia ini di atas tauhid. Semoga Allah Ta’ala meneguhkan hati kita untuk tetap konsisten di jalan ilmu dan amal shalih.

Penulis: dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D.

Sumber: https://muslim.or.id/

Tags